Home / Romansa / Live With 4 Stepbrothers / Chapter 1 - Chapter 10

All Chapters of Live With 4 Stepbrothers: Chapter 1 - Chapter 10

64 Chapters

Bab 1 - First Kiss?

“Hulya, awas!” teriak Dina. Sontak aku menoleh ke belakang, dan kulihat ada orang yang sedang membawa panci besar berisi kuah panas berjalan tepat di belakangku. Orang itu hampir kehilangan keseimbangannya dan oleng ke arahku. Namun, dengan cepat aku menyurut mundur, dan berbalik badan membelakangi orang itu. Aku tak menyadari ada orang yang berdiri di belakangku. Kutak dapat menahan gerak tubuhku karena jarak di antara kami terlalu dekat. Hingga akhirnya aku menubruk tubuhnya dan jatuh menindihnya. BRUKKK! Chuuu~~ Kurasakan benda yang lembut dan basah menempel di bibirku. Tunggu dulu, benda apa ini yang menempel di bibirku?! Kubuka mataku yang sedari tadi terpejam, dan seketika aku terkejut ketika melihat sepasang mata tepat berada di bawah mataku. Dan yang lebih membuatku syok adalah, bibir kami yang saling menempel satu sama lain! “Kyaaa! First kiss gue!” teriakku. Dengan cepat aku bangun dan menjauhkan diriku dari
Read more

Bab 2 - Bad boy?

Aku menatap Mama tak percaya kala mendengar perkataan Om Harun. Sementara Mama hanya tersenyum sambil matanya terus memandangi Om Harun. “Pa! Kenapa Papa ngerencanain ini tanpa diskusi dulu sama Zayn, Daffa, Carel dan Edgar!” teriak pria yang paling tua. Hal itu membuat aku dan Mama terkesiap karena mendengar suara keras pria yang berwajah mirip seperti CEO di novel yang selalu kubayangkan. “Zayn! Pelankan suaramu! Percuma Papa diskusi dulu sama kalian, kalian pasti akan menentang itu. Sudah, nanti saja kita bicarakan ini,” sahut om Harun marah. Pria bernama Zayn itu mendengus kesal dan menaiki tangga ke lantai atas dan meninggalkan kami. Sedangkan kami hanya terdiam tak berani berkata apa-apa. “Silahkan di makan dulu! Jangan hiraukan Zayn, dia memang seperti itu." Om Harun mempersilahkan kami makan. Namun keadaan sudah menjadi canggung. Sehingga membuat kami hanya terdiam. Terlebih, aku benar benar syok ketika mendengar pernyataan om
Read more

Bab 3 - Pria dengan hoodie

Kulayangkan tamparan tepat di pipi putihnya. Bekas merah tercetak di sana, ia meringis sambil mengusap pipinya sendiri. “Dasar cewek sialan! Berani beraninya lo nampar gue, hah!” teriaknya. Edgar sudah mengangkat tangannya hendak membalas tamparanku. Sementara aku sudah siap menghindar. Namun tiba tiba seseorang keluar dari kamar yang tepat berada di samping kamar Edgar. Ia berteriak ketika melihat posisi tangan Edgar yang melayang di udara. “Edgar! Mau ngapain lo!” Ternyata itu Daffa. Ia berjalan dengan cepat dan menghalau tangan Edgar. “Heh, lo mau jadi pecundang dengan mukul cewek?” tanya Daffa. Edgar menepis tangan Daffa yang sedari tadi memeganginya. Dan tanpa berkata apa-apa, dia memasuki kamarnya dan membanting pintu. Daffa menoleh ke arahku yang tengah ketar-ketir melihat Edgar hendak memukulku. Lalu ia tersenyum kepadaku hingga membuat lesung pipinya mengintip keluar. Wajahnya mirip sekali dengan Papanya. “Maafin Edgar
Read more

Bab 4 - Dia main ke kosan cewek?

“Eh, sorry Mba!” ucapnya santai. Entah sengaja atau tidak, orang ini benar-benar sangat tidak sopan! Ah, andai aku sedang tidak bekerja sekarang. Pasti sudah kumaki-maki orang ini! Kuambil kopi itu dan mencoba untuk tersenyum ramah, namun seketika kutarik kembali senyumku kala melihat pria yang berdiri dihadapanku kini. Dia adalah Edgar Mahendra, si pria mesum dengan mulut kotor! “Heh, cowok mesum! Bisa nggak sih lo sopan dikit sama orang?!” teriakku hingga membuat Hendra yang sedang menghitung stok menghampiri kami. “Siapa sih manajer di sini? Punya karyawan kok nggak sopan banget? Mau gue laporin ke manajer lo, terus lo dipecat?” “Gue nggak takut, tuh! Karena lo yang salah bukan gue!” sahutku berani. “Ada apa sih, Hul?” tanya Hendra. “Ini Mas, ada orang nggak sopan lempar-lempar barang ke aku,” sahutku sambil menunjuk-nunjuk Edgar. “Mas, tolong bilangin ya sama teman lo yang satu ini. Sopan sedikit sama pembe
Read more

Bab 5 - Persetujuan

“Mama! Ngapain Mama kesini?” “Mama nggak bisa tidur mikirin kamu ...” sahut Mama yang hanya mengenakan gaun tidurnya yang terbalut cardigan warna hitam.  Aku langsung membawa Mama masuk dan duduk di ruang tengah. Kuambilkan segelas air hangat untuk Mama. Sementara aku sengaja tidak membangunkan Dina karena takut mengganggu tidurnya. “Ya ampun, Ma! Mama naik apa ke sini?” tanyaku khawatir. “Tadi Mama naik ojek online. Mama kepikiran kamu terus jadi Mama nyusulin kamu aja ke sini.” “Ma, maafin Hulya ya. Karena udah bikin Mama khawatir.” Aku langsung menghambur ke dalam pelukannya. Mama balas memelukku. “Kamu nggak biasanya seperti ini. Kalo ada apa apa biasanya kamu bilang sama Mama, hiks ...” Mama mulai terisak, mendengar itu sungguh melukai hatiku. “Mama jangan nangis, Hulya nggak kenapa-napa kok, Ma!” “Besok, kita ke makam Papa ya nak ya? Hiks ...” Aku hanya bisa mengangguk menjawab ajaka
Read more

Bab 6 - Pernikahan

Om Harun langsung menghentikan tangannya ketika melihatku menghalangi tubuh Carel. “Hulya, ngapain kamu di sini?” tanya Om Harun dengan raut wajah terkejut. “Lo nggak usah ikut campur urusan keluarga ini, deh!” bisik Carel yang berada tepat di belakangku, namun tak kuhiraukan perkataannya. “Nggak, Om, please! Jangan pukul Kak Carel lagi. Dia tadi nggak salah, dia yang belain Hulya dari Edgar, Om!” seruku, dengan jantung berdegup. Antara takut dan kasihan melihat Carel. Berharap hal itu dapat membuat Om Harun sedikit tenang. Om Harun menatap datar ke arahku. Kemudian berkata, “Sebaiknya kamu cepat ke dalam dan temani Mamamu, Hulya.” Baru saja aku ingin menjawab perkataan Om Harun, Carel sudah mendorongku pelan hingga posisi tubuhku sedikit bergeser. Kemudian, ia berjalan perlahan ke arah Papanya itu. “Carel nggak akan pernah lupain kejadian itu, Pa. Bagi Carel, Edgar tetap penyebab Mama meninggal.” Carel mengucapkan itu dengan
Read more

Bab 7 - Teddy bear

“K-kak Daffa ...” Dapat kurasakan semua mata kini tertuju padaku. Sudah terlanjur malu, aku hanya bisa menyembunyikan wajahku di ketiak Daffa. Daffa membawaku ke ruangan yang digunakan untuk Mama dan Papa mengganti kostum . Ia mendudukkanku pada salah satu sofa. Kuperhatikan sekeliling, hanya ada kami di sini. “Lo gapapa, kan?” tanyanya yang duduk di sebelahku. Aku merapikan rambutku yang berantakan, “Sakit sih enggak, cuma malunya itu yang nggak bisa ditahan.” “Anak itu kalo udah iseng sama orang emang keterlaluan!” sahut Daffa dengan wajahnya yang serius. Aku balik menatapnya. “Kak, kayanya Edgar nggak suka banget ya sama Gue?” tanyaku mulai frustasi dengan tingkah Edgar. “Enggak, Hulya. Edgar kalo nggak suka sama orang pasti lebih milih cuek dan nggak akan bertingkah seperti itu," jelas Daffa. “Jadi, Edgar suka sama gue?” Kutatap wajah Daffa serius. Ia terkekeh ketika mendengar pertanyaanku. “Ya, belom tentu juga, si
Read more

Bab 8 - Hilang kesadaran

Aku tercengang mendengar ajakan Daffa. Kenapa tiba-tiba ia mengajakku jalan? Apa ia memiliki maksud lain? Ah, aku tidak akan pernah tahu jika tak menanyakannya langsung! “Eh, jalan? Kemana kak?” Aku mengernyitkan kening menatapnya. Ia yang kini berdiri dihadapanku, balas menatapku serius. “Ke cafe sekitaran sini aja. Gue mau bawa lo keliling, biar hapal daerah sini,” ajaknya. Aku mendesah lega mendengar jawaban darinya. Ternyata itu tujuannya, ah, Daffa memang pria yang baik. Beruntunglah yang akan menjadi pendamping hidupnya nanti. Sebenarnya aku ingin sekali menerima ajakan Daffa. Tapi aku ingat, nanti siang aku harus bekerja. Karena tidak mungkin aku harus ijin dari pekerjaanku hanya untuk pergi bersama Daffa. Bisa-bisa kepala tokoku marah-marah selama tujuh hari tujuh malam. “Aduh, kak. Maaf, gue nanti siang kerja,” tolakku secara halus agar tak menyinggung perasaannya. Ia mengangkat sebelah alisnya, “Kerja? Lo kerja di mana?”
Read more

Bab 9 - Serangan Panik

Aku mengerjapkan mata, nuansa putih menyambut indera penglihatanku dan aroma obat yang menusuk hidung membuatku sedikit mual. Kulihat sekelilingku, terdapat beberapa tempat tidur kosong tepat di samping kiri dan kananku. Tiba-tiba pandanganku terhenti, ketika kudapati sosok yang kubenci selama ini, ia duduk tepat disebelah tempat aku berbaring. “G-gue di mana?" gumamku. Aku melihat jarum infus lengkap dengan selangnya terpasang di punggung tanganku. “Lo nggak apa-apa, kan?” tanya si mesum ini sambil menatapku khawatir, ia bangkit dari kursinya untuk membantuku duduk bersandar. “Apanya yang nggak kenapa-napa! Pala gue sakit banget, nih!” keluhku. Kusentuh keningku yang tadi memar, sebuah perban sudah menempel di sana. Dan memar itu masih terasa berdenyut nyeri. Rasanya ngilu. “Ya, mana gue tau kalo lo punya anemia parah. Terus kata dokter, lo juga kena serangan panik ringan!” sahut Edgar sambil kembali duduk di kursinya.
Read more

Bab 10 - Posterku dirobek?

Hal itu membuatku terdiam seketika. Lalu, mereka kembali melanjutkan perkelahian mereka tanpa mempedulikan perkataanku. Carel kembali meninju wajah Edgar yang kebetulan sedang dipegangi oleh Daffa, hal itu dijadikan kesempatan oleh Carel untuk membalasnya. Sudut bibir Edgar mengeluarkan darah, tepat setelah bogem mentah dari Carel mendarat. Aku syok melihatnya, tiba-tiba, kepalaku kembali pusing, dan perutku terasa mual. Aku hampir oleng, namun dengan cepat aku memegang dinding yang ada di belakangku dan bersandar di sana. Apa benar ini namanya serangan panik? “Carel, stop, Carel!” bentak Daffa pada adiknya itu. Namun sepertinya perintah Daffa sia-sia karena Carel terus memukuli Edgar. Tak lama, Zayn yang baru pulang dari bekerja langsung berlari menghampiri mereka begitu melihat adik-adiknya sedang baku hantam. Ia memegangi tubuh Carel agar berhenti memukuli Edgar. “Carel, berenti, Rel!” teriak Zayn yang tak dipedulikan olehn
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status