Semua Bab Live With 4 Stepbrothers: Bab 51 - Bab 60

64 Bab

Bab 51 - Makasih, ya!

Dengan ragu aku sedikit memiringkan tubuhku membelakangi Edgar. Dan dengan perlahan, kuangkat baju bagian belakangku. Kini terpampanglah punggungku yang polos di hadapan Edgar.“Cepet kompres, kok diem?” tanyaku karena tak mendengar jawaban apa pun darinya. Sungguh, aku sangat malu sekarang!“Iya, punggung lo memarnya lumayan parah,” sahutnya kemudian.Perlahan kurasakan dingin dan ngilu di bagian punggungku kala Edgar mulai menempelkan handuk yang di dalamnya sudah terdapat es batu.“Ah, ngilu banget, Gar!” desisku sambil meremas ujung sprei.“Sssst! Ucapan lo ambigu banget, sih! Nanti kalo orang pikir kita aneh-aneh di sini gimana?” protesnya yang langsung membuatku terdiam.Memangnya ada yang salah dengan perkataanku?“Lo harus sering sering olesin obat dari dokter. Kalo nggak bisa, gue bisa bantu, kok!” ucapnya kemudian, tangannya masih sibuk mengompres bagian punggungku
Baca selengkapnya

Bab 52 - Nikah, yuk?

“Makasih, ya!” ucapku setelah melepaskan pagutan bibir kami.Kulihat Edgar tampak mematung ketika aku melakukan hal itu. Sedetik kemudian ia menyadarkan dirinya lalu menjauhkan kepalanya, ia menatapku tak percaya.“Udah berani nyosor nyosor? Ini di rumah loh!” tukasnya sambil menyentuh bibirnya yang baru saja bersentuhan dengan bibirku.“Kan nggak ada yang lihat!” jawabku santai. “Sudah, ah, gue mau tidur!”“Wah! Lo itu benar-benar nggak bisa ditebak, ya? Di kampus, lo jutek banget sama gue. Tapi sekarang? Lo nyosor duluan!” ocehnya yang membuatku pusing mendengarnya.“Lo cerewet banget, sih, jadi lo maunya gue jutekin lo terus gitu ya? Oke, gue kabulin!”“Eh, jangan!”“Mangkanya, jangan cerewet!”Edgar nampak terdiam memikirkan sesuatu. “Hulya ...” panggilnya.“Hmmm,” sahutku tanpa menoleh padanya.
Baca selengkapnya

Bab 53 - Kamar Hotel?

Sontak aku membulatkan mata mendengar ajakan Edgar yang sungguh di luar dugaanku. Kutatap mata sayu yang kini tengah menatapku. Tak kutemukan setitik kebohongan di sana, ia sepertinya sungguh-sungguh dengan apa yang diucapkannya barusan.“Lo bilang apa tadi? Nikah?” tanyaku mengulang perkataannya.Ia mengangguk. “Iya, sorry kalo waktunya nggak pas. Gue serius sama lo, Hulya. Dan gue janji akan lamar lo dengan cara yang tepat,” jawabnya.“Nggak!” tolakku tegas.Ia terkejut dan menatapku penuh tanda tanya. “K-kenapa?”“Gue butuh waktu, Gar. Lagi pula kita masih sama-sama kuliah, dan lo juga baru semester dua,” jawabku mencoba menjelaskan padanya.Ia berdiri mematung dan menatap kosong ke arahku.“Ini terlalu cepat, Gar. Gue mau ngejar impian gue dulu, dan gue juga mau liat lo jadi dokter hebat.”“Oke, kalo emang ini terlalu cepat menurut lo. Gu
Baca selengkapnya

Bab 54 - Kepergok

“Kenapa? Lo takut sama gue? Jangan takut, gue harus ngelakuin ini supaya lo mau nikah sama gue, dan Mama, Papa akan merestui kita, Hulya!” bisiknya dengan suara berat tepat di telingaku. Hembusan napasnya membuatku merinding seketika.Aku menggelengkan kepala dengan mata terpejam. “Nggak! Lo mau ngapain gue? Jangan macem-macem!” teriakku.“Lo nurut aja ya!” Edgar mengulurkan tangannya dan mengusap pipiku secara perlahan, hal itu membuatku bergidik ketakutan. Napasku tercekat, keringat dingin mulai membanjiri seluruh tubuhku.Aku takut!Kurasakan tangan Edgar mulai membuka kancing pakaianku satu persatu, ia menyeringai dengan tatapan lapar.“Edgar! Jangan!” teriakku sangat kencang.***“Hulya, bangun, Hulya!” Seseorang menggoyangkan tubuhku hingga membuatku membuka mata.Kuperhatikan sekeliling, dan aku baru sadar kalau aku masih ada di dalam bioskop dan ternyata film y
Baca selengkapnya

Bab 55 - Mencurigakan

“Gar! Mama sama Papa ngeliatin kita terus dari tadi!” bisikku pada Edgar.Edgar mengikuti arah pandanganku, dan begitu matanya beradu pandang dengan papa, ia langsung menunduk dan berusaha mengalihkan pandangan ke arah lain.“Mati gue!” gumamnya.Karena kejadian itu aku juga merasa jadi tak enak hati.Bagaimana jika Mama dan Papa berpikiran yang tidak tidak tentang kami?Bagaimana jika Mama dan Papa menentang hubungan ini dan malah membuat hubungan antara Edgar dan Mama menjadi renggang?“Hulya, Edgar! Ayo foto dulu!” panggil Zayn.Sontak aku dan Edgar segera menghampiri Zayn yang di mana sudah ada kedua saudaraku yang lain.“Mama sama Papa mana?” tanya Zayn seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tak lama kemudian Mama dan Papa menghampiri kami.“Ma, Pa! Ayo foto!” ucap Amanda.Kami pun mulai mengatur posisi. Aku berdiri tepat di sebelah Papa, sedang
Baca selengkapnya

Bab 56 - Kalian Pacaran?

“Maaf ya telat, kalian udah nunggu dari tadi, ya?”Sebuah suara seorang pria yang sangat kukenali, aku sedikit menggeser tubuhku agar dapat melihat ke arah pintu utama. Nampak Zayn baru saja masuk sambil menenteng sebuah kantong minimarket berwarna putih.“Halo, Hulya? Belom tidur?” tanya Zayn begitu ia melihat kehadiranku di ruangan ini.“Hehe, iya, Kak. Tadi habis ikut makan pizza. Kakak bawa apa, tuh?” tanyaku karena penasaran dengan isi kantong di tangan Zayn yang terlihat berat seperti berisi beberapa botol sirup atau apalah itu.“Ah, engga, ini cuma titipan mereka aja,” jawab Zayn sambil meletakkan kantong itu di lantai lalu duduk di sofa bergabung bersama Carel yang begitu kalem.“Minuman apaan, Kak?” tanyaku penasaran.Baru saja Zayn akan menjawab pertanyaanku, Edgar dengan cepat menarik tanganku dan membawaku masuk ke dalam kamar.“Udah, lo tidur sekarang, ya?
Baca selengkapnya

Bab 57 - Ketahuan, deh!

Sontak kami terkejut dengan pertanyaan Daffa yang begitu tiba-tiba.Aku dan Edgar saling pandang. Bingung, itulah yang kami rasakan saat ini. Apa yang harus kami katakan pada Daffa?“Kenapa diem? Jujur aja sama gue, gue udah curiga sebenernya dari kita masih di pulau itu,” tanya Daffa lagi hingga membuat kami tersadar dari lamunan kami.Daffa duduk bersandar pada tiang candi di belakangnya, pandangannya menatap lurus ke depan. Menatap indahnya pemandangan kota Djogjakarta dari atas sini.“Sini duduk, kalian bisa percaya sama gue, kok!” Daffa menepuk tempat kosong di sisi kiri dan kanannya.Aku dan Edgar akhirnya duduk di samping Daffa. Edgar duduk di sisi kiri, sedangkan aku di sisi kanan.“Sejak kapan?” tanya Daffa memulai pembicaraan.“Sejak di pulau itu,” jawab Edgar tertunduk lesu.Kini Daffa menatapku serius hingga membuat aku sedikit memundurkan kepalaku. Sungguh, hatiku ber
Baca selengkapnya

Bab 58 - Hujan dan mati listrik

Suara seorang pria tiba-tiba membuat aku dan Edgar terkejut. Sontak Edgar langsung menjauhkan dirinya dariku. Sementara aku segera bangkit dan terduduk.Kutatap sosok pria berambut gondrong yang berdiri mematung di depan pintu penghubung. Di tangannya tergantung sebuah kotak yang kutebak itu adalah kue.“Ck! Gue tau kalian lagi bucin, tapi bisa liat tempat, nggak? Gimana kalo yang dateng Mama atau Papa?” Ia menggeleng-gelengkan kepala.“Bang, kita nggak pernah punya waktu buat berdua. Mama dan Papa pasti curiga kalo kita berduaan terus!” kilah Edgar yang kini berdiri dan menatap sang kakak.“Gar, gue tau, kok. Tapi please, cari waktu dan tempat yang tepat. Kalian masih beruntung kali ini. Besok-besok gue nggak tau, dan nggak mau tau,” sahut Daffa sambil meletakkan kue di tangannya di atas meja tepat di sampingnya. “Hulya, ini kue pesanan lo. Tadi, kan, lo yang bilang langsung taro di meja aja.”
Baca selengkapnya

Bab 59 - Berita Mengejutkan

Dengan cepat kuambil gawaiku dan kunyalakan fitur senter. Segera aku keluar kamar untuk mencari Edgar. Di luar ternyata hujan semakin deras mengguyur, disertai petir yang bergemuruh dan kilat menyambar-nyambar di tengah gelapnya malam.“Gar? Lo di dalem, kan?” panggilku ketika aku sudah berdiri di ambang pintu kamarnya. Rasanya tadi aku sempat mendengar suaranya tengah bersenandung memasuki kamarnya.Lama aku menunggu, namun tak ada jawaban apa pun dari dalam kamar. Mungkin aku kurang keras memanggil dan mengetuk pintu kamarnya.Kucoba untuk mengetuk pintu itu lebih keras lagi. “Gar!” panggilku lagi atau lebih mirip dengan setengah berteriak.Tak berapa lama, terbukalah pintu kamarnya. Kuarahkan gawaiku ke wajahnya, terpampanglah sosok pria dengan piyama teddy bear berdiri di sana, piyama yang selalu membuatku tertawa jika mengingatnya. Dengan muka bantal ia menatapku, satu tangannya mengucek mata, persis seperti orang yan
Baca selengkapnya

Bab 60 - Tak ada waktu

Aku menatap serius pria berambut gondrong itu. Rasanya perkataan Daffa barusan tidak dapat kupercaya begitu saja. Bagaimana bisa Edgar merahasiakan hal sepenting ini dariku?“Jadi lo belum tahu?” Daffa terlihat salah tingkah, ada sedikit kekhawatiran di wajahnya. Mungkin dia merasa telah membocorkan rahasia adiknya itu.Aku menggeleng pelan. Pikiranku dipenuhi berbagai pertanyaan. Pokoknya aku harus menanyakan hal ini pada Edgar. Enak saja kalau ia tak memberitahuku rencana besarnya.“Hulya, sorry, ya. Gue kayaknya nggak seharusnya ngomong ini dulu sama lo,” sesal Daffa dengan wajah bersalah. Sementara aku hanya mengangguk, sambil mengatakan kalau aku baik-baik saja.Tiba-tiba listrik kembali menyala. Lampu ruangan di mana kami duduk sudah menyala dengan terang. Aku meminta izin pada Daffa untuk pergi ke kamar. Karena entah mengapa aku merasa moodku tiba-tiba memburuk.“Hulya, jangan pikirin masalah i
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1234567
DMCA.com Protection Status