Home / Romansa / Live With 4 Stepbrothers / Chapter 41 - Chapter 50

All Chapters of Live With 4 Stepbrothers: Chapter 41 - Chapter 50

64 Chapters

Bab 41 - Cemburu

Kupejamkan mata menikmati ciuman yang ia berikan. Ini adalah ciuman pertama yang kulakukan secara sadar dan tanpa unsur ketidaksengajaan. Dan semua itu kulakukan hanya dengannya, Edgar Mahendra.Perlahan ia melepaskan pagutannya. Sorot matanya memancarkan kasih yang teramat dalam. Selanjutnya, ia tersenyum padaku dan merengkuh tubuhku ke dalam pelukannya yang hangat.“Pada akhirnya, kita sama-sama kalah sama perasaan ini. Ternyata benar apa kata orang, cinta datang karena terbiasa,” ucapnya pelan masih dalam posisi memelukku.“Iya, kalo aja lo dulu nggak ngambil first kiss gue. Gue pasti nggak akan jatuh cinta sama lo kayak gini. Ternyata benar ya, benci dan cinta itu beda tipis.” Aku terkekeh sendiri tatkala mengingat awal pertemuanku dengannya.“Sumpah! Kejadian waktu itu gue bener-bener nggak sengaja!” Ia melepaskan pelukannya dan menatapku memelas. Aku hanya terkekeh, kemudian dengan cepat aku mengecup bibi
Read more

Bab 42 - Panas!

Mendengar suara Ningsih sontak aku langsung mendorong Edgar hingga jatuh ke atas ranjang. Dengan wajah memerah aku menatap Ningsih yang sepertinya tak kalah malunya denganku.“Nggak apa-apa kok, Ningsih!” jawabku sambil menahannya yang hendak pergi dari kamar ini.“Saya minta maaf banget, Mbak. Saya nggak tau kalo ada Mas Edgar juga di dalam.” Ia melepas cengkeraman tanganku di lengannya dan bergegas keluar.Kini tinggallah aku dan Edgar di dalam ruangan sempit ini. Edgar menatap tajam ke arahku seraya berdiri. Mungkin ia marah karena aku telah mendorongnya. Aku hanya bisa terkekeh meresponnya.“K-kita kayaknya jangan terlalu keliatan, deh!” ucapku.“Apanya? Bukannya mereka tahunya kita emang udah nikah?” tanyanya yang kini berdiri di hadapanku.“Pokoknya gue nggak mau kalo kita terlalu keliatan mesra banget. Lagian kita kan nggak pacaran!” jawabku asal.Kudengar ia terkekeh
Read more

Bab 43 - Kita akan pulang?

“Lo tunggu di sini!” perintahnya seraya meninggalkanku di ruangan ini sendirian. Lama aku menunggu, tiba-tiba ia datang dengan tergopoh-gopoh. Tubuhnya basah kuyup dan menggigil kedinginan. “Ini, lo minum jahe anget dulu. Biar enakan badannya.” Ia membantuku untuk bersandar dan memberikan segelas minuman hangat itu. Sepertinya ia kehujanan karena berlari dari sini ke rumah Pak K**i Kuraih gelas yang diulurkan olehnya dan meneguknya secara perlahan. Rasa pedas dan hangat dari jahe mulai menjalari tenggorokan dan perutku. “Enak! Siapa yang buat ini?” tanyaku parau. “Daffa, dia udah biasa buat ini ketika naik gunung,” jawab Edgar dengan mata yang tak hentinya menatapku hingga membuatku sedikit risih menerima tatapan darinya. “Awas ngeliatin mulu, nanti suka lagi!” seruku lemah. Ia terkekeh mendengar perkataanku. “Emang udah suka, kok. Terus mau apa?!” tanyanya manja. Mendengarnya menggodaku, kuedarkan pandanganku ke arah lain. Aku
Read more

Bab 44 - Kembali ke Jakarta

Samar-samar kudengar Edgar berkata bahwa kami akan pulang. Entah apa maksud perkataannya itu, aku tak dapat mendengar dengan jelas apa yang diucapkannya karena terlalu kesakitan pada kepalaku.Kurasakan Edgar membawa tubuhku menaiki sebuah kapal yang di dalamnya ada beberapa orang berseragam TNI. Mereka langsung membantu Edgar yang menggendongku.Edgar membawaku ke dalam kapal besar ini. Ia lalu membaringkan tubuhku di salah satu ranjang. Setelah membaringkanku, Edgar nampak berbicara pada seorang TNI. Lalu ia keluar bersama orang itu yang kutebak untuk menyelamatkan yang lainnya.Kulihat seorang pria menghampiriku dan memeriksa detak jantungku dengan menggunakan sebuah stetoskop.“Tarik napas, keluarin pelan-pelan,” perintahnya dengan suara yang sangat lembut. Aku menurut dan melakukan apa yang diperintahkannya.Usai melakukan itu, ia lalu memasang infus di punggung tanganku. Rasa nyeri ketika ia menusukkan jarum, sudah tak dapat kuras
Read more

Bab 45 - Mahasiswa Baru

Suster itu terhenti sebentar, hal itu membuat kami penasaran dengan apa yang akan ia katakan. “Operasinya berjalan lancar!” lanjutnya seraya tersenyum senang. Sontak kami bertiga langsung bernapas lega mendengar ucapannya. “Syukurlah ....” desah Edgar senang seraya menatapku yang juga tersenyum bahagia. Terima kasih, Tuhan. Kau telah mengabulkan doa kami. Kuharap Carel akan segera pulih dan bangkit dari semua cobaan ini. *** Dua minggu kemudian. Aku sudah kembali sehat setelah dua Minggu lamanya aku dirawat di rumah sakit. Edgar tak pernah meninggalkanku sekali pun selama aku di rawat. Ia yang merawatku dengan tulus. Walau terkadang, aku sering bertingkah menyebalkan di depannya. Tapi hal itu tak urung membuatnya jadi marah kepadaku. “Akak!” panggil seorang bocah laki-laki berusia tiga tahun, ketika aku keluar dari kamar. Bocah itu langsung memeluk kakiku yang terekspos karena mengenakan rok selutut. “Alles!” sa
Read more

Bab 46 - Marah

Pria dengan kemeja putih polos itu tampak tersenyum menanggapi gumamanku. Tunggu dulu, apa dia mendengar perkataanku? “Nggak apa-apa," ucapnya ramah. Aku berdiri mematung melihat respon dari pria tampan itu. Sungguh pria yang ramah dan lembut. Selanjutnya aku menuju lantai tiga untuk bergabung dengan mahasiswa baru. Menurut Edgar, akan ada sambutan dari kepala dewan Universitas untuk mahasiswa baru. Sebenarnya aku malas untuk ikut kegiatan ini. Tapi apalah daya, Papa pasti akan menanyaiku. Aku hanya tak ingin membuat Papa kecewa padaku. Tiba tiba terdengar ponselku berbunyi, ternyata Mama yang meneleponku. “Iya Ma?” “Hulya, ini ada wartawan telepon terus ke rumah nanyain kamu dan yang lainnya. Mereka bilang untuk diwawancara di acara tv,” ucap Mama dibalik telepon. “Duh, Hulya nggak mau kalo harus tampil di tv," sahutku. “Ya sudah, nanti Mama bilang Papa biar urus semua ini.” “Baik. Makasih, Ma!” Selalu
Read more

Bab 47 - Sudah Putus

Segera aku turun dari motor Tian dan menghampiri Edgar dengan perasaan marah. Kutendang pintu mobil di dimana ia duduk. Hingga akhirnya ia keluar dengan wajah yang sama marahnya sepertiku. Ia berdiri di hadapanku sekarang. “Edgar! Keluar lo! Maksud lo apa nabrak nabrakin mobil lo ke motor Tian?” hardikku. “Udah lo mending diem, terus ikut gue!” Edgar menarik lenganku dengan keras dan membawaku masuk ke dalam mobil. Sebelumnya ia melepas helm yang kukenakan dan melemparnya pada Tian. Aku terpaksa menurut. Dan kulihat ia sedang berbicara sesuatu pada Tian. Aku tidak tahu apa yang sedang ia bicarakan. Yang kulihat, Edgar memberikan sebuah kertas pada pria itu. Selanjutnya ia memasuki mobil dan melajukan mobilnya bersama aku yang sudah ada di dalamnya. Lama kami terdiam selama perjalanan, tiba tiba ia membuka suara. “Lo kenapa emosi banget, sih?” tanya Edgar dengan tatapan lurus ke depan, fokus mengemudi. “Ya, lo ngapain nabrakin mobil lo
Read more

Bab 48 - Jurit Malam (1)

Sore ini aku sudah berada di kampus untuk mengikuti kegiatan malam akrab atau yang biasa disebut dengan makrab. Dan sesuai pembicaraan tadi malam, Edgar harus ikut acara makrab ini agar aku dapat ikut.Dengan terpaksa, aku mengikuti perintah Papa dan Mama, padahal aku ingin menikmati masa masa menjadi maba di sini tanpa gangguan darinya.“Hulya!”Suara seorang pria yang sontak membuat aku dan Edgar yang tengah berjalan bersama menoleh. Ternyata itu Tian, ia melambaikan tangannya lalu secepat kilat berlari ke arah kami.“Mau ke aula bareng, nggak?” ucapnya dengan terengah-engah ketika sudah ada di hadapan kami.“Nggak!” Edgar menjawab dengan cepat lalu menuntun tanganku untuk memasuki kampus.Aku menahannya dan melepas genggaman tangannya. “Lepas!”Aku melihat keterkejutan di wajahnya kala aku menolaknya.“Gue mau ke kelas sama Tian, Gar!” ucapku sebelum ia membuka mulu
Read more

Bab 49 - Kerasukan

Aku, Tian, Monic dan dua orang teman kami yang beranama Riki dan Sinta akhirnya memasuki gedung fakultas kedokteran.Karena di kelompok kami ada dua orang pria dan tiga orang wanita, maka Tian yang memimpin dan Riki mengawasi dari belakang.“Semuanya, kalo ada yang liat bendera kasih tau ya!” seru Tian. Ia memegang senter dan mengarahkan ke lorong kampus yang gelap ini.“Oke!”Kami berjalan menyusuri lorong kampus, tepat di kiri dan kanan kami adalah ruang laboratorium dan ruang praktek kedokteran.Suasana di sini begitu sunyi dan gelap. Aura mencekam begitu terasa, dan kurasakan hawa dingin mulai menyergap tubuhku.“Lo ngerasa dingin gitu gak, sih?” tanyaku pada Sinta yang berjalan di sebelahku.Sinta hanya diam dan menggeleng pelan. Matanya menatap lurus ke depan, aku tak bisa dengan jelas melihat wajahnya karena gelap.Sedangkan, Monic berjalan bersama Tian di depan. Monic nampak bergelayu
Read more

Bab 50 - Kompres Es Batu

Sinta menundukkan kepalanya sambil tertawa cekikikan, persis seperti suara Mbak Kun. Kuberanikan diri mendekatinya diikuti dengan Edgar yang sudah bersiap di sebelahku.“Sin ...” ucapku tertahan kala Sinta tiba-tiba mengangkat kepalanya dan mendelik ke arahku.Aku menyurut mundur kala melihat mata Sinta yang hanya terlihat bagian putihnya itu.“Siapa kalian?! Kenapa kalian mengganggu di sini?!” ucap Sinta yang suaranya berubah menjadi berbeda dari sebelumnya.Edgar dengan cepat berdiri di depanku untuk melindungiku. “Semuanya, cepat keluar! Lapor sama Dian!” ucap Edgar panik.Kudengar Tian, Riki dan Monic segera berlari ke ujung lorong dan menuruni tangga. Sementara aku memilih tetap di belakang Edgar. Tidak mungkin aku meninggalkannya di sini bersama Sinta yang tengah kerasukan. Aku takut terjadi sesuatu pada keduanya.“Edgar! Kita harus cepet bawa Sinta turun. Gue takut dia kenapa-napa!” pani
Read more
PREV
1234567
DMCA.com Protection Status