Aku, Tian, Monic dan dua orang teman kami yang beranama Riki dan Sinta akhirnya memasuki gedung fakultas kedokteran.
Karena di kelompok kami ada dua orang pria dan tiga orang wanita, maka Tian yang memimpin dan Riki mengawasi dari belakang.
“Semuanya, kalo ada yang liat bendera kasih tau ya!” seru Tian. Ia memegang senter dan mengarahkan ke lorong kampus yang gelap ini.
“Oke!”
Kami berjalan menyusuri lorong kampus, tepat di kiri dan kanan kami adalah ruang laboratorium dan ruang praktek kedokteran.
Suasana di sini begitu sunyi dan gelap. Aura mencekam begitu terasa, dan kurasakan hawa dingin mulai menyergap tubuhku.
“Lo ngerasa dingin gitu gak, sih?” tanyaku pada Sinta yang berjalan di sebelahku.
Sinta hanya diam dan menggeleng pelan. Matanya menatap lurus ke depan, aku tak bisa dengan jelas melihat wajahnya karena gelap.
Sedangkan, Monic berjalan bersama Tian di depan. Monic nampak bergelayu
Sinta menundukkan kepalanya sambil tertawa cekikikan, persis seperti suara Mbak Kun. Kuberanikan diri mendekatinya diikuti dengan Edgar yang sudah bersiap di sebelahku.“Sin ...” ucapku tertahan kala Sinta tiba-tiba mengangkat kepalanya dan mendelik ke arahku.Aku menyurut mundur kala melihat mata Sinta yang hanya terlihat bagian putihnya itu.“Siapa kalian?! Kenapa kalian mengganggu di sini?!” ucap Sinta yang suaranya berubah menjadi berbeda dari sebelumnya.Edgar dengan cepat berdiri di depanku untuk melindungiku. “Semuanya, cepat keluar! Lapor sama Dian!” ucap Edgar panik.Kudengar Tian, Riki dan Monic segera berlari ke ujung lorong dan menuruni tangga. Sementara aku memilih tetap di belakang Edgar. Tidak mungkin aku meninggalkannya di sini bersama Sinta yang tengah kerasukan. Aku takut terjadi sesuatu pada keduanya.“Edgar! Kita harus cepet bawa Sinta turun. Gue takut dia kenapa-napa!” pani
Dengan ragu aku sedikit memiringkan tubuhku membelakangi Edgar. Dan dengan perlahan, kuangkat baju bagian belakangku. Kini terpampanglah punggungku yang polos di hadapan Edgar.“Cepet kompres, kok diem?” tanyaku karena tak mendengar jawaban apa pun darinya. Sungguh, aku sangat malu sekarang!“Iya, punggung lo memarnya lumayan parah,” sahutnya kemudian.Perlahan kurasakan dingin dan ngilu di bagian punggungku kala Edgar mulai menempelkan handuk yang di dalamnya sudah terdapat es batu.“Ah, ngilu banget, Gar!” desisku sambil meremas ujung sprei.“Sssst! Ucapan lo ambigu banget, sih! Nanti kalo orang pikir kita aneh-aneh di sini gimana?” protesnya yang langsung membuatku terdiam.Memangnya ada yang salah dengan perkataanku?“Lo harus sering sering olesin obat dari dokter. Kalo nggak bisa, gue bisa bantu, kok!” ucapnya kemudian, tangannya masih sibuk mengompres bagian punggungku
“Makasih, ya!” ucapku setelah melepaskan pagutan bibir kami.Kulihat Edgar tampak mematung ketika aku melakukan hal itu. Sedetik kemudian ia menyadarkan dirinya lalu menjauhkan kepalanya, ia menatapku tak percaya.“Udah berani nyosor nyosor? Ini di rumah loh!” tukasnya sambil menyentuh bibirnya yang baru saja bersentuhan dengan bibirku.“Kan nggak ada yang lihat!” jawabku santai. “Sudah, ah, gue mau tidur!”“Wah! Lo itu benar-benar nggak bisa ditebak, ya? Di kampus, lo jutek banget sama gue. Tapi sekarang? Lo nyosor duluan!” ocehnya yang membuatku pusing mendengarnya.“Lo cerewet banget, sih, jadi lo maunya gue jutekin lo terus gitu ya? Oke, gue kabulin!”“Eh, jangan!”“Mangkanya, jangan cerewet!”Edgar nampak terdiam memikirkan sesuatu. “Hulya ...” panggilnya.“Hmmm,” sahutku tanpa menoleh padanya.
Sontak aku membulatkan mata mendengar ajakan Edgar yang sungguh di luar dugaanku. Kutatap mata sayu yang kini tengah menatapku. Tak kutemukan setitik kebohongan di sana, ia sepertinya sungguh-sungguh dengan apa yang diucapkannya barusan.“Lo bilang apa tadi? Nikah?” tanyaku mengulang perkataannya.Ia mengangguk. “Iya, sorry kalo waktunya nggak pas. Gue serius sama lo, Hulya. Dan gue janji akan lamar lo dengan cara yang tepat,” jawabnya.“Nggak!” tolakku tegas.Ia terkejut dan menatapku penuh tanda tanya. “K-kenapa?”“Gue butuh waktu, Gar. Lagi pula kita masih sama-sama kuliah, dan lo juga baru semester dua,” jawabku mencoba menjelaskan padanya.Ia berdiri mematung dan menatap kosong ke arahku.“Ini terlalu cepat, Gar. Gue mau ngejar impian gue dulu, dan gue juga mau liat lo jadi dokter hebat.”“Oke, kalo emang ini terlalu cepat menurut lo. Gu
“Kenapa? Lo takut sama gue? Jangan takut, gue harus ngelakuin ini supaya lo mau nikah sama gue, dan Mama, Papa akan merestui kita, Hulya!” bisiknya dengan suara berat tepat di telingaku. Hembusan napasnya membuatku merinding seketika.Aku menggelengkan kepala dengan mata terpejam. “Nggak! Lo mau ngapain gue? Jangan macem-macem!” teriakku.“Lo nurut aja ya!” Edgar mengulurkan tangannya dan mengusap pipiku secara perlahan, hal itu membuatku bergidik ketakutan. Napasku tercekat, keringat dingin mulai membanjiri seluruh tubuhku.Aku takut!Kurasakan tangan Edgar mulai membuka kancing pakaianku satu persatu, ia menyeringai dengan tatapan lapar.“Edgar! Jangan!” teriakku sangat kencang.***“Hulya, bangun, Hulya!” Seseorang menggoyangkan tubuhku hingga membuatku membuka mata.Kuperhatikan sekeliling, dan aku baru sadar kalau aku masih ada di dalam bioskop dan ternyata film y
“Gar! Mama sama Papa ngeliatin kita terus dari tadi!” bisikku pada Edgar.Edgar mengikuti arah pandanganku, dan begitu matanya beradu pandang dengan papa, ia langsung menunduk dan berusaha mengalihkan pandangan ke arah lain.“Mati gue!” gumamnya.Karena kejadian itu aku juga merasa jadi tak enak hati.Bagaimana jika Mama dan Papa berpikiran yang tidak tidak tentang kami?Bagaimana jika Mama dan Papa menentang hubungan ini dan malah membuat hubungan antara Edgar dan Mama menjadi renggang?“Hulya, Edgar! Ayo foto dulu!” panggil Zayn.Sontak aku dan Edgar segera menghampiri Zayn yang di mana sudah ada kedua saudaraku yang lain.“Mama sama Papa mana?” tanya Zayn seraya mengedarkan pandangan ke sekeliling. Tak lama kemudian Mama dan Papa menghampiri kami.“Ma, Pa! Ayo foto!” ucap Amanda.Kami pun mulai mengatur posisi. Aku berdiri tepat di sebelah Papa, sedang
“Maaf ya telat, kalian udah nunggu dari tadi, ya?”Sebuah suara seorang pria yang sangat kukenali, aku sedikit menggeser tubuhku agar dapat melihat ke arah pintu utama. Nampak Zayn baru saja masuk sambil menenteng sebuah kantong minimarket berwarna putih.“Halo, Hulya? Belom tidur?” tanya Zayn begitu ia melihat kehadiranku di ruangan ini.“Hehe, iya, Kak. Tadi habis ikut makan pizza. Kakak bawa apa, tuh?” tanyaku karena penasaran dengan isi kantong di tangan Zayn yang terlihat berat seperti berisi beberapa botol sirup atau apalah itu.“Ah, engga, ini cuma titipan mereka aja,” jawab Zayn sambil meletakkan kantong itu di lantai lalu duduk di sofa bergabung bersama Carel yang begitu kalem.“Minuman apaan, Kak?” tanyaku penasaran.Baru saja Zayn akan menjawab pertanyaanku, Edgar dengan cepat menarik tanganku dan membawaku masuk ke dalam kamar.“Udah, lo tidur sekarang, ya?
Sontak kami terkejut dengan pertanyaan Daffa yang begitu tiba-tiba.Aku dan Edgar saling pandang. Bingung, itulah yang kami rasakan saat ini. Apa yang harus kami katakan pada Daffa?“Kenapa diem? Jujur aja sama gue, gue udah curiga sebenernya dari kita masih di pulau itu,” tanya Daffa lagi hingga membuat kami tersadar dari lamunan kami.Daffa duduk bersandar pada tiang candi di belakangnya, pandangannya menatap lurus ke depan. Menatap indahnya pemandangan kota Djogjakarta dari atas sini.“Sini duduk, kalian bisa percaya sama gue, kok!” Daffa menepuk tempat kosong di sisi kiri dan kanannya.Aku dan Edgar akhirnya duduk di samping Daffa. Edgar duduk di sisi kiri, sedangkan aku di sisi kanan.“Sejak kapan?” tanya Daffa memulai pembicaraan.“Sejak di pulau itu,” jawab Edgar tertunduk lesu.Kini Daffa menatapku serius hingga membuat aku sedikit memundurkan kepalaku. Sungguh, hatiku ber