Aku tercengang mendengar ajakan Daffa. Kenapa tiba-tiba ia mengajakku jalan? Apa ia memiliki maksud lain? Ah, aku tidak akan pernah tahu jika tak menanyakannya langsung!
“Eh, jalan? Kemana kak?” Aku mengernyitkan kening menatapnya. Ia yang kini berdiri dihadapanku, balas menatapku serius.
“Ke cafe sekitaran sini aja. Gue mau bawa lo keliling, biar hapal daerah sini,” ajaknya.
Aku mendesah lega mendengar jawaban darinya. Ternyata itu tujuannya, ah, Daffa memang pria yang baik. Beruntunglah yang akan menjadi pendamping hidupnya nanti.
Sebenarnya aku ingin sekali menerima ajakan Daffa. Tapi aku ingat, nanti siang aku harus bekerja. Karena tidak mungkin aku harus ijin dari pekerjaanku hanya untuk pergi bersama Daffa. Bisa-bisa kepala tokoku marah-marah selama tujuh hari tujuh malam.
“Aduh, kak. Maaf, gue nanti siang kerja,” tolakku secara halus agar tak menyinggung perasaannya.
Ia mengangkat sebelah alisnya, “Kerja? Lo kerja di mana?”
“Di jalan Sudirman, kak.”
Daffa nampak berpikir, “Jalan Sudirman bukannya jauh dari sini, ya?”
“Iya kak. Nanti gue naik motor aja.”
“Nggak usah, nanti gue anterin aja, ya!”
“Tapi, kak ...”
“Lo nggak boleh nolak pokoknya!” paksanya.
Dipaksa seperti itu membuatku tak bisa berkutik lagi. Dan mau tak mau akhirnya aku mengalah.
“Yaudah deh, kak!”
Kutinggalkan Daffa di kamarnya, karena barang-barang Daffa masih cukup banyak di atas. Setidaknya aku harus membantunya karena sudah mau memberikan kamarnya untukku. Tidak seperti si mesum keras kepala itu!
Saat aku menaiki tangga, aku melihat Edgar dibalik vas bunga berukuran besar yang berada tepat di depan kamar Daffa. Aku mengernyitkan kening, bingung. Posisinya persis seperti orang sedang bersembunyi.
Oh, mungkinkah ia menguping pembicaraanku dengan Daffa barusan?
Aku menghentikan langkahku menaiki anak tangga, kemudian berbalik menatap Edgar yang tengah kelimpungan karena aku menoleh ke arahnya.
“Ngapain lo di situ? Mending bantuin gue sini!” teriakku. Namun, ia tak menggubris dan malah berjalan ke halaman belakang. Aku hanya bisa mendengus kesal melihat kelakuannya. Sabar Hulya, sabar!
Akhirnya kembali kulangkahkan kakiku menaiki anak tangga. Tak berapa lama, Daffa datang menyusulku, dan kami pun melanjutkan pekerjaan itu hingga selesai. Sebenarnya, bisa saja Daffa menyuruh Mbok Minah atau Pak Udin. Tapi, Daffa bilang, pekerjaan mereka sudah banyak. Dan ia tak ingin menambah beban mereka, kasihan, sudah tua.
Usai memindahkan barang-barang Daffa, aku membereskan barangku sendiri. Kutempel dinding dengan poster-poster dari idol kesukaanku, dan kutata koleksi albumku di sebuah lemari kaca yang kebetulan ada di kamar ini. Ah, ini baru kamarku yang sesungguhnya!
***
Pukul dua siang, aku sudah siap untuk berangkat bekerja. Dan, saat ini aku sedang menunggu Daffa di ruang tamu lantai bawah. Daffa menghampiriku dengan terburu-buru, aku langsung berdiri melihat kedatangannya.
“Hulya, sorry. Gue nggak bisa nganter lo!” serunya, sambil menempelkan ponselnya di telinganya.
Aku menatapnya penasaran, sebenarnya ada apa, sih?
“Kenapa, kak? Kok kayaknya lo panik banget!”
Tubuhnya bergetar hebat, aku semakin bingung dibuatnya.
“Salma! Salma kecelakaan!” serunya panik, sambil terus menelepon seseorang.
Mendengar jawaban Daffa membuatku terdiam sesaat. Karena aku baru pertama kali mendengar nama itu meluncur dari mulutnya. Salma? Siapa Salma?
“Salma, cewek gue yang di Bogor, Hul!” lanjut Daffa seakan tahu apa yang ada dipikiranku.
“Astaga! Terus gimana keadaannya, kak? Cepet susulin!” sahutku yang juga ikut panik.
“Sorry banget ya, gue nggak bisa nganterin lo!” Daffa tampak merasa bersalah padaku, aku hanya mengangguk sambil menepuk-nepuk pundaknya.
“Nggak apa-apa, Kak! Yang penting lo ke rumah sakit dulu!”
Tiba-tiba, kami melihat Edgar berjalan ke arah pintu keluar dan melewati kami. Sontak Daffa langsung menahan tangan Edgar hingga membuat si mesum itu menoleh ke arahnya dengan penuh tanda tanya.
“Gar! Lo anter Hulya kerja dulu, gih!” perintahnya.
Edgar menatap sekilas ke arahku, “Ogah!”
“Please, Gar! Gue nggak bisa anter dia, kasian dia dari sini ke jalan Sudirman kan jauh banget.” Daffa terlihat memelas pada adiknya itu.
“Nggak usah, kak! Gue bisa naik ojek online dari sini,” sahutku. Jujur saja, aku merasa tak enak hati melihat Daffa sampai memohon seperti itu pada adiknya hanya demi aku.
“Pesan ojek online di sini lumayan lama dapetnya, Hul. Udah lo dianter Edgar aja. Gar, tolong anterin ya. Nanti gue beliin lo game konsol yang lo pengen banget itu, deh!”
Edgar terlihat tertarik dengan penawaran yang diberikan Daffa, ia menatap sang Kakak dengan antusias. “Beneran lo, ya?!”
Daffa mengangguk, “Tenang!”
Akhirnya Edgar setuju untuk mengantarku. Pria berkulit putih itu langsung berjalan menuju mobilnya yang terparkir di halaman rumah. Aku membuntutinya dari belakang bersama Daffa karena mobil Daffa berada tepat di samping mobil Edgar. Sebelum masuk ke mobil, Daffa sempat berbisik padaku.
“Nggak usah takut, dia nggak gigit kok!”
Hal itu membuatku terkekeh geli mendengarnya.
Tepat setelah aku duduk di sebelah si mesum ini. Ia langsung melajukan mobilnya dengan kecepatan penuh. Hingga membuat tubuhku sedikit terdorong ke belakang. Aku hanya bisa berdoa dalam hati sambil berpegangan pada sabuk pengamanku. Aku benar-benar takut sekarang! Orang ini pasti sengaja melakukannya! Ia ingin membunuhku!
Mobil yang dikendarai Edgar semakin kencang. Syukurlah jalanan di daerah sini cukup sepi. Namun, karena ketakutan berlebih itu, tiba tiba aku merasa kepalaku pusing, nafasku tercekat, perutku mual, dan kurasakan keringat dingin mengalir dari pelipisku.
“Heh! Stooop!” teriakku karena merasa jantungku akan melompat keluar dari tempatnya akibat ulah si mesum ini.
CKIIIIT!
JEDUG!
“Awh!” rintihku.
Karena Edgar mengerem mobilnya dengan mendadak. Hal itu mengakibatkan tubuhku yang tadinya terdorong kebelakang langsung terpelanting ke depan. Dan keningku membentur dashboard mobil dengan cukup keras. Jujur, ini terasa sangat sakit!
“Lo mau bunuh gue, ya?!” teriakku. Kupandangi keningku pada spion tengah, ada bekas kebiruan di sana, akibat dari benturan itu.
“Tadi lo bilang berenti, ya gue berenti beneran, lah,” sahutnya tanpa merasa bersalah.
Ayolah, Edgar. Yang kubutuhkan hanyalah kata maaf darimu, bukan pembelaanmu!
“Ya, engga usah mendadak gitu. Jidat gue nih memar gara-gara lo!” tukasku kesal.
“Ya suruh siapa punya badan kurus sampe-sampe nggak ketahan sama sabuk pengaman,” cibirnya sambil melajukan mobilnya kembali.
"Ya lo-nya aja yang bawa mobilnya kayak orang kesetanan! Pelan-pelan aja lo, kalo nggak, gue laporin Papa!" peringatku. Ia tak menggubris.
Selama dalam perjalanan ini, kami tak berkata sepatah kata pun. Selain aku malas untuk berdebat lagi dengannya, aku juga merasa kepalaku sangat sakit dan pusing. Dan aku juga merasakan perutku sangat mual. Apa yang terjadi dengan diriku?
Satu jam kemudian, kami sampai di minimarket. Edgar memperhatikan gerak-gerik tubuhku yang terlihat tak biasa. Ya, aku memang agak terhuyung-huyung begitu turun dari mobil. Hingga ketika aku melangkahkan kakiku beberapa langkah, tubuhku ambruk ke tanah dengan terduduk. Aku merasa tak bertenaga, dan semuanya seakan berputar.
“Woy, Hulk! Lo kenapa?”
Terdengar suara Edgar di telingaku. Namun kepalaku terlampau pusing dan sakit, sehingga aku memilih tak menggubrisnya .
Kurasakan tubuhku diangkat oleh seseorang. Meski berat, kucoba membuka mataku. Dan betapa terkejutnya aku ketika melihat wajah Edgar tepat di depan penglihatanku. Rupanya ia yang mengangkat tubuhku.
Dengungan di telingaku semakin keras, kepalaku rasanya sakit sekali, seperti ada ribuan paku yang menusuk, aku hanya bisa meringis kesakitan dalam gendongan Edgar.
Samar-samar kulihat wajah Edgar. Ia menyeringai padaku. Lalu, semuanya menjadi gelap.
Aku mengerjapkan mata, nuansa putih menyambut indera penglihatanku dan aroma obat yang menusuk hidung membuatku sedikit mual. Kulihat sekelilingku, terdapat beberapa tempat tidur kosong tepat di samping kiri dan kananku. Tiba-tiba pandanganku terhenti, ketika kudapati sosok yang kubenci selama ini, ia duduk tepat disebelah tempat aku berbaring. “G-gue di mana?" gumamku. Aku melihat jarum infus lengkap dengan selangnya terpasang di punggung tanganku. “Lo nggak apa-apa, kan?” tanya si mesum ini sambil menatapku khawatir, ia bangkit dari kursinya untuk membantuku duduk bersandar. “Apanya yang nggak kenapa-napa! Pala gue sakit banget, nih!” keluhku. Kusentuh keningku yang tadi memar, sebuah perban sudah menempel di sana. Dan memar itu masih terasa berdenyut nyeri. Rasanya ngilu. “Ya, mana gue tau kalo lo punya anemia parah. Terus kata dokter, lo juga kena serangan panik ringan!” sahut Edgar sambil kembali duduk di kursinya.
Hal itu membuatku terdiam seketika. Lalu, mereka kembali melanjutkan perkelahian mereka tanpa mempedulikan perkataanku. Carel kembali meninju wajah Edgar yang kebetulan sedang dipegangi oleh Daffa, hal itu dijadikan kesempatan oleh Carel untuk membalasnya. Sudut bibir Edgar mengeluarkan darah, tepat setelah bogem mentah dari Carel mendarat. Aku syok melihatnya, tiba-tiba, kepalaku kembali pusing, dan perutku terasa mual. Aku hampir oleng, namun dengan cepat aku memegang dinding yang ada di belakangku dan bersandar di sana. Apa benar ini namanya serangan panik? “Carel, stop, Carel!” bentak Daffa pada adiknya itu. Namun sepertinya perintah Daffa sia-sia karena Carel terus memukuli Edgar. Tak lama, Zayn yang baru pulang dari bekerja langsung berlari menghampiri mereka begitu melihat adik-adiknya sedang baku hantam. Ia memegangi tubuh Carel agar berhenti memukuli Edgar. “Carel, berenti, Rel!” teriak Zayn yang tak dipedulikan olehn
Apa? Liburan di kapal pesiar? Serius? “Itu ide yang bagus, Mas. Apa kita perlu ikut bersama mereka?” Suara Mama terdengar lagi. “Tidak, biarkan mereka menikmati waktu mereka sendiri,” sahut Papa. “Tapi, bagaimana kalau mereka berkelahi di sana?” Mama. “Tidak akan, karena aku akan memberikan suatu ancaman pada mereka.” Perlahan, aku mendengar langkah kaki berjalan keluar dari kamar Mama dan Papa. Tidak, itu pasti Papa! Sontak aku langsung berbalik arah dan berpura-pura menaiki tangga. Kuurungkan niatku untuk ke halaman belakang, dan memilih untuk ke kamarku saja. Di kamar, aku memikirkan percakapan Mama dan Papa barusan. Jadi, kami akan liburan di kapal pesiar? Sungguh! Aku belum pernah naik kapal pesiar, bahkan melihatnya saja aku belum pernah. Ini pasti akan menjadi pengalaman paling menyenangkan yang pernah kualami selama hidupku! *** Hari sudah siang, aku sedang bersantai di kamar. Rumah terasa tenang
Sebuah suara membuat kami menghentikan langkah kami. Aku ingat betul, suara itu milik siapa. Aku membalikkan badan dan berjalan perlahan ke arah Edgar dan Zayn. Melihatku berjalan mendekat, mereka langsung berdiri. Aku berdiri dihadapan orang yang menyindirku, lalu melayangkan tatapan tajam padanya. “Edgar Mahendra. Gue udah pernah bilang sama lo, kalo gue emang mau rebut harta Papa. Bukankah ini semua udah jelas buat ngebuktiin maksud gue?” Aku menyeringai, ia bergidik melihat seringaian dariku. Sementara Zayn hanya memperhatikan dengan kedua tangan terlipat di depan dada. “Berani-beraninya lo ngomong gitu di depan gue!” bentak Edgar, tangannya sudah melayang di udara. Aku mendongakkan kepala, menantangnya. Sedangkan, Mama langsung berlari ke arahku kala melihat Edgar mengangkat tangannya, sementara Zayn sengaja mendiamkannya. Edgar berhenti beberapa detik, kemudian mengepalkan tangannya dan mengurungkan niatnya. Apa ini? Dia tidak ja
Aku menatap Papa dengan penuh tanda tanya. “Pa, apa maksudnya ini? Kenapa Hulya dibawa-bawa?” tanyaku. Kulihat Papa hanya tersenyum tanpa sepatah kata pun. Aneh, apa sih yang ada dipikiran Papa sekarang? “Pa, apa Daffa boleh ajak Salma?” timpal Daffa. Papa menggeleng pelan. “Tidak ada yang boleh membawa orang luar. Ini adalah acara khusus keluarga kita.” “Lalu, apa Papa dan Tante ikut?” sahut Edgar. Apa katanya? Tante?! “Edgar! Sopan sedikit sama Mamamu! Jangan panggil Mama dengan sebutan Tante lagi!” marah Papa. Namun Edgar tak menanggapi dan malah memainkan ponselnya. Papa hanya mendengus kesal melihat kelakuan putra bungsunya. Benar-benar anak yang tidak sopan pada orang tua! Lalu Papa melanjutkan, “Dan untuk Edgar dan Carel, Papa harap kalian tidak berkelahi di sana. Jika Papa menerima laporan kalau kalian berkelahi, maka penawaran itu akan batal.” Kulihat Edgar dan dan Carel tampak terdiam mendengar
Aku langsung menatapnya serius, ia tertawa kecil kala melihat wajahku. Memang ada yang lucu? “Iih! Serius Kak. Gue penasaran banget kenapa Edgar sama Carel sering berantem?” sahutku sebal. “Mau tau banget apa mau tau aja?” godanya. Mendengarnya berkata seperti itu, membuatku teringat si mesum ketika mengucapkan kata yang sama. “Ah, nyebelin!” tukasku. Kutinggalkan Daffa di sana dan langsung masuk ke kamarku. Sengaja aku membanting pintu dengan keras. Biar saja, memangnya dia pikir ini semua lucu! Kuambil laptop dan speaker portabel yang tergeletak di atas nakas yang ada di samping tempat tidurku. Lalu, kubawa ke atas ranjang, kuhubungkan kabel speaker itu pada laptop. Setelahnya, aku tidur tengkurap dan menyalakan laptopku. Huh, aku sudah terlanjur kesal dengan Daffa, lebih baik aku menonton tayangan ulang konser idola kesayanganku. Setidaknya mereka bisa membuat moodku membaik. Video
Setelah kapal ini mulai menjauh, aku dan Daffa memasuki kapal mewah ini. Sementara Edgar dan Carel sudah menghilang entah kemana. Aku baru tahu kalau kapal pesiar ini memiliki banyak lantai atau dek layaknya gedung bertingkat. Kamar kami tepat berada di dek tujuh, sedangkan tempat kami memasuki kapal adalah dek sepuluh, jadi kami harus menaiki lift untuk dapat turun ke dek tujuh. Setelah kami sampai di dek tujuh, kami melewati sebuah lorong. Tepat di sisi kiri dan kanan kami terdapat pintu yang berjejer sampai ujung lorong. Ruangan di dalam pintu itu adalah sebuah kamar. “Kamar nomor 725,” ucapku ketika menemukan nomor kamarku. Aku menoleh ke sebelahku, ternyata kamar Daffa tepat berada di depan kamarku. “Nanti ketemuan di dek sepuluh aja ya. Gue mau mandi dulu, belom mandi, nih,” ucap Daffa yang sudah membuka pintu kamarnya. Aku hanya mengangguk. Kubuka pintu kamar setelah kutempelkan sebuah kartu di dekat kenop pintu, lalu p
Tubuhku tercebur ke dalam kolam. Tanganku berusaha meraih-raih ke atas namun tidak bisa. Kurasakan tubuhku semakin masuk ke dasar kolam, rasanya seperti ada sesuatu yang menarik tubuhku. Kucoba untuk menghentak-hentakan kaki, dan menggerakkan tanganku sekuat tenaga untuk dapat kembali ke permukaan. Pasokan oksigenku habis, kurasakan air dari kolam ini memasuki hidung dan mulutku. Karena terlalu banyak bergerak, hal itu membuat tubuhku menjadi lemas. Tuhan, mungkinkah ini saatnya aku pergi? Kurasakan tubuhku sudah tak bisa digerakkan lagi, namun, samar-samar kulihat seseorang di dalam air. Ia langsung meraih tubuhku ke dalam dekapannya. Sebelum kami sampai ke permukaan, kurasakan semuanya menjadi gelap. *** “Uhuk-uhuk!” aku terbatuk kala seseorang menekan dadaku. Lalu kumuntahkan semua air yang masuk ke dalam tubuhku. Dan, saat kumembuka mata, yang pertama kulihat adalah wajah Edgar. Ia menatapku dengan khawatir sambil menepuk-nepuk pip
Aku tersentak kaget mendengar suara teriakan dari dalam kamar mandi.Sontak aku langsung membalikkan tubuhku, takut melihat sesuatu yang seharusnya tak kulihat. Cukup lama aku terdiam dalam posisi yang sama, hingga akhirnya kudengar suara perempuan dari arah kamar mandi.“How dare you?! Main buka pintu toilet seenaknya! Where’s your attitude!” hardiknya galak.Aku membalikkan tubuhku untuk mengetahui sosok yang sedang memarahiku ini. Hingga ketika aku bertatapan dengannya, aku terkejut karena ada wanita seusiaku di hadapanku dengan hanya terbalut piyama mandinya. Rambut wanita itu berwarna blonde dan basah.“Lo siapa?” tanyaku heran.“Lo tanya gue siapa? Ini rumah gue, lo yang siapa!” sahutnya dengan logat ala kebarat-baratan.“Hah? Rumah lo? Maksudnya lo itu Sheryl anaknya Tante Rachel dan Om Gideon?” tanyaku terkejut bukan main.Dia melotot ke arahku. “Iya, gue Sheryl! Kenapa?”Seketika aku terkekeh mendengar jawabannya. Jadi dia betulan Sheryl? Astaga! Dia sudah besar sekarang. Dul
Aku terdiam seribu bahasa begitu mendengar rencana Papa.Menjodohkan Hulya dengan pria lain?Apa Papa benar-benar tidak peduli dengan perasaanku?Aku mengerti jika hubungan kami adalah hubungan yang terlarang. Namun, tak bisakah Papa memberikan sedikit saja waktu untuk kami?Kutatap pria baya itu dengan mata memerah menahan kesal. “Edgar tidak bisa melihat Hulya bersama dengan pria lain, Pa,” ucapku terbata.“Kalau begitu kau yang harus pergi, Edgar. Bukan Papa tidak peduli dengan perasaanmu. Papa hanya mencegah semuanya terlambat dan menjadi terlalu dalam,” jelas Papa, aku terdiam.Papa menepuk pundakku dengan lembut. “Percayalah ini semua Papa lakukan demi kebaikanmu.”Usai mengatakan hal tu, Papa memintaku untuk meninggalkan kamarnya. Ia bilang ia akan membicarakan hal ini dengan Mama.Dengan langkah gontai aku keluar dari kamar kedua orang tuaku. Kulangkahkan kakiku menaiki anak tangga menuju kamarku. Tepat ketika aku sampai di lantai dua, kulihat Hulya sedang berdiri di balkon, m
POV Edgar Aku adalah Edgar Mahendra. Anak bungsu dari empat bersaudara. Awalnya kami adalah keluarga yang tak terlalu dekat. Kami jarang sekali berinteraksi satu sama lain. Kami berbicara jika hanya ada perlu saja. Itu semua terjadi karena anggota keluarga sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Suatu hari, aku mengalami sebuah insiden tak terduga. Aku dituduh telah mencuri ciuman pertama seorang wanita yang bahkan aku sendiri tidak mengenalnya. Kejadian itu tak disengaja. Saat itu aku baru saja dari minimarket untuk membeli sebuah kopi kaleng. Aku tak tahu kalau di depanku ada dua orang karyawan wanita sedang berjalan karena aku terlalu sibuk dengan gawaiku. Hingga tiba-tiba salah satu dari mereka membalikkan badan dengan cepat dan menubruk diriku. Aku yang tak dapat menghindar tiba-tiba saja ditubruk seperti itu olehnya. Aku terjengkang ke belakang, dan tubuh wanita itu menindih tubuhku. Dan, yang paling membuatk
“Kamu jangan macem-macem, Gar!” ucap Papa pada Edgar melalui sambungan telepon. Kami yang berada di ruangan itu sontak menatap ke arah Papa dengan penuh tanda tanya.“Sekarang kamu pulang!” ucap Papa lagi kali ini dengan nada sedikit membentak. Papa selanjutnya mematikan sambungan teleponnya dengan Edgar. Seketika semua menjadi hening, tak ada yang berani bertanya kecuali Mama.“Mas, ada apa?” tanya Mama yang kini berdiri dan menghampiri Papa yang masih terlihat kesal.“Edgar, dia bilang ....” Papa sempat melirik sekilas ke arahku yang menatapnya, namun dengan cepat ia mengalihkan pandangannya. “Nggak, nanti aja kita bicarakan sama anaknya.”Papa dan Mama akhirnya meninggalkan kami. Mereka menuju ke kamar untuk membicarakan sesuatu. Sungguh, aku benar-benar penasaran dengan apa yang mereka bicarakan. Tatapan Papa tadi seolah-olah mengintimidasiku. Aku yakin, pasti obrolan tadi dengan Edgar ada hu
Aku menatap serius pria berambut gondrong itu. Rasanya perkataan Daffa barusan tidak dapat kupercaya begitu saja. Bagaimana bisa Edgar merahasiakan hal sepenting ini dariku?“Jadi lo belum tahu?” Daffa terlihat salah tingkah, ada sedikit kekhawatiran di wajahnya. Mungkin dia merasa telah membocorkan rahasia adiknya itu.Aku menggeleng pelan. Pikiranku dipenuhi berbagai pertanyaan. Pokoknya aku harus menanyakan hal ini pada Edgar. Enak saja kalau ia tak memberitahuku rencana besarnya.“Hulya, sorry, ya. Gue kayaknya nggak seharusnya ngomong ini dulu sama lo,” sesal Daffa dengan wajah bersalah. Sementara aku hanya mengangguk, sambil mengatakan kalau aku baik-baik saja.Tiba-tiba listrik kembali menyala. Lampu ruangan di mana kami duduk sudah menyala dengan terang. Aku meminta izin pada Daffa untuk pergi ke kamar. Karena entah mengapa aku merasa moodku tiba-tiba memburuk.“Hulya, jangan pikirin masalah i
Dengan cepat kuambil gawaiku dan kunyalakan fitur senter. Segera aku keluar kamar untuk mencari Edgar. Di luar ternyata hujan semakin deras mengguyur, disertai petir yang bergemuruh dan kilat menyambar-nyambar di tengah gelapnya malam.“Gar? Lo di dalem, kan?” panggilku ketika aku sudah berdiri di ambang pintu kamarnya. Rasanya tadi aku sempat mendengar suaranya tengah bersenandung memasuki kamarnya.Lama aku menunggu, namun tak ada jawaban apa pun dari dalam kamar. Mungkin aku kurang keras memanggil dan mengetuk pintu kamarnya.Kucoba untuk mengetuk pintu itu lebih keras lagi. “Gar!” panggilku lagi atau lebih mirip dengan setengah berteriak.Tak berapa lama, terbukalah pintu kamarnya. Kuarahkan gawaiku ke wajahnya, terpampanglah sosok pria dengan piyama teddy bear berdiri di sana, piyama yang selalu membuatku tertawa jika mengingatnya. Dengan muka bantal ia menatapku, satu tangannya mengucek mata, persis seperti orang yan
Suara seorang pria tiba-tiba membuat aku dan Edgar terkejut. Sontak Edgar langsung menjauhkan dirinya dariku. Sementara aku segera bangkit dan terduduk.Kutatap sosok pria berambut gondrong yang berdiri mematung di depan pintu penghubung. Di tangannya tergantung sebuah kotak yang kutebak itu adalah kue.“Ck! Gue tau kalian lagi bucin, tapi bisa liat tempat, nggak? Gimana kalo yang dateng Mama atau Papa?” Ia menggeleng-gelengkan kepala.“Bang, kita nggak pernah punya waktu buat berdua. Mama dan Papa pasti curiga kalo kita berduaan terus!” kilah Edgar yang kini berdiri dan menatap sang kakak.“Gar, gue tau, kok. Tapi please, cari waktu dan tempat yang tepat. Kalian masih beruntung kali ini. Besok-besok gue nggak tau, dan nggak mau tau,” sahut Daffa sambil meletakkan kue di tangannya di atas meja tepat di sampingnya. “Hulya, ini kue pesanan lo. Tadi, kan, lo yang bilang langsung taro di meja aja.”
Sontak kami terkejut dengan pertanyaan Daffa yang begitu tiba-tiba.Aku dan Edgar saling pandang. Bingung, itulah yang kami rasakan saat ini. Apa yang harus kami katakan pada Daffa?“Kenapa diem? Jujur aja sama gue, gue udah curiga sebenernya dari kita masih di pulau itu,” tanya Daffa lagi hingga membuat kami tersadar dari lamunan kami.Daffa duduk bersandar pada tiang candi di belakangnya, pandangannya menatap lurus ke depan. Menatap indahnya pemandangan kota Djogjakarta dari atas sini.“Sini duduk, kalian bisa percaya sama gue, kok!” Daffa menepuk tempat kosong di sisi kiri dan kanannya.Aku dan Edgar akhirnya duduk di samping Daffa. Edgar duduk di sisi kiri, sedangkan aku di sisi kanan.“Sejak kapan?” tanya Daffa memulai pembicaraan.“Sejak di pulau itu,” jawab Edgar tertunduk lesu.Kini Daffa menatapku serius hingga membuat aku sedikit memundurkan kepalaku. Sungguh, hatiku ber
“Maaf ya telat, kalian udah nunggu dari tadi, ya?”Sebuah suara seorang pria yang sangat kukenali, aku sedikit menggeser tubuhku agar dapat melihat ke arah pintu utama. Nampak Zayn baru saja masuk sambil menenteng sebuah kantong minimarket berwarna putih.“Halo, Hulya? Belom tidur?” tanya Zayn begitu ia melihat kehadiranku di ruangan ini.“Hehe, iya, Kak. Tadi habis ikut makan pizza. Kakak bawa apa, tuh?” tanyaku karena penasaran dengan isi kantong di tangan Zayn yang terlihat berat seperti berisi beberapa botol sirup atau apalah itu.“Ah, engga, ini cuma titipan mereka aja,” jawab Zayn sambil meletakkan kantong itu di lantai lalu duduk di sofa bergabung bersama Carel yang begitu kalem.“Minuman apaan, Kak?” tanyaku penasaran.Baru saja Zayn akan menjawab pertanyaanku, Edgar dengan cepat menarik tanganku dan membawaku masuk ke dalam kamar.“Udah, lo tidur sekarang, ya?