Aku langsung menatapnya serius, ia tertawa kecil kala melihat wajahku. Memang ada yang lucu?
“Iih! Serius Kak. Gue penasaran banget kenapa Edgar sama Carel sering berantem?” sahutku sebal.
“Mau tau banget apa mau tau aja?” godanya.
Mendengarnya berkata seperti itu, membuatku teringat si mesum ketika mengucapkan kata yang sama.
“Ah, nyebelin!” tukasku.
Kutinggalkan Daffa di sana dan langsung masuk ke kamarku. Sengaja aku membanting pintu dengan keras. Biar saja, memangnya dia pikir ini semua lucu!
Kuambil laptop dan speaker portabel yang tergeletak di atas nakas yang ada di samping tempat tidurku.
Lalu, kubawa ke atas ranjang, kuhubungkan kabel speaker itu pada laptop. Setelahnya, aku tidur tengkurap dan menyalakan laptopku.
Huh, aku sudah terlanjur kesal dengan Daffa, lebih baik aku menonton tayangan ulang konser idola kesayanganku. Setidaknya mereka bisa membuat moodku membaik.
Video mulai berputar, opening yang sungguh keren terpampang di depan mataku.
“Kyaaa! Oppaaa!” teriakku ketika konser itu di awali oleh member kesukaanku.
Tampak di layar, idolaku yang bernama Taehyung sedang menari dengan begitu enerjik. Taehyung sangat tampan mengenakan kemeja putih dengan tiga buah kancing atas yang terbuka, sehingga menampilkan dada bidangnya yang terpampang indah.
‘Dia mirip banget sama gue, ya?’ Tiba-tiba terlintas dalam pikiranku perkataan Edgar waktu itu.
Aku segera membuang pikiran itu jauh-jauh. Namun, entah kenapa, pikiranku selalu tertuju padanya. Fokus! Fokus!
Aku benar-benar sudah gila jika mengakui si mesum itu mirip dengan Taehyungku.
Tiba-tiba terdengar suara ketukan pada pintu kamarku, diiringi teriakan seorang pria dari luar.
“Woy berisik! Kecilin!”
Tak kuhiraukan teriakan itu, huh! Biar saja, aku tak peduli, aku sedang serius melihat idola kesayanganku!
Aku sengaja makin memperbesar volume laptopku hingga kini di kamarku terasa seperti sedang ada konser musik sungguhan.
“Woy! Lo budek, ya?!” teriaknya lagi. Namun aku masih tak bergeming dari tempatku.
Masa bodo dengannya, yang terpenting aku sedang menikmati penampilan idolaku, dan itu membuatku senang. Terserah, mereka akan mengadu pada Papa, aku tak peduli!
Tiba-tiba seseorang mengambil laptopku, aku langsung mendongak, ternyata itu Edgar!
Ia menutup laptopku lalu mengangkatnya tinggi-tinggi di atas kepala, hal itu membuat speaker yang masih terhubung dengan laptop bergelantungan. Aku segera berdiri dan berusaha meraihnya.
“Balikin laptop gue, Edgar!” teriakku sambil melompat-lompat meraihnya. Namun, karena tubuh Edgar yang tinggi itu, aku kesulitan mengambilnya.
“Gue udah bilang kecilin, ya kecilin! Malah makin digedein volumenya!” ketus Edgar. Aku memalingkan wajah dengan cemberut.
“Terserah gue dong!” balasku tak kalah ketus.
“Oke, kalo gitu laptop lo gue ambil!” Edgar mencabut kabel speaker dan melemparnya ke atas kasur. Ia lalu keluar sambil membawa laptopku.
“Heh, tunggu itu laptop gue mau dibawa kemana!” teriakku sambil mengikutinya.
Edgar tak menghiraukanku dan dengan cepat masuk ke kamarnya. Tepat sebelum aku sampai di depan pintu kamarnya, ia langsung menguncinya rapat-rapat.
Kugedor pintu kamarnya dengan keras.
“Woy balikin laptop gue!”
Namun, Edgar tak menjawab dan tetap di dalam kamarnya.
“Gue bilangin Papa, lo!” ancamku.
Tak lama, Zayn muncul dari arah tangga, ia baru pulang kerja. Ia menuju kamarnya yang ada di sebelah kamarku. Tangannya sudah memegang kenop pintu, namun sebelum ia memutarnya, ia menoleh ke arahku yang sedari tadi memperhatikannya.
“Bisa nggak sehari aja jangan bikin keributan di rumah ini?” ucapnya dingin, lalu langsung masuk ke kamarnya dan membanting pintu.
Mendengar itu membuatku terdiam seketika. Dari nada suaranya, ia terdengar begitu membenciku. Apa salahku hingga diperlakukan seperti ini olehnya?
Dengan hati yang terluka, aku kembali ke kamarku dan berbaring di atas ranjang. Kutatap langit-langit kamar sambil merenungi perkataan Zayn barusan.
Sedih? Memang! Setahuku, aku dan Zayn tidak pernah terlibat pembicaraan. Jika aku mengajaknya berbincang, ia selalu dingin dan ketus kepadaku. Lalu, aku harus apa agar ia menjadi baik padaku?!
***
Tak terasa waktu berlalu. Esok adalah keberangkatan kami berlibur di kapal pesiar. Papa bilang, kami tak perlu memikirkan apa pun selama di sana. Ia meminta kami untuk bersenang-senang menikmati waktu tanpa orang tua.
Sebenarnya ini pertama kalinya bagiku berada jauh dari Mama dalam waktu yang cukup lama. Aku pasti akan sangat merindukan Mama di sana.
Aku ingin Mama dan Papa juga ikut, tapi mereka bilang, mereka akan berlibur berdua setelah kami kembali dari kapal pesiar. Ah, baiklah, Mama dan Papa memang belum berbulan madu sejak mereka menikah. Hal itu disebabkan karena kesibukkan Papa.
Aku mulai mengemasi barang-barangku dengan dibantu Mama.
“Ini mau dibawa?” tanya Mama ketika melihat piyama tidurku yang telah usang. Aku terdiam, tidak banyak baju yang kumiliki. Karena memang aku sudah menyumbangkan beberapa yang sudah tak terpakai tapi masih layak pakai.
“Baju kamu nggak ada yang feminim dikit, Hulya? Kenapa semuanya rata-rata kaos?” tanya Mama heran ketika merapikan baju-bajuku.
“Ya, Mama kan tau sendiri, dulu Hulya kan cuma kasir minimarket. Lagian kalo pun Hulya beli dress mau dipake kemana coba?” sahutku yang masih sibuk dengan barang-barang pribadi yang akan kubawa.
“Gimana kalo kita belanja?” usul Mama.
“Tapi, Ma,” sahutku ragu-ragu.
“Udah, nggak usah kelamaan mikir. Ayo, kita ke mall!”
Akhirnya aku menagalah pada Mama dan pergi ke mall bersamanya. Sesampainya di mall, kami langsung memasuki sebuah toko pakaian dan membeli beberapa pakaian untukku.
Setelah pembicaraanku dengan Papa Minggu lalu, aku tak lagi terbebani dengan uang yang Papa berikan. Aku bisa memakai uang itu untuk keperluan pribadiku.
Usai berbelanja, kami langsung menuju kamarku. Sebenarnya Mama menyuruhku untuk meminta Mbok Minah mencucinya dulu. Tapi aku menolaknya, dengan alasan tak ada cukup waktu lagi. Aku takut pakaian itu tak akan kering esok jika dicuci saat semalam ini. Dan juga esok pagi-pagi sekali kami harus sudah berangkat menuju Pelabuhan.
Setelah semuanya selesai, aku langsung beristirahat. Mudah-mudahan esok aku tidak kesiangan, ya!
Waktu terus berlalu, sekarang sudah pukul dua malam dan aku masih terjaga. Aku tidak bisa tidur! Ayolah, aku bukan anak kecil lagi yang jika esok akan jalan-jalan malamnya jadi tidak bisa tidur.
Entah kenapa, perasaanku serasa tidak tenang. Hatiku seperti berkata untuk jangan pergi. Tapi aku tak bisa, jika aku membatalkannya, Papa pasti akan kecewa. Semoga ini bukanlah sebuah firasat buruk.
***
Pagi telah tiba, aku dan keluarga sudah meluncur ke Pelabuhan Tanjung Priok. Sesampainya di Pelabuhan, kami langsung berpamitan pada Mama, Papa dan Zayn. Mama memelukku sangat erat dan lama.
Usai berpamitan, kami berempat langsung naik ke atas kapal pesiar mewah bernama Prince Cruise ini. Rute kami adalah Jakarta-Semarang-Bali-Lombok-Pulau Komodo-Makassar-Surabaya-Singapura- Jakarta. Papa sengaja mengambil perjalanan domestik, karena tidak ribet.
Setelah seluruh penumpang naik, kapten kapal mulai melajukan kapalnya secara perlahan dengan membunyikan klakson kapal yang bersuara khas itu. Kami yang ada di atas kapal melambaikan tangan ke arah orang-orang yang ada di dermaga, mereka terlihat sangat kecil dari atas sini.
Sempat kulihat wajah Mama yang menatapku sedih dari kejauhan. Ah, Mama jangan seperti itu, aku hanya satu Minggu jauh darimu.
Dan inilah awal petualangan kami.
Setelah kapal ini mulai menjauh, aku dan Daffa memasuki kapal mewah ini. Sementara Edgar dan Carel sudah menghilang entah kemana. Aku baru tahu kalau kapal pesiar ini memiliki banyak lantai atau dek layaknya gedung bertingkat. Kamar kami tepat berada di dek tujuh, sedangkan tempat kami memasuki kapal adalah dek sepuluh, jadi kami harus menaiki lift untuk dapat turun ke dek tujuh. Setelah kami sampai di dek tujuh, kami melewati sebuah lorong. Tepat di sisi kiri dan kanan kami terdapat pintu yang berjejer sampai ujung lorong. Ruangan di dalam pintu itu adalah sebuah kamar. “Kamar nomor 725,” ucapku ketika menemukan nomor kamarku. Aku menoleh ke sebelahku, ternyata kamar Daffa tepat berada di depan kamarku. “Nanti ketemuan di dek sepuluh aja ya. Gue mau mandi dulu, belom mandi, nih,” ucap Daffa yang sudah membuka pintu kamarnya. Aku hanya mengangguk. Kubuka pintu kamar setelah kutempelkan sebuah kartu di dekat kenop pintu, lalu p
Tubuhku tercebur ke dalam kolam. Tanganku berusaha meraih-raih ke atas namun tidak bisa. Kurasakan tubuhku semakin masuk ke dasar kolam, rasanya seperti ada sesuatu yang menarik tubuhku. Kucoba untuk menghentak-hentakan kaki, dan menggerakkan tanganku sekuat tenaga untuk dapat kembali ke permukaan. Pasokan oksigenku habis, kurasakan air dari kolam ini memasuki hidung dan mulutku. Karena terlalu banyak bergerak, hal itu membuat tubuhku menjadi lemas. Tuhan, mungkinkah ini saatnya aku pergi? Kurasakan tubuhku sudah tak bisa digerakkan lagi, namun, samar-samar kulihat seseorang di dalam air. Ia langsung meraih tubuhku ke dalam dekapannya. Sebelum kami sampai ke permukaan, kurasakan semuanya menjadi gelap. *** “Uhuk-uhuk!” aku terbatuk kala seseorang menekan dadaku. Lalu kumuntahkan semua air yang masuk ke dalam tubuhku. Dan, saat kumembuka mata, yang pertama kulihat adalah wajah Edgar. Ia menatapku dengan khawatir sambil menepuk-nepuk pip
“Pffft ...” Tepat setelah kupejamkan mata, aku mendengar suara seseorang tertawa. Sontak aku langsung membuka mata, dan kulihat Edgar sedang tertawa di hadapanku. “Lo, kenapa nutup mata? Haha!” tawanya nyaring sambil memegangi perutnya sendiri. Mendengar hal itu, membuatku begitu malu. Tidak! Apa yang sudah kulakukan tadi? Kenapa aku menutup mata? Ah, aku pasti sudah gila sekarang! Rasanya malu setengah mati, bodoh! Kutendang lututnya dengan keras, ia merintih kesakitan. Namun aku tidak peduli, biar saja ia rasakan itu karena sudah mengerjaiku! Kulangkahkan kakiku meninggalkannya, ia berteriak-teriak memanggil namaku, namun tak kuhiraukan. Sadarlah Hulya, kenapa kau harus berpikir bahwa si mesum itu mau menciummu? Kenapa juga kau memejamkan mata? Akal sehatku pasti sudah hilang sekarang! Sesampainya di kamarku, aku mendapat pesan dari Feza. Ia mengajakku untuk menonton film di bioskop. Aku yang memang penasaran dengan sensasi m
Aku terdiam ketika Carel mengatakan hal itu. Kemudian, dengan sedikit senyum terukir di bibirnya, ia melanjutkan. “Nggak usah takut, gue nggak bakal ngapa-ngapain lo, kok.” Carel menarik lenganku. Aku coba memberontak, tapi cengkeraman tangannya terlalu kuat. Dan, akhirnya aku hanya bisa pasrah mengikuti ajakannya. Carel membawaku ke suatu tempat, aku tahu tempat apa itu. Karena samar-samar kudengar hentakan musik yang keras dari dalam ruangan. Kutarik lenganku dengan kasar, lalu menatapnya dengan tajam. “Ngapain bawa gue ke tempat beginian?!” teriakku. Ia kembali meraih pergelangan tanganku, namun dengan cepat aku menghindar. “Nggak ada yang aneh kok di dalem. Gue tau lo pasti bakal suka masuk ke sana!” jawabnya. Dia mencoba meyakinkanku, akhirnya aku mengalah dan menurutinya. Lagipula, tidak mungkin kan dia mengajakku ke tempat yang tidak-tidak? Begitu sampai di dalam ruangan aku terkejut karena dugaanku ternyata sala
Setelah kami hampiri ternyata itu Carel yang tengah bertengkar dengan salah satu penumpang kapal. Carel memegangi kerah baju pria itu, bersiap untuk melayangkan pukulannya. Namun dengan cepat Daffa menahannya, dan langsung membawa Carel pergi. Sebelumnya Daffa meminta maaf pada orang itu. Carel melepas tarikan tangan Daffa dengan kasar. Daffa menatapnya tajam. “Di sini gue yang diberi tanggung jawab. Kalo lo nggak mau nurut sama perkataan gue, mending lo nggak usah ikut aja sekalian!” bentak Daffa marah. Sementara kulihat Carel hanya menunduk. Ini pertama kalinya aku melihat Daffa marah, karena biasanya jika ia sedang memisahkan perkelahian antara adiknya itu, ia hanya diam dan membiarkan Papa atau Zayn yang menasehati mereka. Namun kali ini berbeda, mungkin ia juga merasa yang paling tua di antara kami, jadi ia merasa harus menjaga kami. “Udah, Kak. Jangan marah-marah di sini, malu diliatin banyak orang,” ucapku pada Daffa sambil mene
Aku segera berlari ke tempat terakhir kali, rasanya tadi mereka ke arah sini. Kuturuni sebuah tangga, makin ke bawah suasananya semakin sepi, tak ada orang di sini. “Gue kayanya kesasar, deh.” Aku terus berjalan memasuki tiap pintu, namun tak kutemukan siapa pun di sini. "Tenang, Hulya. Mereka pasti akan menyadari kalau aku hilang. Mereka pasti akan langsung mencariku!" Kuambil ponselku dari dalam tas, berniat menelepon Daffa atau siapa pun itu. Namun sialnya, tidak ada sinyal di sini! Aku terus berjalan melewati lorong. Semakin dalam semakin sunyi dan mencekam. Ruangan di sini sangat minim cahaya. Hawa dingin mulai terasa di sekitarku. Aku tak berani menoleh ke belakang, karena aku merasakan seperti ada orang yang mengikutiku. Aku berjalan dan terus berjalan, jika kutemukan tangga aku naiki, jika kutemukan pintu aku masuki. Namun, semuanya percuma karena aku seperti kembali ke tempat semula. Aku tahu kalau ini hanya perasaanku
Kulihat Edgar terkekeh, aku balas mempelototinya. “Jangan bilang, lo semalem nyuri kesempatan?” tanyaku seduktif. “Haha, lo tuh gampang banget dibohongin ya! Mana ada gue nyuri kesempatan sama lo, ada juga lo tuh yang kesem-sem sama gue, kan?” tukasnya. Aku mengangkat alis mendengar perkataannya yang sungguh sangat percaya diri itu. “Kesem-sem? Sama lo? Sorry ya! Nggak akan!” hardikku. Ia terkekeh geli mendengar jawabanku. Ini orang kenapa ketawa terus, sih?! “Hati-hati jilat ludah sendiri, haha!” ejeknya. Sementara aku hanya mendengus kesal mendengarnya. Lalu kudorong tubuhnya untuk keluar dari kamarku. “Eh, tunggu! Jangan mar ...” BRUK! Sebelum ia sempat melanjutkan bicara, langsung kubanting pintu tepat di depan wajahnya. Ia menggedor-gedor pintuku dengan keras, namun kudiamkan. Huh! Biar saja, dia harus menerima ini karena sudah membuatku kesal! “Kalo udah selesai mandi, temuin gue di dek enam belas
Aku terkejut ketika mendengar pertanyaan Carel yang begitu pribadi. Nampak Edgar dan Daffa juga tak kalah terkejutnya sepertiku. “K-kenapa nanya kaya gitu, Kak?” tanyaku yang merasa agak risih dengan pertanyaannya, sesekali aku melirik ke arah Edgar yang tampak gelisah. “Haha, engga, kok. Gue cuma pengen tau aja,” sahut Carel disertai tawa renyah. Aku menatapnya nanar. Tanpa rasa bersalah ia menanyakan hal itu, lalu ia tertawa begitu saja? Memangnya ini lucu? “Bisa nggak, sih. Lo nggak usah nanya hal pribadi kayak gitu?!” hardik Edgar. “Hak gue, lah, mau nanya apa juga! Mulut-mulut gue!” tukas Carel tak mau kalah. “Sini, lo! Biar gue ajarin apa itu sopan santun!” Edgar berdiri sambil menunjuk-nunjuk Carel. Sementara Daffa sibuk menenangkan adik bungsunya itu. “Udah, Gar, udah! Jangan kepancing emosi di sini. Lo juga Carel! Maksud lo apa nanya kaya gitu ke Hulya?!” sahut Daffa. Ia melotot ke arah Carel yang hanya cengengesan. Br
Aku tersentak kaget mendengar suara teriakan dari dalam kamar mandi.Sontak aku langsung membalikkan tubuhku, takut melihat sesuatu yang seharusnya tak kulihat. Cukup lama aku terdiam dalam posisi yang sama, hingga akhirnya kudengar suara perempuan dari arah kamar mandi.“How dare you?! Main buka pintu toilet seenaknya! Where’s your attitude!” hardiknya galak.Aku membalikkan tubuhku untuk mengetahui sosok yang sedang memarahiku ini. Hingga ketika aku bertatapan dengannya, aku terkejut karena ada wanita seusiaku di hadapanku dengan hanya terbalut piyama mandinya. Rambut wanita itu berwarna blonde dan basah.“Lo siapa?” tanyaku heran.“Lo tanya gue siapa? Ini rumah gue, lo yang siapa!” sahutnya dengan logat ala kebarat-baratan.“Hah? Rumah lo? Maksudnya lo itu Sheryl anaknya Tante Rachel dan Om Gideon?” tanyaku terkejut bukan main.Dia melotot ke arahku. “Iya, gue Sheryl! Kenapa?”Seketika aku terkekeh mendengar jawabannya. Jadi dia betulan Sheryl? Astaga! Dia sudah besar sekarang. Dul
Aku terdiam seribu bahasa begitu mendengar rencana Papa.Menjodohkan Hulya dengan pria lain?Apa Papa benar-benar tidak peduli dengan perasaanku?Aku mengerti jika hubungan kami adalah hubungan yang terlarang. Namun, tak bisakah Papa memberikan sedikit saja waktu untuk kami?Kutatap pria baya itu dengan mata memerah menahan kesal. “Edgar tidak bisa melihat Hulya bersama dengan pria lain, Pa,” ucapku terbata.“Kalau begitu kau yang harus pergi, Edgar. Bukan Papa tidak peduli dengan perasaanmu. Papa hanya mencegah semuanya terlambat dan menjadi terlalu dalam,” jelas Papa, aku terdiam.Papa menepuk pundakku dengan lembut. “Percayalah ini semua Papa lakukan demi kebaikanmu.”Usai mengatakan hal tu, Papa memintaku untuk meninggalkan kamarnya. Ia bilang ia akan membicarakan hal ini dengan Mama.Dengan langkah gontai aku keluar dari kamar kedua orang tuaku. Kulangkahkan kakiku menaiki anak tangga menuju kamarku. Tepat ketika aku sampai di lantai dua, kulihat Hulya sedang berdiri di balkon, m
POV Edgar Aku adalah Edgar Mahendra. Anak bungsu dari empat bersaudara. Awalnya kami adalah keluarga yang tak terlalu dekat. Kami jarang sekali berinteraksi satu sama lain. Kami berbicara jika hanya ada perlu saja. Itu semua terjadi karena anggota keluarga sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Suatu hari, aku mengalami sebuah insiden tak terduga. Aku dituduh telah mencuri ciuman pertama seorang wanita yang bahkan aku sendiri tidak mengenalnya. Kejadian itu tak disengaja. Saat itu aku baru saja dari minimarket untuk membeli sebuah kopi kaleng. Aku tak tahu kalau di depanku ada dua orang karyawan wanita sedang berjalan karena aku terlalu sibuk dengan gawaiku. Hingga tiba-tiba salah satu dari mereka membalikkan badan dengan cepat dan menubruk diriku. Aku yang tak dapat menghindar tiba-tiba saja ditubruk seperti itu olehnya. Aku terjengkang ke belakang, dan tubuh wanita itu menindih tubuhku. Dan, yang paling membuatk
“Kamu jangan macem-macem, Gar!” ucap Papa pada Edgar melalui sambungan telepon. Kami yang berada di ruangan itu sontak menatap ke arah Papa dengan penuh tanda tanya.“Sekarang kamu pulang!” ucap Papa lagi kali ini dengan nada sedikit membentak. Papa selanjutnya mematikan sambungan teleponnya dengan Edgar. Seketika semua menjadi hening, tak ada yang berani bertanya kecuali Mama.“Mas, ada apa?” tanya Mama yang kini berdiri dan menghampiri Papa yang masih terlihat kesal.“Edgar, dia bilang ....” Papa sempat melirik sekilas ke arahku yang menatapnya, namun dengan cepat ia mengalihkan pandangannya. “Nggak, nanti aja kita bicarakan sama anaknya.”Papa dan Mama akhirnya meninggalkan kami. Mereka menuju ke kamar untuk membicarakan sesuatu. Sungguh, aku benar-benar penasaran dengan apa yang mereka bicarakan. Tatapan Papa tadi seolah-olah mengintimidasiku. Aku yakin, pasti obrolan tadi dengan Edgar ada hu
Aku menatap serius pria berambut gondrong itu. Rasanya perkataan Daffa barusan tidak dapat kupercaya begitu saja. Bagaimana bisa Edgar merahasiakan hal sepenting ini dariku?“Jadi lo belum tahu?” Daffa terlihat salah tingkah, ada sedikit kekhawatiran di wajahnya. Mungkin dia merasa telah membocorkan rahasia adiknya itu.Aku menggeleng pelan. Pikiranku dipenuhi berbagai pertanyaan. Pokoknya aku harus menanyakan hal ini pada Edgar. Enak saja kalau ia tak memberitahuku rencana besarnya.“Hulya, sorry, ya. Gue kayaknya nggak seharusnya ngomong ini dulu sama lo,” sesal Daffa dengan wajah bersalah. Sementara aku hanya mengangguk, sambil mengatakan kalau aku baik-baik saja.Tiba-tiba listrik kembali menyala. Lampu ruangan di mana kami duduk sudah menyala dengan terang. Aku meminta izin pada Daffa untuk pergi ke kamar. Karena entah mengapa aku merasa moodku tiba-tiba memburuk.“Hulya, jangan pikirin masalah i
Dengan cepat kuambil gawaiku dan kunyalakan fitur senter. Segera aku keluar kamar untuk mencari Edgar. Di luar ternyata hujan semakin deras mengguyur, disertai petir yang bergemuruh dan kilat menyambar-nyambar di tengah gelapnya malam.“Gar? Lo di dalem, kan?” panggilku ketika aku sudah berdiri di ambang pintu kamarnya. Rasanya tadi aku sempat mendengar suaranya tengah bersenandung memasuki kamarnya.Lama aku menunggu, namun tak ada jawaban apa pun dari dalam kamar. Mungkin aku kurang keras memanggil dan mengetuk pintu kamarnya.Kucoba untuk mengetuk pintu itu lebih keras lagi. “Gar!” panggilku lagi atau lebih mirip dengan setengah berteriak.Tak berapa lama, terbukalah pintu kamarnya. Kuarahkan gawaiku ke wajahnya, terpampanglah sosok pria dengan piyama teddy bear berdiri di sana, piyama yang selalu membuatku tertawa jika mengingatnya. Dengan muka bantal ia menatapku, satu tangannya mengucek mata, persis seperti orang yan
Suara seorang pria tiba-tiba membuat aku dan Edgar terkejut. Sontak Edgar langsung menjauhkan dirinya dariku. Sementara aku segera bangkit dan terduduk.Kutatap sosok pria berambut gondrong yang berdiri mematung di depan pintu penghubung. Di tangannya tergantung sebuah kotak yang kutebak itu adalah kue.“Ck! Gue tau kalian lagi bucin, tapi bisa liat tempat, nggak? Gimana kalo yang dateng Mama atau Papa?” Ia menggeleng-gelengkan kepala.“Bang, kita nggak pernah punya waktu buat berdua. Mama dan Papa pasti curiga kalo kita berduaan terus!” kilah Edgar yang kini berdiri dan menatap sang kakak.“Gar, gue tau, kok. Tapi please, cari waktu dan tempat yang tepat. Kalian masih beruntung kali ini. Besok-besok gue nggak tau, dan nggak mau tau,” sahut Daffa sambil meletakkan kue di tangannya di atas meja tepat di sampingnya. “Hulya, ini kue pesanan lo. Tadi, kan, lo yang bilang langsung taro di meja aja.”
Sontak kami terkejut dengan pertanyaan Daffa yang begitu tiba-tiba.Aku dan Edgar saling pandang. Bingung, itulah yang kami rasakan saat ini. Apa yang harus kami katakan pada Daffa?“Kenapa diem? Jujur aja sama gue, gue udah curiga sebenernya dari kita masih di pulau itu,” tanya Daffa lagi hingga membuat kami tersadar dari lamunan kami.Daffa duduk bersandar pada tiang candi di belakangnya, pandangannya menatap lurus ke depan. Menatap indahnya pemandangan kota Djogjakarta dari atas sini.“Sini duduk, kalian bisa percaya sama gue, kok!” Daffa menepuk tempat kosong di sisi kiri dan kanannya.Aku dan Edgar akhirnya duduk di samping Daffa. Edgar duduk di sisi kiri, sedangkan aku di sisi kanan.“Sejak kapan?” tanya Daffa memulai pembicaraan.“Sejak di pulau itu,” jawab Edgar tertunduk lesu.Kini Daffa menatapku serius hingga membuat aku sedikit memundurkan kepalaku. Sungguh, hatiku ber
“Maaf ya telat, kalian udah nunggu dari tadi, ya?”Sebuah suara seorang pria yang sangat kukenali, aku sedikit menggeser tubuhku agar dapat melihat ke arah pintu utama. Nampak Zayn baru saja masuk sambil menenteng sebuah kantong minimarket berwarna putih.“Halo, Hulya? Belom tidur?” tanya Zayn begitu ia melihat kehadiranku di ruangan ini.“Hehe, iya, Kak. Tadi habis ikut makan pizza. Kakak bawa apa, tuh?” tanyaku karena penasaran dengan isi kantong di tangan Zayn yang terlihat berat seperti berisi beberapa botol sirup atau apalah itu.“Ah, engga, ini cuma titipan mereka aja,” jawab Zayn sambil meletakkan kantong itu di lantai lalu duduk di sofa bergabung bersama Carel yang begitu kalem.“Minuman apaan, Kak?” tanyaku penasaran.Baru saja Zayn akan menjawab pertanyaanku, Edgar dengan cepat menarik tanganku dan membawaku masuk ke dalam kamar.“Udah, lo tidur sekarang, ya?