Kulihat Edgar terkekeh, aku balas mempelototinya.
“Jangan bilang, lo semalem nyuri kesempatan?” tanyaku seduktif.
“Haha, lo tuh gampang banget dibohongin ya! Mana ada gue nyuri kesempatan sama lo, ada juga lo tuh yang kesem-sem sama gue, kan?” tukasnya. Aku mengangkat alis mendengar perkataannya yang sungguh sangat percaya diri itu.
“Kesem-sem? Sama lo? Sorry ya! Nggak akan!” hardikku. Ia terkekeh geli mendengar jawabanku. Ini orang kenapa ketawa terus, sih?!
“Hati-hati jilat ludah sendiri, haha!” ejeknya.
Sementara aku hanya mendengus kesal mendengarnya. Lalu kudorong tubuhnya untuk keluar dari kamarku.
“Eh, tunggu! Jangan mar ...”
BRUK!
Sebelum ia sempat melanjutkan bicara, langsung kubanting pintu tepat di depan wajahnya. Ia menggedor-gedor pintuku dengan keras, namun kudiamkan. Huh! Biar saja, dia harus menerima ini karena sudah membuatku kesal!
“Kalo udah selesai mandi, temuin gue di dek enam belas
Aku terkejut ketika mendengar pertanyaan Carel yang begitu pribadi. Nampak Edgar dan Daffa juga tak kalah terkejutnya sepertiku. “K-kenapa nanya kaya gitu, Kak?” tanyaku yang merasa agak risih dengan pertanyaannya, sesekali aku melirik ke arah Edgar yang tampak gelisah. “Haha, engga, kok. Gue cuma pengen tau aja,” sahut Carel disertai tawa renyah. Aku menatapnya nanar. Tanpa rasa bersalah ia menanyakan hal itu, lalu ia tertawa begitu saja? Memangnya ini lucu? “Bisa nggak, sih. Lo nggak usah nanya hal pribadi kayak gitu?!” hardik Edgar. “Hak gue, lah, mau nanya apa juga! Mulut-mulut gue!” tukas Carel tak mau kalah. “Sini, lo! Biar gue ajarin apa itu sopan santun!” Edgar berdiri sambil menunjuk-nunjuk Carel. Sementara Daffa sibuk menenangkan adik bungsunya itu. “Udah, Gar, udah! Jangan kepancing emosi di sini. Lo juga Carel! Maksud lo apa nanya kaya gitu ke Hulya?!” sahut Daffa. Ia melotot ke arah Carel yang hanya cengengesan. Br
Aku membelalakkan mata mendengar permintaannya.“Lo mau gue?” tukasku yang sudah mulai berpikiran aneh-aneh.Dia tertawa kecil mendengar perkataanku. Lalu kemudian ia berkata. “Gue mau lo jadi asisten pribadi gue selama di Bali.”“A-asisten pribadi?” tanyaku terkejut bercampur kesal. Ia mengangguk penuh kemenangan.Harus kuakui, aku telah masuk ke dalam perangkapnya. Aku tak bisa mengelak lagi, karena aku sudah berjanji! Sial! Kenapa aku bisa sebodoh ini dan mempercayai perkataannya itu! Edgar Mahendra, lihat saja, akan kubalas kau!***Perjalanan dari Semarang ke Bali membutuhkan waktu kurang lebih dua puluh jam. Lebih lama dari pada melalui jalur darat, bukan? Tentu saja, karena kapal pesiar ini bergerak tidak terlalu cepat, juga agar penumpang bisa berlama-lama di atas kapal untuk menikmati semua fasilitasnya.Tepat pukul empat sore, kapal sudah sampai di Pelabuhan Benoa, Bali. Pelabuhan yang keb
Aku bergidik ngeri saat ia melakukan hal itu. Jujur! Aku takut sekali!Aku mencoba mendorong dadanya atau pun memukulnya. Namun, tenaga pria ini jauh lebih besar dari pada aku, sehingga aku tak dapat menggeser tubuhnya sedikit pun.“J-jangan macem-macem s-sama g-gue!” ucapku terbata sambil tetap berusaha melawannya.Ia tertawa nyaring mendengarnya. “Kenapa? Lo mau ngadu sama ketiga Abang lo itu?"Aku terkesiap mendengar perkataannya. “K-kenapa lo lakuin ini? Gue salah apa?"“Hahaha, lo masih belum ngerti juga? Gue tuh suka sama lo dan tertarik sama lo. Gue emang udah ngincer lo dari awal. Tapi gara-gara si Edgar itu, gue jadi nggak bisa deketin lo!” jelasnya.Lalu, ia melanjutkan. “Lo inget waktu di bioskop?"Aku terdiam, menunggu kata-katanya selanjutnya."Cowok lo, si Edgar itu, sok-sokan nyuruh gue jauhin lo. Dia juga ngancem gue kalo gue berani deketin lo, dia bilang dia nggak akan
Kulihat Edgar dan Feza sedang berkelahi di dalam air. Mereka saling memukul satu sama lain.“Kak Daffa! Kak Carel! Tolong!” teriakku histeris menyaksikan perkelahian itu.Mendengar teriakanku, Daffa, Carel dan beberapa orang lainnya menghampiriku. Mereka ikut menolehkan kepala ke arah bawah dan terkejut melihat Edgar dan Feza yang tengah bergulat di air.“Anak itu!” tukas Daffa kesal.Tanpa pikir panjang, Daffa, Carel dan beberapa awak kapal langsung terjun ke laut. Sementara aku hanya memperhatikan mereka dari atas.“Edgar berhenti!” teriak Daffa sambil memegangi Edgar. Tubuh mereka sudah basah akibat menceburkan diri ke laut dangkal itu. Mereka tampak mengigil, aku tahu pasti dingin sekali di bawah sana, apalagi hari masih sangat pagi.“Gue harus kasih pelajaran ke bajingan ini!” sahut Edgar.“Tahan dulu emosi lo, kita bicarakan semuanya baik-baik!” timpal Daffa yang berusa
Akhirnya aku hanya bisa menuruti perkataan mereka dan menunggu di kamar. Jujur, aku takut sekali mereka akan melakukan hal yang buruk pada Feza.Bagaimana kalau mereka sampai membuat Feza koma? Bagaimana kalau mereka sampai membuat Feza tidak bisa berjalan? Bagaimana kalau mereka sampai membuat Feza tidak bisa melihat? Argh, memikirkannya saja membuat kepalaku pening setengah mati!Akhirnya aku hanya bisa berbaring dengan perasaan tak tentu. Dari pada pikiran tidak tenang, lebih baik aku mendengarkan lagu dari idola kesayanganku!Kunyalakan ponselku dan kubuka music video milik idola kesayanganku itu. Hingga aku pun terlarut dalam musik dan ketampanan mereka.Namun, tak berapa lama aku mendengar seseorang mengetuk pintu kamarku. Setelah kubuka, aku terkejut melihat Feza dan ketiga Kakak sambungku ada di depan pintu kamarku. Wajah Feza sudah babak belur, aku tahu itu ulah mereka bertiga.Edgar menendang bagian belakang lutut Feza hingga membuat pria
Aku panik mendengarnya terisak. Kucoba menyingkirkan tangannya yang sedari tadi menutupi wajahnya. Takut kalau dia benar-benar bersedih karena teringat Mamanya.“Edgar, lo kenapa?” tanyaku hati-hati.Kudengar ia terdiam. Aku semakin khawatir melihatnya."Edgar," panggilku lagi sambil menggoyang-goyangkan tubuhnya.Tiba-tiba, ia membuka tangannya yang sedari tadi menutupi wajahnya dan kemudian tertawa terbahak-bahak. “Hahaha! Apa, sih. Gue nggak kenapa-napa, kok. Lo pasti ngira gue beneran nangis, kan? Huh, sorry ya! Nangis itu nggak ada dalam kamus gue!”Sial! Lagi-lagi ia mengerjaiku. Huh! Sulit memang menjadi manusia berhati lembut sepertiku.“Issshhh! Ngeselin banget, sih!” Kucubit perutnya dengan keras, ia meringis kesakitan. Aku segera berganti posisi menjadi duduk, lalu kuambil sebuah bantal.Bug!Kupukul wajahnya dengan bantal secara bertubi-tubi. Bukannya marah, ia malah tert
Bersamaan dengan itu, terdengar bunyi bel kapal sebanyak tujuh kali tiupan pendek dan satu kali tiupan panjang. Aku tidak mengerti arti dari bunyi bel itu.Namun kulihat Daffa langsung terlonjak kala mendengar itu. Kami menoleh kearahnya dengan penuh tanda tanya."Itu, itu peringatan bahaya! itu peringatan untuk meninggalkan kapal!" teriak Daffa panik.Sontak kami terkejut dan panik. Aku langsung beringsut dari ranjang. Namun, sialnya karena kapal ini sedang terombang ambing dengan kencang, aku tak dapat menjaga keseimbangan.Dug!“Awh!” lirihku.Tubuhku terbanting ke belakang hingga membuat kepalaku terbentur pinggiran tempat tidur. Sial! Rasanya sangat menyakitkan!Daffa, Carel dan Edgar yang melihatku terjatuh terlihat khawatir. Edgar yang posisinya paling dekat denganku langsung membantuku berdiri. Aku hanya bisa memegangi lengannya, dengan satu tanganku sementara tanganku yang lain memegang kepalaku yang sedikit pusin
Ia lalu menghitung sampai tiga. Tepat setelah hitungan ketiga, Edgar melompat dari atas kapal menuju sekoci. Hap! Ia melompat tepat di tempat kosong yang sudah di sediakan oleh awak kapal. Ia langsung duduk di sebelahku, dan aku langsung menghambur ke dalam pelukannya. Tubuhku bergetar hebat, takut terpisah darinya. “Tenang tenang,” bisik Edgar yang menyadarinya, sambil balas memelukku. tangannya mengusap bahuku dengan lembut. “Ya, gue takut kepisah sama lo,” lirihku dengan air mata mengalir. “Tenang aja, kita pasti selamat,” sahutnya mencoba menenangkanku. Edgar lalu mengambil bocah laki-laki yang ada dalam pangkuanku ini ke pangkuannya. "Anak pinter, jangan nangis ya nak," ucap Edgar bak seorang ayah. Satu lagi sisi lain dari Edgar yang baru kuketahui, ternyata ia sosok yang sangat lembut dan penyayang. Bocah itu menatap wajah Edgar dengan tatapan polos yang membuat kami tersenyum seketika karena gemas. Ah, di tengah-
Aku tersentak kaget mendengar suara teriakan dari dalam kamar mandi.Sontak aku langsung membalikkan tubuhku, takut melihat sesuatu yang seharusnya tak kulihat. Cukup lama aku terdiam dalam posisi yang sama, hingga akhirnya kudengar suara perempuan dari arah kamar mandi.“How dare you?! Main buka pintu toilet seenaknya! Where’s your attitude!” hardiknya galak.Aku membalikkan tubuhku untuk mengetahui sosok yang sedang memarahiku ini. Hingga ketika aku bertatapan dengannya, aku terkejut karena ada wanita seusiaku di hadapanku dengan hanya terbalut piyama mandinya. Rambut wanita itu berwarna blonde dan basah.“Lo siapa?” tanyaku heran.“Lo tanya gue siapa? Ini rumah gue, lo yang siapa!” sahutnya dengan logat ala kebarat-baratan.“Hah? Rumah lo? Maksudnya lo itu Sheryl anaknya Tante Rachel dan Om Gideon?” tanyaku terkejut bukan main.Dia melotot ke arahku. “Iya, gue Sheryl! Kenapa?”Seketika aku terkekeh mendengar jawabannya. Jadi dia betulan Sheryl? Astaga! Dia sudah besar sekarang. Dul
Aku terdiam seribu bahasa begitu mendengar rencana Papa.Menjodohkan Hulya dengan pria lain?Apa Papa benar-benar tidak peduli dengan perasaanku?Aku mengerti jika hubungan kami adalah hubungan yang terlarang. Namun, tak bisakah Papa memberikan sedikit saja waktu untuk kami?Kutatap pria baya itu dengan mata memerah menahan kesal. “Edgar tidak bisa melihat Hulya bersama dengan pria lain, Pa,” ucapku terbata.“Kalau begitu kau yang harus pergi, Edgar. Bukan Papa tidak peduli dengan perasaanmu. Papa hanya mencegah semuanya terlambat dan menjadi terlalu dalam,” jelas Papa, aku terdiam.Papa menepuk pundakku dengan lembut. “Percayalah ini semua Papa lakukan demi kebaikanmu.”Usai mengatakan hal tu, Papa memintaku untuk meninggalkan kamarnya. Ia bilang ia akan membicarakan hal ini dengan Mama.Dengan langkah gontai aku keluar dari kamar kedua orang tuaku. Kulangkahkan kakiku menaiki anak tangga menuju kamarku. Tepat ketika aku sampai di lantai dua, kulihat Hulya sedang berdiri di balkon, m
POV Edgar Aku adalah Edgar Mahendra. Anak bungsu dari empat bersaudara. Awalnya kami adalah keluarga yang tak terlalu dekat. Kami jarang sekali berinteraksi satu sama lain. Kami berbicara jika hanya ada perlu saja. Itu semua terjadi karena anggota keluarga sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Suatu hari, aku mengalami sebuah insiden tak terduga. Aku dituduh telah mencuri ciuman pertama seorang wanita yang bahkan aku sendiri tidak mengenalnya. Kejadian itu tak disengaja. Saat itu aku baru saja dari minimarket untuk membeli sebuah kopi kaleng. Aku tak tahu kalau di depanku ada dua orang karyawan wanita sedang berjalan karena aku terlalu sibuk dengan gawaiku. Hingga tiba-tiba salah satu dari mereka membalikkan badan dengan cepat dan menubruk diriku. Aku yang tak dapat menghindar tiba-tiba saja ditubruk seperti itu olehnya. Aku terjengkang ke belakang, dan tubuh wanita itu menindih tubuhku. Dan, yang paling membuatk
“Kamu jangan macem-macem, Gar!” ucap Papa pada Edgar melalui sambungan telepon. Kami yang berada di ruangan itu sontak menatap ke arah Papa dengan penuh tanda tanya.“Sekarang kamu pulang!” ucap Papa lagi kali ini dengan nada sedikit membentak. Papa selanjutnya mematikan sambungan teleponnya dengan Edgar. Seketika semua menjadi hening, tak ada yang berani bertanya kecuali Mama.“Mas, ada apa?” tanya Mama yang kini berdiri dan menghampiri Papa yang masih terlihat kesal.“Edgar, dia bilang ....” Papa sempat melirik sekilas ke arahku yang menatapnya, namun dengan cepat ia mengalihkan pandangannya. “Nggak, nanti aja kita bicarakan sama anaknya.”Papa dan Mama akhirnya meninggalkan kami. Mereka menuju ke kamar untuk membicarakan sesuatu. Sungguh, aku benar-benar penasaran dengan apa yang mereka bicarakan. Tatapan Papa tadi seolah-olah mengintimidasiku. Aku yakin, pasti obrolan tadi dengan Edgar ada hu
Aku menatap serius pria berambut gondrong itu. Rasanya perkataan Daffa barusan tidak dapat kupercaya begitu saja. Bagaimana bisa Edgar merahasiakan hal sepenting ini dariku?“Jadi lo belum tahu?” Daffa terlihat salah tingkah, ada sedikit kekhawatiran di wajahnya. Mungkin dia merasa telah membocorkan rahasia adiknya itu.Aku menggeleng pelan. Pikiranku dipenuhi berbagai pertanyaan. Pokoknya aku harus menanyakan hal ini pada Edgar. Enak saja kalau ia tak memberitahuku rencana besarnya.“Hulya, sorry, ya. Gue kayaknya nggak seharusnya ngomong ini dulu sama lo,” sesal Daffa dengan wajah bersalah. Sementara aku hanya mengangguk, sambil mengatakan kalau aku baik-baik saja.Tiba-tiba listrik kembali menyala. Lampu ruangan di mana kami duduk sudah menyala dengan terang. Aku meminta izin pada Daffa untuk pergi ke kamar. Karena entah mengapa aku merasa moodku tiba-tiba memburuk.“Hulya, jangan pikirin masalah i
Dengan cepat kuambil gawaiku dan kunyalakan fitur senter. Segera aku keluar kamar untuk mencari Edgar. Di luar ternyata hujan semakin deras mengguyur, disertai petir yang bergemuruh dan kilat menyambar-nyambar di tengah gelapnya malam.“Gar? Lo di dalem, kan?” panggilku ketika aku sudah berdiri di ambang pintu kamarnya. Rasanya tadi aku sempat mendengar suaranya tengah bersenandung memasuki kamarnya.Lama aku menunggu, namun tak ada jawaban apa pun dari dalam kamar. Mungkin aku kurang keras memanggil dan mengetuk pintu kamarnya.Kucoba untuk mengetuk pintu itu lebih keras lagi. “Gar!” panggilku lagi atau lebih mirip dengan setengah berteriak.Tak berapa lama, terbukalah pintu kamarnya. Kuarahkan gawaiku ke wajahnya, terpampanglah sosok pria dengan piyama teddy bear berdiri di sana, piyama yang selalu membuatku tertawa jika mengingatnya. Dengan muka bantal ia menatapku, satu tangannya mengucek mata, persis seperti orang yan
Suara seorang pria tiba-tiba membuat aku dan Edgar terkejut. Sontak Edgar langsung menjauhkan dirinya dariku. Sementara aku segera bangkit dan terduduk.Kutatap sosok pria berambut gondrong yang berdiri mematung di depan pintu penghubung. Di tangannya tergantung sebuah kotak yang kutebak itu adalah kue.“Ck! Gue tau kalian lagi bucin, tapi bisa liat tempat, nggak? Gimana kalo yang dateng Mama atau Papa?” Ia menggeleng-gelengkan kepala.“Bang, kita nggak pernah punya waktu buat berdua. Mama dan Papa pasti curiga kalo kita berduaan terus!” kilah Edgar yang kini berdiri dan menatap sang kakak.“Gar, gue tau, kok. Tapi please, cari waktu dan tempat yang tepat. Kalian masih beruntung kali ini. Besok-besok gue nggak tau, dan nggak mau tau,” sahut Daffa sambil meletakkan kue di tangannya di atas meja tepat di sampingnya. “Hulya, ini kue pesanan lo. Tadi, kan, lo yang bilang langsung taro di meja aja.”
Sontak kami terkejut dengan pertanyaan Daffa yang begitu tiba-tiba.Aku dan Edgar saling pandang. Bingung, itulah yang kami rasakan saat ini. Apa yang harus kami katakan pada Daffa?“Kenapa diem? Jujur aja sama gue, gue udah curiga sebenernya dari kita masih di pulau itu,” tanya Daffa lagi hingga membuat kami tersadar dari lamunan kami.Daffa duduk bersandar pada tiang candi di belakangnya, pandangannya menatap lurus ke depan. Menatap indahnya pemandangan kota Djogjakarta dari atas sini.“Sini duduk, kalian bisa percaya sama gue, kok!” Daffa menepuk tempat kosong di sisi kiri dan kanannya.Aku dan Edgar akhirnya duduk di samping Daffa. Edgar duduk di sisi kiri, sedangkan aku di sisi kanan.“Sejak kapan?” tanya Daffa memulai pembicaraan.“Sejak di pulau itu,” jawab Edgar tertunduk lesu.Kini Daffa menatapku serius hingga membuat aku sedikit memundurkan kepalaku. Sungguh, hatiku ber
“Maaf ya telat, kalian udah nunggu dari tadi, ya?”Sebuah suara seorang pria yang sangat kukenali, aku sedikit menggeser tubuhku agar dapat melihat ke arah pintu utama. Nampak Zayn baru saja masuk sambil menenteng sebuah kantong minimarket berwarna putih.“Halo, Hulya? Belom tidur?” tanya Zayn begitu ia melihat kehadiranku di ruangan ini.“Hehe, iya, Kak. Tadi habis ikut makan pizza. Kakak bawa apa, tuh?” tanyaku karena penasaran dengan isi kantong di tangan Zayn yang terlihat berat seperti berisi beberapa botol sirup atau apalah itu.“Ah, engga, ini cuma titipan mereka aja,” jawab Zayn sambil meletakkan kantong itu di lantai lalu duduk di sofa bergabung bersama Carel yang begitu kalem.“Minuman apaan, Kak?” tanyaku penasaran.Baru saja Zayn akan menjawab pertanyaanku, Edgar dengan cepat menarik tanganku dan membawaku masuk ke dalam kamar.“Udah, lo tidur sekarang, ya?