Hal itu membuatku terdiam seketika. Lalu, mereka kembali melanjutkan perkelahian mereka tanpa mempedulikan perkataanku.
Carel kembali meninju wajah Edgar yang kebetulan sedang dipegangi oleh Daffa, hal itu dijadikan kesempatan oleh Carel untuk membalasnya.
Sudut bibir Edgar mengeluarkan darah, tepat setelah bogem mentah dari Carel mendarat. Aku syok melihatnya, tiba-tiba, kepalaku kembali pusing, dan perutku terasa mual.
Aku hampir oleng, namun dengan cepat aku memegang dinding yang ada di belakangku dan bersandar di sana. Apa benar ini namanya serangan panik?
“Carel, stop, Carel!” bentak Daffa pada adiknya itu. Namun sepertinya perintah Daffa sia-sia karena Carel terus memukuli Edgar.
Tak lama, Zayn yang baru pulang dari bekerja langsung berlari menghampiri mereka begitu melihat adik-adiknya sedang baku hantam. Ia memegangi tubuh Carel agar berhenti memukuli Edgar.
“Carel, berenti, Rel!” teriak Zayn yang tak dipedulikan olehnya.
Kulihat Papa dan Mama muncul dari tangga yang menghubungkan lantai satu. Papa langsung berlari menghampiri Carel dan menarik lengannya dengan kasar. Sedangkan Mama menghampiriku sambil memelukku khawatir.
Kulihat Papa mengangkat tangannya untuk melayangkan sebuah tamparan di pipi Carel. Aku tidak bisa menyaksikan ini, hatiku terluka melihat seorang Papa memukul darah dagingnya sendiri. Yang kutahu, seorang Papa harus bijaksana menghadapi anak-anaknya, bukan dengan cara kekerasan seperti ini. Ini sudah kesekian kalinya aku melihat Papa memukul Carel!
“Pa, jangan pukul Kak Carel, Hulya mohon, Pa!” mohonku.
Papa akhirnya mengurungkan niatnya memukul Carel. Dan memerintahkan anak-anaknya itu untuk pergi ke kamar masing-masing.
***
“Awh, sakit tau, pelan-pelan!” pekik si mesum ini ketika aku membersihkan luka di sudut bibirnya dengan kapas yang sudah kucelup dengan alkohol.
Kami sedang berada di kamarku sekarang.
“Makanya, jangan baku hantam mulu hobinya!” sahutku masih terus mengoleskan kapas ini di sudut bibirnya.
“Gue salut sama lo. Lo bisa berentiin amukan Papa sama si preman itu.”
“Gue nggak tega aja liat Carel selalu dipukulin Papa. Lagian, kenapa si lo kaya kucing sama anjing kalo ketemu dia?”
“Mau tau banget, apa mau tau aja? Kepo banget, sih, jadi orang!"
Kesal mendengar jawabannya, aku tekan-tekan kapas ini dengan kencang pada lukanya dengan sengaja, lalu menggosokkannya dengan kasar. Haha, rasakan itu!
“Awh, awh, sakit, sakit.” Edgar menggeliat-geliat kesakitan, hal itu malah membuatku tertawa geli.
“Tampang doang lo sangar, tapi hati hellokitty. Eh, bukan, Teddy bear. Haha,” ejekku karena tiba tiba teringat dengan piyama Teddy bear yang ia kenakan tempo hari.
Ia mendengus kesal, “Inget, ya, Peperangan kita belum berakhir.”
Aku menghentikan kegiatanku sejenak dan menatapnya nanar. “Siapa juga yang mau damai sama lo. Gue ngelakuin ini karena kasian aja sama lo. Nggak ada yang mau ngobatin lo, Daffa lebih milih ngobatin Carel, sedangkan lo nggak mau diobatin Mama!”
“Mama lo tepatnya, bukan Mama gue!” ralatnya dengan kesal.
Ia hendak bangun dari duduknya namun kutahan dan langsung kutarik tubuhnya untuk duduk kembali di atas ranjangku.
Kuambil obat merah dengan menggunakan kapas dan kuoleskan ke sudut bibirnya yang robek dengan kasar hingga membuatnya merintih kesakitan.
“Awh! Gue bilang pelan-pelan!”
“Teruslah merintih, rintihan lo itu bagai nyanyian buat gue," sahutku dengan tertawa jahat.
“Ck! Dasar, psycho!” decaknya.
Setelah selesai, Edgar berkeliling kamarku, ia melihat-lihat benda-benda yang ada di kamarku. Tubuhnya berhenti tepat di depan jejeran poster dari boygrup kesayanganku.
“Ini grup apa namanya?” tanyanya sambil memperhatikan member dari boygrup itu satu persatu.
“Ya ampun, lo nggak tau BTS? Boygrup Korea yang lagi viral itu?” sahutku sambil memperhatikan gerak-geriknya yang mencurigakan. Ia tampak sedang merencanakan sesuatu yang jahat.
“Oh, begitu,” jawabnya santai.
Karena curiga, aku berjalan menghampirinya dan ikut berdiri disebelahnya sambil mengikuti arah pandangnya yang terlihat serius. Namun, aku melihat raut kegelisahan di wajahnya kala aku mendekat. Dia merencanakan apa, sih?
“Kenapa lo ngeliatinnya sampe segitunya?” Kuperhatikan gerak-geriknya baik-baik, takut ia memang merencanakan sesuatu.
“Engga, kok. Dia mirip banget sama gue, ya?” Ia menunjuk salah satu member lalu mengelus-elus posterku dengan tangannya.
Aku tercengang mendengar ucapannya, apa? Dia merasa mirip dengan Taehyungku?
“Lo ngerasa mirip Taehyung? Amit-amit, bagai bumi dan langit, tau nggak?!” sahutku tak terima dan mulai lengah karena tersulut emosi.
Ia menatap tajam ke arahku, dan tangannya tiba-tiba memegang bagian bawah posterku yang tidak di lakban, karena aku hanya melakban di sudut-sudutnya saja. Dan dengan cepat dia ...
Sret!
“Ups! Sorry, nggak sengaja!” Ia mengatakan itu sambil berlari dengan cepat, lalu keluar dari kamarku.
Aku terdiam mematung, jantungku memacu kala melihat posterku yang sudah robek hampir jadi dua bagian itu. Karena terlalu syok, sampai-sampai aku tak bisa mengejarnya. Kejadiannya begitu cepat, aku sama sekali tak mengira bahwa ia akan merobek posterku dengan mudahnya.
“Kyaaa!!! Edgar Mahendraaa!!!”
***
Pagi telah tiba, aku sedang membantu Mbok Minah menyiapkan sarapan. Sebenarnya Mbok Minah sudah melarangku, namun aku tak terbiasa hanya duduk diam di rumah ini tanpa melakukan kegiatan rumah. Lagi pula, memasak adalah hobiku!
Aku sedang menaruh makanan itu di meja makan. Tiba-tiba Zayn datang dan langsung duduk di salah satu kursi. Ia langsung mengambil seporsi nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi, lalu melahapnya, ia terdiam beberapa saat ketika makanan itu masuk ke mulutnya.
“Enak banget, ini Mbok bukan yang bikin?” tanyanya pada Mbok Minah yang sedang menaruh segelas susu di dekatnya.
“Non Hulya yang bikin, Den!” sahut Mbok Minah.
Zayn menatap datar ke arahku, aku hanya bisa tersipu malu mendapat tatapan darinya. Lalu aku ikut bergabung bersama Zayn untuk sarapan dan duduk di depannya.
“Kak Zayn kerja di mana?” tanyaku mencoba untuk memulai percakapan dengannya.
“Apa urusannya sama lo? Lo mau ambil perusahaan Papa juga?” jawabnya ketus.
Mendengar jawaban dari Zayn membuatku terdiam seketika. Aku hanya bisa menunduk sambil mengaduk-aduk makanan dihadapanku. Apakah Zayn juga begitu membenciku layaknya Edgar membenciku?
Zayn dengan cepat menghabiskan makanannya dan meminum susunya. Ia sama sekali tak menghiraukanku, ia sepertinya tak menganggapku ada di sini.
Selesai makan, ia bergegas pergi dengan tas laptopnya menuju halaman di mana mobilnya terparkir. Sedangkan, aku hanya bisa menatap sedih kepergiannya. Lalu, tak lama, Mama dan Papa datang untuk sarapan.
Setelah membantu Mbok Minah membereskan meja makan, aku berniat untuk duduk santai di halaman belakang. Sepertinya menyenangkan kalau duduk-duduk di pinggir kolam renang. Apalagi hari masih cukup pagi, udara juga masih dingin dan menyegarkan.
Untuk dapat ke halaman belakang, aku harus melewati kamar Mama dan Papa. Pintunya tidak tertutup saat aku lewat. Hingga tanpa sengaja aku mendengar pembicaraan mereka.
“Mas punya rencana apa untuk membuat mereka akur?” suara Mama terdengar. Sontak aku langsung menghentikan langkahku dan berdiam di balik tembok, penasaran dengan apa maksud ucapan Mama barusan.
Lalu, kudengar Papa menyahut. "Papa ingin mengirim mereka liburan bersama di kapal pesiar.”
Apa? Liburan di kapal pesiar? Serius? “Itu ide yang bagus, Mas. Apa kita perlu ikut bersama mereka?” Suara Mama terdengar lagi. “Tidak, biarkan mereka menikmati waktu mereka sendiri,” sahut Papa. “Tapi, bagaimana kalau mereka berkelahi di sana?” Mama. “Tidak akan, karena aku akan memberikan suatu ancaman pada mereka.” Perlahan, aku mendengar langkah kaki berjalan keluar dari kamar Mama dan Papa. Tidak, itu pasti Papa! Sontak aku langsung berbalik arah dan berpura-pura menaiki tangga. Kuurungkan niatku untuk ke halaman belakang, dan memilih untuk ke kamarku saja. Di kamar, aku memikirkan percakapan Mama dan Papa barusan. Jadi, kami akan liburan di kapal pesiar? Sungguh! Aku belum pernah naik kapal pesiar, bahkan melihatnya saja aku belum pernah. Ini pasti akan menjadi pengalaman paling menyenangkan yang pernah kualami selama hidupku! *** Hari sudah siang, aku sedang bersantai di kamar. Rumah terasa tenang
Sebuah suara membuat kami menghentikan langkah kami. Aku ingat betul, suara itu milik siapa. Aku membalikkan badan dan berjalan perlahan ke arah Edgar dan Zayn. Melihatku berjalan mendekat, mereka langsung berdiri. Aku berdiri dihadapan orang yang menyindirku, lalu melayangkan tatapan tajam padanya. “Edgar Mahendra. Gue udah pernah bilang sama lo, kalo gue emang mau rebut harta Papa. Bukankah ini semua udah jelas buat ngebuktiin maksud gue?” Aku menyeringai, ia bergidik melihat seringaian dariku. Sementara Zayn hanya memperhatikan dengan kedua tangan terlipat di depan dada. “Berani-beraninya lo ngomong gitu di depan gue!” bentak Edgar, tangannya sudah melayang di udara. Aku mendongakkan kepala, menantangnya. Sedangkan, Mama langsung berlari ke arahku kala melihat Edgar mengangkat tangannya, sementara Zayn sengaja mendiamkannya. Edgar berhenti beberapa detik, kemudian mengepalkan tangannya dan mengurungkan niatnya. Apa ini? Dia tidak ja
Aku menatap Papa dengan penuh tanda tanya. “Pa, apa maksudnya ini? Kenapa Hulya dibawa-bawa?” tanyaku. Kulihat Papa hanya tersenyum tanpa sepatah kata pun. Aneh, apa sih yang ada dipikiran Papa sekarang? “Pa, apa Daffa boleh ajak Salma?” timpal Daffa. Papa menggeleng pelan. “Tidak ada yang boleh membawa orang luar. Ini adalah acara khusus keluarga kita.” “Lalu, apa Papa dan Tante ikut?” sahut Edgar. Apa katanya? Tante?! “Edgar! Sopan sedikit sama Mamamu! Jangan panggil Mama dengan sebutan Tante lagi!” marah Papa. Namun Edgar tak menanggapi dan malah memainkan ponselnya. Papa hanya mendengus kesal melihat kelakuan putra bungsunya. Benar-benar anak yang tidak sopan pada orang tua! Lalu Papa melanjutkan, “Dan untuk Edgar dan Carel, Papa harap kalian tidak berkelahi di sana. Jika Papa menerima laporan kalau kalian berkelahi, maka penawaran itu akan batal.” Kulihat Edgar dan dan Carel tampak terdiam mendengar
Aku langsung menatapnya serius, ia tertawa kecil kala melihat wajahku. Memang ada yang lucu? “Iih! Serius Kak. Gue penasaran banget kenapa Edgar sama Carel sering berantem?” sahutku sebal. “Mau tau banget apa mau tau aja?” godanya. Mendengarnya berkata seperti itu, membuatku teringat si mesum ketika mengucapkan kata yang sama. “Ah, nyebelin!” tukasku. Kutinggalkan Daffa di sana dan langsung masuk ke kamarku. Sengaja aku membanting pintu dengan keras. Biar saja, memangnya dia pikir ini semua lucu! Kuambil laptop dan speaker portabel yang tergeletak di atas nakas yang ada di samping tempat tidurku. Lalu, kubawa ke atas ranjang, kuhubungkan kabel speaker itu pada laptop. Setelahnya, aku tidur tengkurap dan menyalakan laptopku. Huh, aku sudah terlanjur kesal dengan Daffa, lebih baik aku menonton tayangan ulang konser idola kesayanganku. Setidaknya mereka bisa membuat moodku membaik. Video
Setelah kapal ini mulai menjauh, aku dan Daffa memasuki kapal mewah ini. Sementara Edgar dan Carel sudah menghilang entah kemana. Aku baru tahu kalau kapal pesiar ini memiliki banyak lantai atau dek layaknya gedung bertingkat. Kamar kami tepat berada di dek tujuh, sedangkan tempat kami memasuki kapal adalah dek sepuluh, jadi kami harus menaiki lift untuk dapat turun ke dek tujuh. Setelah kami sampai di dek tujuh, kami melewati sebuah lorong. Tepat di sisi kiri dan kanan kami terdapat pintu yang berjejer sampai ujung lorong. Ruangan di dalam pintu itu adalah sebuah kamar. “Kamar nomor 725,” ucapku ketika menemukan nomor kamarku. Aku menoleh ke sebelahku, ternyata kamar Daffa tepat berada di depan kamarku. “Nanti ketemuan di dek sepuluh aja ya. Gue mau mandi dulu, belom mandi, nih,” ucap Daffa yang sudah membuka pintu kamarnya. Aku hanya mengangguk. Kubuka pintu kamar setelah kutempelkan sebuah kartu di dekat kenop pintu, lalu p
Tubuhku tercebur ke dalam kolam. Tanganku berusaha meraih-raih ke atas namun tidak bisa. Kurasakan tubuhku semakin masuk ke dasar kolam, rasanya seperti ada sesuatu yang menarik tubuhku. Kucoba untuk menghentak-hentakan kaki, dan menggerakkan tanganku sekuat tenaga untuk dapat kembali ke permukaan. Pasokan oksigenku habis, kurasakan air dari kolam ini memasuki hidung dan mulutku. Karena terlalu banyak bergerak, hal itu membuat tubuhku menjadi lemas. Tuhan, mungkinkah ini saatnya aku pergi? Kurasakan tubuhku sudah tak bisa digerakkan lagi, namun, samar-samar kulihat seseorang di dalam air. Ia langsung meraih tubuhku ke dalam dekapannya. Sebelum kami sampai ke permukaan, kurasakan semuanya menjadi gelap. *** “Uhuk-uhuk!” aku terbatuk kala seseorang menekan dadaku. Lalu kumuntahkan semua air yang masuk ke dalam tubuhku. Dan, saat kumembuka mata, yang pertama kulihat adalah wajah Edgar. Ia menatapku dengan khawatir sambil menepuk-nepuk pip
“Pffft ...” Tepat setelah kupejamkan mata, aku mendengar suara seseorang tertawa. Sontak aku langsung membuka mata, dan kulihat Edgar sedang tertawa di hadapanku. “Lo, kenapa nutup mata? Haha!” tawanya nyaring sambil memegangi perutnya sendiri. Mendengar hal itu, membuatku begitu malu. Tidak! Apa yang sudah kulakukan tadi? Kenapa aku menutup mata? Ah, aku pasti sudah gila sekarang! Rasanya malu setengah mati, bodoh! Kutendang lututnya dengan keras, ia merintih kesakitan. Namun aku tidak peduli, biar saja ia rasakan itu karena sudah mengerjaiku! Kulangkahkan kakiku meninggalkannya, ia berteriak-teriak memanggil namaku, namun tak kuhiraukan. Sadarlah Hulya, kenapa kau harus berpikir bahwa si mesum itu mau menciummu? Kenapa juga kau memejamkan mata? Akal sehatku pasti sudah hilang sekarang! Sesampainya di kamarku, aku mendapat pesan dari Feza. Ia mengajakku untuk menonton film di bioskop. Aku yang memang penasaran dengan sensasi m
Aku terdiam ketika Carel mengatakan hal itu. Kemudian, dengan sedikit senyum terukir di bibirnya, ia melanjutkan. “Nggak usah takut, gue nggak bakal ngapa-ngapain lo, kok.” Carel menarik lenganku. Aku coba memberontak, tapi cengkeraman tangannya terlalu kuat. Dan, akhirnya aku hanya bisa pasrah mengikuti ajakannya. Carel membawaku ke suatu tempat, aku tahu tempat apa itu. Karena samar-samar kudengar hentakan musik yang keras dari dalam ruangan. Kutarik lenganku dengan kasar, lalu menatapnya dengan tajam. “Ngapain bawa gue ke tempat beginian?!” teriakku. Ia kembali meraih pergelangan tanganku, namun dengan cepat aku menghindar. “Nggak ada yang aneh kok di dalem. Gue tau lo pasti bakal suka masuk ke sana!” jawabnya. Dia mencoba meyakinkanku, akhirnya aku mengalah dan menurutinya. Lagipula, tidak mungkin kan dia mengajakku ke tempat yang tidak-tidak? Begitu sampai di dalam ruangan aku terkejut karena dugaanku ternyata sala
Aku tersentak kaget mendengar suara teriakan dari dalam kamar mandi.Sontak aku langsung membalikkan tubuhku, takut melihat sesuatu yang seharusnya tak kulihat. Cukup lama aku terdiam dalam posisi yang sama, hingga akhirnya kudengar suara perempuan dari arah kamar mandi.“How dare you?! Main buka pintu toilet seenaknya! Where’s your attitude!” hardiknya galak.Aku membalikkan tubuhku untuk mengetahui sosok yang sedang memarahiku ini. Hingga ketika aku bertatapan dengannya, aku terkejut karena ada wanita seusiaku di hadapanku dengan hanya terbalut piyama mandinya. Rambut wanita itu berwarna blonde dan basah.“Lo siapa?” tanyaku heran.“Lo tanya gue siapa? Ini rumah gue, lo yang siapa!” sahutnya dengan logat ala kebarat-baratan.“Hah? Rumah lo? Maksudnya lo itu Sheryl anaknya Tante Rachel dan Om Gideon?” tanyaku terkejut bukan main.Dia melotot ke arahku. “Iya, gue Sheryl! Kenapa?”Seketika aku terkekeh mendengar jawabannya. Jadi dia betulan Sheryl? Astaga! Dia sudah besar sekarang. Dul
Aku terdiam seribu bahasa begitu mendengar rencana Papa.Menjodohkan Hulya dengan pria lain?Apa Papa benar-benar tidak peduli dengan perasaanku?Aku mengerti jika hubungan kami adalah hubungan yang terlarang. Namun, tak bisakah Papa memberikan sedikit saja waktu untuk kami?Kutatap pria baya itu dengan mata memerah menahan kesal. “Edgar tidak bisa melihat Hulya bersama dengan pria lain, Pa,” ucapku terbata.“Kalau begitu kau yang harus pergi, Edgar. Bukan Papa tidak peduli dengan perasaanmu. Papa hanya mencegah semuanya terlambat dan menjadi terlalu dalam,” jelas Papa, aku terdiam.Papa menepuk pundakku dengan lembut. “Percayalah ini semua Papa lakukan demi kebaikanmu.”Usai mengatakan hal tu, Papa memintaku untuk meninggalkan kamarnya. Ia bilang ia akan membicarakan hal ini dengan Mama.Dengan langkah gontai aku keluar dari kamar kedua orang tuaku. Kulangkahkan kakiku menaiki anak tangga menuju kamarku. Tepat ketika aku sampai di lantai dua, kulihat Hulya sedang berdiri di balkon, m
POV Edgar Aku adalah Edgar Mahendra. Anak bungsu dari empat bersaudara. Awalnya kami adalah keluarga yang tak terlalu dekat. Kami jarang sekali berinteraksi satu sama lain. Kami berbicara jika hanya ada perlu saja. Itu semua terjadi karena anggota keluarga sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Suatu hari, aku mengalami sebuah insiden tak terduga. Aku dituduh telah mencuri ciuman pertama seorang wanita yang bahkan aku sendiri tidak mengenalnya. Kejadian itu tak disengaja. Saat itu aku baru saja dari minimarket untuk membeli sebuah kopi kaleng. Aku tak tahu kalau di depanku ada dua orang karyawan wanita sedang berjalan karena aku terlalu sibuk dengan gawaiku. Hingga tiba-tiba salah satu dari mereka membalikkan badan dengan cepat dan menubruk diriku. Aku yang tak dapat menghindar tiba-tiba saja ditubruk seperti itu olehnya. Aku terjengkang ke belakang, dan tubuh wanita itu menindih tubuhku. Dan, yang paling membuatk
“Kamu jangan macem-macem, Gar!” ucap Papa pada Edgar melalui sambungan telepon. Kami yang berada di ruangan itu sontak menatap ke arah Papa dengan penuh tanda tanya.“Sekarang kamu pulang!” ucap Papa lagi kali ini dengan nada sedikit membentak. Papa selanjutnya mematikan sambungan teleponnya dengan Edgar. Seketika semua menjadi hening, tak ada yang berani bertanya kecuali Mama.“Mas, ada apa?” tanya Mama yang kini berdiri dan menghampiri Papa yang masih terlihat kesal.“Edgar, dia bilang ....” Papa sempat melirik sekilas ke arahku yang menatapnya, namun dengan cepat ia mengalihkan pandangannya. “Nggak, nanti aja kita bicarakan sama anaknya.”Papa dan Mama akhirnya meninggalkan kami. Mereka menuju ke kamar untuk membicarakan sesuatu. Sungguh, aku benar-benar penasaran dengan apa yang mereka bicarakan. Tatapan Papa tadi seolah-olah mengintimidasiku. Aku yakin, pasti obrolan tadi dengan Edgar ada hu
Aku menatap serius pria berambut gondrong itu. Rasanya perkataan Daffa barusan tidak dapat kupercaya begitu saja. Bagaimana bisa Edgar merahasiakan hal sepenting ini dariku?“Jadi lo belum tahu?” Daffa terlihat salah tingkah, ada sedikit kekhawatiran di wajahnya. Mungkin dia merasa telah membocorkan rahasia adiknya itu.Aku menggeleng pelan. Pikiranku dipenuhi berbagai pertanyaan. Pokoknya aku harus menanyakan hal ini pada Edgar. Enak saja kalau ia tak memberitahuku rencana besarnya.“Hulya, sorry, ya. Gue kayaknya nggak seharusnya ngomong ini dulu sama lo,” sesal Daffa dengan wajah bersalah. Sementara aku hanya mengangguk, sambil mengatakan kalau aku baik-baik saja.Tiba-tiba listrik kembali menyala. Lampu ruangan di mana kami duduk sudah menyala dengan terang. Aku meminta izin pada Daffa untuk pergi ke kamar. Karena entah mengapa aku merasa moodku tiba-tiba memburuk.“Hulya, jangan pikirin masalah i
Dengan cepat kuambil gawaiku dan kunyalakan fitur senter. Segera aku keluar kamar untuk mencari Edgar. Di luar ternyata hujan semakin deras mengguyur, disertai petir yang bergemuruh dan kilat menyambar-nyambar di tengah gelapnya malam.“Gar? Lo di dalem, kan?” panggilku ketika aku sudah berdiri di ambang pintu kamarnya. Rasanya tadi aku sempat mendengar suaranya tengah bersenandung memasuki kamarnya.Lama aku menunggu, namun tak ada jawaban apa pun dari dalam kamar. Mungkin aku kurang keras memanggil dan mengetuk pintu kamarnya.Kucoba untuk mengetuk pintu itu lebih keras lagi. “Gar!” panggilku lagi atau lebih mirip dengan setengah berteriak.Tak berapa lama, terbukalah pintu kamarnya. Kuarahkan gawaiku ke wajahnya, terpampanglah sosok pria dengan piyama teddy bear berdiri di sana, piyama yang selalu membuatku tertawa jika mengingatnya. Dengan muka bantal ia menatapku, satu tangannya mengucek mata, persis seperti orang yan
Suara seorang pria tiba-tiba membuat aku dan Edgar terkejut. Sontak Edgar langsung menjauhkan dirinya dariku. Sementara aku segera bangkit dan terduduk.Kutatap sosok pria berambut gondrong yang berdiri mematung di depan pintu penghubung. Di tangannya tergantung sebuah kotak yang kutebak itu adalah kue.“Ck! Gue tau kalian lagi bucin, tapi bisa liat tempat, nggak? Gimana kalo yang dateng Mama atau Papa?” Ia menggeleng-gelengkan kepala.“Bang, kita nggak pernah punya waktu buat berdua. Mama dan Papa pasti curiga kalo kita berduaan terus!” kilah Edgar yang kini berdiri dan menatap sang kakak.“Gar, gue tau, kok. Tapi please, cari waktu dan tempat yang tepat. Kalian masih beruntung kali ini. Besok-besok gue nggak tau, dan nggak mau tau,” sahut Daffa sambil meletakkan kue di tangannya di atas meja tepat di sampingnya. “Hulya, ini kue pesanan lo. Tadi, kan, lo yang bilang langsung taro di meja aja.”
Sontak kami terkejut dengan pertanyaan Daffa yang begitu tiba-tiba.Aku dan Edgar saling pandang. Bingung, itulah yang kami rasakan saat ini. Apa yang harus kami katakan pada Daffa?“Kenapa diem? Jujur aja sama gue, gue udah curiga sebenernya dari kita masih di pulau itu,” tanya Daffa lagi hingga membuat kami tersadar dari lamunan kami.Daffa duduk bersandar pada tiang candi di belakangnya, pandangannya menatap lurus ke depan. Menatap indahnya pemandangan kota Djogjakarta dari atas sini.“Sini duduk, kalian bisa percaya sama gue, kok!” Daffa menepuk tempat kosong di sisi kiri dan kanannya.Aku dan Edgar akhirnya duduk di samping Daffa. Edgar duduk di sisi kiri, sedangkan aku di sisi kanan.“Sejak kapan?” tanya Daffa memulai pembicaraan.“Sejak di pulau itu,” jawab Edgar tertunduk lesu.Kini Daffa menatapku serius hingga membuat aku sedikit memundurkan kepalaku. Sungguh, hatiku ber
“Maaf ya telat, kalian udah nunggu dari tadi, ya?”Sebuah suara seorang pria yang sangat kukenali, aku sedikit menggeser tubuhku agar dapat melihat ke arah pintu utama. Nampak Zayn baru saja masuk sambil menenteng sebuah kantong minimarket berwarna putih.“Halo, Hulya? Belom tidur?” tanya Zayn begitu ia melihat kehadiranku di ruangan ini.“Hehe, iya, Kak. Tadi habis ikut makan pizza. Kakak bawa apa, tuh?” tanyaku karena penasaran dengan isi kantong di tangan Zayn yang terlihat berat seperti berisi beberapa botol sirup atau apalah itu.“Ah, engga, ini cuma titipan mereka aja,” jawab Zayn sambil meletakkan kantong itu di lantai lalu duduk di sofa bergabung bersama Carel yang begitu kalem.“Minuman apaan, Kak?” tanyaku penasaran.Baru saja Zayn akan menjawab pertanyaanku, Edgar dengan cepat menarik tanganku dan membawaku masuk ke dalam kamar.“Udah, lo tidur sekarang, ya?