Beranda / Romansa / Live With 4 Stepbrothers / Bab 12 - Mereka harus membuatku senang?

Share

Bab 12 - Mereka harus membuatku senang?

Penulis: Fantazia
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-29 19:42:56

Sebuah suara membuat kami menghentikan langkah kami. Aku ingat betul, suara itu milik siapa.

Aku membalikkan badan dan berjalan perlahan ke arah Edgar dan Zayn. Melihatku berjalan mendekat, mereka langsung berdiri.

Aku berdiri dihadapan orang yang menyindirku, lalu melayangkan tatapan tajam padanya.

“Edgar Mahendra. Gue udah pernah bilang sama lo, kalo gue emang mau rebut harta Papa. Bukankah ini semua udah jelas buat ngebuktiin maksud gue?” Aku menyeringai, ia bergidik melihat seringaian dariku. Sementara Zayn hanya memperhatikan dengan kedua tangan terlipat di depan dada.

“Berani-beraninya lo ngomong gitu di depan gue!” bentak Edgar, tangannya sudah melayang di udara. Aku mendongakkan kepala, menantangnya.

Sedangkan, Mama langsung berlari ke arahku kala melihat Edgar mengangkat tangannya, sementara Zayn sengaja mendiamkannya.

Edgar berhenti beberapa detik, kemudian mengepalkan tangannya dan mengurungkan niatnya. Apa ini? Dia tidak jadi memukulku?

“Sampai kapan pun kalian nggak akan pernah gue anggap bagian dari keluarga!” Edgar berkata dengan penuh penekanan. Kemudian ia berjalan menjauh diikuti dengan Zayn yang berjalan santai di belakangnya.

Seketika tubuhku menjadi lemas. Untuk saja aku langsung berpegang pada sofa yang ada tepat di sampingku, sehingga aku bisa menahan tubuhku sendiri.

Aku hanya bisa menunduk mengingat perkataan Edgar barusan. Mau sampai kapan ia akan bersikap membenci seperti itu padaku?

Padahal, rasanya baru kemarin ia bersikap sedikit lebih baik padaku. Tapi, kenapa hari ini ia bersikap seperti itu lagi? Apa ia benar-benar percaya pada perkataanku yang akan merebut harta Papa?

“Hulya, udah jangan dipikirin.” Mama menyentuh lembut pundakku. Aku hanya terdiam dan segera beranjak menuju kamarku.

Ekor mataku sempat menangkap bayangan Mama yang menatapku sedih. Ma, aku tahu, Mama juga pasti merasakan hal yang sama, kan?

***

Papa baru saja pulang dari kantor. Ia sedang membaca koran di teras rumah dengan ditemani Mama.

Kuhampiri Papa dan duduk di salah satu kursi yang terbuat dari kayu jati. Papa menghentikan aktivitasnya, sambil membetulkan letak kacamatanya yang melorot karena membaca koran, ia menatapku bingung.

“Ada apa, Hulya?”

Kutatap Papa serius. “Pa, Hulya minta maaf sebelumnya kalo Hulya lancang. Hulya minta, Papa berhenti kasih Hulya uang saku dan uang bulanan Mama banyak-banyak!”

Papa mengangkat sebelah alisnya, “Kamu nggak suka Papa ngelakuin itu? Kenapa?”

“Pa, Hulya ngerasa nggak pantes nerima ini semua. Ini bukan hak Hulya, Pa. Ini semua hak anak-anak Papa!”

“Jadi maksud kamu, kamu masih bukan anak Papa?” sahut Papa lirih.

Deg!

Mendengar jawaban Papa membuat jantungku berhenti. Sungguh, aku tak bermaksud untuk mengatakan hal itu pada Papa. Aku hanya, merasa ini terlalu berlebihan untukku.

“Pa, maaf. Bukan itu maksud Hulya, Hulya hanya ...”

“Hulya, sejak Papa menikahi Mama kamu, kamu itu udah resmi jadi anak Papa. Jadi Papa juga harus perlakukan kamu sama seperti Papa perlakukan anak-anak Papa.”

“Tapi, Pa ...” belum sempat aku berbicara, Papa kembali memotongnya.

“Dan soal uang saku dan uang bulanan Mama. Papa rasa itu masih jauh di bawah dari kata besar. Semua itu nggak sebanding dengan pengorbanan Mama untuk membesarkan kamu sampai sebesar ini. Jadi, Papa harap, kamu jangan merasa nggak berhak lagi, ya.”

Aku termenung mendengar perkataan Papa, kemudian mengangguk.

“Kamu dan Mama bebas melakukan apa pun dengan uang itu. Mobil juga kamu bebas mau pakai yang mana pun, nggak ada yang Papa beda-bedain. Semuanya sama, sama-sama bagian dari keluarga ini yang sangat Papa sayangi,” sambungnya lagi.

Aku hampir menangis mendengarnya, namun sekuat tenaga aku menahannya. Aku tidak ingin menangis di depan Mama dan Papa. Bodohnya diriku yang sudah berpikiran sempit. Papa ternyata sangat menyayangi aku dan Mama sama seperti beliau menyayangi keluarganya. Maafkan aku, Papa!

Usai berbicara denganku, Papa mengumpulkan kami di ruang keluarga. Zayn, Daffa dan Edgar duduk bersebelahan, sementara aku memilih duduk di dekat Mama yang jauh dari mereka. Malam ini wajah Papa terlihat serius. Aku penasaran, hal apa yang ingin Papa bicarakan dengan kami.

Tak lama, kulihat Carel datang dengan tergopoh-gopoh. Pria bertato itu sudah terlihat rapi dan wangi. Sepertinya, setelah ini ia akan langsung pergi ke diskotik kesayangannya. Carel duduk tepat di sebelahku, karena memang hanya di sana tempat yang kosong.

Setelah semuanya lengkap, Papa memulai pembicaraan.

“Anak-anak, Papa sudah membicarakan hal ini dengan Mama. Rencananya, Papa dan Mama akan mengirim kalian untuk berlibur di kapal pesiar,” ucap Papa.

Aku yang sudah mengetahuinya tidak terkejut sama sekali. Namun, ketika aku melihat ke arah keempat Kakak sambungku, mereka tampak syok begitu mendengarnya. Terutama Zayn yang sudah berdiri dengan mata tertuju pada Papa.

“Maaf, Zayn nggak bisa!”

Papa balas menatap Zayn serius. “Kenapa?”

“Pa, perusahaan kita lagi ngejalanin proyek besar. Dan Zayn sebagai penerus Papa, nggak mungkin bisa ninggalin kerjaan gitu aja,” jelas Zayn.

Papa terlihat memikirkan sesuatu dengan tangan memegang dagunya yang memiliki sedikit jenggot.

“Baiklah, semuanya wajib ikut kecuali Zayn," sambungnya lagi.

“Edgar juga nggak bisa ikut, Pa!” sahut Edgar. Papa menoleh ke arahnya yang masih duduk bersandar di sofa.

“Edgar harus kuliah, Pa!” sambung Edgar.

“Lho, bukannya Minggu depan kamu udah mulai libur semester?” Papa mengernyitkan kening. Edgar terlihat gelagapan.

“M-maksud Edgar, Edgar kan bentar lagi ada penelitian penting, Pa!” Terlihat jelas dari gerak-geriknya bahawa anak ini sedang berbohong.

“Udah nggak usah banyak alasan. Kalian wajib ikut kecuali Zayn. Kalo ada yang nggak mau menurut, Papa akan ambil semua kartu kredit, mobil, dan uang jajan bulanan kalian!” tegas Papa.

Kulihat Edgar dan Carel tampak lesu mendengar perkataan Papa. Kecuali Daffa, ia terlihat senang dengan rencana Papa. Dan tepat ketika aku memperhatikan gerak-geriknya, ia menoleh ke arahku dan tersenyum, lalu mengangguk padaku. Seketika aku langsung mengalihkan pandangan ke arah lain dengan wajah merah padam. Bodoh, kenapa bisa ketahuan!

“Segala sesuatunya sudah Papa persiapkan. Kalian akan di kapal itu selama satu Minggu. Kalian akan berangkat Minggu depan. Dan Papa memiliki tawaran menarik untuk kalian,” sambung Papa.

Terlihat mereka bertiga tampak tertarik dengan tawaran Papa. Mereka menatap Papa dengan serius.

Lalu Papa melanjutkan, “Kalo kalian bisa buat Hulya senang di sana. Papa akan memberikan saham Papa masing-masing lima persen untuk kalian.”

Kami semua terkejut begitu mendengar penawaran dari Papa. Satu hal yang membuatku bertanya-tanya, Kenapa aku harus dilibatkan dalam penawaran ini?

Serentak mereka bertiga menatap ke arahku sambil menyeringai.

Bab terkait

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 13 - Ke kampus

    Aku menatap Papa dengan penuh tanda tanya. “Pa, apa maksudnya ini? Kenapa Hulya dibawa-bawa?” tanyaku. Kulihat Papa hanya tersenyum tanpa sepatah kata pun. Aneh, apa sih yang ada dipikiran Papa sekarang? “Pa, apa Daffa boleh ajak Salma?” timpal Daffa. Papa menggeleng pelan. “Tidak ada yang boleh membawa orang luar. Ini adalah acara khusus keluarga kita.” “Lalu, apa Papa dan Tante ikut?” sahut Edgar. Apa katanya? Tante?! “Edgar! Sopan sedikit sama Mamamu! Jangan panggil Mama dengan sebutan Tante lagi!” marah Papa. Namun Edgar tak menanggapi dan malah memainkan ponselnya. Papa hanya mendengus kesal melihat kelakuan putra bungsunya. Benar-benar anak yang tidak sopan pada orang tua! Lalu Papa melanjutkan, “Dan untuk Edgar dan Carel, Papa harap kalian tidak berkelahi di sana. Jika Papa menerima laporan kalau kalian berkelahi, maka penawaran itu akan batal.” Kulihat Edgar dan dan Carel tampak terdiam mendengar

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 14 - Persiapan liburan

    Aku langsung menatapnya serius, ia tertawa kecil kala melihat wajahku. Memang ada yang lucu? “Iih! Serius Kak. Gue penasaran banget kenapa Edgar sama Carel sering berantem?” sahutku sebal. “Mau tau banget apa mau tau aja?” godanya. Mendengarnya berkata seperti itu, membuatku teringat si mesum ketika mengucapkan kata yang sama. “Ah, nyebelin!” tukasku. Kutinggalkan Daffa di sana dan langsung masuk ke kamarku. Sengaja aku membanting pintu dengan keras. Biar saja, memangnya dia pikir ini semua lucu! Kuambil laptop dan speaker portabel yang tergeletak di atas nakas yang ada di samping tempat tidurku. Lalu, kubawa ke atas ranjang, kuhubungkan kabel speaker itu pada laptop. Setelahnya, aku tidur tengkurap dan menyalakan laptopku. Huh, aku sudah terlanjur kesal dengan Daffa, lebih baik aku menonton tayangan ulang konser idola kesayanganku. Setidaknya mereka bisa membuat moodku membaik. Video

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 15 - Tenggelam

    Setelah kapal ini mulai menjauh, aku dan Daffa memasuki kapal mewah ini. Sementara Edgar dan Carel sudah menghilang entah kemana. Aku baru tahu kalau kapal pesiar ini memiliki banyak lantai atau dek layaknya gedung bertingkat. Kamar kami tepat berada di dek tujuh, sedangkan tempat kami memasuki kapal adalah dek sepuluh, jadi kami harus menaiki lift untuk dapat turun ke dek tujuh. Setelah kami sampai di dek tujuh, kami melewati sebuah lorong. Tepat di sisi kiri dan kanan kami terdapat pintu yang berjejer sampai ujung lorong. Ruangan di dalam pintu itu adalah sebuah kamar. “Kamar nomor 725,” ucapku ketika menemukan nomor kamarku. Aku menoleh ke sebelahku, ternyata kamar Daffa tepat berada di depan kamarku. “Nanti ketemuan di dek sepuluh aja ya. Gue mau mandi dulu, belom mandi, nih,” ucap Daffa yang sudah membuka pintu kamarnya. Aku hanya mengangguk. Kubuka pintu kamar setelah kutempelkan sebuah kartu di dekat kenop pintu, lalu p

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 16 - Nafas buatan?

    Tubuhku tercebur ke dalam kolam. Tanganku berusaha meraih-raih ke atas namun tidak bisa. Kurasakan tubuhku semakin masuk ke dasar kolam, rasanya seperti ada sesuatu yang menarik tubuhku. Kucoba untuk menghentak-hentakan kaki, dan menggerakkan tanganku sekuat tenaga untuk dapat kembali ke permukaan. Pasokan oksigenku habis, kurasakan air dari kolam ini memasuki hidung dan mulutku. Karena terlalu banyak bergerak, hal itu membuat tubuhku menjadi lemas. Tuhan, mungkinkah ini saatnya aku pergi? Kurasakan tubuhku sudah tak bisa digerakkan lagi, namun, samar-samar kulihat seseorang di dalam air. Ia langsung meraih tubuhku ke dalam dekapannya. Sebelum kami sampai ke permukaan, kurasakan semuanya menjadi gelap. *** “Uhuk-uhuk!” aku terbatuk kala seseorang menekan dadaku. Lalu kumuntahkan semua air yang masuk ke dalam tubuhku. Dan, saat kumembuka mata, yang pertama kulihat adalah wajah Edgar. Ia menatapku dengan khawatir sambil menepuk-nepuk pip

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 17 - Minum Wine?

    “Pffft ...” Tepat setelah kupejamkan mata, aku mendengar suara seseorang tertawa. Sontak aku langsung membuka mata, dan kulihat Edgar sedang tertawa di hadapanku. “Lo, kenapa nutup mata? Haha!” tawanya nyaring sambil memegangi perutnya sendiri. Mendengar hal itu, membuatku begitu malu. Tidak! Apa yang sudah kulakukan tadi? Kenapa aku menutup mata? Ah, aku pasti sudah gila sekarang! Rasanya malu setengah mati, bodoh! Kutendang lututnya dengan keras, ia merintih kesakitan. Namun aku tidak peduli, biar saja ia rasakan itu karena sudah mengerjaiku! Kulangkahkan kakiku meninggalkannya, ia berteriak-teriak memanggil namaku, namun tak kuhiraukan. Sadarlah Hulya, kenapa kau harus berpikir bahwa si mesum itu mau menciummu? Kenapa juga kau memejamkan mata? Akal sehatku pasti sudah hilang sekarang! Sesampainya di kamarku, aku mendapat pesan dari Feza. Ia mengajakku untuk menonton film di bioskop. Aku yang memang penasaran dengan sensasi m

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 18 - Tempat asyik

    Aku terdiam ketika Carel mengatakan hal itu. Kemudian, dengan sedikit senyum terukir di bibirnya, ia melanjutkan. “Nggak usah takut, gue nggak bakal ngapa-ngapain lo, kok.” Carel menarik lenganku. Aku coba memberontak, tapi cengkeraman tangannya terlalu kuat. Dan, akhirnya aku hanya bisa pasrah mengikuti ajakannya. Carel membawaku ke suatu tempat, aku tahu tempat apa itu. Karena samar-samar kudengar hentakan musik yang keras dari dalam ruangan. Kutarik lenganku dengan kasar, lalu menatapnya dengan tajam. “Ngapain bawa gue ke tempat beginian?!” teriakku. Ia kembali meraih pergelangan tanganku, namun dengan cepat aku menghindar. “Nggak ada yang aneh kok di dalem. Gue tau lo pasti bakal suka masuk ke sana!” jawabnya. Dia mencoba meyakinkanku, akhirnya aku mengalah dan menurutinya. Lagipula, tidak mungkin kan dia mengajakku ke tempat yang tidak-tidak? Begitu sampai di dalam ruangan aku terkejut karena dugaanku ternyata sala

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 19 - Lawang sewu

    Setelah kami hampiri ternyata itu Carel yang tengah bertengkar dengan salah satu penumpang kapal. Carel memegangi kerah baju pria itu, bersiap untuk melayangkan pukulannya. Namun dengan cepat Daffa menahannya, dan langsung membawa Carel pergi. Sebelumnya Daffa meminta maaf pada orang itu. Carel melepas tarikan tangan Daffa dengan kasar. Daffa menatapnya tajam. “Di sini gue yang diberi tanggung jawab. Kalo lo nggak mau nurut sama perkataan gue, mending lo nggak usah ikut aja sekalian!” bentak Daffa marah. Sementara kulihat Carel hanya menunduk. Ini pertama kalinya aku melihat Daffa marah, karena biasanya jika ia sedang memisahkan perkelahian antara adiknya itu, ia hanya diam dan membiarkan Papa atau Zayn yang menasehati mereka. Namun kali ini berbeda, mungkin ia juga merasa yang paling tua di antara kami, jadi ia merasa harus menjaga kami. “Udah, Kak. Jangan marah-marah di sini, malu diliatin banyak orang,” ucapku pada Daffa sambil mene

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 20 - Tersesat

    Aku segera berlari ke tempat terakhir kali, rasanya tadi mereka ke arah sini. Kuturuni sebuah tangga, makin ke bawah suasananya semakin sepi, tak ada orang di sini. “Gue kayanya kesasar, deh.” Aku terus berjalan memasuki tiap pintu, namun tak kutemukan siapa pun di sini. "Tenang, Hulya. Mereka pasti akan menyadari kalau aku hilang. Mereka pasti akan langsung mencariku!" Kuambil ponselku dari dalam tas, berniat menelepon Daffa atau siapa pun itu. Namun sialnya, tidak ada sinyal di sini! Aku terus berjalan melewati lorong. Semakin dalam semakin sunyi dan mencekam. Ruangan di sini sangat minim cahaya. Hawa dingin mulai terasa di sekitarku. Aku tak berani menoleh ke belakang, karena aku merasakan seperti ada orang yang mengikutiku. Aku berjalan dan terus berjalan, jika kutemukan tangga aku naiki, jika kutemukan pintu aku masuki. Namun, semuanya percuma karena aku seperti kembali ke tempat semula. Aku tahu kalau ini hanya perasaanku

Bab terbaru

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 64 - Digoda Bule Cantik

    Aku tersentak kaget mendengar suara teriakan dari dalam kamar mandi.Sontak aku langsung membalikkan tubuhku, takut melihat sesuatu yang seharusnya tak kulihat. Cukup lama aku terdiam dalam posisi yang sama, hingga akhirnya kudengar suara perempuan dari arah kamar mandi.“How dare you?! Main buka pintu toilet seenaknya! Where’s your attitude!” hardiknya galak.Aku membalikkan tubuhku untuk mengetahui sosok yang sedang memarahiku ini. Hingga ketika aku bertatapan dengannya, aku terkejut karena ada wanita seusiaku di hadapanku dengan hanya terbalut piyama mandinya. Rambut wanita itu berwarna blonde dan basah.“Lo siapa?” tanyaku heran.“Lo tanya gue siapa? Ini rumah gue, lo yang siapa!” sahutnya dengan logat ala kebarat-baratan.“Hah? Rumah lo? Maksudnya lo itu Sheryl anaknya Tante Rachel dan Om Gideon?” tanyaku terkejut bukan main.Dia melotot ke arahku. “Iya, gue Sheryl! Kenapa?”Seketika aku terkekeh mendengar jawabannya. Jadi dia betulan Sheryl? Astaga! Dia sudah besar sekarang. Dul

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 63 - Kedatanganku

    Aku terdiam seribu bahasa begitu mendengar rencana Papa.Menjodohkan Hulya dengan pria lain?Apa Papa benar-benar tidak peduli dengan perasaanku?Aku mengerti jika hubungan kami adalah hubungan yang terlarang. Namun, tak bisakah Papa memberikan sedikit saja waktu untuk kami?Kutatap pria baya itu dengan mata memerah menahan kesal. “Edgar tidak bisa melihat Hulya bersama dengan pria lain, Pa,” ucapku terbata.“Kalau begitu kau yang harus pergi, Edgar. Bukan Papa tidak peduli dengan perasaanmu. Papa hanya mencegah semuanya terlambat dan menjadi terlalu dalam,” jelas Papa, aku terdiam.Papa menepuk pundakku dengan lembut. “Percayalah ini semua Papa lakukan demi kebaikanmu.”Usai mengatakan hal tu, Papa memintaku untuk meninggalkan kamarnya. Ia bilang ia akan membicarakan hal ini dengan Mama.Dengan langkah gontai aku keluar dari kamar kedua orang tuaku. Kulangkahkan kakiku menaiki anak tangga menuju kamarku. Tepat ketika aku sampai di lantai dua, kulihat Hulya sedang berdiri di balkon, m

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 62 - Suara Hati Edgar

    POV Edgar Aku adalah Edgar Mahendra. Anak bungsu dari empat bersaudara. Awalnya kami adalah keluarga yang tak terlalu dekat. Kami jarang sekali berinteraksi satu sama lain. Kami berbicara jika hanya ada perlu saja. Itu semua terjadi karena anggota keluarga sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Suatu hari, aku mengalami sebuah insiden tak terduga. Aku dituduh telah mencuri ciuman pertama seorang wanita yang bahkan aku sendiri tidak mengenalnya. Kejadian itu tak disengaja. Saat itu aku baru saja dari minimarket untuk membeli sebuah kopi kaleng. Aku tak tahu kalau di depanku ada dua orang karyawan wanita sedang berjalan karena aku terlalu sibuk dengan gawaiku. Hingga tiba-tiba salah satu dari mereka membalikkan badan dengan cepat dan menubruk diriku. Aku yang tak dapat menghindar tiba-tiba saja ditubruk seperti itu olehnya. Aku terjengkang ke belakang, dan tubuh wanita itu menindih tubuhku. Dan, yang paling membuatk

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 61 - Pergi

    “Kamu jangan macem-macem, Gar!” ucap Papa pada Edgar melalui sambungan telepon. Kami yang berada di ruangan itu sontak menatap ke arah Papa dengan penuh tanda tanya.“Sekarang kamu pulang!” ucap Papa lagi kali ini dengan nada sedikit membentak. Papa selanjutnya mematikan sambungan teleponnya dengan Edgar. Seketika semua menjadi hening, tak ada yang berani bertanya kecuali Mama.“Mas, ada apa?” tanya Mama yang kini berdiri dan menghampiri Papa yang masih terlihat kesal.“Edgar, dia bilang ....” Papa sempat melirik sekilas ke arahku yang menatapnya, namun dengan cepat ia mengalihkan pandangannya. “Nggak, nanti aja kita bicarakan sama anaknya.”Papa dan Mama akhirnya meninggalkan kami. Mereka menuju ke kamar untuk membicarakan sesuatu. Sungguh, aku benar-benar penasaran dengan apa yang mereka bicarakan. Tatapan Papa tadi seolah-olah mengintimidasiku. Aku yakin, pasti obrolan tadi dengan Edgar ada hu

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 60 - Tak ada waktu

    Aku menatap serius pria berambut gondrong itu. Rasanya perkataan Daffa barusan tidak dapat kupercaya begitu saja. Bagaimana bisa Edgar merahasiakan hal sepenting ini dariku?“Jadi lo belum tahu?” Daffa terlihat salah tingkah, ada sedikit kekhawatiran di wajahnya. Mungkin dia merasa telah membocorkan rahasia adiknya itu.Aku menggeleng pelan. Pikiranku dipenuhi berbagai pertanyaan. Pokoknya aku harus menanyakan hal ini pada Edgar. Enak saja kalau ia tak memberitahuku rencana besarnya.“Hulya, sorry, ya. Gue kayaknya nggak seharusnya ngomong ini dulu sama lo,” sesal Daffa dengan wajah bersalah. Sementara aku hanya mengangguk, sambil mengatakan kalau aku baik-baik saja.Tiba-tiba listrik kembali menyala. Lampu ruangan di mana kami duduk sudah menyala dengan terang. Aku meminta izin pada Daffa untuk pergi ke kamar. Karena entah mengapa aku merasa moodku tiba-tiba memburuk.“Hulya, jangan pikirin masalah i

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 59 - Berita Mengejutkan

    Dengan cepat kuambil gawaiku dan kunyalakan fitur senter. Segera aku keluar kamar untuk mencari Edgar. Di luar ternyata hujan semakin deras mengguyur, disertai petir yang bergemuruh dan kilat menyambar-nyambar di tengah gelapnya malam.“Gar? Lo di dalem, kan?” panggilku ketika aku sudah berdiri di ambang pintu kamarnya. Rasanya tadi aku sempat mendengar suaranya tengah bersenandung memasuki kamarnya.Lama aku menunggu, namun tak ada jawaban apa pun dari dalam kamar. Mungkin aku kurang keras memanggil dan mengetuk pintu kamarnya.Kucoba untuk mengetuk pintu itu lebih keras lagi. “Gar!” panggilku lagi atau lebih mirip dengan setengah berteriak.Tak berapa lama, terbukalah pintu kamarnya. Kuarahkan gawaiku ke wajahnya, terpampanglah sosok pria dengan piyama teddy bear berdiri di sana, piyama yang selalu membuatku tertawa jika mengingatnya. Dengan muka bantal ia menatapku, satu tangannya mengucek mata, persis seperti orang yan

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 58 - Hujan dan mati listrik

    Suara seorang pria tiba-tiba membuat aku dan Edgar terkejut. Sontak Edgar langsung menjauhkan dirinya dariku. Sementara aku segera bangkit dan terduduk.Kutatap sosok pria berambut gondrong yang berdiri mematung di depan pintu penghubung. Di tangannya tergantung sebuah kotak yang kutebak itu adalah kue.“Ck! Gue tau kalian lagi bucin, tapi bisa liat tempat, nggak? Gimana kalo yang dateng Mama atau Papa?” Ia menggeleng-gelengkan kepala.“Bang, kita nggak pernah punya waktu buat berdua. Mama dan Papa pasti curiga kalo kita berduaan terus!” kilah Edgar yang kini berdiri dan menatap sang kakak.“Gar, gue tau, kok. Tapi please, cari waktu dan tempat yang tepat. Kalian masih beruntung kali ini. Besok-besok gue nggak tau, dan nggak mau tau,” sahut Daffa sambil meletakkan kue di tangannya di atas meja tepat di sampingnya. “Hulya, ini kue pesanan lo. Tadi, kan, lo yang bilang langsung taro di meja aja.”

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 57 - Ketahuan, deh!

    Sontak kami terkejut dengan pertanyaan Daffa yang begitu tiba-tiba.Aku dan Edgar saling pandang. Bingung, itulah yang kami rasakan saat ini. Apa yang harus kami katakan pada Daffa?“Kenapa diem? Jujur aja sama gue, gue udah curiga sebenernya dari kita masih di pulau itu,” tanya Daffa lagi hingga membuat kami tersadar dari lamunan kami.Daffa duduk bersandar pada tiang candi di belakangnya, pandangannya menatap lurus ke depan. Menatap indahnya pemandangan kota Djogjakarta dari atas sini.“Sini duduk, kalian bisa percaya sama gue, kok!” Daffa menepuk tempat kosong di sisi kiri dan kanannya.Aku dan Edgar akhirnya duduk di samping Daffa. Edgar duduk di sisi kiri, sedangkan aku di sisi kanan.“Sejak kapan?” tanya Daffa memulai pembicaraan.“Sejak di pulau itu,” jawab Edgar tertunduk lesu.Kini Daffa menatapku serius hingga membuat aku sedikit memundurkan kepalaku. Sungguh, hatiku ber

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 56 - Kalian Pacaran?

    “Maaf ya telat, kalian udah nunggu dari tadi, ya?”Sebuah suara seorang pria yang sangat kukenali, aku sedikit menggeser tubuhku agar dapat melihat ke arah pintu utama. Nampak Zayn baru saja masuk sambil menenteng sebuah kantong minimarket berwarna putih.“Halo, Hulya? Belom tidur?” tanya Zayn begitu ia melihat kehadiranku di ruangan ini.“Hehe, iya, Kak. Tadi habis ikut makan pizza. Kakak bawa apa, tuh?” tanyaku karena penasaran dengan isi kantong di tangan Zayn yang terlihat berat seperti berisi beberapa botol sirup atau apalah itu.“Ah, engga, ini cuma titipan mereka aja,” jawab Zayn sambil meletakkan kantong itu di lantai lalu duduk di sofa bergabung bersama Carel yang begitu kalem.“Minuman apaan, Kak?” tanyaku penasaran.Baru saja Zayn akan menjawab pertanyaanku, Edgar dengan cepat menarik tanganku dan membawaku masuk ke dalam kamar.“Udah, lo tidur sekarang, ya?

DMCA.com Protection Status