Beranda / Romansa / Live With 4 Stepbrothers / Bab 9 - Serangan Panik

Share

Bab 9 - Serangan Panik

Penulis: Fantazia
last update Terakhir Diperbarui: 2021-09-30 01:03:08

Aku mengerjapkan mata, nuansa putih menyambut indera penglihatanku dan aroma obat yang menusuk hidung membuatku sedikit mual.

Kulihat sekelilingku, terdapat beberapa tempat tidur kosong tepat di samping kiri dan kananku. Tiba-tiba pandanganku terhenti, ketika kudapati sosok yang kubenci selama ini, ia duduk tepat disebelah tempat aku berbaring.

“G-gue di mana?" gumamku.

Aku melihat jarum infus lengkap dengan selangnya terpasang di punggung tanganku.

“Lo nggak apa-apa, kan?” tanya si mesum ini sambil menatapku khawatir, ia bangkit dari kursinya untuk membantuku duduk bersandar.

“Apanya yang nggak kenapa-napa! Pala gue sakit banget, nih!” keluhku.

Kusentuh keningku yang tadi memar, sebuah perban sudah menempel di sana. Dan memar itu masih terasa berdenyut nyeri. Rasanya ngilu.

“Ya, mana gue tau kalo lo punya anemia parah. Terus kata dokter, lo juga kena serangan panik ringan!” sahut Edgar sambil kembali duduk di kursinya.

Aku terdiam mendengar perkataannya, serangan panik? Setahuku aku tidak pernah terkena serangan panik!

Hanya saja, aku selalu merasa mual, keringat dingin, jantung berdebar dan sesak nafas, ketika sedang gelisah atau dalam tekanan yang berat. Seperti pada saat aku mendengar kematian Papa. Apakah itu yang namanya serangan panik?

“Lo bawa mobilnya udah kayak orang kesetanan. Gue belom mau mati, tau!” ketusku.

“Iya gue minta maaf, ya. Gue nggak tau kalo lo bakal begini gara-gara hal itu.”

Aku terkejut begitu mendengarnya meminta maaf. Tunggu dulu, telingaku ini masih berfungsi dengan baik, kan?

“A-apa lo bilang, coba ulang gue nggak denger?” pintaku memastikan.

“Maaf.”

“Apa? Apa?”

“Gue bilang Maaf. Gara-gara gue, lo jadi begini, gue sama sekali nggak tau bakal begini kejadiannya. Dan gue menyesal sedalam-dalamnya. Puas, lo?!” cerocosnya.

Aku tertawa geli mendengarnya. Ternyata si mesum ini bisa minta maaf dengan cara yang benar juga.

“Lo hanya minta maaf karena ini? Buat yang bulan lalu nggak?”

Edgar mengangkat sebelah alisnya, “Soal first kiss lo?”

Aku mengangguk.

“Nggak akan! Itu sebuah kecelakaan, bukan salah gue!” sambungnya. Aku melotot kearahnya.

“Lo dibaikin malah ngelunjak, ya! Dah, lah! Gue mau pulang aja.” Edgar melengos meninggalkan ruanganku.

Aku hanya berkata seperti itu, dan dia langsung emosi padaku? Ckck! Temperamen sekali anak ini!

Aku berniat menyusulnya, kuraih botol infusku yang tergantung pada tiang besi disebelah ranjangku. Namun, ketika aku mengintip melalui kaca yang ada di pintu, Ternyata ia tidak benar-benar meninggalkanku. Ia duduk di kursi yang ada di depan ruanganku. Aku bernapas lega melihatnya, ia sedang duduk termenung sambil menunduk. Apa yang sedang ia pikirkan?

Tak berapa lama, aku melihat Mama dan Papa datang menyusulku di rumah sakit. Aku sempat mendengar suara Edgar, Mama dan Papa yang membicarakan aku di luar ruanganku. Mama terdengar panik.

Lalu, tak lama Mama dan Papa masuk ke ruanganku. Dengan cepat aku kembali ke tempat tidur. Tapi si mesum itu tak ikut masuk. Ke mana dia?

“Nak, kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Mama khawatir sambil memeluk kepalaku.

“Iya, Ma. Aku nggak apa-apa," sahutku.

“Kamu berhenti kerja aja ya, Hulya?” Ucapan Papa sukses membuatku menolehkan kepala ke arahnya. Mataku membulat kala mendengar perkataan Papa.

“Nggak bisa, Pa. Hulya udah terikat kontrak di sana.”

“Kamu nggak usah mikirin hal itu. Biar Papa yang urus semuanya. Lagi pula, kata Mama, kamu mau kuliah, kan?”

“Kuliah?” gumamku yang didengar oleh Papa.

“Iya, kamu akan berkuliah di kampus yang sama dengan Edgar. Gimana? Kamu setuju?” sahut Papa.

Mataku berbinar-binar seketika, kuliah? Dulu, aku sangat mendambakan memasuki bangku kuliah, membayangkan betapa kerennya aku ketika mengenakan jas almamater kampusku. Namun, harus kusingkirkan impianku itu. Karena, aku harus bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidupku dan Mama.

Kutatap Papa dengan mata berbinar. Ia tertawa melihat tatapanku yang mungkin baginya sungguh lucu. Tak lama lagi, impianku akan terwujud. Ah, aku bahagia sekali hari ini!

“I-iya, Pa. Hulya mau!”

***

Hari sudah malam, Aku sudah ada di rumah sekarang. Papa bilang, aku harus istirahat di kamar dan jangan ke mana-mana dahulu. Aku hanya bisa terbaring lemah di atas ranjangku. Kepalaku masih terasa berputar.

Semua barang-barang Daffa sudah berganti dengan barang-barangku. Aku menatap poster-poster yang tertempel di dinding. Poster dari idola kesayanganku yang berasal dari Korea Selatan. Mereka semua seakan sedang menatapku yang tengah terbaring tak berdaya.

Lalu, tak berapa lama terdengar ketukan pintu. Dan selanjutnya kulihat Daffa memasuki kamarku dan duduk tepat di sebelahku.

“Baru sekali dianter Edgar, lo langsung masuk rumah sakit. Apalagi kalo tiap hari. Haha,” ejeknya. Aku hanya tersenyum mendengarnya namun aku sedang malas menanggapinya.

“Udah, deh, jangan ngeledekin terus. Gue masih pusing nih, Kak,” sahutku dengan suara lemah.

“Iya, sorry-sorry.”

“Pacar lo gimana keadaannya, Kak?” tanyaku yang tiba-tiba teringat tentang kecelakaan yang menimpa kekasih Daffa tadi siang.

“Dia baik-baik aja, kok. Cuma jatuh dari motor,” sahutnya sambil tertawa yang diikuti tawa dariku.

Aku sempat melihat bayangan Edgar mengintip dari balik pintu kamarku yang tidak tertutup. Namun ketika ia melihat aku yang menyadari gerak-geriknya, ia langsung menghilang. Ada apa, sih, dengan anak itu?

“Kalo jalan liat-liat, dong!”

Teriakan Carel dari luar kamarku membuat aku dan Daffa langsung beranjak dari kamar dan menghampiri sumber suara.

Kulihat Edgar dan Carel sedang bersitegang tepat di depan kamarku. Edgar menoleh ke arahku yang memperhatikannya, lalu sedetik kemudian ia membuang muka dari pandanganku. Dan berjalan melalui Carel yang masih menatapnya tajam.

“Mau kemana, lo? Gue belom selesai," tahan Carel sambil mencengkram lengan Edgar dengan kuat.

“Gue nggak mau ribut di sini. Hulya lagi sakit.” Suara Edgar terdengar sangat datar. Dan ini pertama kalinya aku mendengarnya menyebut namaku.

“Kalo salah tuh minta maaf! Lo harus bisa mengakui kesalahan lo! Kematian Mama juga itu salah lo! Lo harusnya bertekut lutut di depan gue!" teriak Carel begitu emosi.

Edgar berbalik, dan langsung menghajar wajah Carel dengan membabi buta.

Bug!

Bug!

Bug!

Daffa dengan sigap memegangi tubuh Edgar yang begitu bernafsu menghajar kakak kandungnya sendiri.

“Edgar, berenti. Jangan kepancing emosi!” teriak Daffa mencoba menenangkan mereka.

“Sialan!” pekik Carel. Carel tidak terima dipukuli oleh Edgar. Ia lalu mengepalkan tangannya dan bersiap membalas Edgar.

Bug!

Sebuah bogem mentah tepat mendarat di wajah Edgar, kulihat, sudut bibir Edgar terluka dan mengeluarkan darah. Begitu pula dengan Carel.

Aku tak tahan melihat perkelahian antara saudara ini! Baru saja, Carel akan meninju Edgar lagi, teriakanku membuatnya menghentikan aksinya.

"BERHENTI!"

Serentak mereka bertiga menoleh ke arahku. Tidak, Edgar dan Carel menatapku dengan sangat marah! Aku takut!

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Snurhayati
Ahhhh ternyata temenku pinter nulis juga yaaaa… Sumpah ini seru sih
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 10 - Posterku dirobek?

    Hal itu membuatku terdiam seketika. Lalu, mereka kembali melanjutkan perkelahian mereka tanpa mempedulikan perkataanku. Carel kembali meninju wajah Edgar yang kebetulan sedang dipegangi oleh Daffa, hal itu dijadikan kesempatan oleh Carel untuk membalasnya. Sudut bibir Edgar mengeluarkan darah, tepat setelah bogem mentah dari Carel mendarat. Aku syok melihatnya, tiba-tiba, kepalaku kembali pusing, dan perutku terasa mual. Aku hampir oleng, namun dengan cepat aku memegang dinding yang ada di belakangku dan bersandar di sana. Apa benar ini namanya serangan panik? “Carel, stop, Carel!” bentak Daffa pada adiknya itu. Namun sepertinya perintah Daffa sia-sia karena Carel terus memukuli Edgar. Tak lama, Zayn yang baru pulang dari bekerja langsung berlari menghampiri mereka begitu melihat adik-adiknya sedang baku hantam. Ia memegangi tubuh Carel agar berhenti memukuli Edgar. “Carel, berenti, Rel!” teriak Zayn yang tak dipedulikan olehn

    Terakhir Diperbarui : 2021-09-30
  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 11 - Uang jajanku besar!

    Apa? Liburan di kapal pesiar? Serius? “Itu ide yang bagus, Mas. Apa kita perlu ikut bersama mereka?” Suara Mama terdengar lagi. “Tidak, biarkan mereka menikmati waktu mereka sendiri,” sahut Papa. “Tapi, bagaimana kalau mereka berkelahi di sana?” Mama. “Tidak akan, karena aku akan memberikan suatu ancaman pada mereka.” Perlahan, aku mendengar langkah kaki berjalan keluar dari kamar Mama dan Papa. Tidak, itu pasti Papa! Sontak aku langsung berbalik arah dan berpura-pura menaiki tangga. Kuurungkan niatku untuk ke halaman belakang, dan memilih untuk ke kamarku saja. Di kamar, aku memikirkan percakapan Mama dan Papa barusan. Jadi, kami akan liburan di kapal pesiar? Sungguh! Aku belum pernah naik kapal pesiar, bahkan melihatnya saja aku belum pernah. Ini pasti akan menjadi pengalaman paling menyenangkan yang pernah kualami selama hidupku! *** Hari sudah siang, aku sedang bersantai di kamar. Rumah terasa tenang

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-01
  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 12 - Mereka harus membuatku senang?

    Sebuah suara membuat kami menghentikan langkah kami. Aku ingat betul, suara itu milik siapa. Aku membalikkan badan dan berjalan perlahan ke arah Edgar dan Zayn. Melihatku berjalan mendekat, mereka langsung berdiri. Aku berdiri dihadapan orang yang menyindirku, lalu melayangkan tatapan tajam padanya. “Edgar Mahendra. Gue udah pernah bilang sama lo, kalo gue emang mau rebut harta Papa. Bukankah ini semua udah jelas buat ngebuktiin maksud gue?” Aku menyeringai, ia bergidik melihat seringaian dariku. Sementara Zayn hanya memperhatikan dengan kedua tangan terlipat di depan dada. “Berani-beraninya lo ngomong gitu di depan gue!” bentak Edgar, tangannya sudah melayang di udara. Aku mendongakkan kepala, menantangnya. Sedangkan, Mama langsung berlari ke arahku kala melihat Edgar mengangkat tangannya, sementara Zayn sengaja mendiamkannya. Edgar berhenti beberapa detik, kemudian mengepalkan tangannya dan mengurungkan niatnya. Apa ini? Dia tidak ja

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-01
  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 13 - Ke kampus

    Aku menatap Papa dengan penuh tanda tanya. “Pa, apa maksudnya ini? Kenapa Hulya dibawa-bawa?” tanyaku. Kulihat Papa hanya tersenyum tanpa sepatah kata pun. Aneh, apa sih yang ada dipikiran Papa sekarang? “Pa, apa Daffa boleh ajak Salma?” timpal Daffa. Papa menggeleng pelan. “Tidak ada yang boleh membawa orang luar. Ini adalah acara khusus keluarga kita.” “Lalu, apa Papa dan Tante ikut?” sahut Edgar. Apa katanya? Tante?! “Edgar! Sopan sedikit sama Mamamu! Jangan panggil Mama dengan sebutan Tante lagi!” marah Papa. Namun Edgar tak menanggapi dan malah memainkan ponselnya. Papa hanya mendengus kesal melihat kelakuan putra bungsunya. Benar-benar anak yang tidak sopan pada orang tua! Lalu Papa melanjutkan, “Dan untuk Edgar dan Carel, Papa harap kalian tidak berkelahi di sana. Jika Papa menerima laporan kalau kalian berkelahi, maka penawaran itu akan batal.” Kulihat Edgar dan dan Carel tampak terdiam mendengar

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-03
  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 14 - Persiapan liburan

    Aku langsung menatapnya serius, ia tertawa kecil kala melihat wajahku. Memang ada yang lucu? “Iih! Serius Kak. Gue penasaran banget kenapa Edgar sama Carel sering berantem?” sahutku sebal. “Mau tau banget apa mau tau aja?” godanya. Mendengarnya berkata seperti itu, membuatku teringat si mesum ketika mengucapkan kata yang sama. “Ah, nyebelin!” tukasku. Kutinggalkan Daffa di sana dan langsung masuk ke kamarku. Sengaja aku membanting pintu dengan keras. Biar saja, memangnya dia pikir ini semua lucu! Kuambil laptop dan speaker portabel yang tergeletak di atas nakas yang ada di samping tempat tidurku. Lalu, kubawa ke atas ranjang, kuhubungkan kabel speaker itu pada laptop. Setelahnya, aku tidur tengkurap dan menyalakan laptopku. Huh, aku sudah terlanjur kesal dengan Daffa, lebih baik aku menonton tayangan ulang konser idola kesayanganku. Setidaknya mereka bisa membuat moodku membaik. Video

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-03
  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 15 - Tenggelam

    Setelah kapal ini mulai menjauh, aku dan Daffa memasuki kapal mewah ini. Sementara Edgar dan Carel sudah menghilang entah kemana. Aku baru tahu kalau kapal pesiar ini memiliki banyak lantai atau dek layaknya gedung bertingkat. Kamar kami tepat berada di dek tujuh, sedangkan tempat kami memasuki kapal adalah dek sepuluh, jadi kami harus menaiki lift untuk dapat turun ke dek tujuh. Setelah kami sampai di dek tujuh, kami melewati sebuah lorong. Tepat di sisi kiri dan kanan kami terdapat pintu yang berjejer sampai ujung lorong. Ruangan di dalam pintu itu adalah sebuah kamar. “Kamar nomor 725,” ucapku ketika menemukan nomor kamarku. Aku menoleh ke sebelahku, ternyata kamar Daffa tepat berada di depan kamarku. “Nanti ketemuan di dek sepuluh aja ya. Gue mau mandi dulu, belom mandi, nih,” ucap Daffa yang sudah membuka pintu kamarnya. Aku hanya mengangguk. Kubuka pintu kamar setelah kutempelkan sebuah kartu di dekat kenop pintu, lalu p

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-03
  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 16 - Nafas buatan?

    Tubuhku tercebur ke dalam kolam. Tanganku berusaha meraih-raih ke atas namun tidak bisa. Kurasakan tubuhku semakin masuk ke dasar kolam, rasanya seperti ada sesuatu yang menarik tubuhku. Kucoba untuk menghentak-hentakan kaki, dan menggerakkan tanganku sekuat tenaga untuk dapat kembali ke permukaan. Pasokan oksigenku habis, kurasakan air dari kolam ini memasuki hidung dan mulutku. Karena terlalu banyak bergerak, hal itu membuat tubuhku menjadi lemas. Tuhan, mungkinkah ini saatnya aku pergi? Kurasakan tubuhku sudah tak bisa digerakkan lagi, namun, samar-samar kulihat seseorang di dalam air. Ia langsung meraih tubuhku ke dalam dekapannya. Sebelum kami sampai ke permukaan, kurasakan semuanya menjadi gelap. *** “Uhuk-uhuk!” aku terbatuk kala seseorang menekan dadaku. Lalu kumuntahkan semua air yang masuk ke dalam tubuhku. Dan, saat kumembuka mata, yang pertama kulihat adalah wajah Edgar. Ia menatapku dengan khawatir sambil menepuk-nepuk pip

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-03
  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 17 - Minum Wine?

    “Pffft ...” Tepat setelah kupejamkan mata, aku mendengar suara seseorang tertawa. Sontak aku langsung membuka mata, dan kulihat Edgar sedang tertawa di hadapanku. “Lo, kenapa nutup mata? Haha!” tawanya nyaring sambil memegangi perutnya sendiri. Mendengar hal itu, membuatku begitu malu. Tidak! Apa yang sudah kulakukan tadi? Kenapa aku menutup mata? Ah, aku pasti sudah gila sekarang! Rasanya malu setengah mati, bodoh! Kutendang lututnya dengan keras, ia merintih kesakitan. Namun aku tidak peduli, biar saja ia rasakan itu karena sudah mengerjaiku! Kulangkahkan kakiku meninggalkannya, ia berteriak-teriak memanggil namaku, namun tak kuhiraukan. Sadarlah Hulya, kenapa kau harus berpikir bahwa si mesum itu mau menciummu? Kenapa juga kau memejamkan mata? Akal sehatku pasti sudah hilang sekarang! Sesampainya di kamarku, aku mendapat pesan dari Feza. Ia mengajakku untuk menonton film di bioskop. Aku yang memang penasaran dengan sensasi m

    Terakhir Diperbarui : 2021-10-03

Bab terbaru

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 64 - Digoda Bule Cantik

    Aku tersentak kaget mendengar suara teriakan dari dalam kamar mandi.Sontak aku langsung membalikkan tubuhku, takut melihat sesuatu yang seharusnya tak kulihat. Cukup lama aku terdiam dalam posisi yang sama, hingga akhirnya kudengar suara perempuan dari arah kamar mandi.“How dare you?! Main buka pintu toilet seenaknya! Where’s your attitude!” hardiknya galak.Aku membalikkan tubuhku untuk mengetahui sosok yang sedang memarahiku ini. Hingga ketika aku bertatapan dengannya, aku terkejut karena ada wanita seusiaku di hadapanku dengan hanya terbalut piyama mandinya. Rambut wanita itu berwarna blonde dan basah.“Lo siapa?” tanyaku heran.“Lo tanya gue siapa? Ini rumah gue, lo yang siapa!” sahutnya dengan logat ala kebarat-baratan.“Hah? Rumah lo? Maksudnya lo itu Sheryl anaknya Tante Rachel dan Om Gideon?” tanyaku terkejut bukan main.Dia melotot ke arahku. “Iya, gue Sheryl! Kenapa?”Seketika aku terkekeh mendengar jawabannya. Jadi dia betulan Sheryl? Astaga! Dia sudah besar sekarang. Dul

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 63 - Kedatanganku

    Aku terdiam seribu bahasa begitu mendengar rencana Papa.Menjodohkan Hulya dengan pria lain?Apa Papa benar-benar tidak peduli dengan perasaanku?Aku mengerti jika hubungan kami adalah hubungan yang terlarang. Namun, tak bisakah Papa memberikan sedikit saja waktu untuk kami?Kutatap pria baya itu dengan mata memerah menahan kesal. “Edgar tidak bisa melihat Hulya bersama dengan pria lain, Pa,” ucapku terbata.“Kalau begitu kau yang harus pergi, Edgar. Bukan Papa tidak peduli dengan perasaanmu. Papa hanya mencegah semuanya terlambat dan menjadi terlalu dalam,” jelas Papa, aku terdiam.Papa menepuk pundakku dengan lembut. “Percayalah ini semua Papa lakukan demi kebaikanmu.”Usai mengatakan hal tu, Papa memintaku untuk meninggalkan kamarnya. Ia bilang ia akan membicarakan hal ini dengan Mama.Dengan langkah gontai aku keluar dari kamar kedua orang tuaku. Kulangkahkan kakiku menaiki anak tangga menuju kamarku. Tepat ketika aku sampai di lantai dua, kulihat Hulya sedang berdiri di balkon, m

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 62 - Suara Hati Edgar

    POV Edgar Aku adalah Edgar Mahendra. Anak bungsu dari empat bersaudara. Awalnya kami adalah keluarga yang tak terlalu dekat. Kami jarang sekali berinteraksi satu sama lain. Kami berbicara jika hanya ada perlu saja. Itu semua terjadi karena anggota keluarga sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Suatu hari, aku mengalami sebuah insiden tak terduga. Aku dituduh telah mencuri ciuman pertama seorang wanita yang bahkan aku sendiri tidak mengenalnya. Kejadian itu tak disengaja. Saat itu aku baru saja dari minimarket untuk membeli sebuah kopi kaleng. Aku tak tahu kalau di depanku ada dua orang karyawan wanita sedang berjalan karena aku terlalu sibuk dengan gawaiku. Hingga tiba-tiba salah satu dari mereka membalikkan badan dengan cepat dan menubruk diriku. Aku yang tak dapat menghindar tiba-tiba saja ditubruk seperti itu olehnya. Aku terjengkang ke belakang, dan tubuh wanita itu menindih tubuhku. Dan, yang paling membuatk

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 61 - Pergi

    “Kamu jangan macem-macem, Gar!” ucap Papa pada Edgar melalui sambungan telepon. Kami yang berada di ruangan itu sontak menatap ke arah Papa dengan penuh tanda tanya.“Sekarang kamu pulang!” ucap Papa lagi kali ini dengan nada sedikit membentak. Papa selanjutnya mematikan sambungan teleponnya dengan Edgar. Seketika semua menjadi hening, tak ada yang berani bertanya kecuali Mama.“Mas, ada apa?” tanya Mama yang kini berdiri dan menghampiri Papa yang masih terlihat kesal.“Edgar, dia bilang ....” Papa sempat melirik sekilas ke arahku yang menatapnya, namun dengan cepat ia mengalihkan pandangannya. “Nggak, nanti aja kita bicarakan sama anaknya.”Papa dan Mama akhirnya meninggalkan kami. Mereka menuju ke kamar untuk membicarakan sesuatu. Sungguh, aku benar-benar penasaran dengan apa yang mereka bicarakan. Tatapan Papa tadi seolah-olah mengintimidasiku. Aku yakin, pasti obrolan tadi dengan Edgar ada hu

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 60 - Tak ada waktu

    Aku menatap serius pria berambut gondrong itu. Rasanya perkataan Daffa barusan tidak dapat kupercaya begitu saja. Bagaimana bisa Edgar merahasiakan hal sepenting ini dariku?“Jadi lo belum tahu?” Daffa terlihat salah tingkah, ada sedikit kekhawatiran di wajahnya. Mungkin dia merasa telah membocorkan rahasia adiknya itu.Aku menggeleng pelan. Pikiranku dipenuhi berbagai pertanyaan. Pokoknya aku harus menanyakan hal ini pada Edgar. Enak saja kalau ia tak memberitahuku rencana besarnya.“Hulya, sorry, ya. Gue kayaknya nggak seharusnya ngomong ini dulu sama lo,” sesal Daffa dengan wajah bersalah. Sementara aku hanya mengangguk, sambil mengatakan kalau aku baik-baik saja.Tiba-tiba listrik kembali menyala. Lampu ruangan di mana kami duduk sudah menyala dengan terang. Aku meminta izin pada Daffa untuk pergi ke kamar. Karena entah mengapa aku merasa moodku tiba-tiba memburuk.“Hulya, jangan pikirin masalah i

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 59 - Berita Mengejutkan

    Dengan cepat kuambil gawaiku dan kunyalakan fitur senter. Segera aku keluar kamar untuk mencari Edgar. Di luar ternyata hujan semakin deras mengguyur, disertai petir yang bergemuruh dan kilat menyambar-nyambar di tengah gelapnya malam.“Gar? Lo di dalem, kan?” panggilku ketika aku sudah berdiri di ambang pintu kamarnya. Rasanya tadi aku sempat mendengar suaranya tengah bersenandung memasuki kamarnya.Lama aku menunggu, namun tak ada jawaban apa pun dari dalam kamar. Mungkin aku kurang keras memanggil dan mengetuk pintu kamarnya.Kucoba untuk mengetuk pintu itu lebih keras lagi. “Gar!” panggilku lagi atau lebih mirip dengan setengah berteriak.Tak berapa lama, terbukalah pintu kamarnya. Kuarahkan gawaiku ke wajahnya, terpampanglah sosok pria dengan piyama teddy bear berdiri di sana, piyama yang selalu membuatku tertawa jika mengingatnya. Dengan muka bantal ia menatapku, satu tangannya mengucek mata, persis seperti orang yan

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 58 - Hujan dan mati listrik

    Suara seorang pria tiba-tiba membuat aku dan Edgar terkejut. Sontak Edgar langsung menjauhkan dirinya dariku. Sementara aku segera bangkit dan terduduk.Kutatap sosok pria berambut gondrong yang berdiri mematung di depan pintu penghubung. Di tangannya tergantung sebuah kotak yang kutebak itu adalah kue.“Ck! Gue tau kalian lagi bucin, tapi bisa liat tempat, nggak? Gimana kalo yang dateng Mama atau Papa?” Ia menggeleng-gelengkan kepala.“Bang, kita nggak pernah punya waktu buat berdua. Mama dan Papa pasti curiga kalo kita berduaan terus!” kilah Edgar yang kini berdiri dan menatap sang kakak.“Gar, gue tau, kok. Tapi please, cari waktu dan tempat yang tepat. Kalian masih beruntung kali ini. Besok-besok gue nggak tau, dan nggak mau tau,” sahut Daffa sambil meletakkan kue di tangannya di atas meja tepat di sampingnya. “Hulya, ini kue pesanan lo. Tadi, kan, lo yang bilang langsung taro di meja aja.”

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 57 - Ketahuan, deh!

    Sontak kami terkejut dengan pertanyaan Daffa yang begitu tiba-tiba.Aku dan Edgar saling pandang. Bingung, itulah yang kami rasakan saat ini. Apa yang harus kami katakan pada Daffa?“Kenapa diem? Jujur aja sama gue, gue udah curiga sebenernya dari kita masih di pulau itu,” tanya Daffa lagi hingga membuat kami tersadar dari lamunan kami.Daffa duduk bersandar pada tiang candi di belakangnya, pandangannya menatap lurus ke depan. Menatap indahnya pemandangan kota Djogjakarta dari atas sini.“Sini duduk, kalian bisa percaya sama gue, kok!” Daffa menepuk tempat kosong di sisi kiri dan kanannya.Aku dan Edgar akhirnya duduk di samping Daffa. Edgar duduk di sisi kiri, sedangkan aku di sisi kanan.“Sejak kapan?” tanya Daffa memulai pembicaraan.“Sejak di pulau itu,” jawab Edgar tertunduk lesu.Kini Daffa menatapku serius hingga membuat aku sedikit memundurkan kepalaku. Sungguh, hatiku ber

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 56 - Kalian Pacaran?

    “Maaf ya telat, kalian udah nunggu dari tadi, ya?”Sebuah suara seorang pria yang sangat kukenali, aku sedikit menggeser tubuhku agar dapat melihat ke arah pintu utama. Nampak Zayn baru saja masuk sambil menenteng sebuah kantong minimarket berwarna putih.“Halo, Hulya? Belom tidur?” tanya Zayn begitu ia melihat kehadiranku di ruangan ini.“Hehe, iya, Kak. Tadi habis ikut makan pizza. Kakak bawa apa, tuh?” tanyaku karena penasaran dengan isi kantong di tangan Zayn yang terlihat berat seperti berisi beberapa botol sirup atau apalah itu.“Ah, engga, ini cuma titipan mereka aja,” jawab Zayn sambil meletakkan kantong itu di lantai lalu duduk di sofa bergabung bersama Carel yang begitu kalem.“Minuman apaan, Kak?” tanyaku penasaran.Baru saja Zayn akan menjawab pertanyaanku, Edgar dengan cepat menarik tanganku dan membawaku masuk ke dalam kamar.“Udah, lo tidur sekarang, ya?

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status