Home / Romansa / Live With 4 Stepbrothers / Bab 7 - Teddy bear

Share

Bab 7 - Teddy bear

Author: Fantazia
last update Last Updated: 2021-09-29 02:07:37

“K-kak Daffa ...”

Dapat kurasakan semua mata kini tertuju padaku. Sudah terlanjur malu, aku hanya bisa menyembunyikan wajahku di ketiak Daffa. Daffa membawaku ke ruangan yang digunakan untuk Mama dan Papa mengganti kostum . Ia mendudukkanku pada salah satu sofa. Kuperhatikan sekeliling, hanya ada kami di sini.

“Lo gapapa, kan?” tanyanya yang duduk di sebelahku.

Aku merapikan rambutku yang berantakan, “Sakit sih enggak, cuma malunya itu yang nggak bisa ditahan.”

“Anak itu kalo udah iseng sama orang emang keterlaluan!” sahut Daffa dengan wajahnya yang serius. Aku balik menatapnya.

“Kak, kayanya Edgar nggak suka banget ya sama Gue?” tanyaku mulai frustasi dengan tingkah Edgar.

“Enggak, Hulya. Edgar kalo nggak suka sama orang pasti lebih milih cuek dan nggak akan bertingkah seperti itu," jelas Daffa.

“Jadi, Edgar suka sama gue?” Kutatap wajah Daffa serius. Ia terkekeh ketika mendengar pertanyaanku.

“Ya, belom tentu juga, sih! Emang lo mau disukain sama Edgar?”

Mendengar pertanyaan Daffa membuatku merinding seketika. “Hii, disukain Edgar? Aduh engga deh kak, makasih. Bisa-bisa tiap hari makan ati mulu gara-gara tingkahnya.”

“Haha!” Daffa tertawa renyah begitu mendengar jawaban dariku.

Akhirnya, kami memilih tak kembali ke acara pernikahan, dan memilih berbincang dengan asyik. Aku merasa sefrekuensi dengan Daffa. Selain tampan, ia juga anak yang mengasyikkan dan nyambung jika diajak bicara. Persis seperti pria yang selalu kuidamkan. Ah, andai Daffa bukan Kakak sambungku.

***

Malam telah tiba, acara pernikahan Mama dan Papa juga sudah selesai sejak satu jam yang lalu. Kini, hanya tinggal aku yang bingung harus tidur di mana.

Sambil menggeret koperku, kunaiki tangga menuju lantai dua. Kurasa keempat pria itu sudah tidur di kamarnya masing masing. Aku juga lelah dan ingin tidur, tapi hanya ada empat kamar di atas sini, sepertinya tidak ada tempat untukku.

Tiba-tiba Papa dan Mama muncul dari arah tangga. Mereka menghampiriku.

“Kamu tidur di kamar Edgar aja, Hulya, “ ucap Papa.

Selagi aku terdiam Papa memanggil Edgar hingga pria itu muncul dari pintu kamar yang paling ujung dekat dengan balkon.

“Kenapa sih, Pa?” Dengan mengenakan piyama tidur bercorak beruang, ia menghampiri Papa.

Tunggu dulu, aku tidak salah lihat, kan? Setelah kuperhatikan dengan seksama, ternyata benar itu gambar beruang di bajunya!

“Pfffft ...” Aku hanya bisa menahan tawa melihatnya. Edgar yang mendengar itu, langsung menatap tajam ke arahku.

"Hahaha ..." Aku kehilangan kontrol, tawa itu meluncur begitu saja dari mulutku. 

“Heh, lo ngetawain gue, ya?!” teriaknya padaku. Mendengar teriakannya membuat papa menyenggol lengannya.

“Gue lucu aja ngeliat motif di baju lo, haha," sahutku. Kudengar Mama juga sedikit tertawa begitu menyadari motif baju Edgar.

“Edgar emang begitu, Hulya. Dari kecil suka banget sama beruang. Papa juga nggak tau kalo bakal sampe gede dia suka itu,” jawab papa dengan sedikit tertawa.

Edgar yang mendengar kami menertawakan kesukaannya hanya bisa menatap kami dengan muka masam. Aku tahu, ia pasti ingin meneriakiku sekarang. Syukurlah di sini ada Papa, jadi dia tak akan berani berkutik.

“Berani ngetawain gue lagi awas lo, ya!” ancamnya sambil menatap tajam ke arahku. Sedangkan, aku membalasnya dengan tersenyum miring. Huh! Aku tidak takut!

“Sudah-sudah. Edgar, kamu tuker kamar kamu sama yang di bawah, ya?” pinta papa.

“Enggak!” jawabnya tegas.

“Kamu ngalah, ya. Hulya di kamar kamu, kamu di kamar bawah aja. Lagian di bawah juga besar kok.” Papa mencoba merayu Edgar lagi. Namun Edgar tetap bersikukuh dengan perkataannya.

“Pa, kenapa nggak dia aja sih yang di bawah?” tanyanya.

“Edgar, Hulya pengen kamar yang di lantai dua biar bisa ngeliat ke balkon katanya,” sahut Papa.

“Enggak mau, kenapa harus tukeran sama Edgar, sih?” tolaknya marah.

“Edgar! Kamu hurus ngalah sama adik kamu!” teriak Papa dengan mata penuh emosi.

“Pokoknya Edgar nggak mau!”

Mendengar Papa sampai berteriak seperti itu membuatku sedikit tak enak hati. Bagaimana pun, ini semua salahku. Sebenarnya, aku tidak masalah di kamar yang mana saja. Hanya saja aku memang sengaja melakukan ini untuk membalas si mesum itu.

“Lo sengaja bilang ke Papa mau kamar gue, kan?!” Kali ini Edgar menatapku tajam sambil menunjuk-nunjuk wajahku. Melihat hal itu membuat Papa semakin marah. Namun, sebelum amarah Papa meledak, salah satu dari tiga Kakak sambungku keluar dari kamarnya dan menghampiri kami.

“Udah, lo pake kamar gue aja.”

***

Aku mengerjapkan mata ketika cahaya matahari mengusik tidurku yang nyenyak. Ah, sudah pukul tujuh. Biasanya Mama akan membangunkanku pukul enam hanya untuk menyapu atau mengepel lantai. Tapi kali ini berbeda, sudah ada orang yang mengerjakan semuanya. Aku hanya tinggal rebahan santai saja.

Aku baru ingat kalau tadi malam Daffa memberikan kamarnya padaku. Padahal aku ingin mengambil kamar si mesum itu, tapi Daffa malah menawarkan kamarnya untukku sehingga aku tidak enak jika menolaknya. Bahkan, ia belum sempat membereskan barang-barangnya semalam.

Gagal sudah rencanaku untuk membalas si mesum itu. Dan aku jadi bersebelahan kamar dengannya.

Kuperhatikan ruangan di sekelilingku. Ada banyak foto pemandangan dari atas gunung dan beberapa tas gunung di sini. Lalu mataku terpaku pada sebuah bingkai kecil di atas meja.

Kuhampiri meja itu agar aku dapat melihat lebih jelas siapa yang ada di dalam foto itu. Seorang wanita cantik dengan rambut digulung dan Daffa berdiri di sampingnya sambil merangkul pundak wanita itu. Senyumnya terlihat sangat bahagia.

“Cantik ...” gumamku tanpa sadar.

“Iya dong, cewek gue!” sahut seorang pria yang tiba-tiba berdiri di sebelahku.

Aku terkesiap dan langsung menaruh bingkai itu pada tempatnya. Begitu aku menoleh ke samping kananku, ternyata itu Daffa.

“Maaf kak, gue nggak sengaja liat ini. Terus jadi penasaran."

“Nggak apa-apa, kok.”

“Kakak sejak kapan di sini?” tanyaku heran karena memang tak mendengar suara orang membuka pintu. Atau memang aku yang tak sadar ada yang membuka pintu?

Kebiasaan kecilku yang harus kuubah adalah selalu lupa mengunci pintu kamar. Dulu mungkin aku hanya tinggal berdua dengan Mama, tapi sekarang berbeda, ada empat Kakak sambung yang semuanya adalah pria dewasa di sini.

“Gue tadi udah manggil-manggil, lo. Tapi lo serius banget ngeliatin foto itu, yaudah gue masuk aja,” sahut Daffa sambil mengumpulkan alat-alat mendaki gunungnya.

 “Maaf, ya!” sambungnya, sambil membawa benda itu keluar.

Aku mengikutinya dengan membawa beberapa barang yang kecil seperti tas, jaket, dan beberapa tambang.

Kami menuruni tangga yang menghubungkan lantai atas dengan ruang makan di bawah, lalu berbelok ke kanan dan memasuki sebuah pintu yang tepat berada di samping kamar Mama dan Papa. Ternyata ini kamar Daffa yang baru.

“Ini taro di mana, Kak?”

“Udah taro di situ aja, makasih ya, Hulya.” Daffa menunjuk tempat kosong tepat di sudut ruangan, aku menuruti perintahnya.

Baru saja aku ingin keluar kamar itu, Daffa menahan lenganku. Hingga membuat aku menoleh ke arahnya bingung. Kami saling bertatapan selama beberapa detik.

“Nanti sore jalan, yuk?”

Related chapters

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 8 - Hilang kesadaran

    Aku tercengang mendengar ajakan Daffa. Kenapa tiba-tiba ia mengajakku jalan? Apa ia memiliki maksud lain? Ah, aku tidak akan pernah tahu jika tak menanyakannya langsung! “Eh, jalan? Kemana kak?” Aku mengernyitkan kening menatapnya. Ia yang kini berdiri dihadapanku, balas menatapku serius. “Ke cafe sekitaran sini aja. Gue mau bawa lo keliling, biar hapal daerah sini,” ajaknya. Aku mendesah lega mendengar jawaban darinya. Ternyata itu tujuannya, ah, Daffa memang pria yang baik. Beruntunglah yang akan menjadi pendamping hidupnya nanti. Sebenarnya aku ingin sekali menerima ajakan Daffa. Tapi aku ingat, nanti siang aku harus bekerja. Karena tidak mungkin aku harus ijin dari pekerjaanku hanya untuk pergi bersama Daffa. Bisa-bisa kepala tokoku marah-marah selama tujuh hari tujuh malam. “Aduh, kak. Maaf, gue nanti siang kerja,” tolakku secara halus agar tak menyinggung perasaannya. Ia mengangkat sebelah alisnya, “Kerja? Lo kerja di mana?”

    Last Updated : 2021-09-29
  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 9 - Serangan Panik

    Aku mengerjapkan mata, nuansa putih menyambut indera penglihatanku dan aroma obat yang menusuk hidung membuatku sedikit mual. Kulihat sekelilingku, terdapat beberapa tempat tidur kosong tepat di samping kiri dan kananku. Tiba-tiba pandanganku terhenti, ketika kudapati sosok yang kubenci selama ini, ia duduk tepat disebelah tempat aku berbaring. “G-gue di mana?" gumamku. Aku melihat jarum infus lengkap dengan selangnya terpasang di punggung tanganku. “Lo nggak apa-apa, kan?” tanya si mesum ini sambil menatapku khawatir, ia bangkit dari kursinya untuk membantuku duduk bersandar. “Apanya yang nggak kenapa-napa! Pala gue sakit banget, nih!” keluhku. Kusentuh keningku yang tadi memar, sebuah perban sudah menempel di sana. Dan memar itu masih terasa berdenyut nyeri. Rasanya ngilu. “Ya, mana gue tau kalo lo punya anemia parah. Terus kata dokter, lo juga kena serangan panik ringan!” sahut Edgar sambil kembali duduk di kursinya.

    Last Updated : 2021-09-30
  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 10 - Posterku dirobek?

    Hal itu membuatku terdiam seketika. Lalu, mereka kembali melanjutkan perkelahian mereka tanpa mempedulikan perkataanku. Carel kembali meninju wajah Edgar yang kebetulan sedang dipegangi oleh Daffa, hal itu dijadikan kesempatan oleh Carel untuk membalasnya. Sudut bibir Edgar mengeluarkan darah, tepat setelah bogem mentah dari Carel mendarat. Aku syok melihatnya, tiba-tiba, kepalaku kembali pusing, dan perutku terasa mual. Aku hampir oleng, namun dengan cepat aku memegang dinding yang ada di belakangku dan bersandar di sana. Apa benar ini namanya serangan panik? “Carel, stop, Carel!” bentak Daffa pada adiknya itu. Namun sepertinya perintah Daffa sia-sia karena Carel terus memukuli Edgar. Tak lama, Zayn yang baru pulang dari bekerja langsung berlari menghampiri mereka begitu melihat adik-adiknya sedang baku hantam. Ia memegangi tubuh Carel agar berhenti memukuli Edgar. “Carel, berenti, Rel!” teriak Zayn yang tak dipedulikan olehn

    Last Updated : 2021-09-30
  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 11 - Uang jajanku besar!

    Apa? Liburan di kapal pesiar? Serius? “Itu ide yang bagus, Mas. Apa kita perlu ikut bersama mereka?” Suara Mama terdengar lagi. “Tidak, biarkan mereka menikmati waktu mereka sendiri,” sahut Papa. “Tapi, bagaimana kalau mereka berkelahi di sana?” Mama. “Tidak akan, karena aku akan memberikan suatu ancaman pada mereka.” Perlahan, aku mendengar langkah kaki berjalan keluar dari kamar Mama dan Papa. Tidak, itu pasti Papa! Sontak aku langsung berbalik arah dan berpura-pura menaiki tangga. Kuurungkan niatku untuk ke halaman belakang, dan memilih untuk ke kamarku saja. Di kamar, aku memikirkan percakapan Mama dan Papa barusan. Jadi, kami akan liburan di kapal pesiar? Sungguh! Aku belum pernah naik kapal pesiar, bahkan melihatnya saja aku belum pernah. Ini pasti akan menjadi pengalaman paling menyenangkan yang pernah kualami selama hidupku! *** Hari sudah siang, aku sedang bersantai di kamar. Rumah terasa tenang

    Last Updated : 2021-10-01
  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 12 - Mereka harus membuatku senang?

    Sebuah suara membuat kami menghentikan langkah kami. Aku ingat betul, suara itu milik siapa. Aku membalikkan badan dan berjalan perlahan ke arah Edgar dan Zayn. Melihatku berjalan mendekat, mereka langsung berdiri. Aku berdiri dihadapan orang yang menyindirku, lalu melayangkan tatapan tajam padanya. “Edgar Mahendra. Gue udah pernah bilang sama lo, kalo gue emang mau rebut harta Papa. Bukankah ini semua udah jelas buat ngebuktiin maksud gue?” Aku menyeringai, ia bergidik melihat seringaian dariku. Sementara Zayn hanya memperhatikan dengan kedua tangan terlipat di depan dada. “Berani-beraninya lo ngomong gitu di depan gue!” bentak Edgar, tangannya sudah melayang di udara. Aku mendongakkan kepala, menantangnya. Sedangkan, Mama langsung berlari ke arahku kala melihat Edgar mengangkat tangannya, sementara Zayn sengaja mendiamkannya. Edgar berhenti beberapa detik, kemudian mengepalkan tangannya dan mengurungkan niatnya. Apa ini? Dia tidak ja

    Last Updated : 2021-10-01
  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 13 - Ke kampus

    Aku menatap Papa dengan penuh tanda tanya. “Pa, apa maksudnya ini? Kenapa Hulya dibawa-bawa?” tanyaku. Kulihat Papa hanya tersenyum tanpa sepatah kata pun. Aneh, apa sih yang ada dipikiran Papa sekarang? “Pa, apa Daffa boleh ajak Salma?” timpal Daffa. Papa menggeleng pelan. “Tidak ada yang boleh membawa orang luar. Ini adalah acara khusus keluarga kita.” “Lalu, apa Papa dan Tante ikut?” sahut Edgar. Apa katanya? Tante?! “Edgar! Sopan sedikit sama Mamamu! Jangan panggil Mama dengan sebutan Tante lagi!” marah Papa. Namun Edgar tak menanggapi dan malah memainkan ponselnya. Papa hanya mendengus kesal melihat kelakuan putra bungsunya. Benar-benar anak yang tidak sopan pada orang tua! Lalu Papa melanjutkan, “Dan untuk Edgar dan Carel, Papa harap kalian tidak berkelahi di sana. Jika Papa menerima laporan kalau kalian berkelahi, maka penawaran itu akan batal.” Kulihat Edgar dan dan Carel tampak terdiam mendengar

    Last Updated : 2021-10-03
  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 14 - Persiapan liburan

    Aku langsung menatapnya serius, ia tertawa kecil kala melihat wajahku. Memang ada yang lucu? “Iih! Serius Kak. Gue penasaran banget kenapa Edgar sama Carel sering berantem?” sahutku sebal. “Mau tau banget apa mau tau aja?” godanya. Mendengarnya berkata seperti itu, membuatku teringat si mesum ketika mengucapkan kata yang sama. “Ah, nyebelin!” tukasku. Kutinggalkan Daffa di sana dan langsung masuk ke kamarku. Sengaja aku membanting pintu dengan keras. Biar saja, memangnya dia pikir ini semua lucu! Kuambil laptop dan speaker portabel yang tergeletak di atas nakas yang ada di samping tempat tidurku. Lalu, kubawa ke atas ranjang, kuhubungkan kabel speaker itu pada laptop. Setelahnya, aku tidur tengkurap dan menyalakan laptopku. Huh, aku sudah terlanjur kesal dengan Daffa, lebih baik aku menonton tayangan ulang konser idola kesayanganku. Setidaknya mereka bisa membuat moodku membaik. Video

    Last Updated : 2021-10-03
  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 15 - Tenggelam

    Setelah kapal ini mulai menjauh, aku dan Daffa memasuki kapal mewah ini. Sementara Edgar dan Carel sudah menghilang entah kemana. Aku baru tahu kalau kapal pesiar ini memiliki banyak lantai atau dek layaknya gedung bertingkat. Kamar kami tepat berada di dek tujuh, sedangkan tempat kami memasuki kapal adalah dek sepuluh, jadi kami harus menaiki lift untuk dapat turun ke dek tujuh. Setelah kami sampai di dek tujuh, kami melewati sebuah lorong. Tepat di sisi kiri dan kanan kami terdapat pintu yang berjejer sampai ujung lorong. Ruangan di dalam pintu itu adalah sebuah kamar. “Kamar nomor 725,” ucapku ketika menemukan nomor kamarku. Aku menoleh ke sebelahku, ternyata kamar Daffa tepat berada di depan kamarku. “Nanti ketemuan di dek sepuluh aja ya. Gue mau mandi dulu, belom mandi, nih,” ucap Daffa yang sudah membuka pintu kamarnya. Aku hanya mengangguk. Kubuka pintu kamar setelah kutempelkan sebuah kartu di dekat kenop pintu, lalu p

    Last Updated : 2021-10-03

Latest chapter

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 64 - Digoda Bule Cantik

    Aku tersentak kaget mendengar suara teriakan dari dalam kamar mandi.Sontak aku langsung membalikkan tubuhku, takut melihat sesuatu yang seharusnya tak kulihat. Cukup lama aku terdiam dalam posisi yang sama, hingga akhirnya kudengar suara perempuan dari arah kamar mandi.“How dare you?! Main buka pintu toilet seenaknya! Where’s your attitude!” hardiknya galak.Aku membalikkan tubuhku untuk mengetahui sosok yang sedang memarahiku ini. Hingga ketika aku bertatapan dengannya, aku terkejut karena ada wanita seusiaku di hadapanku dengan hanya terbalut piyama mandinya. Rambut wanita itu berwarna blonde dan basah.“Lo siapa?” tanyaku heran.“Lo tanya gue siapa? Ini rumah gue, lo yang siapa!” sahutnya dengan logat ala kebarat-baratan.“Hah? Rumah lo? Maksudnya lo itu Sheryl anaknya Tante Rachel dan Om Gideon?” tanyaku terkejut bukan main.Dia melotot ke arahku. “Iya, gue Sheryl! Kenapa?”Seketika aku terkekeh mendengar jawabannya. Jadi dia betulan Sheryl? Astaga! Dia sudah besar sekarang. Dul

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 63 - Kedatanganku

    Aku terdiam seribu bahasa begitu mendengar rencana Papa.Menjodohkan Hulya dengan pria lain?Apa Papa benar-benar tidak peduli dengan perasaanku?Aku mengerti jika hubungan kami adalah hubungan yang terlarang. Namun, tak bisakah Papa memberikan sedikit saja waktu untuk kami?Kutatap pria baya itu dengan mata memerah menahan kesal. “Edgar tidak bisa melihat Hulya bersama dengan pria lain, Pa,” ucapku terbata.“Kalau begitu kau yang harus pergi, Edgar. Bukan Papa tidak peduli dengan perasaanmu. Papa hanya mencegah semuanya terlambat dan menjadi terlalu dalam,” jelas Papa, aku terdiam.Papa menepuk pundakku dengan lembut. “Percayalah ini semua Papa lakukan demi kebaikanmu.”Usai mengatakan hal tu, Papa memintaku untuk meninggalkan kamarnya. Ia bilang ia akan membicarakan hal ini dengan Mama.Dengan langkah gontai aku keluar dari kamar kedua orang tuaku. Kulangkahkan kakiku menaiki anak tangga menuju kamarku. Tepat ketika aku sampai di lantai dua, kulihat Hulya sedang berdiri di balkon, m

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 62 - Suara Hati Edgar

    POV Edgar Aku adalah Edgar Mahendra. Anak bungsu dari empat bersaudara. Awalnya kami adalah keluarga yang tak terlalu dekat. Kami jarang sekali berinteraksi satu sama lain. Kami berbicara jika hanya ada perlu saja. Itu semua terjadi karena anggota keluarga sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Suatu hari, aku mengalami sebuah insiden tak terduga. Aku dituduh telah mencuri ciuman pertama seorang wanita yang bahkan aku sendiri tidak mengenalnya. Kejadian itu tak disengaja. Saat itu aku baru saja dari minimarket untuk membeli sebuah kopi kaleng. Aku tak tahu kalau di depanku ada dua orang karyawan wanita sedang berjalan karena aku terlalu sibuk dengan gawaiku. Hingga tiba-tiba salah satu dari mereka membalikkan badan dengan cepat dan menubruk diriku. Aku yang tak dapat menghindar tiba-tiba saja ditubruk seperti itu olehnya. Aku terjengkang ke belakang, dan tubuh wanita itu menindih tubuhku. Dan, yang paling membuatk

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 61 - Pergi

    “Kamu jangan macem-macem, Gar!” ucap Papa pada Edgar melalui sambungan telepon. Kami yang berada di ruangan itu sontak menatap ke arah Papa dengan penuh tanda tanya.“Sekarang kamu pulang!” ucap Papa lagi kali ini dengan nada sedikit membentak. Papa selanjutnya mematikan sambungan teleponnya dengan Edgar. Seketika semua menjadi hening, tak ada yang berani bertanya kecuali Mama.“Mas, ada apa?” tanya Mama yang kini berdiri dan menghampiri Papa yang masih terlihat kesal.“Edgar, dia bilang ....” Papa sempat melirik sekilas ke arahku yang menatapnya, namun dengan cepat ia mengalihkan pandangannya. “Nggak, nanti aja kita bicarakan sama anaknya.”Papa dan Mama akhirnya meninggalkan kami. Mereka menuju ke kamar untuk membicarakan sesuatu. Sungguh, aku benar-benar penasaran dengan apa yang mereka bicarakan. Tatapan Papa tadi seolah-olah mengintimidasiku. Aku yakin, pasti obrolan tadi dengan Edgar ada hu

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 60 - Tak ada waktu

    Aku menatap serius pria berambut gondrong itu. Rasanya perkataan Daffa barusan tidak dapat kupercaya begitu saja. Bagaimana bisa Edgar merahasiakan hal sepenting ini dariku?“Jadi lo belum tahu?” Daffa terlihat salah tingkah, ada sedikit kekhawatiran di wajahnya. Mungkin dia merasa telah membocorkan rahasia adiknya itu.Aku menggeleng pelan. Pikiranku dipenuhi berbagai pertanyaan. Pokoknya aku harus menanyakan hal ini pada Edgar. Enak saja kalau ia tak memberitahuku rencana besarnya.“Hulya, sorry, ya. Gue kayaknya nggak seharusnya ngomong ini dulu sama lo,” sesal Daffa dengan wajah bersalah. Sementara aku hanya mengangguk, sambil mengatakan kalau aku baik-baik saja.Tiba-tiba listrik kembali menyala. Lampu ruangan di mana kami duduk sudah menyala dengan terang. Aku meminta izin pada Daffa untuk pergi ke kamar. Karena entah mengapa aku merasa moodku tiba-tiba memburuk.“Hulya, jangan pikirin masalah i

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 59 - Berita Mengejutkan

    Dengan cepat kuambil gawaiku dan kunyalakan fitur senter. Segera aku keluar kamar untuk mencari Edgar. Di luar ternyata hujan semakin deras mengguyur, disertai petir yang bergemuruh dan kilat menyambar-nyambar di tengah gelapnya malam.“Gar? Lo di dalem, kan?” panggilku ketika aku sudah berdiri di ambang pintu kamarnya. Rasanya tadi aku sempat mendengar suaranya tengah bersenandung memasuki kamarnya.Lama aku menunggu, namun tak ada jawaban apa pun dari dalam kamar. Mungkin aku kurang keras memanggil dan mengetuk pintu kamarnya.Kucoba untuk mengetuk pintu itu lebih keras lagi. “Gar!” panggilku lagi atau lebih mirip dengan setengah berteriak.Tak berapa lama, terbukalah pintu kamarnya. Kuarahkan gawaiku ke wajahnya, terpampanglah sosok pria dengan piyama teddy bear berdiri di sana, piyama yang selalu membuatku tertawa jika mengingatnya. Dengan muka bantal ia menatapku, satu tangannya mengucek mata, persis seperti orang yan

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 58 - Hujan dan mati listrik

    Suara seorang pria tiba-tiba membuat aku dan Edgar terkejut. Sontak Edgar langsung menjauhkan dirinya dariku. Sementara aku segera bangkit dan terduduk.Kutatap sosok pria berambut gondrong yang berdiri mematung di depan pintu penghubung. Di tangannya tergantung sebuah kotak yang kutebak itu adalah kue.“Ck! Gue tau kalian lagi bucin, tapi bisa liat tempat, nggak? Gimana kalo yang dateng Mama atau Papa?” Ia menggeleng-gelengkan kepala.“Bang, kita nggak pernah punya waktu buat berdua. Mama dan Papa pasti curiga kalo kita berduaan terus!” kilah Edgar yang kini berdiri dan menatap sang kakak.“Gar, gue tau, kok. Tapi please, cari waktu dan tempat yang tepat. Kalian masih beruntung kali ini. Besok-besok gue nggak tau, dan nggak mau tau,” sahut Daffa sambil meletakkan kue di tangannya di atas meja tepat di sampingnya. “Hulya, ini kue pesanan lo. Tadi, kan, lo yang bilang langsung taro di meja aja.”

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 57 - Ketahuan, deh!

    Sontak kami terkejut dengan pertanyaan Daffa yang begitu tiba-tiba.Aku dan Edgar saling pandang. Bingung, itulah yang kami rasakan saat ini. Apa yang harus kami katakan pada Daffa?“Kenapa diem? Jujur aja sama gue, gue udah curiga sebenernya dari kita masih di pulau itu,” tanya Daffa lagi hingga membuat kami tersadar dari lamunan kami.Daffa duduk bersandar pada tiang candi di belakangnya, pandangannya menatap lurus ke depan. Menatap indahnya pemandangan kota Djogjakarta dari atas sini.“Sini duduk, kalian bisa percaya sama gue, kok!” Daffa menepuk tempat kosong di sisi kiri dan kanannya.Aku dan Edgar akhirnya duduk di samping Daffa. Edgar duduk di sisi kiri, sedangkan aku di sisi kanan.“Sejak kapan?” tanya Daffa memulai pembicaraan.“Sejak di pulau itu,” jawab Edgar tertunduk lesu.Kini Daffa menatapku serius hingga membuat aku sedikit memundurkan kepalaku. Sungguh, hatiku ber

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 56 - Kalian Pacaran?

    “Maaf ya telat, kalian udah nunggu dari tadi, ya?”Sebuah suara seorang pria yang sangat kukenali, aku sedikit menggeser tubuhku agar dapat melihat ke arah pintu utama. Nampak Zayn baru saja masuk sambil menenteng sebuah kantong minimarket berwarna putih.“Halo, Hulya? Belom tidur?” tanya Zayn begitu ia melihat kehadiranku di ruangan ini.“Hehe, iya, Kak. Tadi habis ikut makan pizza. Kakak bawa apa, tuh?” tanyaku karena penasaran dengan isi kantong di tangan Zayn yang terlihat berat seperti berisi beberapa botol sirup atau apalah itu.“Ah, engga, ini cuma titipan mereka aja,” jawab Zayn sambil meletakkan kantong itu di lantai lalu duduk di sofa bergabung bersama Carel yang begitu kalem.“Minuman apaan, Kak?” tanyaku penasaran.Baru saja Zayn akan menjawab pertanyaanku, Edgar dengan cepat menarik tanganku dan membawaku masuk ke dalam kamar.“Udah, lo tidur sekarang, ya?

DMCA.com Protection Status