Om Harun langsung menghentikan tangannya ketika melihatku menghalangi tubuh Carel.
“Hulya, ngapain kamu di sini?” tanya Om Harun dengan raut wajah terkejut.
“Lo nggak usah ikut campur urusan keluarga ini, deh!” bisik Carel yang berada tepat di belakangku, namun tak kuhiraukan perkataannya.
“Nggak, Om, please! Jangan pukul Kak Carel lagi. Dia tadi nggak salah, dia yang belain Hulya dari Edgar, Om!” seruku, dengan jantung berdegup. Antara takut dan kasihan melihat Carel. Berharap hal itu dapat membuat Om Harun sedikit tenang.
Om Harun menatap datar ke arahku. Kemudian berkata, “Sebaiknya kamu cepat ke dalam dan temani Mamamu, Hulya.”
Baru saja aku ingin menjawab perkataan Om Harun, Carel sudah mendorongku pelan hingga posisi tubuhku sedikit bergeser. Kemudian, ia berjalan perlahan ke arah Papanya itu.
“Carel nggak akan pernah lupain kejadian itu, Pa. Bagi Carel, Edgar tetap penyebab Mama meninggal.” Carel mengucapkan itu dengan penuh penekanan. Kemudian ia melengos pergi meninggalkan kami yang terpaku.
Aku menghampiri Om Harun dan menyentuh pundaknya. “Om ...”
“Hulya, kamu harus bisa buat mereka akur, ya. Om harap dengan kehadiran kamu di keluarga kami, bisa membawa sedikit keceriaan untuk mereka,” pinta Om Harun penuh harap. Sedangkan, aku hanya terdiam memikirkan perkataannya. K-kenapa harus aku?
***
Tak terasa, sebulan telah berlalu. Hari-hariku tak luput dari pertengkaran dengan Edgar selama persiapan pernikahan Mama dan Om Harun. Seperti biasa, Edgar yang selalu memulai pertengkaran itu. Dia selalu saja membuatku jengkel dan kesal. Tiada hari tanpa ulahnya, sungguh kekanakan!
Dan, tanpa terasa, hari ini adalah hari pernikahan Mama dan Om Harun. Sepertinya, mulai hari ini, aku harus membiasakan diri untuk memanggilnya dengan sebutan Papa. Karena Mama dan Om Harun sudah resmi menjadi suami-istri. Ah, akan kucoba sebisaku.
Acara pernikahan berlangsung khidmat, walau hanya dihadiri keluarga besar dan kerabat dari kedua mempelai. Namun, acara tetap berlangsung meriah.
Pernikahan sederhana ini digelar di halaman belakang rumah yang terdapat kolam renang dan didekorasi dengan nuansa serba putih.
Kulihat Mama dan Om Harun, tidak, maksudku Papa, tersenyum cerah di atas pelaminan. Rona kebahagiaan terpancar dari wajah keduanya. Melihat hal itu, membuatku ikut merasakan kebahagiaan mereka.
Aku hanya bisa berharap Mama dan Papa selalu bahagia. Dan juga, semoga kehidupanku bersama keempat Kakak sambungku berjalan lancar. Kuharap, mereka dapat menerima aku dan Mama sebagai bagian dari keluarga mereka. Karena, aku tidak ingin terus menerus hidup dalam pertengkaran.
Zayn dan Edgar datang dengan pasangan mereka masing-masing, aku memperhatikan wanita yang ada di sebelah Edgar. Wanita itu, bukanlah yang aku lihat ketika di kosan Dina. Ah, aku mengerti sekarang. Sepertinya ada yang sedang bermain api di sini!
Tiba-tiba, terlintas sebuah rencana di kepalaku untuk membalas si mesum itu.
Kuambil segelas sirup yang ditawarkan pelayan. Lalu, aku berpura-pura berjalan ke arah Edgar yang sedang mengobrol dengan kekasihnya. Dan, dengan sengaja aku menyenggol wanita itu hingga gaun birunya terkena tumpahan sirup.
“Aduh! Sorry, gue nggak sengaja!”
Kuambil selembar tisu dalam tasku, lalu kugosokkan di gaun wanitu itu. Edgar tampak emosi melihatku melakukan itu. Ia menarik lenganku dari gaun kekasihnya.
“Liat-liat, dong, kalo jalan!” bentaknya dengan nada tinggi.
“Sorry, gue agak belom terbiasa dengan suasana ini. Oh, iya, Mba, maaf banget ya kemaren di kosan udah teriak-teriakin pacar Mba!” ucapku dengan sengaja. Aku ingin tahu, bagaimana reaksi Edgar setelah aku mengatakan hal itu.
Kulihat Edgar membelalakkan matanya, Ia menatapku tajam. Sementara, aku hanya tersenyum miring melihat reaksinya. Aha! Dugaanku benar! Kartumu ada padaku, Edgar Mahendra.
“Kapan ya, Kak? Apa kita pernah bertemu sebelumnya?” Wanita berambut keriting gantung itu menatapku penuh tanya. Ia sepertinya tertarik dengan perkataanku barusan.
“Ah, masa? Apa gue salah lihat, ya?” sahutku sambil pura-pura berpikir.
Tanpa basa-basi, Edgar langsung menarikku menjauh meninggalkan kekasihnya. Ia membawaku ke pojok, di sini sepi dan jauh dari tamu.
“Lepasin! Sakit tau!” berontakku sambil melepas tangan Edgar yang mencengkramku dengan kasar. Lalu kuusap pergelang tanganku yang memerah.
“Lo sengaja ngomong gitu di depan Tiara? Sumpah ya, mulut lo tuh ember banget!” gerutunya. Aku tersenyum mendengar ocehannya. Wah, ada yang kebakaran jenggot rupanya!
“Makanya, jangan macem-macem lo sama gue!” Kusilangkan kedua tangan di depan dada sambil menatapnya sengit. Ia balas menatap tajam ke arahku.
“Jadi gini cara lo? Oke, lo yang ngibarin bendera perang duluan!” Setelah mengatakan itu, Edgar berjalan meninggalkanku. Kutatap kepergiannya dengan rasa puas.
Rasanya menyenangkan bisa memberikan satu sentilan kecil pada si mesum ini. Ini masih belum ada apa-apanya. Kalau sampai ia berani kasar lagi padaku, aku akan membuka kartunya di depan kekasihnya!
***
Aku duduk melamun di kursi yang berada tepat di sebelah pelaminan. Tiba-tiba, seseorang membuyarkan lamunanku.
“Hoi, ngapain bengong aja?!”
Kudongakkan kepalaku untuk melihat siapa yang berdiri dihadapanku kini.
“Eh, Kak Daffa ngagetin aja!”
Tanpa kusadari, senyumku mengembang kala melihat pria gondrong itu.
Daffa lalu duduk disebelahku, ia menyilangkan kaki panjangnya. "Lagian, bukannya gabung sama Kakak lo, ini malah sendirian aja."
“Gue malu, Kak. Kalo gabung sama kalian.” Kutatap Daffa yang terlihat menawan dengan setelan jas berwarna hitam ini.
“Yaelah, sama Kakak sendiri malu? Inget ya, kita tuh udah jadi saudara!” peringat Daffa sambil menyentil jidatku. Namun tidak terasa sakit sama sekali dan malah membuatku terkekeh.
“Hehe, ya maaf, ngomong-ngomong, lo dateng sendirian aja kak? Cewek lo nggak diajak?” tanyaku, karena melihatnya datang seorang diri.
“Cewek gue jauh, Hul. Dia tinggal di Bogor!”
“Oh jadi LDR’an nih ceritanya?”
“Ya begitulah," sahutnya santai.
Tiba-tiba, panggilan Mama dari atas pelaminan mengusik perbincangan kami.
“Hulya, Daffa! Ayo, waktunya foto keluarga!"
Lantas, kami langsung berdiri dan menaiki pelaminan.
Kulangkahkan kakiku dengan hati-hati. Karena, aku mengenakan sepatu hak tinggi dengan ukuran tujuh sentimeter. Cukup tinggi, bukan? Tentu saja! Aku tak ingin terlihat jomplang di samping keempat saudara sambungku yang menjulang tinggi itu.
Hari ini, aku mengenakan dress berwarna lilac dengan rambut dikuncir setengah dengan sebuah pita warna senada. Orang-orang bilang, aku sangat cantik dan mirip sekali dengan Mama. Tentu saja mirip, karena aku anak kandungnya!
Aku berdiri di sebelah Papa, lalu fotografer meminta Edgar dan Carel berdiri di sampingku karena tinggi mereka hampir sejajar. Sedangkan, Zayn dan Daffa di samping Mama.
“Oke, tahan ya! Semuanya senyum! Satu, dua, tiga ...”
Kami menuruti arahan fotografer dan tersenyum ke arah kamera.
CKREK!
Setelah mengambil beberapa foto, aku turun dari atas pelaminan. Namun, baru saja aku melangkah, kakiku dijegal oleh seseorang. Hingga membuatku kehilangan keseimbangan.
Bruk!
Aku jatuh tersungkur ke depan, kudengar Mama menjerit tepat ketika aku terjatuh.
Aku hanya bisa menunduk malu. Kurasakan semua mata tertuju padaku sekarang. Bayangkan saja, aku jatuh dari atas pelaminan dengan posisi kepala yang mendarat terlebih dahulu, sedangkan kakiku masih tersangkut di atas pelaminan. Sepertinya, aku tahu siapa yang sudah menjegal kakiku.
Kurasakan seseorang mengangkat tubuhku dan menggendongku ala bridal. Mataku membulat sempurna ketika melihat sosok dihadapanku kini.
“K-kak Daffa ...” Dapat kurasakan semua mata kini tertuju padaku. Sudah terlanjur malu, aku hanya bisa menyembunyikan wajahku di ketiak Daffa. Daffa membawaku ke ruangan yang digunakan untuk Mama dan Papa mengganti kostum . Ia mendudukkanku pada salah satu sofa. Kuperhatikan sekeliling, hanya ada kami di sini. “Lo gapapa, kan?” tanyanya yang duduk di sebelahku. Aku merapikan rambutku yang berantakan, “Sakit sih enggak, cuma malunya itu yang nggak bisa ditahan.” “Anak itu kalo udah iseng sama orang emang keterlaluan!” sahut Daffa dengan wajahnya yang serius. Aku balik menatapnya. “Kak, kayanya Edgar nggak suka banget ya sama Gue?” tanyaku mulai frustasi dengan tingkah Edgar. “Enggak, Hulya. Edgar kalo nggak suka sama orang pasti lebih milih cuek dan nggak akan bertingkah seperti itu," jelas Daffa. “Jadi, Edgar suka sama gue?” Kutatap wajah Daffa serius. Ia terkekeh ketika mendengar pertanyaanku. “Ya, belom tentu juga, si
Aku tercengang mendengar ajakan Daffa. Kenapa tiba-tiba ia mengajakku jalan? Apa ia memiliki maksud lain? Ah, aku tidak akan pernah tahu jika tak menanyakannya langsung! “Eh, jalan? Kemana kak?” Aku mengernyitkan kening menatapnya. Ia yang kini berdiri dihadapanku, balas menatapku serius. “Ke cafe sekitaran sini aja. Gue mau bawa lo keliling, biar hapal daerah sini,” ajaknya. Aku mendesah lega mendengar jawaban darinya. Ternyata itu tujuannya, ah, Daffa memang pria yang baik. Beruntunglah yang akan menjadi pendamping hidupnya nanti. Sebenarnya aku ingin sekali menerima ajakan Daffa. Tapi aku ingat, nanti siang aku harus bekerja. Karena tidak mungkin aku harus ijin dari pekerjaanku hanya untuk pergi bersama Daffa. Bisa-bisa kepala tokoku marah-marah selama tujuh hari tujuh malam. “Aduh, kak. Maaf, gue nanti siang kerja,” tolakku secara halus agar tak menyinggung perasaannya. Ia mengangkat sebelah alisnya, “Kerja? Lo kerja di mana?”
Aku mengerjapkan mata, nuansa putih menyambut indera penglihatanku dan aroma obat yang menusuk hidung membuatku sedikit mual. Kulihat sekelilingku, terdapat beberapa tempat tidur kosong tepat di samping kiri dan kananku. Tiba-tiba pandanganku terhenti, ketika kudapati sosok yang kubenci selama ini, ia duduk tepat disebelah tempat aku berbaring. “G-gue di mana?" gumamku. Aku melihat jarum infus lengkap dengan selangnya terpasang di punggung tanganku. “Lo nggak apa-apa, kan?” tanya si mesum ini sambil menatapku khawatir, ia bangkit dari kursinya untuk membantuku duduk bersandar. “Apanya yang nggak kenapa-napa! Pala gue sakit banget, nih!” keluhku. Kusentuh keningku yang tadi memar, sebuah perban sudah menempel di sana. Dan memar itu masih terasa berdenyut nyeri. Rasanya ngilu. “Ya, mana gue tau kalo lo punya anemia parah. Terus kata dokter, lo juga kena serangan panik ringan!” sahut Edgar sambil kembali duduk di kursinya.
Hal itu membuatku terdiam seketika. Lalu, mereka kembali melanjutkan perkelahian mereka tanpa mempedulikan perkataanku. Carel kembali meninju wajah Edgar yang kebetulan sedang dipegangi oleh Daffa, hal itu dijadikan kesempatan oleh Carel untuk membalasnya. Sudut bibir Edgar mengeluarkan darah, tepat setelah bogem mentah dari Carel mendarat. Aku syok melihatnya, tiba-tiba, kepalaku kembali pusing, dan perutku terasa mual. Aku hampir oleng, namun dengan cepat aku memegang dinding yang ada di belakangku dan bersandar di sana. Apa benar ini namanya serangan panik? “Carel, stop, Carel!” bentak Daffa pada adiknya itu. Namun sepertinya perintah Daffa sia-sia karena Carel terus memukuli Edgar. Tak lama, Zayn yang baru pulang dari bekerja langsung berlari menghampiri mereka begitu melihat adik-adiknya sedang baku hantam. Ia memegangi tubuh Carel agar berhenti memukuli Edgar. “Carel, berenti, Rel!” teriak Zayn yang tak dipedulikan olehn
Apa? Liburan di kapal pesiar? Serius? “Itu ide yang bagus, Mas. Apa kita perlu ikut bersama mereka?” Suara Mama terdengar lagi. “Tidak, biarkan mereka menikmati waktu mereka sendiri,” sahut Papa. “Tapi, bagaimana kalau mereka berkelahi di sana?” Mama. “Tidak akan, karena aku akan memberikan suatu ancaman pada mereka.” Perlahan, aku mendengar langkah kaki berjalan keluar dari kamar Mama dan Papa. Tidak, itu pasti Papa! Sontak aku langsung berbalik arah dan berpura-pura menaiki tangga. Kuurungkan niatku untuk ke halaman belakang, dan memilih untuk ke kamarku saja. Di kamar, aku memikirkan percakapan Mama dan Papa barusan. Jadi, kami akan liburan di kapal pesiar? Sungguh! Aku belum pernah naik kapal pesiar, bahkan melihatnya saja aku belum pernah. Ini pasti akan menjadi pengalaman paling menyenangkan yang pernah kualami selama hidupku! *** Hari sudah siang, aku sedang bersantai di kamar. Rumah terasa tenang
Sebuah suara membuat kami menghentikan langkah kami. Aku ingat betul, suara itu milik siapa. Aku membalikkan badan dan berjalan perlahan ke arah Edgar dan Zayn. Melihatku berjalan mendekat, mereka langsung berdiri. Aku berdiri dihadapan orang yang menyindirku, lalu melayangkan tatapan tajam padanya. “Edgar Mahendra. Gue udah pernah bilang sama lo, kalo gue emang mau rebut harta Papa. Bukankah ini semua udah jelas buat ngebuktiin maksud gue?” Aku menyeringai, ia bergidik melihat seringaian dariku. Sementara Zayn hanya memperhatikan dengan kedua tangan terlipat di depan dada. “Berani-beraninya lo ngomong gitu di depan gue!” bentak Edgar, tangannya sudah melayang di udara. Aku mendongakkan kepala, menantangnya. Sedangkan, Mama langsung berlari ke arahku kala melihat Edgar mengangkat tangannya, sementara Zayn sengaja mendiamkannya. Edgar berhenti beberapa detik, kemudian mengepalkan tangannya dan mengurungkan niatnya. Apa ini? Dia tidak ja
Aku menatap Papa dengan penuh tanda tanya. “Pa, apa maksudnya ini? Kenapa Hulya dibawa-bawa?” tanyaku. Kulihat Papa hanya tersenyum tanpa sepatah kata pun. Aneh, apa sih yang ada dipikiran Papa sekarang? “Pa, apa Daffa boleh ajak Salma?” timpal Daffa. Papa menggeleng pelan. “Tidak ada yang boleh membawa orang luar. Ini adalah acara khusus keluarga kita.” “Lalu, apa Papa dan Tante ikut?” sahut Edgar. Apa katanya? Tante?! “Edgar! Sopan sedikit sama Mamamu! Jangan panggil Mama dengan sebutan Tante lagi!” marah Papa. Namun Edgar tak menanggapi dan malah memainkan ponselnya. Papa hanya mendengus kesal melihat kelakuan putra bungsunya. Benar-benar anak yang tidak sopan pada orang tua! Lalu Papa melanjutkan, “Dan untuk Edgar dan Carel, Papa harap kalian tidak berkelahi di sana. Jika Papa menerima laporan kalau kalian berkelahi, maka penawaran itu akan batal.” Kulihat Edgar dan dan Carel tampak terdiam mendengar
Aku langsung menatapnya serius, ia tertawa kecil kala melihat wajahku. Memang ada yang lucu? “Iih! Serius Kak. Gue penasaran banget kenapa Edgar sama Carel sering berantem?” sahutku sebal. “Mau tau banget apa mau tau aja?” godanya. Mendengarnya berkata seperti itu, membuatku teringat si mesum ketika mengucapkan kata yang sama. “Ah, nyebelin!” tukasku. Kutinggalkan Daffa di sana dan langsung masuk ke kamarku. Sengaja aku membanting pintu dengan keras. Biar saja, memangnya dia pikir ini semua lucu! Kuambil laptop dan speaker portabel yang tergeletak di atas nakas yang ada di samping tempat tidurku. Lalu, kubawa ke atas ranjang, kuhubungkan kabel speaker itu pada laptop. Setelahnya, aku tidur tengkurap dan menyalakan laptopku. Huh, aku sudah terlanjur kesal dengan Daffa, lebih baik aku menonton tayangan ulang konser idola kesayanganku. Setidaknya mereka bisa membuat moodku membaik. Video
Aku tersentak kaget mendengar suara teriakan dari dalam kamar mandi.Sontak aku langsung membalikkan tubuhku, takut melihat sesuatu yang seharusnya tak kulihat. Cukup lama aku terdiam dalam posisi yang sama, hingga akhirnya kudengar suara perempuan dari arah kamar mandi.“How dare you?! Main buka pintu toilet seenaknya! Where’s your attitude!” hardiknya galak.Aku membalikkan tubuhku untuk mengetahui sosok yang sedang memarahiku ini. Hingga ketika aku bertatapan dengannya, aku terkejut karena ada wanita seusiaku di hadapanku dengan hanya terbalut piyama mandinya. Rambut wanita itu berwarna blonde dan basah.“Lo siapa?” tanyaku heran.“Lo tanya gue siapa? Ini rumah gue, lo yang siapa!” sahutnya dengan logat ala kebarat-baratan.“Hah? Rumah lo? Maksudnya lo itu Sheryl anaknya Tante Rachel dan Om Gideon?” tanyaku terkejut bukan main.Dia melotot ke arahku. “Iya, gue Sheryl! Kenapa?”Seketika aku terkekeh mendengar jawabannya. Jadi dia betulan Sheryl? Astaga! Dia sudah besar sekarang. Dul
Aku terdiam seribu bahasa begitu mendengar rencana Papa.Menjodohkan Hulya dengan pria lain?Apa Papa benar-benar tidak peduli dengan perasaanku?Aku mengerti jika hubungan kami adalah hubungan yang terlarang. Namun, tak bisakah Papa memberikan sedikit saja waktu untuk kami?Kutatap pria baya itu dengan mata memerah menahan kesal. “Edgar tidak bisa melihat Hulya bersama dengan pria lain, Pa,” ucapku terbata.“Kalau begitu kau yang harus pergi, Edgar. Bukan Papa tidak peduli dengan perasaanmu. Papa hanya mencegah semuanya terlambat dan menjadi terlalu dalam,” jelas Papa, aku terdiam.Papa menepuk pundakku dengan lembut. “Percayalah ini semua Papa lakukan demi kebaikanmu.”Usai mengatakan hal tu, Papa memintaku untuk meninggalkan kamarnya. Ia bilang ia akan membicarakan hal ini dengan Mama.Dengan langkah gontai aku keluar dari kamar kedua orang tuaku. Kulangkahkan kakiku menaiki anak tangga menuju kamarku. Tepat ketika aku sampai di lantai dua, kulihat Hulya sedang berdiri di balkon, m
POV Edgar Aku adalah Edgar Mahendra. Anak bungsu dari empat bersaudara. Awalnya kami adalah keluarga yang tak terlalu dekat. Kami jarang sekali berinteraksi satu sama lain. Kami berbicara jika hanya ada perlu saja. Itu semua terjadi karena anggota keluarga sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Suatu hari, aku mengalami sebuah insiden tak terduga. Aku dituduh telah mencuri ciuman pertama seorang wanita yang bahkan aku sendiri tidak mengenalnya. Kejadian itu tak disengaja. Saat itu aku baru saja dari minimarket untuk membeli sebuah kopi kaleng. Aku tak tahu kalau di depanku ada dua orang karyawan wanita sedang berjalan karena aku terlalu sibuk dengan gawaiku. Hingga tiba-tiba salah satu dari mereka membalikkan badan dengan cepat dan menubruk diriku. Aku yang tak dapat menghindar tiba-tiba saja ditubruk seperti itu olehnya. Aku terjengkang ke belakang, dan tubuh wanita itu menindih tubuhku. Dan, yang paling membuatk
“Kamu jangan macem-macem, Gar!” ucap Papa pada Edgar melalui sambungan telepon. Kami yang berada di ruangan itu sontak menatap ke arah Papa dengan penuh tanda tanya.“Sekarang kamu pulang!” ucap Papa lagi kali ini dengan nada sedikit membentak. Papa selanjutnya mematikan sambungan teleponnya dengan Edgar. Seketika semua menjadi hening, tak ada yang berani bertanya kecuali Mama.“Mas, ada apa?” tanya Mama yang kini berdiri dan menghampiri Papa yang masih terlihat kesal.“Edgar, dia bilang ....” Papa sempat melirik sekilas ke arahku yang menatapnya, namun dengan cepat ia mengalihkan pandangannya. “Nggak, nanti aja kita bicarakan sama anaknya.”Papa dan Mama akhirnya meninggalkan kami. Mereka menuju ke kamar untuk membicarakan sesuatu. Sungguh, aku benar-benar penasaran dengan apa yang mereka bicarakan. Tatapan Papa tadi seolah-olah mengintimidasiku. Aku yakin, pasti obrolan tadi dengan Edgar ada hu
Aku menatap serius pria berambut gondrong itu. Rasanya perkataan Daffa barusan tidak dapat kupercaya begitu saja. Bagaimana bisa Edgar merahasiakan hal sepenting ini dariku?“Jadi lo belum tahu?” Daffa terlihat salah tingkah, ada sedikit kekhawatiran di wajahnya. Mungkin dia merasa telah membocorkan rahasia adiknya itu.Aku menggeleng pelan. Pikiranku dipenuhi berbagai pertanyaan. Pokoknya aku harus menanyakan hal ini pada Edgar. Enak saja kalau ia tak memberitahuku rencana besarnya.“Hulya, sorry, ya. Gue kayaknya nggak seharusnya ngomong ini dulu sama lo,” sesal Daffa dengan wajah bersalah. Sementara aku hanya mengangguk, sambil mengatakan kalau aku baik-baik saja.Tiba-tiba listrik kembali menyala. Lampu ruangan di mana kami duduk sudah menyala dengan terang. Aku meminta izin pada Daffa untuk pergi ke kamar. Karena entah mengapa aku merasa moodku tiba-tiba memburuk.“Hulya, jangan pikirin masalah i
Dengan cepat kuambil gawaiku dan kunyalakan fitur senter. Segera aku keluar kamar untuk mencari Edgar. Di luar ternyata hujan semakin deras mengguyur, disertai petir yang bergemuruh dan kilat menyambar-nyambar di tengah gelapnya malam.“Gar? Lo di dalem, kan?” panggilku ketika aku sudah berdiri di ambang pintu kamarnya. Rasanya tadi aku sempat mendengar suaranya tengah bersenandung memasuki kamarnya.Lama aku menunggu, namun tak ada jawaban apa pun dari dalam kamar. Mungkin aku kurang keras memanggil dan mengetuk pintu kamarnya.Kucoba untuk mengetuk pintu itu lebih keras lagi. “Gar!” panggilku lagi atau lebih mirip dengan setengah berteriak.Tak berapa lama, terbukalah pintu kamarnya. Kuarahkan gawaiku ke wajahnya, terpampanglah sosok pria dengan piyama teddy bear berdiri di sana, piyama yang selalu membuatku tertawa jika mengingatnya. Dengan muka bantal ia menatapku, satu tangannya mengucek mata, persis seperti orang yan
Suara seorang pria tiba-tiba membuat aku dan Edgar terkejut. Sontak Edgar langsung menjauhkan dirinya dariku. Sementara aku segera bangkit dan terduduk.Kutatap sosok pria berambut gondrong yang berdiri mematung di depan pintu penghubung. Di tangannya tergantung sebuah kotak yang kutebak itu adalah kue.“Ck! Gue tau kalian lagi bucin, tapi bisa liat tempat, nggak? Gimana kalo yang dateng Mama atau Papa?” Ia menggeleng-gelengkan kepala.“Bang, kita nggak pernah punya waktu buat berdua. Mama dan Papa pasti curiga kalo kita berduaan terus!” kilah Edgar yang kini berdiri dan menatap sang kakak.“Gar, gue tau, kok. Tapi please, cari waktu dan tempat yang tepat. Kalian masih beruntung kali ini. Besok-besok gue nggak tau, dan nggak mau tau,” sahut Daffa sambil meletakkan kue di tangannya di atas meja tepat di sampingnya. “Hulya, ini kue pesanan lo. Tadi, kan, lo yang bilang langsung taro di meja aja.”
Sontak kami terkejut dengan pertanyaan Daffa yang begitu tiba-tiba.Aku dan Edgar saling pandang. Bingung, itulah yang kami rasakan saat ini. Apa yang harus kami katakan pada Daffa?“Kenapa diem? Jujur aja sama gue, gue udah curiga sebenernya dari kita masih di pulau itu,” tanya Daffa lagi hingga membuat kami tersadar dari lamunan kami.Daffa duduk bersandar pada tiang candi di belakangnya, pandangannya menatap lurus ke depan. Menatap indahnya pemandangan kota Djogjakarta dari atas sini.“Sini duduk, kalian bisa percaya sama gue, kok!” Daffa menepuk tempat kosong di sisi kiri dan kanannya.Aku dan Edgar akhirnya duduk di samping Daffa. Edgar duduk di sisi kiri, sedangkan aku di sisi kanan.“Sejak kapan?” tanya Daffa memulai pembicaraan.“Sejak di pulau itu,” jawab Edgar tertunduk lesu.Kini Daffa menatapku serius hingga membuat aku sedikit memundurkan kepalaku. Sungguh, hatiku ber
“Maaf ya telat, kalian udah nunggu dari tadi, ya?”Sebuah suara seorang pria yang sangat kukenali, aku sedikit menggeser tubuhku agar dapat melihat ke arah pintu utama. Nampak Zayn baru saja masuk sambil menenteng sebuah kantong minimarket berwarna putih.“Halo, Hulya? Belom tidur?” tanya Zayn begitu ia melihat kehadiranku di ruangan ini.“Hehe, iya, Kak. Tadi habis ikut makan pizza. Kakak bawa apa, tuh?” tanyaku karena penasaran dengan isi kantong di tangan Zayn yang terlihat berat seperti berisi beberapa botol sirup atau apalah itu.“Ah, engga, ini cuma titipan mereka aja,” jawab Zayn sambil meletakkan kantong itu di lantai lalu duduk di sofa bergabung bersama Carel yang begitu kalem.“Minuman apaan, Kak?” tanyaku penasaran.Baru saja Zayn akan menjawab pertanyaanku, Edgar dengan cepat menarik tanganku dan membawaku masuk ke dalam kamar.“Udah, lo tidur sekarang, ya?