Home / Romansa / Live With 4 Stepbrothers / Bab 4 - Dia main ke kosan cewek?

Share

Bab 4 - Dia main ke kosan cewek?

Author: Fantazia
last update Last Updated: 2021-09-21 23:28:41

“Eh, sorry Mba!” ucapnya santai.

Entah sengaja atau tidak, orang ini benar-benar sangat tidak sopan! Ah, andai aku sedang tidak bekerja sekarang. Pasti sudah kumaki-maki orang ini!

Kuambil kopi itu dan mencoba untuk tersenyum ramah, namun seketika kutarik kembali senyumku kala melihat pria yang berdiri dihadapanku kini. Dia adalah Edgar Mahendra, si pria mesum dengan mulut kotor!

“Heh, cowok mesum! Bisa nggak sih lo sopan dikit sama orang?!” teriakku hingga membuat Hendra yang sedang menghitung stok menghampiri kami.

“Siapa sih manajer di sini? Punya karyawan kok nggak sopan banget? Mau gue laporin ke manajer lo, terus lo dipecat?”

“Gue nggak takut, tuh! Karena lo yang salah bukan gue!” sahutku berani.

“Ada apa sih, Hul?” tanya Hendra.

“Ini Mas, ada orang nggak sopan lempar-lempar barang ke aku,” sahutku sambil menunjuk-nunjuk Edgar.

“Mas, tolong bilangin ya sama teman lo yang satu ini. Sopan sedikit sama pembeli, bisa-bisa nanti pembeli malah kabur lagi kasirnya galak begini!” teriak Edgar.

Sementara Hendra memintaku untuk mengalah saja daripada urusan ini menjadi panjang. Akhirnya dengan terpaksa aku menuruti perkataan Hendra.

“Udah lo mendingan diem terus cepet pergi dari sini! Nih, belanjaan lo. Totalnya dua belas ribu!”

Kuberikan botol kopi itu pada Edgar. Edgar langsung menyambarnya dari tanganku. Dia mengulurkan selembar uang lima puluh ribu padaku. Baru saja aku akan meraihnya, Edgar malah menarik kembali uang itu. Ia lalu meremas-remas uang itu dan menjatuhkannya di lantai.

“Nih uangnya, kembaliannya ambil aja.” Dengan santai ia melenggang keluar.

Aku sudah tidak tahan lagi! Kupungut uang yang sudah berbentuk seperti bola itu. Dan kukejar pria mesum itu sampai keluar toko.

“Heh, cowok nggak punya attitude!” teriakku.

Edgar menghentikan langkahnya dan berbalik menatapku. Aku melangkahkan kakiku ke arahnya. Ketika tepat berada di depannya, kutempelkan uang kucel itu ke mulutnya dengan keras hingga membuat kepalanya sempat terjengkang kebelakang sedikit.

“Nih, lo makan uang lo! Gue nggak butuh uang lo!” ucapku sambil berlari masuk kembali ke dalam toko.

Mati gue, mati gue!’ gumam ku sambil berlari memasuki toko. Hingga membuat Dina menatap heran ke arahku ketika aku sampai di meja kasir.

“Kenapa lo?” tanya Dina.

Aku tak menggubris perkataan Dina, karena mataku sibuk melihat ke arah luar. Takut kalau Edgar akan kembali ke sini dan marah-marah. Kulihat Edgar mengambil uang itu dan berjalan memasuki mobilnya yang terparkir.

“Fyuh! Syukurlah!” desahku.

“Ada apa sih, Hul?”

“Ah, nggak kok, Din.”

***

Seusai bekerja, aku sengaja tidak pulang ke rumah. Karena aku tidak ingin bertemu Mama. Aku bilang, aku butuh waktu untuk sendiri, kan? Kurasa ini saat yang tepat untukku menyendiri.

Aku berencana untuk menginap di kosan Dina malam ini. Namun kuminta Dina untuk pergi duluan dan aku akan menyusul. Aku berencana untuk makan dulu di warung pecel lele yang tak jauh dari kosan Dina. Setelah makan, aku melajukan motorku menuju kosan Dina.

Tepat di depan gedung yang mirip rumah susun itu terparkir sebuah mobil. Aku baru tahu kalau salah satu penghuni kos di sana memiliki mobil. Setelah memarkirkan motor, aku segera menaiki tangga menuju kamar Dina yang tepat berada di lantai dua. Tepat ketika aku akan melangkah menaiki tangga, sepasang pria dan wanita keluar dari dalam mobil itu dan memasuki gedung ini. Mereka menaiki tangga mendahuluiku. Aku terkejut ketika melihat Edgar bersama wanita cantik. Langsung saja kukejar mereka.

“Woi cowok mesum! Ngapain lo di sini malem-malem?!” teriakku.

Edgar yang tengah merangkul seorang wanita menoleh ke arahku. Ia tersenyum sinis ketika melihatku.

“Lo lagi, lo lagi. Bisa nggak sih lo nggak usah ngikutin gue? Lo ngefans sama gue?!” sungutnya.

Sementara wanita di sampingnya menatap tidak suka ke arahku.

“Ngefans sama lo? Cih!” sahutku sambil meludah ke arahnya. Ia meloto menatapku.

Aku berjalan mendahuluinya, ketika diriku tepat di sampingnya sengaja kutubrukkan bahuku dengan bahunya dengan keras hingga membuat ia meringis.

Tepat sebelum ia mengeluarkan kata-kata kasarnya, aku langsung mempercepat langkahku menaiki tangga dan berbelok, lalu aku langsung masuk ke kamar Dina yang kebetulan tidak terkunci. Dina yang sedang maskeran bingung melihatku yang terengah-engah.

“Kenapa lo?” tanyanya.

“Din, lo tau nggak siapa cewek cantik yang tinggal di kosan ini?” tanyaku sambil mengatur nafasku.

“Ya gue, lah!” sahutnya pede.

 Kutoyor kepala Dina hingga membuatnya meringis, “Gue serius, di kosan ini ada seorang mahasiswi gitu nggak yang tinggal?”

Dina nampak berpikir. lalu sedetik kemudian ia menjawab, “Ah iya ada, si Clara kalo nggak salah namanya. Kenapa sih?!”

“Dia suka bawa cowok ya ke kosan?”

“Duh kalo itu sih sering, secara dia tuh cakep banget. Tapi cowoknya gonta-ganti” Dina sedikit berbisik ketika mengatakan itu. Aku tersenyum mendengarnya.

“Oh, begitu. Oke deh Din." kutinggalkan Dina yang masih kebingungan mendengar pertanyaanku.

Bukannya aku ingin tahu urusan orang, aku hanya penasaran siapa wanita yang tadi bersama Edgar. Karena kurasa informasi ini akan berguna sewaktu-waktu untuk menjatuhkannya.

Aku segera mandi dan bergabung dengan Dina yang sedang menonton sinetron kesayangannya. Dina ini sama saja dengan Mama sukanya nonton sinetron yang episodenya bisa ribuan itu. Apa sih serunya?

Tak lama ponselku berdering, ternyata itu panggilan dari Mama. Awalnya aku ingin menolak panggilan itu, namun aku juga takut Mama kepikiran denganku yang tidak pulang.

“Halo Ma!”

“Iya, Hulya nginep di kosan Dina.”

“Hulya udah makan kok ma, iya besok Hulya pulang. Hulya libur besok.”

“Iya.”

Kututup sambungan telepon dari Mama. Dari nada bicaranya, Mama terdengar sangat khawatir padaku. Jujur, aku tidak ingin seperti ini karena aku juga tidak ingin membuat Mama khawatir. Tapi aku juga butuh waktu untuk menerima rencana Mama yang menurutku cukup gila itu.

Akhirnya tepat pukul satu, Dina sudah terlelap. Aku tak bisa tidur karena memikirkan Mama, karena memang jarang sekali aku pergi dari rumah seperti ini. Dulu, saat aku masih duduk di bangku SMA, mama sangat melarangku untuk menginap di rumah teman. Sekalipun itu teman dekatku. Mama bilang, anak perawan tidak baik menginap di luar. Aku selalu mengingat pesan itu hingga kini, dan aku juga akan menerapkannya pada anakku nanti.

Mungkin Mama juga melarangku karena takut kesepian. Wajar saja, karena kami ditinggal Papa ketika aku baru berumur sebelas tahun. Mama adalah orang yang paling bersedih sejak meninggalnya Papa.

Bulan-bulan awal Papa meninggal, aku selalu mendengar Mama menangis sambil memeluk foto Papa. Ah, mengingat kejadian itu membuatku merindukan Mama dan Papa. Sedang apa ya sekarang Mama di rumah? Dan Papa, apa Papa bahagia di sana jika Mama menikah dengan orang lain?

Tok! Tok! Tok!

Tiba-tiba kudengar suara pintu diketuk. Siapa sih malam-malam seperti ini yang bertamu ke rumah orang? Dengan malas aku beranjak dari kasur dan berjalan menuju pintu. Seketika aku terkejut kala melihat siapa yang ada dibalik pintu.

Related chapters

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 5 - Persetujuan

    “Mama! Ngapain Mama kesini?” “Mama nggak bisa tidur mikirin kamu ...” sahut Mama yang hanya mengenakan gaun tidurnya yang terbalut cardigan warna hitam. Aku langsung membawa Mama masuk dan duduk di ruang tengah. Kuambilkan segelas air hangat untuk Mama. Sementara aku sengaja tidak membangunkan Dina karena takut mengganggu tidurnya. “Ya ampun, Ma! Mama naik apa ke sini?” tanyaku khawatir. “Tadi Mama naik ojek online. Mama kepikiran kamu terus jadi Mama nyusulin kamu aja ke sini.” “Ma, maafin Hulya ya. Karena udah bikin Mama khawatir.” Aku langsung menghambur ke dalam pelukannya. Mama balas memelukku. “Kamu nggak biasanya seperti ini. Kalo ada apa apa biasanya kamu bilang sama Mama, hiks ...” Mama mulai terisak, mendengar itu sungguh melukai hatiku. “Mama jangan nangis, Hulya nggak kenapa-napa kok, Ma!” “Besok, kita ke makam Papa ya nak ya? Hiks ...” Aku hanya bisa mengangguk menjawab ajaka

    Last Updated : 2021-09-21
  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 6 - Pernikahan

    Om Harun langsung menghentikan tangannya ketika melihatku menghalangi tubuh Carel. “Hulya, ngapain kamu di sini?” tanya Om Harun dengan raut wajah terkejut. “Lo nggak usah ikut campur urusan keluarga ini, deh!” bisik Carel yang berada tepat di belakangku, namun tak kuhiraukan perkataannya. “Nggak, Om, please! Jangan pukul Kak Carel lagi. Dia tadi nggak salah, dia yang belain Hulya dari Edgar, Om!” seruku, dengan jantung berdegup. Antara takut dan kasihan melihat Carel. Berharap hal itu dapat membuat Om Harun sedikit tenang. Om Harun menatap datar ke arahku. Kemudian berkata, “Sebaiknya kamu cepat ke dalam dan temani Mamamu, Hulya.” Baru saja aku ingin menjawab perkataan Om Harun, Carel sudah mendorongku pelan hingga posisi tubuhku sedikit bergeser. Kemudian, ia berjalan perlahan ke arah Papanya itu. “Carel nggak akan pernah lupain kejadian itu, Pa. Bagi Carel, Edgar tetap penyebab Mama meninggal.” Carel mengucapkan itu dengan

    Last Updated : 2021-09-29
  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 7 - Teddy bear

    “K-kak Daffa ...” Dapat kurasakan semua mata kini tertuju padaku. Sudah terlanjur malu, aku hanya bisa menyembunyikan wajahku di ketiak Daffa. Daffa membawaku ke ruangan yang digunakan untuk Mama dan Papa mengganti kostum . Ia mendudukkanku pada salah satu sofa. Kuperhatikan sekeliling, hanya ada kami di sini. “Lo gapapa, kan?” tanyanya yang duduk di sebelahku. Aku merapikan rambutku yang berantakan, “Sakit sih enggak, cuma malunya itu yang nggak bisa ditahan.” “Anak itu kalo udah iseng sama orang emang keterlaluan!” sahut Daffa dengan wajahnya yang serius. Aku balik menatapnya. “Kak, kayanya Edgar nggak suka banget ya sama Gue?” tanyaku mulai frustasi dengan tingkah Edgar. “Enggak, Hulya. Edgar kalo nggak suka sama orang pasti lebih milih cuek dan nggak akan bertingkah seperti itu," jelas Daffa. “Jadi, Edgar suka sama gue?” Kutatap wajah Daffa serius. Ia terkekeh ketika mendengar pertanyaanku. “Ya, belom tentu juga, si

    Last Updated : 2021-09-29
  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 8 - Hilang kesadaran

    Aku tercengang mendengar ajakan Daffa. Kenapa tiba-tiba ia mengajakku jalan? Apa ia memiliki maksud lain? Ah, aku tidak akan pernah tahu jika tak menanyakannya langsung! “Eh, jalan? Kemana kak?” Aku mengernyitkan kening menatapnya. Ia yang kini berdiri dihadapanku, balas menatapku serius. “Ke cafe sekitaran sini aja. Gue mau bawa lo keliling, biar hapal daerah sini,” ajaknya. Aku mendesah lega mendengar jawaban darinya. Ternyata itu tujuannya, ah, Daffa memang pria yang baik. Beruntunglah yang akan menjadi pendamping hidupnya nanti. Sebenarnya aku ingin sekali menerima ajakan Daffa. Tapi aku ingat, nanti siang aku harus bekerja. Karena tidak mungkin aku harus ijin dari pekerjaanku hanya untuk pergi bersama Daffa. Bisa-bisa kepala tokoku marah-marah selama tujuh hari tujuh malam. “Aduh, kak. Maaf, gue nanti siang kerja,” tolakku secara halus agar tak menyinggung perasaannya. Ia mengangkat sebelah alisnya, “Kerja? Lo kerja di mana?”

    Last Updated : 2021-09-29
  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 9 - Serangan Panik

    Aku mengerjapkan mata, nuansa putih menyambut indera penglihatanku dan aroma obat yang menusuk hidung membuatku sedikit mual. Kulihat sekelilingku, terdapat beberapa tempat tidur kosong tepat di samping kiri dan kananku. Tiba-tiba pandanganku terhenti, ketika kudapati sosok yang kubenci selama ini, ia duduk tepat disebelah tempat aku berbaring. “G-gue di mana?" gumamku. Aku melihat jarum infus lengkap dengan selangnya terpasang di punggung tanganku. “Lo nggak apa-apa, kan?” tanya si mesum ini sambil menatapku khawatir, ia bangkit dari kursinya untuk membantuku duduk bersandar. “Apanya yang nggak kenapa-napa! Pala gue sakit banget, nih!” keluhku. Kusentuh keningku yang tadi memar, sebuah perban sudah menempel di sana. Dan memar itu masih terasa berdenyut nyeri. Rasanya ngilu. “Ya, mana gue tau kalo lo punya anemia parah. Terus kata dokter, lo juga kena serangan panik ringan!” sahut Edgar sambil kembali duduk di kursinya.

    Last Updated : 2021-09-30
  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 10 - Posterku dirobek?

    Hal itu membuatku terdiam seketika. Lalu, mereka kembali melanjutkan perkelahian mereka tanpa mempedulikan perkataanku. Carel kembali meninju wajah Edgar yang kebetulan sedang dipegangi oleh Daffa, hal itu dijadikan kesempatan oleh Carel untuk membalasnya. Sudut bibir Edgar mengeluarkan darah, tepat setelah bogem mentah dari Carel mendarat. Aku syok melihatnya, tiba-tiba, kepalaku kembali pusing, dan perutku terasa mual. Aku hampir oleng, namun dengan cepat aku memegang dinding yang ada di belakangku dan bersandar di sana. Apa benar ini namanya serangan panik? “Carel, stop, Carel!” bentak Daffa pada adiknya itu. Namun sepertinya perintah Daffa sia-sia karena Carel terus memukuli Edgar. Tak lama, Zayn yang baru pulang dari bekerja langsung berlari menghampiri mereka begitu melihat adik-adiknya sedang baku hantam. Ia memegangi tubuh Carel agar berhenti memukuli Edgar. “Carel, berenti, Rel!” teriak Zayn yang tak dipedulikan olehn

    Last Updated : 2021-09-30
  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 11 - Uang jajanku besar!

    Apa? Liburan di kapal pesiar? Serius? “Itu ide yang bagus, Mas. Apa kita perlu ikut bersama mereka?” Suara Mama terdengar lagi. “Tidak, biarkan mereka menikmati waktu mereka sendiri,” sahut Papa. “Tapi, bagaimana kalau mereka berkelahi di sana?” Mama. “Tidak akan, karena aku akan memberikan suatu ancaman pada mereka.” Perlahan, aku mendengar langkah kaki berjalan keluar dari kamar Mama dan Papa. Tidak, itu pasti Papa! Sontak aku langsung berbalik arah dan berpura-pura menaiki tangga. Kuurungkan niatku untuk ke halaman belakang, dan memilih untuk ke kamarku saja. Di kamar, aku memikirkan percakapan Mama dan Papa barusan. Jadi, kami akan liburan di kapal pesiar? Sungguh! Aku belum pernah naik kapal pesiar, bahkan melihatnya saja aku belum pernah. Ini pasti akan menjadi pengalaman paling menyenangkan yang pernah kualami selama hidupku! *** Hari sudah siang, aku sedang bersantai di kamar. Rumah terasa tenang

    Last Updated : 2021-10-01
  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 12 - Mereka harus membuatku senang?

    Sebuah suara membuat kami menghentikan langkah kami. Aku ingat betul, suara itu milik siapa. Aku membalikkan badan dan berjalan perlahan ke arah Edgar dan Zayn. Melihatku berjalan mendekat, mereka langsung berdiri. Aku berdiri dihadapan orang yang menyindirku, lalu melayangkan tatapan tajam padanya. “Edgar Mahendra. Gue udah pernah bilang sama lo, kalo gue emang mau rebut harta Papa. Bukankah ini semua udah jelas buat ngebuktiin maksud gue?” Aku menyeringai, ia bergidik melihat seringaian dariku. Sementara Zayn hanya memperhatikan dengan kedua tangan terlipat di depan dada. “Berani-beraninya lo ngomong gitu di depan gue!” bentak Edgar, tangannya sudah melayang di udara. Aku mendongakkan kepala, menantangnya. Sedangkan, Mama langsung berlari ke arahku kala melihat Edgar mengangkat tangannya, sementara Zayn sengaja mendiamkannya. Edgar berhenti beberapa detik, kemudian mengepalkan tangannya dan mengurungkan niatnya. Apa ini? Dia tidak ja

    Last Updated : 2021-10-01

Latest chapter

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 64 - Digoda Bule Cantik

    Aku tersentak kaget mendengar suara teriakan dari dalam kamar mandi.Sontak aku langsung membalikkan tubuhku, takut melihat sesuatu yang seharusnya tak kulihat. Cukup lama aku terdiam dalam posisi yang sama, hingga akhirnya kudengar suara perempuan dari arah kamar mandi.“How dare you?! Main buka pintu toilet seenaknya! Where’s your attitude!” hardiknya galak.Aku membalikkan tubuhku untuk mengetahui sosok yang sedang memarahiku ini. Hingga ketika aku bertatapan dengannya, aku terkejut karena ada wanita seusiaku di hadapanku dengan hanya terbalut piyama mandinya. Rambut wanita itu berwarna blonde dan basah.“Lo siapa?” tanyaku heran.“Lo tanya gue siapa? Ini rumah gue, lo yang siapa!” sahutnya dengan logat ala kebarat-baratan.“Hah? Rumah lo? Maksudnya lo itu Sheryl anaknya Tante Rachel dan Om Gideon?” tanyaku terkejut bukan main.Dia melotot ke arahku. “Iya, gue Sheryl! Kenapa?”Seketika aku terkekeh mendengar jawabannya. Jadi dia betulan Sheryl? Astaga! Dia sudah besar sekarang. Dul

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 63 - Kedatanganku

    Aku terdiam seribu bahasa begitu mendengar rencana Papa.Menjodohkan Hulya dengan pria lain?Apa Papa benar-benar tidak peduli dengan perasaanku?Aku mengerti jika hubungan kami adalah hubungan yang terlarang. Namun, tak bisakah Papa memberikan sedikit saja waktu untuk kami?Kutatap pria baya itu dengan mata memerah menahan kesal. “Edgar tidak bisa melihat Hulya bersama dengan pria lain, Pa,” ucapku terbata.“Kalau begitu kau yang harus pergi, Edgar. Bukan Papa tidak peduli dengan perasaanmu. Papa hanya mencegah semuanya terlambat dan menjadi terlalu dalam,” jelas Papa, aku terdiam.Papa menepuk pundakku dengan lembut. “Percayalah ini semua Papa lakukan demi kebaikanmu.”Usai mengatakan hal tu, Papa memintaku untuk meninggalkan kamarnya. Ia bilang ia akan membicarakan hal ini dengan Mama.Dengan langkah gontai aku keluar dari kamar kedua orang tuaku. Kulangkahkan kakiku menaiki anak tangga menuju kamarku. Tepat ketika aku sampai di lantai dua, kulihat Hulya sedang berdiri di balkon, m

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 62 - Suara Hati Edgar

    POV Edgar Aku adalah Edgar Mahendra. Anak bungsu dari empat bersaudara. Awalnya kami adalah keluarga yang tak terlalu dekat. Kami jarang sekali berinteraksi satu sama lain. Kami berbicara jika hanya ada perlu saja. Itu semua terjadi karena anggota keluarga sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Suatu hari, aku mengalami sebuah insiden tak terduga. Aku dituduh telah mencuri ciuman pertama seorang wanita yang bahkan aku sendiri tidak mengenalnya. Kejadian itu tak disengaja. Saat itu aku baru saja dari minimarket untuk membeli sebuah kopi kaleng. Aku tak tahu kalau di depanku ada dua orang karyawan wanita sedang berjalan karena aku terlalu sibuk dengan gawaiku. Hingga tiba-tiba salah satu dari mereka membalikkan badan dengan cepat dan menubruk diriku. Aku yang tak dapat menghindar tiba-tiba saja ditubruk seperti itu olehnya. Aku terjengkang ke belakang, dan tubuh wanita itu menindih tubuhku. Dan, yang paling membuatk

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 61 - Pergi

    “Kamu jangan macem-macem, Gar!” ucap Papa pada Edgar melalui sambungan telepon. Kami yang berada di ruangan itu sontak menatap ke arah Papa dengan penuh tanda tanya.“Sekarang kamu pulang!” ucap Papa lagi kali ini dengan nada sedikit membentak. Papa selanjutnya mematikan sambungan teleponnya dengan Edgar. Seketika semua menjadi hening, tak ada yang berani bertanya kecuali Mama.“Mas, ada apa?” tanya Mama yang kini berdiri dan menghampiri Papa yang masih terlihat kesal.“Edgar, dia bilang ....” Papa sempat melirik sekilas ke arahku yang menatapnya, namun dengan cepat ia mengalihkan pandangannya. “Nggak, nanti aja kita bicarakan sama anaknya.”Papa dan Mama akhirnya meninggalkan kami. Mereka menuju ke kamar untuk membicarakan sesuatu. Sungguh, aku benar-benar penasaran dengan apa yang mereka bicarakan. Tatapan Papa tadi seolah-olah mengintimidasiku. Aku yakin, pasti obrolan tadi dengan Edgar ada hu

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 60 - Tak ada waktu

    Aku menatap serius pria berambut gondrong itu. Rasanya perkataan Daffa barusan tidak dapat kupercaya begitu saja. Bagaimana bisa Edgar merahasiakan hal sepenting ini dariku?“Jadi lo belum tahu?” Daffa terlihat salah tingkah, ada sedikit kekhawatiran di wajahnya. Mungkin dia merasa telah membocorkan rahasia adiknya itu.Aku menggeleng pelan. Pikiranku dipenuhi berbagai pertanyaan. Pokoknya aku harus menanyakan hal ini pada Edgar. Enak saja kalau ia tak memberitahuku rencana besarnya.“Hulya, sorry, ya. Gue kayaknya nggak seharusnya ngomong ini dulu sama lo,” sesal Daffa dengan wajah bersalah. Sementara aku hanya mengangguk, sambil mengatakan kalau aku baik-baik saja.Tiba-tiba listrik kembali menyala. Lampu ruangan di mana kami duduk sudah menyala dengan terang. Aku meminta izin pada Daffa untuk pergi ke kamar. Karena entah mengapa aku merasa moodku tiba-tiba memburuk.“Hulya, jangan pikirin masalah i

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 59 - Berita Mengejutkan

    Dengan cepat kuambil gawaiku dan kunyalakan fitur senter. Segera aku keluar kamar untuk mencari Edgar. Di luar ternyata hujan semakin deras mengguyur, disertai petir yang bergemuruh dan kilat menyambar-nyambar di tengah gelapnya malam.“Gar? Lo di dalem, kan?” panggilku ketika aku sudah berdiri di ambang pintu kamarnya. Rasanya tadi aku sempat mendengar suaranya tengah bersenandung memasuki kamarnya.Lama aku menunggu, namun tak ada jawaban apa pun dari dalam kamar. Mungkin aku kurang keras memanggil dan mengetuk pintu kamarnya.Kucoba untuk mengetuk pintu itu lebih keras lagi. “Gar!” panggilku lagi atau lebih mirip dengan setengah berteriak.Tak berapa lama, terbukalah pintu kamarnya. Kuarahkan gawaiku ke wajahnya, terpampanglah sosok pria dengan piyama teddy bear berdiri di sana, piyama yang selalu membuatku tertawa jika mengingatnya. Dengan muka bantal ia menatapku, satu tangannya mengucek mata, persis seperti orang yan

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 58 - Hujan dan mati listrik

    Suara seorang pria tiba-tiba membuat aku dan Edgar terkejut. Sontak Edgar langsung menjauhkan dirinya dariku. Sementara aku segera bangkit dan terduduk.Kutatap sosok pria berambut gondrong yang berdiri mematung di depan pintu penghubung. Di tangannya tergantung sebuah kotak yang kutebak itu adalah kue.“Ck! Gue tau kalian lagi bucin, tapi bisa liat tempat, nggak? Gimana kalo yang dateng Mama atau Papa?” Ia menggeleng-gelengkan kepala.“Bang, kita nggak pernah punya waktu buat berdua. Mama dan Papa pasti curiga kalo kita berduaan terus!” kilah Edgar yang kini berdiri dan menatap sang kakak.“Gar, gue tau, kok. Tapi please, cari waktu dan tempat yang tepat. Kalian masih beruntung kali ini. Besok-besok gue nggak tau, dan nggak mau tau,” sahut Daffa sambil meletakkan kue di tangannya di atas meja tepat di sampingnya. “Hulya, ini kue pesanan lo. Tadi, kan, lo yang bilang langsung taro di meja aja.”

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 57 - Ketahuan, deh!

    Sontak kami terkejut dengan pertanyaan Daffa yang begitu tiba-tiba.Aku dan Edgar saling pandang. Bingung, itulah yang kami rasakan saat ini. Apa yang harus kami katakan pada Daffa?“Kenapa diem? Jujur aja sama gue, gue udah curiga sebenernya dari kita masih di pulau itu,” tanya Daffa lagi hingga membuat kami tersadar dari lamunan kami.Daffa duduk bersandar pada tiang candi di belakangnya, pandangannya menatap lurus ke depan. Menatap indahnya pemandangan kota Djogjakarta dari atas sini.“Sini duduk, kalian bisa percaya sama gue, kok!” Daffa menepuk tempat kosong di sisi kiri dan kanannya.Aku dan Edgar akhirnya duduk di samping Daffa. Edgar duduk di sisi kiri, sedangkan aku di sisi kanan.“Sejak kapan?” tanya Daffa memulai pembicaraan.“Sejak di pulau itu,” jawab Edgar tertunduk lesu.Kini Daffa menatapku serius hingga membuat aku sedikit memundurkan kepalaku. Sungguh, hatiku ber

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 56 - Kalian Pacaran?

    “Maaf ya telat, kalian udah nunggu dari tadi, ya?”Sebuah suara seorang pria yang sangat kukenali, aku sedikit menggeser tubuhku agar dapat melihat ke arah pintu utama. Nampak Zayn baru saja masuk sambil menenteng sebuah kantong minimarket berwarna putih.“Halo, Hulya? Belom tidur?” tanya Zayn begitu ia melihat kehadiranku di ruangan ini.“Hehe, iya, Kak. Tadi habis ikut makan pizza. Kakak bawa apa, tuh?” tanyaku karena penasaran dengan isi kantong di tangan Zayn yang terlihat berat seperti berisi beberapa botol sirup atau apalah itu.“Ah, engga, ini cuma titipan mereka aja,” jawab Zayn sambil meletakkan kantong itu di lantai lalu duduk di sofa bergabung bersama Carel yang begitu kalem.“Minuman apaan, Kak?” tanyaku penasaran.Baru saja Zayn akan menjawab pertanyaanku, Edgar dengan cepat menarik tanganku dan membawaku masuk ke dalam kamar.“Udah, lo tidur sekarang, ya?

DMCA.com Protection Status