Home / Romansa / Live With 4 Stepbrothers / Bab 1 - First Kiss?

Share

Live With 4 Stepbrothers
Live With 4 Stepbrothers
Author: Fantazia

Bab 1 - First Kiss?

Author: Fantazia
last update Last Updated: 2021-09-21 23:08:33

“Hulya, awas!” teriak Dina.

Sontak aku menoleh ke belakang, dan kulihat ada orang yang sedang membawa panci besar berisi kuah panas berjalan tepat di belakangku. Orang itu hampir kehilangan keseimbangannya dan oleng ke arahku. Namun, dengan cepat aku menyurut mundur, dan berbalik badan membelakangi orang itu.

Aku tak menyadari ada orang yang berdiri di belakangku. Kutak dapat menahan gerak tubuhku karena jarak di antara kami terlalu dekat. Hingga akhirnya aku menubruk tubuhnya dan jatuh menindihnya.

BRUKKK!

Chuuu~~

Kurasakan benda yang lembut dan basah menempel di bibirku. Tunggu dulu, benda apa ini yang menempel di bibirku?! Kubuka mataku yang sedari tadi terpejam, dan seketika aku terkejut ketika melihat sepasang mata tepat berada di bawah mataku. Dan yang lebih membuatku syok adalah, bibir kami yang saling menempel satu sama lain!

“Kyaaa! First kiss gue!” teriakku.

Dengan cepat aku bangun dan menjauhkan diriku dari tubuhnya. Sedangkan, pria itu berusaha bangkit sambil meringis kesakitan. Sepertinya punggungnya terbentur tanah cukup keras kala aku menubruknya dan menindihnya tadi.

“Sialan! Lo nggak punya mata ya!” teriak pria itu kasar sambil memegangi pinggangnya karena jika memegang punggungnya, tangannya tentu tak akan sampai.

Mendengar perkataan pria itu yang kasar, kupukul perutnya dengan tas yang sedari tadi menggantung di bahuku.

Bugh!

“Kenapa lo mukul gue?” teriaknya.

“Gue yang harusnya marah! Beraninya lo nyium gue!” sungutku.

Tak lama kemudian, Dina datang menghampiri kami. Bukannya menanyakan keadaanku, ia malah membeku sambil matanya menatap pria dihadapanku ini tanpa berkedip!

“Lo kan yang nubruk gue! Ya berarti lo yang salah! Dan soal ciuman itu, lo juga yang nyium gue duluan!” ketusnya.

“Gue nggak mau tau! Lo harus tanggung jawab. Itu first kiss gue, tau!” timpalku.

“Tanggung jawab? Emangnya lo hamil?! Hah? First kiss? Terus gue peduli?”

A-apa katanya? Hamil?

“Hamil?! Lo kira gue hamil?!” Aku mengernyitkan kening.

“Lagian pake tanggung jawab segala! Terus gimana juga cara gue tanggung jawabnya? Nyium lo lagi? Ogah banget!”

Belum sempat aku berkata apa-apa, pria itu melanjutkan, “Punggung gue sakit nih gara-gara lo! Udah lah, gue nggak punya waktu buat ngurusin yang nggak guna!”

Lalu pria itu melengos pergi tanpa menghiraukanku, dan langsung masuk ke dalam mobilnya yang terparkir di bahu jalan.

“Heh! Tunggu lo! Jangan kabur!” teriakku. Sambil berusaha mengejarnya, namun itu mustahil.

BRUUM!

Pria itu langsung melajukan mobilnya dengan cepat, aku hanya bisa menatap dari kejauhan mobilnya yang perlahan menghilang.

“Sialan! First kiss gue,” lirihku.

Dina menepuk bahuku. Aku menoleh ke arah gadis berambut pendek itu.

“Lo pernah ngelakuin apa sih, di kehidupan sebelumnya?”

“Kenapa emang?” tanyaku heran.

“Lo beruntung banget, bisa ciuman sama cowok ganteng itu!”

Dina heboh sendiri, aku menaikkan alis melihat ekspresi Dina. Ini orang udah nggak waras ya? Pantas saja sedari tadi dia hanya diam bukannya membelaku, rupanya dia terpesona dengan pria mesum itu.

“Lo kayanya harus ke dokter deh, Din.”

“Haha! Lo tuh yang nggak normal, Hul! Itu cowok tuh gantengnya melebihi Oppa Korea kesukaan lo itu! Gue sih lebih suka yang gantengnya lokal kayak tadi,” cibir Dina.

“Heh! Enak aja yang begitu disamain sama Oppa gue! Lagian orang macem begitu juga mana mau sama lo, Din!” sahutku, sambil menoyor kepalanya.

“Sialan lo ya!”

Akhirnya kami kembali melanjutkan perjalanan kami menuju foodcourt yang berada tepat di samping minimarket tempat kami bekerja.

***

Sore telah tiba, aku sudah berada di kamar sekarang. Tadinya Dina memintaku untuk menemaninya belanja, tapi aku menolaknya karena memang aku sudah ada acara makan malam dengan teman Mama.

Kutatap diriku di cermin, tiba tiba aku teringat pada kejadian tadi siang. Pandanganku langsung tertuju pada bibirku yang sudah kupoles lipstick berwarna pink ini.

“Di sini, dia nyium gue disini.”

Kusentuh bibirku dan segera kuambil tisu lalu menggosok gosokkannya pada bibirku dengan kasar hingga membuat warna lipstick menghilang.

First kiss gue diambil sama orang itu. Sialan! Padahal gue hanya akan memberikan itu sama orang yang akan jadi suami gue nanti, hiks!” lirihku.

“Kalo sampai gue nemuin cowok mesum itu, gue berjanji akan membuat hidup dia nggak tenang. Sampai dia merasa menyesal dan bertekuk lutut minta maaf sama gue!” ucapku pada pantulan diriku sendiri di cermin.

Tak berapa lama, Mama memasuki kamarku. Mama sudah berdandan cantik sekali hari ini. Seperti anak muda yang memiliki kencan untuk pertama kali saja. Oh, mungkinkah?

“Ayo, Hulya! Jemputan kita sudah dateng, tuh!”

Setelah mengatakan itu, mama langsung melengos keluar dari kamarku. Aku segera bersiap dengan gaun selutut berwarna biru muda dengan lengan panjang yang sudah Mama siapkan. Acara penting apa sih yang Mama maksud itu sampai membelikan aku baju baru segala?

Satu jam kemudian, kami sudah berdiri di depan sebuah rumah mewah yang ada di kawasan elit. Aku sampai ternganga melihat rumah yang mirip seperti yang ada di sinetron kesayangan Mama itu.

Begitu memasuki rumah bernuansa emas itu, kami disambut oleh beberapa maid. Salah satu dari mereka membawa kami menuju ruang makan yang ada di bagian belakang rumah ini, sehingga membuat kami harus berjalan agak jauh dan melewati ruang keluarga, dan ruang santai. Lalu kami sampai di ruang makan, di sana terdapat meja makan besar lengkap dengan mini bar di sebelahnya.

Seorang pria paruh baya berkacamata menyambut kami. Ia bersalaman pada Mama dan cipika cipiki dengan Mama. Tunggu dulu, sejak kapan Mama berani seperti itu?

“Kamu pasti Hulya ya? Perkenalkan, saya Harun Mahendra.” Pria itu tersenyum ramah padaku.

“I-iya Om, aku Hulya.”

Aku berusaha ramah juga terhadapnya, selanjutnya aku melayangkan tatapan tajam pada Mama yang dari tadi hanya tersipu malu. Hmm, sepertinya ada yang mencurigakan di sini!

“Nah, kamu pasti bingung ya kenapa diajak Mamamu kesini? Sekarang kamu dan Mama duduk dulu ya,” perintah Om Harun dengan nada suara yang terdengar lembut.

Kami menurut, dan duduk pada salah satu kursi. Sedangkan Om itu duduk di kursi paling ujung.

“Mbok, tolong panggilkan anak anak ya!” perintahnya pada seorang pelayan yang sudah tua. Pelayan itu mengangguk dan langsung menaiki tangga menuju lantai atas.

Tak berapa lama, ketiga orang pria menuruni tangga dan menghampiri Om Harun. Seketika aku terkejut kala melihat salah satu dari mereka. Itu dia! Pria itu yang sudah mengambil first kissku! Dia ada di sana! Aku ingat betul wajahnya yang arogan dan ketus itu!

Aku langsung berdiri dan menunjuknya, “Heh! Lo yang tadi siang, kan?”

“Hulya, sebaiknya kamu jaga sikapmu,” bisik Mama sambil menyentuh lenganku.

Mendengar bisikan dari Mama membuatku kembali mendudukkan tubuhku. Bagaimanapun, ada Mama di sebelahku. Aku tidak ingin membuat Mama malu, jika aku berkelahi dengan pria mesum itu. Aku hanya bisa mendengus kesal ketika pria itu hanya melirikku sekilas tanpa menghiraukanku. Lalu, ia menatap Om Harun dengan wajah kesal.

“Ada apa sih, Pa?!” tanyanya.

Tunggu dulu, Papa? Apa dia anak dari Om Harun? Lalu siapa sih Om Harun ini?

“Anak-anak, kalian duduk dulu ya,” perintah Om Harun.

Ketiga pria itu menurut dan duduk tepat di depan aku dan Mama. Aku sempat melirik pria mesum itu. Ia menatap tajam ke arahku, aku balas mempelototinya.

“Papa akan memberitahukan berita bahagia pada kalian,” ucap Om Harun memulai pembicaraan.

“Berita apa sih, Pa? Nggak usah banyak basa basi, deh!” sahut pria berkemeja putih yang duduk tepat di depan mataku. Terlihat dari wajahnya, pria itu adalah yang paling tua di antara dua yang lainnya.

“Bulan depan Papa akan menikah ...” sambung Om Harun.

“APA?! MENIKAH?!”

Related chapters

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 2 - Bad boy?

    Aku menatap Mama tak percaya kala mendengar perkataan Om Harun. Sementara Mama hanya tersenyum sambil matanya terus memandangi Om Harun. “Pa! Kenapa Papa ngerencanain ini tanpa diskusi dulu sama Zayn, Daffa, Carel dan Edgar!” teriak pria yang paling tua. Hal itu membuat aku dan Mama terkesiap karena mendengar suara keras pria yang berwajah mirip seperti CEO di novel yang selalu kubayangkan. “Zayn! Pelankan suaramu! Percuma Papa diskusi dulu sama kalian, kalian pasti akan menentang itu. Sudah, nanti saja kita bicarakan ini,” sahut om Harun marah. Pria bernama Zayn itu mendengus kesal dan menaiki tangga ke lantai atas dan meninggalkan kami. Sedangkan kami hanya terdiam tak berani berkata apa-apa. “Silahkan di makan dulu! Jangan hiraukan Zayn, dia memang seperti itu." Om Harun mempersilahkan kami makan. Namun keadaan sudah menjadi canggung. Sehingga membuat kami hanya terdiam. Terlebih, aku benar benar syok ketika mendengar pernyataan om

    Last Updated : 2021-09-21
  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 3 - Pria dengan hoodie

    Kulayangkan tamparan tepat di pipi putihnya. Bekas merah tercetak di sana, ia meringis sambil mengusap pipinya sendiri. “Dasar cewek sialan! Berani beraninya lo nampar gue, hah!” teriaknya. Edgar sudah mengangkat tangannya hendak membalas tamparanku. Sementara aku sudah siap menghindar. Namun tiba tiba seseorang keluar dari kamar yang tepat berada di samping kamar Edgar. Ia berteriak ketika melihat posisi tangan Edgar yang melayang di udara. “Edgar! Mau ngapain lo!” Ternyata itu Daffa. Ia berjalan dengan cepat dan menghalau tangan Edgar. “Heh, lo mau jadi pecundang dengan mukul cewek?” tanya Daffa. Edgar menepis tangan Daffa yang sedari tadi memeganginya. Dan tanpa berkata apa-apa, dia memasuki kamarnya dan membanting pintu. Daffa menoleh ke arahku yang tengah ketar-ketir melihat Edgar hendak memukulku. Lalu ia tersenyum kepadaku hingga membuat lesung pipinya mengintip keluar. Wajahnya mirip sekali dengan Papanya. “Maafin Edgar

    Last Updated : 2021-09-21
  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 4 - Dia main ke kosan cewek?

    “Eh, sorry Mba!” ucapnya santai. Entah sengaja atau tidak, orang ini benar-benar sangat tidak sopan! Ah, andai aku sedang tidak bekerja sekarang. Pasti sudah kumaki-maki orang ini! Kuambil kopi itu dan mencoba untuk tersenyum ramah, namun seketika kutarik kembali senyumku kala melihat pria yang berdiri dihadapanku kini. Dia adalah Edgar Mahendra, si pria mesum dengan mulut kotor! “Heh, cowok mesum! Bisa nggak sih lo sopan dikit sama orang?!” teriakku hingga membuat Hendra yang sedang menghitung stok menghampiri kami. “Siapa sih manajer di sini? Punya karyawan kok nggak sopan banget? Mau gue laporin ke manajer lo, terus lo dipecat?” “Gue nggak takut, tuh! Karena lo yang salah bukan gue!” sahutku berani. “Ada apa sih, Hul?” tanya Hendra. “Ini Mas, ada orang nggak sopan lempar-lempar barang ke aku,” sahutku sambil menunjuk-nunjuk Edgar. “Mas, tolong bilangin ya sama teman lo yang satu ini. Sopan sedikit sama pembe

    Last Updated : 2021-09-21
  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 5 - Persetujuan

    “Mama! Ngapain Mama kesini?” “Mama nggak bisa tidur mikirin kamu ...” sahut Mama yang hanya mengenakan gaun tidurnya yang terbalut cardigan warna hitam. Aku langsung membawa Mama masuk dan duduk di ruang tengah. Kuambilkan segelas air hangat untuk Mama. Sementara aku sengaja tidak membangunkan Dina karena takut mengganggu tidurnya. “Ya ampun, Ma! Mama naik apa ke sini?” tanyaku khawatir. “Tadi Mama naik ojek online. Mama kepikiran kamu terus jadi Mama nyusulin kamu aja ke sini.” “Ma, maafin Hulya ya. Karena udah bikin Mama khawatir.” Aku langsung menghambur ke dalam pelukannya. Mama balas memelukku. “Kamu nggak biasanya seperti ini. Kalo ada apa apa biasanya kamu bilang sama Mama, hiks ...” Mama mulai terisak, mendengar itu sungguh melukai hatiku. “Mama jangan nangis, Hulya nggak kenapa-napa kok, Ma!” “Besok, kita ke makam Papa ya nak ya? Hiks ...” Aku hanya bisa mengangguk menjawab ajaka

    Last Updated : 2021-09-21
  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 6 - Pernikahan

    Om Harun langsung menghentikan tangannya ketika melihatku menghalangi tubuh Carel. “Hulya, ngapain kamu di sini?” tanya Om Harun dengan raut wajah terkejut. “Lo nggak usah ikut campur urusan keluarga ini, deh!” bisik Carel yang berada tepat di belakangku, namun tak kuhiraukan perkataannya. “Nggak, Om, please! Jangan pukul Kak Carel lagi. Dia tadi nggak salah, dia yang belain Hulya dari Edgar, Om!” seruku, dengan jantung berdegup. Antara takut dan kasihan melihat Carel. Berharap hal itu dapat membuat Om Harun sedikit tenang. Om Harun menatap datar ke arahku. Kemudian berkata, “Sebaiknya kamu cepat ke dalam dan temani Mamamu, Hulya.” Baru saja aku ingin menjawab perkataan Om Harun, Carel sudah mendorongku pelan hingga posisi tubuhku sedikit bergeser. Kemudian, ia berjalan perlahan ke arah Papanya itu. “Carel nggak akan pernah lupain kejadian itu, Pa. Bagi Carel, Edgar tetap penyebab Mama meninggal.” Carel mengucapkan itu dengan

    Last Updated : 2021-09-29
  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 7 - Teddy bear

    “K-kak Daffa ...” Dapat kurasakan semua mata kini tertuju padaku. Sudah terlanjur malu, aku hanya bisa menyembunyikan wajahku di ketiak Daffa. Daffa membawaku ke ruangan yang digunakan untuk Mama dan Papa mengganti kostum . Ia mendudukkanku pada salah satu sofa. Kuperhatikan sekeliling, hanya ada kami di sini. “Lo gapapa, kan?” tanyanya yang duduk di sebelahku. Aku merapikan rambutku yang berantakan, “Sakit sih enggak, cuma malunya itu yang nggak bisa ditahan.” “Anak itu kalo udah iseng sama orang emang keterlaluan!” sahut Daffa dengan wajahnya yang serius. Aku balik menatapnya. “Kak, kayanya Edgar nggak suka banget ya sama Gue?” tanyaku mulai frustasi dengan tingkah Edgar. “Enggak, Hulya. Edgar kalo nggak suka sama orang pasti lebih milih cuek dan nggak akan bertingkah seperti itu," jelas Daffa. “Jadi, Edgar suka sama gue?” Kutatap wajah Daffa serius. Ia terkekeh ketika mendengar pertanyaanku. “Ya, belom tentu juga, si

    Last Updated : 2021-09-29
  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 8 - Hilang kesadaran

    Aku tercengang mendengar ajakan Daffa. Kenapa tiba-tiba ia mengajakku jalan? Apa ia memiliki maksud lain? Ah, aku tidak akan pernah tahu jika tak menanyakannya langsung! “Eh, jalan? Kemana kak?” Aku mengernyitkan kening menatapnya. Ia yang kini berdiri dihadapanku, balas menatapku serius. “Ke cafe sekitaran sini aja. Gue mau bawa lo keliling, biar hapal daerah sini,” ajaknya. Aku mendesah lega mendengar jawaban darinya. Ternyata itu tujuannya, ah, Daffa memang pria yang baik. Beruntunglah yang akan menjadi pendamping hidupnya nanti. Sebenarnya aku ingin sekali menerima ajakan Daffa. Tapi aku ingat, nanti siang aku harus bekerja. Karena tidak mungkin aku harus ijin dari pekerjaanku hanya untuk pergi bersama Daffa. Bisa-bisa kepala tokoku marah-marah selama tujuh hari tujuh malam. “Aduh, kak. Maaf, gue nanti siang kerja,” tolakku secara halus agar tak menyinggung perasaannya. Ia mengangkat sebelah alisnya, “Kerja? Lo kerja di mana?”

    Last Updated : 2021-09-29
  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 9 - Serangan Panik

    Aku mengerjapkan mata, nuansa putih menyambut indera penglihatanku dan aroma obat yang menusuk hidung membuatku sedikit mual. Kulihat sekelilingku, terdapat beberapa tempat tidur kosong tepat di samping kiri dan kananku. Tiba-tiba pandanganku terhenti, ketika kudapati sosok yang kubenci selama ini, ia duduk tepat disebelah tempat aku berbaring. “G-gue di mana?" gumamku. Aku melihat jarum infus lengkap dengan selangnya terpasang di punggung tanganku. “Lo nggak apa-apa, kan?” tanya si mesum ini sambil menatapku khawatir, ia bangkit dari kursinya untuk membantuku duduk bersandar. “Apanya yang nggak kenapa-napa! Pala gue sakit banget, nih!” keluhku. Kusentuh keningku yang tadi memar, sebuah perban sudah menempel di sana. Dan memar itu masih terasa berdenyut nyeri. Rasanya ngilu. “Ya, mana gue tau kalo lo punya anemia parah. Terus kata dokter, lo juga kena serangan panik ringan!” sahut Edgar sambil kembali duduk di kursinya.

    Last Updated : 2021-09-30

Latest chapter

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 64 - Digoda Bule Cantik

    Aku tersentak kaget mendengar suara teriakan dari dalam kamar mandi.Sontak aku langsung membalikkan tubuhku, takut melihat sesuatu yang seharusnya tak kulihat. Cukup lama aku terdiam dalam posisi yang sama, hingga akhirnya kudengar suara perempuan dari arah kamar mandi.“How dare you?! Main buka pintu toilet seenaknya! Where’s your attitude!” hardiknya galak.Aku membalikkan tubuhku untuk mengetahui sosok yang sedang memarahiku ini. Hingga ketika aku bertatapan dengannya, aku terkejut karena ada wanita seusiaku di hadapanku dengan hanya terbalut piyama mandinya. Rambut wanita itu berwarna blonde dan basah.“Lo siapa?” tanyaku heran.“Lo tanya gue siapa? Ini rumah gue, lo yang siapa!” sahutnya dengan logat ala kebarat-baratan.“Hah? Rumah lo? Maksudnya lo itu Sheryl anaknya Tante Rachel dan Om Gideon?” tanyaku terkejut bukan main.Dia melotot ke arahku. “Iya, gue Sheryl! Kenapa?”Seketika aku terkekeh mendengar jawabannya. Jadi dia betulan Sheryl? Astaga! Dia sudah besar sekarang. Dul

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 63 - Kedatanganku

    Aku terdiam seribu bahasa begitu mendengar rencana Papa.Menjodohkan Hulya dengan pria lain?Apa Papa benar-benar tidak peduli dengan perasaanku?Aku mengerti jika hubungan kami adalah hubungan yang terlarang. Namun, tak bisakah Papa memberikan sedikit saja waktu untuk kami?Kutatap pria baya itu dengan mata memerah menahan kesal. “Edgar tidak bisa melihat Hulya bersama dengan pria lain, Pa,” ucapku terbata.“Kalau begitu kau yang harus pergi, Edgar. Bukan Papa tidak peduli dengan perasaanmu. Papa hanya mencegah semuanya terlambat dan menjadi terlalu dalam,” jelas Papa, aku terdiam.Papa menepuk pundakku dengan lembut. “Percayalah ini semua Papa lakukan demi kebaikanmu.”Usai mengatakan hal tu, Papa memintaku untuk meninggalkan kamarnya. Ia bilang ia akan membicarakan hal ini dengan Mama.Dengan langkah gontai aku keluar dari kamar kedua orang tuaku. Kulangkahkan kakiku menaiki anak tangga menuju kamarku. Tepat ketika aku sampai di lantai dua, kulihat Hulya sedang berdiri di balkon, m

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 62 - Suara Hati Edgar

    POV Edgar Aku adalah Edgar Mahendra. Anak bungsu dari empat bersaudara. Awalnya kami adalah keluarga yang tak terlalu dekat. Kami jarang sekali berinteraksi satu sama lain. Kami berbicara jika hanya ada perlu saja. Itu semua terjadi karena anggota keluarga sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing. Suatu hari, aku mengalami sebuah insiden tak terduga. Aku dituduh telah mencuri ciuman pertama seorang wanita yang bahkan aku sendiri tidak mengenalnya. Kejadian itu tak disengaja. Saat itu aku baru saja dari minimarket untuk membeli sebuah kopi kaleng. Aku tak tahu kalau di depanku ada dua orang karyawan wanita sedang berjalan karena aku terlalu sibuk dengan gawaiku. Hingga tiba-tiba salah satu dari mereka membalikkan badan dengan cepat dan menubruk diriku. Aku yang tak dapat menghindar tiba-tiba saja ditubruk seperti itu olehnya. Aku terjengkang ke belakang, dan tubuh wanita itu menindih tubuhku. Dan, yang paling membuatk

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 61 - Pergi

    “Kamu jangan macem-macem, Gar!” ucap Papa pada Edgar melalui sambungan telepon. Kami yang berada di ruangan itu sontak menatap ke arah Papa dengan penuh tanda tanya.“Sekarang kamu pulang!” ucap Papa lagi kali ini dengan nada sedikit membentak. Papa selanjutnya mematikan sambungan teleponnya dengan Edgar. Seketika semua menjadi hening, tak ada yang berani bertanya kecuali Mama.“Mas, ada apa?” tanya Mama yang kini berdiri dan menghampiri Papa yang masih terlihat kesal.“Edgar, dia bilang ....” Papa sempat melirik sekilas ke arahku yang menatapnya, namun dengan cepat ia mengalihkan pandangannya. “Nggak, nanti aja kita bicarakan sama anaknya.”Papa dan Mama akhirnya meninggalkan kami. Mereka menuju ke kamar untuk membicarakan sesuatu. Sungguh, aku benar-benar penasaran dengan apa yang mereka bicarakan. Tatapan Papa tadi seolah-olah mengintimidasiku. Aku yakin, pasti obrolan tadi dengan Edgar ada hu

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 60 - Tak ada waktu

    Aku menatap serius pria berambut gondrong itu. Rasanya perkataan Daffa barusan tidak dapat kupercaya begitu saja. Bagaimana bisa Edgar merahasiakan hal sepenting ini dariku?“Jadi lo belum tahu?” Daffa terlihat salah tingkah, ada sedikit kekhawatiran di wajahnya. Mungkin dia merasa telah membocorkan rahasia adiknya itu.Aku menggeleng pelan. Pikiranku dipenuhi berbagai pertanyaan. Pokoknya aku harus menanyakan hal ini pada Edgar. Enak saja kalau ia tak memberitahuku rencana besarnya.“Hulya, sorry, ya. Gue kayaknya nggak seharusnya ngomong ini dulu sama lo,” sesal Daffa dengan wajah bersalah. Sementara aku hanya mengangguk, sambil mengatakan kalau aku baik-baik saja.Tiba-tiba listrik kembali menyala. Lampu ruangan di mana kami duduk sudah menyala dengan terang. Aku meminta izin pada Daffa untuk pergi ke kamar. Karena entah mengapa aku merasa moodku tiba-tiba memburuk.“Hulya, jangan pikirin masalah i

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 59 - Berita Mengejutkan

    Dengan cepat kuambil gawaiku dan kunyalakan fitur senter. Segera aku keluar kamar untuk mencari Edgar. Di luar ternyata hujan semakin deras mengguyur, disertai petir yang bergemuruh dan kilat menyambar-nyambar di tengah gelapnya malam.“Gar? Lo di dalem, kan?” panggilku ketika aku sudah berdiri di ambang pintu kamarnya. Rasanya tadi aku sempat mendengar suaranya tengah bersenandung memasuki kamarnya.Lama aku menunggu, namun tak ada jawaban apa pun dari dalam kamar. Mungkin aku kurang keras memanggil dan mengetuk pintu kamarnya.Kucoba untuk mengetuk pintu itu lebih keras lagi. “Gar!” panggilku lagi atau lebih mirip dengan setengah berteriak.Tak berapa lama, terbukalah pintu kamarnya. Kuarahkan gawaiku ke wajahnya, terpampanglah sosok pria dengan piyama teddy bear berdiri di sana, piyama yang selalu membuatku tertawa jika mengingatnya. Dengan muka bantal ia menatapku, satu tangannya mengucek mata, persis seperti orang yan

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 58 - Hujan dan mati listrik

    Suara seorang pria tiba-tiba membuat aku dan Edgar terkejut. Sontak Edgar langsung menjauhkan dirinya dariku. Sementara aku segera bangkit dan terduduk.Kutatap sosok pria berambut gondrong yang berdiri mematung di depan pintu penghubung. Di tangannya tergantung sebuah kotak yang kutebak itu adalah kue.“Ck! Gue tau kalian lagi bucin, tapi bisa liat tempat, nggak? Gimana kalo yang dateng Mama atau Papa?” Ia menggeleng-gelengkan kepala.“Bang, kita nggak pernah punya waktu buat berdua. Mama dan Papa pasti curiga kalo kita berduaan terus!” kilah Edgar yang kini berdiri dan menatap sang kakak.“Gar, gue tau, kok. Tapi please, cari waktu dan tempat yang tepat. Kalian masih beruntung kali ini. Besok-besok gue nggak tau, dan nggak mau tau,” sahut Daffa sambil meletakkan kue di tangannya di atas meja tepat di sampingnya. “Hulya, ini kue pesanan lo. Tadi, kan, lo yang bilang langsung taro di meja aja.”

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 57 - Ketahuan, deh!

    Sontak kami terkejut dengan pertanyaan Daffa yang begitu tiba-tiba.Aku dan Edgar saling pandang. Bingung, itulah yang kami rasakan saat ini. Apa yang harus kami katakan pada Daffa?“Kenapa diem? Jujur aja sama gue, gue udah curiga sebenernya dari kita masih di pulau itu,” tanya Daffa lagi hingga membuat kami tersadar dari lamunan kami.Daffa duduk bersandar pada tiang candi di belakangnya, pandangannya menatap lurus ke depan. Menatap indahnya pemandangan kota Djogjakarta dari atas sini.“Sini duduk, kalian bisa percaya sama gue, kok!” Daffa menepuk tempat kosong di sisi kiri dan kanannya.Aku dan Edgar akhirnya duduk di samping Daffa. Edgar duduk di sisi kiri, sedangkan aku di sisi kanan.“Sejak kapan?” tanya Daffa memulai pembicaraan.“Sejak di pulau itu,” jawab Edgar tertunduk lesu.Kini Daffa menatapku serius hingga membuat aku sedikit memundurkan kepalaku. Sungguh, hatiku ber

  • Live With 4 Stepbrothers   Bab 56 - Kalian Pacaran?

    “Maaf ya telat, kalian udah nunggu dari tadi, ya?”Sebuah suara seorang pria yang sangat kukenali, aku sedikit menggeser tubuhku agar dapat melihat ke arah pintu utama. Nampak Zayn baru saja masuk sambil menenteng sebuah kantong minimarket berwarna putih.“Halo, Hulya? Belom tidur?” tanya Zayn begitu ia melihat kehadiranku di ruangan ini.“Hehe, iya, Kak. Tadi habis ikut makan pizza. Kakak bawa apa, tuh?” tanyaku karena penasaran dengan isi kantong di tangan Zayn yang terlihat berat seperti berisi beberapa botol sirup atau apalah itu.“Ah, engga, ini cuma titipan mereka aja,” jawab Zayn sambil meletakkan kantong itu di lantai lalu duduk di sofa bergabung bersama Carel yang begitu kalem.“Minuman apaan, Kak?” tanyaku penasaran.Baru saja Zayn akan menjawab pertanyaanku, Edgar dengan cepat menarik tanganku dan membawaku masuk ke dalam kamar.“Udah, lo tidur sekarang, ya?

DMCA.com Protection Status