Semua Bab Istri Lima Belas Ribu: Bab 231 - Bab 240

608 Bab

Bagian 234

POV NIAAku masih berdiri di sini, menatap kepergian mobil yang membawa Mas Agam, juga anaknya. Entahlah, gerimis yang membasahi tubuh ini seakan tidak terasa dinginnya.Aku pernah membencinya. Dulu, sangat muak terhadap pria yang memperlakukan kami bertiga secara semena-mena tapi, melihat dirinya seperti itu sungguh hati ini merasa sangat kasihan.Hal yang paling aku benci dari diriku adalah, mudah sekali mengasihani orang. Rasa ini sangat sensitif terhadap penderitaan yang dialami oleh orang-orang sekeliling. Sekadar kasihan, tidak lebih. Bukan cinta lama bersemi kembali akan tetapi, hanya sepercik sakit yang menggores relung hati, melihat dia yang pernah satu atap bersama, dirundung duka yang penuh nestapa.Anti, sosok wanita berhati, ah, aku tidak ingin mengumpat. Tega sekali melepaskan bayi merah yang dia kandung selama sembilan bulan. Bila memang dirinya membenci Mas Agam, harusnya, hanya Mas Agam yang dia buang, bukan sesosok makhluk tanpa dosa yan
Baca selengkapnya

Bagian 235

Aku bangkit, dan turun dari ranjang. Membuka lemari dan mengulurkan surat yang beberapa bulan ini aku sembunyikan darinya."Apa ini?""Surat tanah yang aku beli bersama Mas Agam. Dia mengirimkan sebagai kado pernikahan kita," lembaran itu hanya diterima tanpa dibuka. Dirinya diam. Nampak tengah berpikir. Aku hanya duduk sembari sabar menunggu, apa yang akan dikatakan olehnya."Berikan pada Agam! Dinta dan Danis tidak membutuhkan. Apa yang aku miliki sangat lebih dari benda ini, Nia. Dan aku berharap, dengan ini, sakit dalam hati kamu melihat penderitaan Agam akan hilang. Dan aku, akan mengizinkannya untuk menemui Dinta dan Danis kapanpun. Ingat! Hanya bertemu. Bukan untuk membawa mereka pergi," aku hampir tidak percaya dengan apa yang kudengar tadi. Dengan cepat, kupeluk erat tubuh lelaki yang berhati mulia itu."terima kasih, Mas. Aku janji, tidak akan meninggalkanmu. Aku janji, akan selalu mendampingi Mas sampai maut memisahkan kita," kami saling tatap.
Baca selengkapnya

Bagian 236

"Ada yang ingat, ada yang lupa. Tidak semuanya aku ingat. Karena, ada kenangan buruk yang memang sudah aku kubur dalam-dalam," jawaban telak yang diberikan Tohir, membuat Anti tidak berkutik. Senyum manja yang sebelumnya tersungging, kembali redup."Mas, aku minta maaf, ya? Dulu, aku termakan rayuan Agam. Seandainya saja, dia tidak hadir untuk menganggu, pastilah kebahagiaan masih selalu menghiasi kehidupan keluarga kecil kita. Aku menyesal ...""Iya, jadikan sebagai pelajaran. Untuk kamu kelak menjadi istri yang setia. Sebesar apa pun rayuan itu datang, bila hatimu itu penuh dengan iman dan rasa takut pada Allah, pasti tidak akan tergoda. Jangan menyalakan satu pihak, Anti. Karena perselingkuhan terjadi antara dua orang. Belajarlah menyadari dan mengakui kesalahan. Bukan melempar itu pada orang lain," meskipun apa yang diucapkan mantan suaminya itu terdengar lemah lembut, namun terasa menusuk relung hati Anti."Kamu tidak kasihan sama bayi kamu, Anti? Apakah ka
Baca selengkapnya

Bagian 237

Mobil yang dikendarai Agam menembus pekatnya kabut di siang menjelang sore itu. Tidak ada sepatah katapun terucap di dalam kuda besi yang meluncur dengan kecepatan sedang itu. Sang sopir merasa enggan, hendak mengajak bercakap dengan pria yang memangku anak bayi yang baru lahir dengan tatapan sendu.Agam larut dalam pikirannya. Ada banyak hal ia risaukan. Meskipun kehadiran malaikat kecil tanpa dosa itu tidak ia anggap beban. Namun, tetap saja, beberapa kebiasaan dalam menjalani aktivitas sehari-harinya harus disesuaikan dengan keberadaan anak hasil hubungan gelapnya bersama Anti.Mobil telah sampai di halaman kantor, yang menjadi rumah sementara bagi Agam saat ini. Gerimis kecil masih tersisa, seakan langit ikut merasakan pedihnya hati, sesosok makhluk kecil tiada daya yang kehadirannya tidak disambut dengan senyum dan dekapan penuh  cinta."Mas Agam tunggu dulu, aku yang turun terus cari payung. Biar dedek bayinya tidak kehujanan," perintah sopir yang usi
Baca selengkapnya

Bagian 238

Beberapa hari berlalu, Agam mulai menyesuaikan diri dengan keadaan yang sekarang. Malam ia lewati sendiri, belajar semua hal dari awal. Mengganti popok, memberi susu, menidurkan saat menangis. Hanya memandikan saja yang tidak ia lakukan. Memilih meminta bantuan pada Tuti sekaligus menjaga saat dirinya harus mengantor.Siang itu, bapak dan ibu Agam datang menjenguk dengan niat melihat cucu mereka yang baru lahir.Tidak ada rasa bahagia mendapat kunjungan dari orang tuanya karena hatinya telah mati dengan sikap tak peduli yang selalu ia dapat.Agam yang saat itu sedang melipat pakaian dengan Bilal tidur lelap di atas ayunan yang berbentuk keranjang, hanya melirik seklias tanpa menyapa."Salim ayo, sama Pakde!" bukannya menanyakan kabar, pertama kali yang ibunya tunjukkan malah cucu kesayangan dan kebanggaannya."Pakde ..." Aira memanggil manja namun, tidak dihiraukan oleh Agam. Hatinya sudah beku bahkan terhadap anak yang dulu sangat ia sanjung itu.
Baca selengkapnya

Bagian 239

Dirinya bukan berarti baik-baik dengan keputusan berdamai dengan Agam. Masih aja sepercik rasa khawatir namun, pria itu berusaha mempertahankan apa yang telah ia dapatkan dengan menjalin hubungan baik dengan Agam. Berharap dengan hal itu, Nia tidak akan terbebas dari rasa mengasihani dan memikirkan nasib mantan suaminya. "Agam," panggilan dari Pak Irsya membuat Agam yang tengah asyik memperhatikan tingkah Dinta dan Danis menoleh. "Ya, Pak …." Mereka saling bertatapan. "Perbaiki diri terus. Agar hal yang baik akan kamu temui setelah ini." Agam mengangguk paham. Nia yang sedari tadi keluar, masuk membawa dua bantal baru, juga sebuah plastik besar yang isinya makanan. Ibu dari Dinta dan Danis itu langsung mencari baskom untuk meletakkan berbagai makanan yang ia bawa. Lalu, kembali ke luar dan masuk dengan membawa perlengkapan dua anaknya yang akan menginap. "Mas Danis, hati-hati lho, ya! Adeknya jangan sampai ditindih." Pesan Nia pada ana
Baca selengkapnya

Bagian 240

"Cium pipi kanan, cium pipi kiri, hidungnya, keningnya, dagunya …." Danis terus berujar sambil menciumi adik bayinya."Gantian, Dek!" seru Dinta."Sebentar, Kakak ... Adek belum puas." Danis menyahut tanpa menoleh. Perhatiannya fokus pada adik kecil yang sangat ia sukai."Tapi 'kan, dari tadi kamu terus, Dek, yang cium-cium Bilal." Dinta cemberut."Ini, ini, iya, iya, Adek ngalah,"Agam yang duduk di kursi sambil menyantap makanan yang dibawa Nia, tidak berhenti tersenyum. Malam yang indah bagi dirinya. Sekalipun tanpa sosok pendamping yang menemani, namun, apa yang terjadi di hadapannya saat ini adalah kebahagiaan yang sangat sempurna.Bilal, sosok bayi malang yang tidak mendapatkan kasih sayang dari seorang ibu, tetapi, masih ada Dinta dan Danis yang memberi ketulusan rasa tanpa syarat apapun.Hingga menjelang jam sembilan malam, Agam bercengkrama dengan ketiga anaknya. Entah kebetulan atau memang ikatan sebuah rasa persaudar
Baca selengkapnya

Bagian 241

Di sela-sela acara makan mereka, Agam merasa tenggorokannya tercekat. Menyadari bahwa, ini adalah saat terakhir kebersamaan dirinya dengan kedua anaknya. Entah kapan, kesempatan seperti ini akan terulang kembali."Kakak sama Adek, kapan-kapan main ke sini lagi, ya?" tanya Agam ragu. Kedua anak yang ia tanya hanya mengangguk saja.Agam benar-benar memanfaatkan momen sebelum Dinta dan Danis dijemput kembali oleh ibunya. Pria itu mengajak anak-anak bermain, sekalipun hatinya begitu diliputi sedih.Nia dan Pak Irsya datang lebih awal. Pukul dua mereka sudah sampai. Agam segera menyalami keduanya dan kembali pada Bilal yang menangis minta susu. Gurat-gurat kecewa ditampakkan kedua kakak beradik yang masih ingin bermain bersama adik bayinya."Ibu kenapa cepat datang?" tanya Danis dengan mimik muka sedih."Iya, kami masih mau di sini. Katanya sore?" Dinta ikut protes."Soalnya sore Ibu mau ada acara kondangan." Nia mencoba memberi pengertian. Semen
Baca selengkapnya

Bagian 242

Apa yang dikatakan Anti barusan membuat hati Erina meradang. Rasa empati yang tadi sempat singgah, musnah seketika."Siapa sih, Mbak, yang mau gagal terus? Aku juga sudah berusaha maksimal. Tapi kan Allah belum menentukan. Mau gimana lagi?" Erina menjawab dengan mimik muka sedih. Anti sama sekali tidak merasa bersalah telah menyinggung temannya itu."Kamu banyak dosa kali, Rin! Makanya gak lolos-lolos. Coba deh, kamu ingat-ingat, kamu punya salah apa sama orang!" Erina semakin malas meladeni omongan Anti."Mbak, jadi keputusannya Mbak Anti tetap mau minta balikan sama Mas Tohir, tapi masih mau mendekatki polisi Feri?" tanya Erina memastikan. Sebagai bahan informasi untuk Tohir nanti."Ya, sedapatnya aja. Kalau bisa sih,punya suami, punya selingan juga, Rin," kelakar Anti disudahi dengan tawa renyah. "Ah, lupa! Kamu kan jomblowati forever. Mana tahu rasanya pindah-pindah lelaki. Satu aja belum punya." Anti cekikikan sendiri dengan kalimat yang ia sampaikan
Baca selengkapnya

Bagian 243

Hari telah berganti. Kini, Bilal sudah lewat umur empat puluh hari jadi, sudah bisa dibawa ke luar rumah. Agam mulai menata hidupnya kembali. Terjun lagi di dunia pertanian yang beberapa bulan ini ia geluti.Pagi hingga siang, menjelang sore, Bilal dititipkan di rumah Tuti. Sedang Agam bekerja di kantor sembari mengurus kebun barunya.Suatu malam, saat Bilal telah terlelap, Agam berpikir teringat kata-kata Dinta yang menyuruhnya untuk pindah dari kantor. Bila dipikir, memang kantor bukanlah tempat yang nyama untuk ditempati seorang bayi. Letaknya agak terpisah dari rumah warga. Namun, harus ke mana dia?Bila ingin terjangkau dari tempat tinggal kedua anaknya yang lain, itu artinya harus pindah. Akan tetapi bila pindah, sulit sekali mengontrol tanaman yang ia tanam. Lagipula, belum tentu bertemu dengan orang sebaik Tuti juga Yanto.Dinta dan Danis belum pernah datang lagi. Hanya, mereka hampir setiap hari melakukan panggilan video dengan adik bayinya.
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
2223242526
...
61
DMCA.com Protection Status