Semua Bab Pengantin Tuan Haidar: Bab 221 - Bab 230

606 Bab

Bab 221. Nyonya Haidar

Setelah selesai bercinta, mereka segera mandi bersama. Andai saja Andin tidak sedang hamil, pasti Haidar tidak akan menyia-nyiakan kesempatan untuk mengulang kembali pertempuran mereka di dalam bathup seperti yang biasa mereka lakukan sebelum Andin hamil. Setelah selesai mandi, mereka duduk di balkon kamarnya sambil memandang langit senja ibu kota. Andin duduk bersandar pada dada bidang Haidar. Tangan sang suami melingakr di perutnya. “Bee, besok aku mau keluar kota, tapi hanya sebentar. Nggak akan sampai menginap. Kamu ajak Sisil ke rumah buat nemenin kamu ya.” Haidar menciumi puncak kepala istrinya berulang kali. Andin menyingkirkan tangan Haidar dari perutnya. Kemudian ia bangun dari duduknya tanpa mengatakan sepatah kata pun pada sang suamI. Lalu melangkahkan kakinya masuk ke dalam kamar. Haidar menyusul istrinya masuk ke dalam kamar. “Bee, kamu lagi hamil, kalau kamu ikut nanti
Baca selengkapnya

Bab 222. Temani Aku Sebentar Saja

Setelah makan malam, Andin dan Haidar kembali bersantai di balkon kamarnya sembari memandang langit malam yang penuh bintang. “Boo, besok kamu berangkat jam berapa?” tanya Andin pada Haidar yang sedang mengusap-usap perutnya. “Pagi-pagi sekali aku berangkat supaya sore hari aku udah ada di rumah ini lagi,” balas Haidar tanpa menoleh pada istrinya. Ia tetap fokus pada perut istrinya. “Periksa kehamilannya setelah aku pulang dari luar kota aja ya.” Kini Haidar menatap wajah sang istri yang duduk di hadapannya. “Iya, Boo. Terserah kamu aja,” sahut Andin sembari tersenyum. “Semoga kerjaan kamu cepat selesai dan kembali pulang dengan selamat.” Doa Andin untuk suami tercinta yang sangat ia cintai. “Aamiin.” Haidar mengaminkan doa sang istri sembari mengusap wajah dengan kedua telapak tangannya. “Kita tidur yu
Baca selengkapnya

Bab 223. Jangan Pergi

Haidar yang sedang berpakaian di ruang ganti bergegas keluar ketika mendengar teriakan istrinya. Ia menghampiri sang istri yang masih terbaring di tempat tidur dengan mata yang masih terpejam. Tapi, ia terus saja berteriak memanggil suaminya.   Haidar duduk di samping istrinya yang sedang tertidur sembari mengigau. “Bee, bangun!” Haidar membelai pipi sang istri dengan lembut. “Bangun, Sayang!”   Andin baru terbangun setelah Haidar mencium bibirnya. Ia membuka mata saat bibir lembut Haidar menlumat bibirnya sebentar. Wanita yag sedang hamil itu langsung bangun dan memeluk suaminya.   “Boo, aku takut,” ucapnya sembari memeluk erat suaminya. “Aku takut kamu pergi ninggalin aku dan anak kita,” lanjutnya sambil terisak.   Tidak terasa buliran bening itu luruh begitu saja. Ia benar-benar takut dengan mimpinya. Takut kalau sang suami pergi dan tak kembali lagi.   “Aku pergi untuk kerja
Baca selengkapnya

Bab 224. Pesan Haidar

Haidar pergi melakukan perjalanan bisnisnya dengan tenang kalau sudah mendapat izin dari Ratu hatinya. “Jaga anak kita baik-baik!” pesan Haidar sebelum pergi meninggalkan istrinya. Walaupun Andin masih tidak tenang telah mengizinkan suaminya pergi, tapi ia berusaha menepis kekhawatirannya dengan berdoa. Berharap sang suami pulang dengan cepat dalam keadaan sehat. Andin turun dari tempat tidur, lalu melangkahkan kakinya ke kamar mandi untuk mencuci muka. Ia berencana berolahraga ringan pagi ini. Walaupun tidak ditemani sang suami, ia tetap bersemangat jalan pagi di halaman belakang rumahnya yang sangat luas. “Astaga!” Andin mengusap dadanya karena terkejut, ketika ia membuka pintu, Sisil sudah berdiri di depan kamarnya sembari tersenyum. “Lo ngapain pagi-pagi udah ada di sini?” tanya Andin pada sahabatnya. Padahal ia berencana menelpon Sisil setelah berolahraga karena ia yakin kalau Sis
Baca selengkapnya

Bab 225. Kecelakaan Pesawat

“Bee, kamu sedang apa?” tanya Haidar pada sang istri yang terlihat sedang berada di dapur. Kini Haidar sedang melakukan panggilan video dengan istrinya.   “Aku mau masak ikan bakar kesukaanmu,” jawab Andin yang sangat bersemangat membuat makanan untuk suaminya. “Kamu kapan pulang?” tanya Andin pada laki-laki tampan yang selalu tersenyum itu.   “Penerbanganku satu jam lagi,” balas Haidar sembari melirik jam di tangan kirinya.   “Ya udah kamu hati-hati ya, aku mau ke pasar dulu,” ujar Andin. “Ternyata ikannya nggak ada,” imbuhnya sembari terkekeh.   “Masak yang special buat laki-laki tampamu!” titah Haidar sembari tertawa geli dengan ucapannya sendiri. Lalu mengakhiri panggilan video itu setelah mendapatkan ciuman jauh lewat layar ponsel.   Setelah selesai menelpon suaminya, Andin mengajak Sisil pergi ke pasar tradisional untuk membeli ikan. Mereka pergi ditemani Bi Susi dan para b
Baca selengkapnya

Bab 226. Menangisi Suami

"Din, Lo tenang dulu ya." Sisil mengusap-usap punggung sahabatnya yang diam terpaku sambil meneteskan air mata."Nona muda kenapa?" tanya Bi Susi. Ia segera menaruh nampan dengan dua gelas jus jeruk untuk Sisil dan nona mudanya di meja kecil di samping sofa yang mereka duduki."Bi, tolong panggilkan Nabil, terus telepon orang tua Andin dan orang tua tuanmu!" titah Sisil pada Bi Susi. "Tolong cepat ya, Bi!""Baik, Non." Bi Susi segera berlalu dari hadapan nona mudanya untuk segera melakukan perintah sahabat dari nonanya."Tadi pagi juga gue berat banget ngizinin dia pergi, tapi ...." Andin memeluk Sisil dan kembali menangis dalam pelukan sahabatnya."Tenang dulu! Belum tentu laki lo ada di pesawat itu. Kita cari tahu dulu ya." Sisil berusaha menenangkan sahabatnya. Padahal ia juga sangat khawatir kalau suami sahabatnya ada dalam pesawat itu.Tidak lama kemudian Nabil datang menghampiri Sisil dan nona mudanya yang sedang menangis dalam pelukan
Baca selengkapnya

Bab 227. Nangis Berjamaah

"Kalian kenapa nangis berjamaah?" Andin langsung menoleh pada sumber suara, ia bangun dari duduknya dan berlari, berhambur ke pelukan laki-laki gagah yang sejak tadi ia tangisi. "Kamu kenapa nangis, Bee? Apa perutmu sakit?" tanya Haidar. Tangannya membelai dengan lembut rambut sang istri sembari menciumi puncak kepala istrinya. "Boo, ini kamu 'kan? Kamu masih hidup?" Andin mendongak menatap wajah tampan suaminya. "Iya, Bee. Ini aku, suamimu yang tampannya tidak tertandingi," balas Haidar sembari terkekeh. Mami Inggit dan Bunda Anin menghampiri Haidar. "Kamu masih hidup, Ar? Kok bisa? Bukannya pesawat yang kamu tumpangi mengalami kecelakaan?" Mami Inggit memutari tubuh anaknya sembari meraba-raba wajah anak laki-laki satu-satunya itu. "Mami mau aku meninggal?" tanya Haidar pura-pura marah dengan sang mami. Ia pun memapah istrinya menuju so
Baca selengkapnya

Bab 228. Kekuatan Cinta

“Itu belanjaan siapa banyak banget?” tanya Mami Inggit saat Baron dan kedua bodyguard anaknya membawa barang-barang ke dalam rumah. “Itu pesanan bidadari mesumku yang sedang hamil,” sahut Haidar sembari mencubit hidung lancip istrinya. “Anak kita sengaja memesan banyak oleh-oleh supaya Daddy-nya nggak naik pesawat itu.” Haidar mengusap-usap perut buncit istrinya. “Ya ampun, Sayang, kamu pesan apa aja?” tanya Bunda Anin pada anaknya. “Tapi, nggak apa-apa sih ya, kalau pesananmu yang seabreg ini menjadi penghalang suamimu untuk naik pesawat naas itu,” imbuh wanita yang usianya hampir setengah abad itu. Namun, masih terlihat sangat muda dan seksi. “Sebagian besar makanan,” balas Andin sembari menyeringai. Ia juga baru sadar kalau yang dipesan sebanyak itu. Sebagian besar adalah makanan khas daerah itu dan nggak mungkin bisa dimakan oleh seisi rumah dala
Baca selengkapnya

Bab 229. Beli Satu Gratis Satu

Haidar dan Andin mengabaikan dua jomlo yang duduk di hadapan mereka. Ketika ia sedang bermesraan, salah satu jomlo yang menonton kemesraan mereka mengganggunya sehingga Haidar menghentikan cumbuannya. “Kenapa?” tanya Haidar dengan sorot mata tajam nenatap Baron sembari mendudukkan tubuhnya di kursi dengan meja panjang di depannya. “Nggak apa-apa, Tuan. Tenggorokan saya tiba-tiba kering,” jawab Baron sembari menundukkan kepalanya. “Kalau mau basah terus, cari pasangan buat dihalalin,” ucap Andin sambil terkekeh. Ia tidak yakin kalau Baron mengerti ucapannya karena laki-laki dingin itu hanya diam tanpa ekspresi. “Apanya yang basah?” tanya Sisil pada sahabatnya. “Memangnya kalau kita udah menikah, nggak akan kehausan?” Sisil tidak mengerti dengan ucapan sahabatnya. “Betul itu,” timpal Haidar. “Bagaimana ka
Baca selengkapnya

Bab 230. Pelan Tapi Pasti

"Kamu yakin mau nikah dengan saya?" tanya Baron pada Sisil saat mereka berada di ruang tamu. "Ya nggak lah," jawab Sisil dengan cepat sembari menggeser duduknya. "Aku udah cinta mati sama seseorang," ucapnya sembari tersenyum membayangkan wajah laki-laki yang ia sebut sebagai beruang kutub. "Bagus lah!" seru Baron, "Kamu terlalu muda untuk saya," lanjutnya. Sejujurnya kalau Sisil mau menikah dengannya ia juga mau. Baron yakin sahabat dari nona mudanya itu wanita baik-baik yang bisa menjaga kehormatannya. "Aku juga nggak mungkin bisa menggeser Mbak Tari dari hati Om Baron." Sisil menyeringai sembari mengacungkan dua jarinya. "Canda, Om." Baron menggelengkan kepala, lalu pergi dari hadapan Sisil menuju kamar tamu yang biasa ia tempati jika sedang menginap di rumah tuannya.  'Kenapa semua orang mengira aku menyukai wanita centil itu? Apa aku terlihat seperti orang yang mencinta
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
2122232425
...
61
DMCA.com Protection Status