“Itu belanjaan siapa banyak banget?” tanya Mami Inggit saat Baron dan kedua bodyguard anaknya membawa barang-barang ke dalam rumah.
“Itu pesanan bidadari mesumku yang sedang hamil,” sahut Haidar sembari mencubit hidung lancip istrinya. “Anak kita sengaja memesan banyak oleh-oleh supaya Daddy-nya nggak naik pesawat itu.” Haidar mengusap-usap perut buncit istrinya.
“Ya ampun, Sayang, kamu pesan apa aja?” tanya Bunda Anin pada anaknya. “Tapi, nggak apa-apa sih ya, kalau pesananmu yang seabreg ini menjadi penghalang suamimu untuk naik pesawat naas itu,” imbuh wanita yang usianya hampir setengah abad itu. Namun, masih terlihat sangat muda dan seksi.
“Sebagian besar makanan,” balas Andin sembari menyeringai. Ia juga baru sadar kalau yang dipesan sebanyak itu. Sebagian besar adalah makanan khas daerah itu dan nggak mungkin bisa dimakan oleh seisi rumah dala
Haidar dan Andin mengabaikan dua jomlo yang duduk di hadapan mereka. Ketika ia sedang bermesraan, salah satu jomlo yang menonton kemesraan mereka mengganggunya sehingga Haidar menghentikan cumbuannya.“Kenapa?” tanya Haidar dengan sorot mata tajam nenatap Baron sembari mendudukkan tubuhnya di kursi dengan meja panjang di depannya.“Nggak apa-apa, Tuan. Tenggorokan saya tiba-tiba kering,” jawab Baron sembari menundukkan kepalanya.“Kalau mau basah terus, cari pasangan buat dihalalin,” ucap Andin sambil terkekeh. Ia tidak yakin kalau Baron mengerti ucapannya karena laki-laki dingin itu hanya diam tanpa ekspresi.“Apanya yang basah?” tanya Sisil pada sahabatnya. “Memangnya kalau kita udah menikah, nggak akan kehausan?” Sisil tidak mengerti dengan ucapan sahabatnya.“Betul itu,” timpal Haidar. “Bagaimana ka
"Kamu yakin mau nikah dengan saya?" tanya Baron pada Sisil saat mereka berada di ruang tamu."Ya nggak lah," jawab Sisil dengan cepat sembari menggeser duduknya. "Aku udah cinta mati sama seseorang," ucapnya sembari tersenyum membayangkan wajah laki-laki yang ia sebut sebagai beruang kutub."Bagus lah!" seru Baron, "Kamu terlalu muda untuk saya," lanjutnya. Sejujurnya kalau Sisil mau menikah dengannya ia juga mau. Baron yakin sahabat dari nona mudanya itu wanita baik-baik yang bisa menjaga kehormatannya."Aku juga nggak mungkin bisa menggeser Mbak Tari dari hati Om Baron." Sisil menyeringai sembari mengacungkan dua jarinya. "Canda, Om."Baron menggelengkan kepala, lalu pergi dari hadapan Sisil menuju kamar tamu yang biasa ia tempati jika sedang menginap di rumah tuannya.'Kenapa semua orang mengira aku menyukai wanita centil itu? Apa aku terlihat seperti orang yang mencinta
Keesokan harinya Haidar dan Andin sudah bersiap ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan USG. Ini pertama kali mereka melakukan pemeriksaan itu.Andin tidak mau melakukannya karena dia ingin membuat kejutan untuk dirinya sendiri tentang jenis kelamin sang anak. Tapi, Haidar memaksa untuk melakukan pemeriksaan USG untuk memastikan kesehatan calon anaknya.“Boo, kalau jenis kelaminnya tidak sesuai harapan kamu gimana?” tanya Andin yang sedikit cemas, ia khawatir kalau anaknya kurang kasih sayang dari ayah yang tidak menginginkannya.“Bee ….” Haidar menghentikan langkahnya. Lalu, berjongkok di depan sang istri sembari memegangi perutnya. “Laki-laki ataupun perempuan, dia tetap anakku, akan selalu menjadi kebanggaanku.” Haidar mencium perut istrinya yang membuncit.“Aku bersyukur mempunyai suami sepertimu.” Andin menangkup wajah ayah dari calon ana
Hari pun berlalu dengan cepat. Usia kandungan Andin sudah memasuki minggu ke tiga puluh enam. Hari perkiraan lahir tinggal menghitung hari. Andin sangat bersemangat untuk jalan-jalan di pagi hari tanpa menggunakan alas kaki. Selain untuk memperlancar peredaran darah, bagus juga untuk kesehatan ibu dan janin. Jam enam pagi ia sudah berkeliling halaman belakang tanpa alas kaki. Andin memilih jalan yang banyak kerikil kecil, menurutnya geli, tapi bagus untuk kesehatan. Ia berhenti sejenak di taman kelinci. Duduk di rerumputan sambil meluruskan kakinya.“Hai, Nancy.” Andin melambaikan tangan kepada kelinci peliharaannya. “Hai, Joy, kalian apa kabar? Kalau anak-anakku udah lahir, dalam beberapa hari mungkin juga beberapa minggu, aku nggak bisa nemenin kamu lagi.” Andin tersenyum sembari mengelus-elus perutnya yang sudah sangat besar.“Bee,” panggil Haidar dari arah belakang And
"Bee, kamu mau makan apa?" tanya Haidar sembari memijat kaki sang istri yang sedang duduk bersandar pada sandaran tempat tidur."Kayaknya makan bubur enak, tapi aku mau makan di tempatnya langsung," ujar Andin sembari mengangkat kedua alisnya."Baiklah." Haidar terpaksa memenuhi keinginan wanita seksi yang tengah hamil tua itu karena dia sendiri yang menawarkan sesuatu padanya.Sejak mengetahui perkiraan lahir sang istri tinggal menghitung hari, ia melarang Andin keluar dari rumah."Terima kasih, Suamiku." Andin segera turun dari tempat tidur dengan tergesa."Bee, pelan-pelan dong! Kamu harus hati-hati, Sayang!" Haidar memegangi tubuh sang istri. Ia takut kalau istrinya terjatuh karena turun dari tempat tidur dengan buru-buru."Maaf, aku terlalu senang," ucapnya sembari tersenyum. "Ayo, Boo, kita berangkat! Aku udah laper nih.""Iya, Istriku." Haidar menggenggam tangan istrinya.Mereka pergi ke taman dekat rum
“Bee, aku mandi dulu ya,” ujar Haidar setelah membaringkan istrinya di tempat tidur dengan beralaskan sprei berwarna ungu kesukaan sang istri.Andin hanya tersenyum menanggapi ucapan suaminya. “Kenapa mulesnya nggak ilang-ilang,” gumam Andin setelah suaminya masuk kamar mandi.Andin bangun dari tidurnya dan turun dari ranjang dengan perlahan sembari memegangi perutnya. Ia berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Terkadang melakukan yang diarahkan oleh instruktur senamnya, seperti berjongkok lalu berdiri, ia melakukannya dengan perlahan dan berulang-ulang. Perlahan mulasnya hilang, ia pun kembali merebahkan tubuhnya karena sudah cukup lelah.Haidar keluar dari kamar mandi, ia menghampiri sang istri yang terlihat ngos-ngosan. “Bee, kamu kenapa?” Haidar udah panik melihat sang istri menarik napas panjang dan mengembuskannya melalui mulut dengan perlahan. Begitu seterusnya, sehingga Haidar b
Baron segera keluar dari ruangannya setelah mendapat telepon dari tuannya. Ia menghampiri sekretaris sang CEO untuk membatalkan semua janji di hari ini.“Batalkan semua janji hari ini!” ucapnya tanpa basa-basi yang membuat Tari, sang sekretaris terkejut karena tidak mengetahui kedatangan bos keduanya di perusahaan itu.Tari langsung bangun dari duduknya saat tahu kalau orang yang berdiri di depan meja kerjanya adalah orang berpengaruh di perusahaan tempatnya bekerja. “A-apa, Tuan?” tanyanya dengan gugup. Ia tidak mendengar dengan jelas ucapan Baron karena sedang fokus pada kerjaannya.Baron mengembuskan napas dengan kasar. “Batalkan semua janji hari ini!” Baron mengulang ucapannya sembari memerhatikan sang sekretaris dari ujung kepala sampai ujung kaki.Tari yang mengetahui kalau asisten sang CEO sedang memerhatikannya, langsung menundukkan kepala. Ia khawatir kala
“Ngompol?” Haidar menautkan alis sehingga terlihat lapisan kerut di keningnya. Ia tidak paham maksud sang istri. “Ini basah.” Andin sedikit mengangkat pantatnya. “Ini sakit sekali, Boo.” Andin terus meringis menahan sakit yang membuat Haidar panik. “Baron, lebih cepat lagi!” titah Haidar tanpa melihat ke arah asistennya. “Kenapa malah berhenti?” bentak Haidar ketika mobil mereka berhenti di depan ruang IGD. “Kita sudah sampai, Tuan,” jawab Baron dan langsung keluar dari mobil untuk membuka pintu belakang. Dokter Riko dan para perawat yang membawa brangkar sudah siap menyambut istri dari pengusaha muda yang sukses itu. Tim dokter yang menangani kehamilan istri dari sang CEO sudah bersiap menyambutnya di ruang bersalin. Haidar sudah menelpon sahabatnya itu sebelum pergi ke rumah sakit. Ia adalah dokter pribadinya yang bekerja di rumah sakit itu. Sekaligus pewaris tunggal