"Din, Lo tenang dulu ya." Sisil mengusap-usap punggung sahabatnya yang diam terpaku sambil meneteskan air mata.
"Nona muda kenapa?" tanya Bi Susi. Ia segera menaruh nampan dengan dua gelas jus jeruk untuk Sisil dan nona mudanya di meja kecil di samping sofa yang mereka duduki.
"Bi, tolong panggilkan Nabil, terus telepon orang tua Andin dan orang tua tuanmu!" titah Sisil pada Bi Susi. "Tolong cepat ya, Bi!"
"Baik, Non." Bi Susi segera berlalu dari hadapan nona mudanya untuk segera melakukan perintah sahabat dari nonanya.
"Tadi pagi juga gue berat banget ngizinin dia pergi, tapi ...." Andin memeluk Sisil dan kembali menangis dalam pelukan sahabatnya.
"Tenang dulu! Belum tentu laki lo ada di pesawat itu. Kita cari tahu dulu ya." Sisil berusaha menenangkan sahabatnya. Padahal ia juga sangat khawatir kalau suami sahabatnya ada dalam pesawat itu.
Tidak lama kemudian Nabil datang menghampiri Sisil dan nona mudanya yang sedang menangis dalam pelukan
"Kalian kenapa nangis berjamaah?"Andin langsung menoleh pada sumber suara, ia bangun dari duduknya dan berlari, berhambur ke pelukan laki-laki gagah yang sejak tadi ia tangisi."Kamu kenapa nangis, Bee? Apa perutmu sakit?" tanya Haidar. Tangannya membelai dengan lembut rambut sang istri sembari menciumi puncak kepala istrinya."Boo, ini kamu 'kan? Kamu masih hidup?" Andin mendongak menatap wajah tampan suaminya."Iya, Bee. Ini aku, suamimu yang tampannya tidak tertandingi," balas Haidar sembari terkekeh.Mami Inggit dan Bunda Anin menghampiri Haidar."Kamu masih hidup, Ar? Kok bisa? Bukannya pesawat yang kamu tumpangi mengalami kecelakaan?" Mami Inggit memutari tubuh anaknya sembari meraba-raba wajah anak laki-laki satu-satunya itu."Mami mau aku meninggal?" tanya Haidar pura-pura marah dengan sang mami. Ia pun memapah istrinya menuju so
“Itu belanjaan siapa banyak banget?” tanya Mami Inggit saat Baron dan kedua bodyguard anaknya membawa barang-barang ke dalam rumah.“Itu pesanan bidadari mesumku yang sedang hamil,” sahut Haidar sembari mencubit hidung lancip istrinya. “Anak kita sengaja memesan banyak oleh-oleh supaya Daddy-nya nggak naik pesawat itu.” Haidar mengusap-usap perut buncit istrinya.“Ya ampun, Sayang, kamu pesan apa aja?” tanya Bunda Anin pada anaknya. “Tapi, nggak apa-apa sih ya, kalau pesananmu yang seabreg ini menjadi penghalang suamimu untuk naik pesawat naas itu,” imbuh wanita yang usianya hampir setengah abad itu. Namun, masih terlihat sangat muda dan seksi.“Sebagian besar makanan,” balas Andin sembari menyeringai. Ia juga baru sadar kalau yang dipesan sebanyak itu. Sebagian besar adalah makanan khas daerah itu dan nggak mungkin bisa dimakan oleh seisi rumah dala
Haidar dan Andin mengabaikan dua jomlo yang duduk di hadapan mereka. Ketika ia sedang bermesraan, salah satu jomlo yang menonton kemesraan mereka mengganggunya sehingga Haidar menghentikan cumbuannya.“Kenapa?” tanya Haidar dengan sorot mata tajam nenatap Baron sembari mendudukkan tubuhnya di kursi dengan meja panjang di depannya.“Nggak apa-apa, Tuan. Tenggorokan saya tiba-tiba kering,” jawab Baron sembari menundukkan kepalanya.“Kalau mau basah terus, cari pasangan buat dihalalin,” ucap Andin sambil terkekeh. Ia tidak yakin kalau Baron mengerti ucapannya karena laki-laki dingin itu hanya diam tanpa ekspresi.“Apanya yang basah?” tanya Sisil pada sahabatnya. “Memangnya kalau kita udah menikah, nggak akan kehausan?” Sisil tidak mengerti dengan ucapan sahabatnya.“Betul itu,” timpal Haidar. “Bagaimana ka
"Kamu yakin mau nikah dengan saya?" tanya Baron pada Sisil saat mereka berada di ruang tamu."Ya nggak lah," jawab Sisil dengan cepat sembari menggeser duduknya. "Aku udah cinta mati sama seseorang," ucapnya sembari tersenyum membayangkan wajah laki-laki yang ia sebut sebagai beruang kutub."Bagus lah!" seru Baron, "Kamu terlalu muda untuk saya," lanjutnya. Sejujurnya kalau Sisil mau menikah dengannya ia juga mau. Baron yakin sahabat dari nona mudanya itu wanita baik-baik yang bisa menjaga kehormatannya."Aku juga nggak mungkin bisa menggeser Mbak Tari dari hati Om Baron." Sisil menyeringai sembari mengacungkan dua jarinya. "Canda, Om."Baron menggelengkan kepala, lalu pergi dari hadapan Sisil menuju kamar tamu yang biasa ia tempati jika sedang menginap di rumah tuannya.'Kenapa semua orang mengira aku menyukai wanita centil itu? Apa aku terlihat seperti orang yang mencinta
Keesokan harinya Haidar dan Andin sudah bersiap ke rumah sakit untuk melakukan pemeriksaan USG. Ini pertama kali mereka melakukan pemeriksaan itu.Andin tidak mau melakukannya karena dia ingin membuat kejutan untuk dirinya sendiri tentang jenis kelamin sang anak. Tapi, Haidar memaksa untuk melakukan pemeriksaan USG untuk memastikan kesehatan calon anaknya.“Boo, kalau jenis kelaminnya tidak sesuai harapan kamu gimana?” tanya Andin yang sedikit cemas, ia khawatir kalau anaknya kurang kasih sayang dari ayah yang tidak menginginkannya.“Bee ….” Haidar menghentikan langkahnya. Lalu, berjongkok di depan sang istri sembari memegangi perutnya. “Laki-laki ataupun perempuan, dia tetap anakku, akan selalu menjadi kebanggaanku.” Haidar mencium perut istrinya yang membuncit.“Aku bersyukur mempunyai suami sepertimu.” Andin menangkup wajah ayah dari calon ana
Hari pun berlalu dengan cepat. Usia kandungan Andin sudah memasuki minggu ke tiga puluh enam. Hari perkiraan lahir tinggal menghitung hari. Andin sangat bersemangat untuk jalan-jalan di pagi hari tanpa menggunakan alas kaki. Selain untuk memperlancar peredaran darah, bagus juga untuk kesehatan ibu dan janin. Jam enam pagi ia sudah berkeliling halaman belakang tanpa alas kaki. Andin memilih jalan yang banyak kerikil kecil, menurutnya geli, tapi bagus untuk kesehatan. Ia berhenti sejenak di taman kelinci. Duduk di rerumputan sambil meluruskan kakinya.“Hai, Nancy.” Andin melambaikan tangan kepada kelinci peliharaannya. “Hai, Joy, kalian apa kabar? Kalau anak-anakku udah lahir, dalam beberapa hari mungkin juga beberapa minggu, aku nggak bisa nemenin kamu lagi.” Andin tersenyum sembari mengelus-elus perutnya yang sudah sangat besar.“Bee,” panggil Haidar dari arah belakang And
"Bee, kamu mau makan apa?" tanya Haidar sembari memijat kaki sang istri yang sedang duduk bersandar pada sandaran tempat tidur."Kayaknya makan bubur enak, tapi aku mau makan di tempatnya langsung," ujar Andin sembari mengangkat kedua alisnya."Baiklah." Haidar terpaksa memenuhi keinginan wanita seksi yang tengah hamil tua itu karena dia sendiri yang menawarkan sesuatu padanya.Sejak mengetahui perkiraan lahir sang istri tinggal menghitung hari, ia melarang Andin keluar dari rumah."Terima kasih, Suamiku." Andin segera turun dari tempat tidur dengan tergesa."Bee, pelan-pelan dong! Kamu harus hati-hati, Sayang!" Haidar memegangi tubuh sang istri. Ia takut kalau istrinya terjatuh karena turun dari tempat tidur dengan buru-buru."Maaf, aku terlalu senang," ucapnya sembari tersenyum. "Ayo, Boo, kita berangkat! Aku udah laper nih.""Iya, Istriku." Haidar menggenggam tangan istrinya.Mereka pergi ke taman dekat rum
“Bee, aku mandi dulu ya,” ujar Haidar setelah membaringkan istrinya di tempat tidur dengan beralaskan sprei berwarna ungu kesukaan sang istri.Andin hanya tersenyum menanggapi ucapan suaminya. “Kenapa mulesnya nggak ilang-ilang,” gumam Andin setelah suaminya masuk kamar mandi.Andin bangun dari tidurnya dan turun dari ranjang dengan perlahan sembari memegangi perutnya. Ia berjalan mondar-mandir di dalam kamar. Terkadang melakukan yang diarahkan oleh instruktur senamnya, seperti berjongkok lalu berdiri, ia melakukannya dengan perlahan dan berulang-ulang. Perlahan mulasnya hilang, ia pun kembali merebahkan tubuhnya karena sudah cukup lelah.Haidar keluar dari kamar mandi, ia menghampiri sang istri yang terlihat ngos-ngosan. “Bee, kamu kenapa?” Haidar udah panik melihat sang istri menarik napas panjang dan mengembuskannya melalui mulut dengan perlahan. Begitu seterusnya, sehingga Haidar b