All Chapters of Pengantin Tuan Haidar: Chapter 201 - Chapter 210

606 Chapters

Bab 201. Gerak Cepat

Haidar kembali tidur di pangkuan sang istri. Matanya terasa sangat mengantuk saat sang istri memainkan rambutnya. “Boo, kamu belum jawab pertanyaanku?” kata Andin sambil menguncir rambut sang suami dengan tali rambutnya. “Pertanyaan yang mana?” balas Haidar dengan mata yang masih terpejam. “Kenapa Baron bersikap kasar pada paman Abdi?” Andin mengulang pertanyaannya. Sebenarnya dari tadi sudah penasaran dengan apa yang telah terjadi di ruang kerja suaminya. Namun, ia merasa tidak enak hati  dengan papi mertuanya. “Paman Abdi dalang dari pembunuhan berencana terhadap aku dan adikku supaya tidak ada lagi pewaris di keluargaku. Ia ingin menguasai seluruh kekayaan Papi,” jelas Haidar tanpa membuka matanya. Ia sangat menikmati saat rambutnya dimainkan oleh sang istri. “Apa yang menaruh obat perangsang di mi
Read more

Bab 202. Haidar Pergi

Pagi-pagi sekali Andin bangun dari tidurnya. Ia mengemas pakaian  yang sudah tidak dipakai lagi ke dalam koper, lalu membawanya keluar kamar dan menyimpannya di kamar pribadinnya. “Baju-bajuku banyak yang udah nggak muat, aku harus olahraga,” gumam Andin. Setelah menaruh kopernya, ia pergi ke halaman belakang untuk lari pagi tanpa memakai alas kaki. “Berasa ada di Bandung kalau pagi-pagi ada di halaman belakang.” Andin merentangkan tangannya menghirup udara segar di pagi hari. Andin berlari kecil mengitari halaman belakang yang cukup luas. Setelah setengah jam  berolahraga, Andin beristirahat di taman kelinci. Duduk di rerumputan yang tumbuh subur di taman kelinci, kakinya ia selonjorkan agar tidak keram setelah berlari. Wanita cantik itu bersandar pada pohon yang rindang. Ia menghirup dalam-dalam udara pagi sembari memejamkan mata. Udara sejuk yang menyapu wajahnya
Read more

Bab 203. Trauma Ditinggal Istri

 Jam menunjukkan pukul empat sore saat Andin tiba di rumah. Ia segera masuk ke kamarnya untuk mengambil ponsel. “Aku harus nelpon dia, kenapa pergi nggak pamit dulu, bikin curiga aja,” ucap Andin sambil menyalakan ponselnya. Saat ponselnya menyala, banyak panggilan tak terjawab dari suaminya. Andin segera melakukan panggilan video, Tidak menunggu lama, Haidar langsung menerima panggilan dari istrinya. “Boo, kenapa kamu pergi nggak pamit dulu? Apa kerjaanmu lebih penting dari pada aku?” Andin langsung menodong pertanyaan pada sang suami. Rasa rindu pada sang suami membuatnya kesal ditambah lagi suaminya pergi tanpa pamit terlebih dulu. ‘Maksud dia apa? Aku ninggalin kerjaan pentingku demi nyariin dia,’ Haidar bertanya-tanya dalam hatinya. “Boo, kamu sekarang di mana, kayaknya itu di luar bukan di kantor?” An
Read more

Bab 204. Menunggu Hukuman

"Din, lo belanja banyak banget sih?” tanya Sisil saat mereka sudah dalam perjalanan pulang. “Baju gue udah pada nggak muat, di rumah adanya baju terusan semua, kalau bawa motor pake baju kayak gitu nggak bakal dibolehin sama brondong alot gue,” jawab Andin sambil merogoh ponselnya di dalam tas selempang hendak menghubungi Haidar. “Brondong alot, tapi lo demen,” cibir Sisil sembari mencebikkan bibirnya. “Yang alot malah lebih enak, Sil,” balas Andin sambil tertawa. “Kalau udah ngerasain pasti lo ketagihan,” lanjutnya lagi. “Anyir!” Sisil menoyor kepala sahabatnya. “Jangan ngomongin begituan, gue jones nih.” “Makanya lo cepetan gebet abang gue,” sahut Andin sambil berusaha menghubungi suaminya, tapi ponsel sang suami sedang tidak aktif. ‘Kemana sih?” gumamnya.
Read more

Bab 205. Selalu Di Sampingmu

Andin mengerjapkan mata saat sinar mentari pagi masuk meleawati celah gorden kamarnya. Tubuhnya tidak bisa digerakkan ketika ia hendak bangun dari tidurnya karena sang suami memeluknya dengan erat. “Boo, bangun!” Andin berusaha melepaskan tangan Haidar yang melingkar di tubuhnya. “Boo, kamu demam,” ucap Andin saat ia meraba tangan sang suami yang terasa panas tidak seperti biasanya. Andin bangun dan terduduk ketika ia sudah berhasil menyingkirkan tangan suaminya. Ia turun dari tempat tidurnya secara perlahan karena tidak mau membangunkan suaminya. Ia melangkahkan kakinya keluar kamar, meminta air hangat pada Bi Susi untuk mengompres suaminya. Setelah itu ia masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri. Beberapa menit kemudian Andin sudah selesai mandi dan berpakaian santai karena suaminya sedang sakit, hari ini ia tidak pergi kuliah. Tok tok tok
Read more

Bab 206. Bosan Dengan Jagoan

Beberapa hari telah berlalu, kini Haidar dan Andin sedang liburan di Bandung. Mereka menghabiskan waktu hanya di dalam kamar saja. Setelah selesai mandi dan berganti pakaian, ia naik ke tempat tidur. “Bee, malam ini kamu harus dihukum karena sudah mengabaikan jagoanku selama berhari-hari.” “Nanti aja, Boo, aku udah ngantuk banget.” Tidak biasanya Andin menolak snag suami, biasanya dia yang merayu duluan kalau suaminya pura-pura tidak berhasrat padanya. “Kamu jangan deket-deket aku!” Andin mendorong tubuh suaminya. Lalu ia memiringkan badannya membelakangi sang suami. ‘Ngajak bercanda rupanya,’ gumam Haidar dalam hati. Ia berpikir kalau sang istri sedang bercanda. Haidar pun turun dari tempat tidur. “Ya udah, aku tidur di kamar sebelah aja,” ucapnya sambil melirik pada sang istri. Haidar yakin kalau Andin akan menghentikannya. Ia juga akan pura-pura merajuk pada
Read more

Bab 207. Sikap Aneh Andin

Haidar mengerjapkan mata saat sinar mentari pagi masuk melalui celah gorden jendela. Ia meregangkan otot-otot yang terasa pegal akibat tidur di sofa yang panjangnya kurang dari tubuhnya yang jangkung. Ia bangun dan terduduk, lalu memandang istrinya yang masih terlelap dalam tidurnya. “Kenapa dia tidur kayak kebo? Bukannya dia tidur lebih dulu, tapi jam segini belum bangun juga.” Haidar bangun dari duduknya, lalu menghampiri sang istri. “Bee, bangun!” Haidar membelai lembut pipi istrinya. Andin mengerjapkan mata, lalu mendorong wajah sang suami yang berada sangat dekat dengan wajahnya. “Jangan deket-deket! Kamu bau,” ucapnya masih dengan mata yang terpejam. “Bau? Iya juga sih, aku belum mandi. Tapi biasanya dia mau aku cipok walau belum mandi, tapi kenapa sekarang dideketin juga nggak mau,” gumam Haidar sambil melangkahkan kakinya menuju kamar mandi.
Read more

Bab 208. Semakin Aneh

Andin berteriak karena saat membuka mata, wajah sang suami berada sangat dekat dengannya. “Boo, kamu ngagetin aku aja.” Andin bangun dan terduduk. “Aku pengin sarapan nasi uduk, Boo,” ucapnya sambil memegangi perut. “Ayo kita nyari sarapan di luar!” Haidar mengulurkan tangannya, tapi ditepis oleh sang istri. “Kamu aja yang beli!” titah Andin, lalu ia kembali merebahkan tubuhnya. Entah kenapa ia malas sekali untuk bangun, tidak mau jauh dengan bantal dan kasur. Andin merasa lemas dan pusing saat bangun. “Baiklah, tapi apa boleh, aku minta itu dulu.” Haidar menunjuk bibirnya dengan telunjuk sembari tersenyum. “Nggak!” jawab Andin dengan tegas. “Udah sana kamu pergi!” Andin menutup wajahnya dengan selimut. “Aneh banget,” gumam Haidar sembari berjalan menjauhi istrinya
Read more

Bab 209. Mual Melihat Wajahmu

‘Kenapa dia? Apa dia sakit?’ gumam Haidar yang menyesali perbuatannya, dua kali dicium dua kali juga sang istri memuntahkan isi perutnya. Kemudian ia mengendus bau badannya sambil mengangkat tangan. “Apa aku sebau itu?” Haidar tidak berani menghampiri istrinya, takut sang istri tambah mual melihat wajahnya. Ia hanya berdiri di ambang pintu kamar mandi. “Bee, kita periksa ke dokter ya,” ajak Haidar pada istrinya. Haidar langsung menyingkir dari tempatnya ketika Andin hendak keluar dari kamar mandi. “Nggak usah, yang penting kamu jangan deket-deket! Aku pasti baik-baik aja,” jawab Andin dengan ketus. “Salahku apa, Bee?” Haidar hendak mendekati istrinya, tapi ia urungkan. Ia takut sang istri muntah lagi. “Karena kamu bau?” balas Andin dengan cepat. Andin semakin membenci suaminya, ia merasa mual kalau melihat wa
Read more

Bab 210. Haidar Manjat

“Bi, tolong buatkan saya kopi hitam, nanti bawa ke teras belakang ya!” titah Haidar pada pelayan di rumah itu.   “Iya, Den,” jawab Bi Icih dengan sopan.   Haidar pergi ke teras belakang, duduk bersantai untuk menenangkan emosi atas semua penolakan sang istri. Entah kenapa istrinya seperti itu, padahal ia tidak merasa melakukan kesalahan apa pun.   Bi Icih datang membawa kopi pesanan Haidar. “Ini, Den, kopinya.” Bi Icih menaruhnya di meja persegi yang terbuat dari kayu yang berada di samping kursi tempat Haidar duduk.   “Terima kasih, Bi,” ucap Haidar  dengan sopan. “Bi, tolong buatin sarapan untuk Andin, coba tanya dulu, dia mau makan apa!” imbuhnya.   “Iya, Den.” Bi Icih segera berlalu dari hadapan Haidar.   Haidar tiak habis pikir, kenapa sang istri begitu membencinya, padahal sebelum ke Bandung ia bersikap biasa saja. “Apa salahku?” gumam Haid
Read more
PREV
1
...
1920212223
...
61
DMCA.com Protection Status