Andin mengerjapkan mata saat sinar mentari pagi masuk meleawati celah gorden kamarnya. Tubuhnya tidak bisa digerakkan ketika ia hendak bangun dari tidurnya karena sang suami memeluknya dengan erat.
“Boo, bangun!” Andin berusaha melepaskan tangan Haidar yang melingkar di tubuhnya. “Boo, kamu demam,” ucap Andin saat ia meraba tangan sang suami yang terasa panas tidak seperti biasanya.
Andin bangun dan terduduk ketika ia sudah berhasil menyingkirkan tangan suaminya. Ia turun dari tempat tidurnya secara perlahan karena tidak mau membangunkan suaminya.
Ia melangkahkan kakinya keluar kamar, meminta air hangat pada Bi Susi untuk mengompres suaminya. Setelah itu ia masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.
Beberapa menit kemudian Andin sudah selesai mandi dan berpakaian santai karena suaminya sedang sakit, hari ini ia tidak pergi kuliah.
Tok tok tok
Beberapa hari telah berlalu, kini Haidar dan Andin sedang liburan di Bandung. Mereka menghabiskan waktu hanya di dalam kamar saja.Setelah selesai mandi dan berganti pakaian, ia naik ke tempat tidur. “Bee, malam ini kamu harus dihukum karena sudah mengabaikan jagoanku selama berhari-hari.”“Nanti aja, Boo, aku udah ngantuk banget.” Tidak biasanya Andin menolak snag suami, biasanya dia yang merayu duluan kalau suaminya pura-pura tidak berhasrat padanya. “Kamu jangan deket-deket aku!” Andin mendorong tubuh suaminya. Lalu ia memiringkan badannya membelakangi sang suami.‘Ngajak bercanda rupanya,’ gumam Haidar dalam hati. Ia berpikir kalau sang istri sedang bercanda. Haidar pun turun dari tempat tidur. “Ya udah, aku tidur di kamar sebelah aja,” ucapnya sambil melirik pada sang istri. Haidar yakin kalau Andin akan menghentikannya. Ia juga akan pura-pura merajuk pada
Haidar mengerjapkan mata saat sinar mentari pagi masuk melalui celah gorden jendela. Ia meregangkan otot-otot yang terasa pegal akibat tidur di sofa yang panjangnya kurang dari tubuhnya yang jangkung.Ia bangun dan terduduk, lalu memandang istrinya yang masih terlelap dalam tidurnya. “Kenapa dia tidur kayak kebo? Bukannya dia tidur lebih dulu, tapi jam segini belum bangun juga.”Haidar bangun dari duduknya, lalu menghampiri sang istri. “Bee, bangun!” Haidar membelai lembut pipi istrinya.Andin mengerjapkan mata, lalu mendorong wajah sang suami yang berada sangat dekat dengan wajahnya. “Jangan deket-deket! Kamu bau,” ucapnya masih dengan mata yang terpejam.“Bau? Iya juga sih, aku belum mandi. Tapi biasanya dia mau aku cipok walau belum mandi, tapi kenapa sekarang dideketin juga nggak mau,” gumam Haidar sambil melangkahkan kakinya menuju kamar mandi.
Andin berteriak karena saat membuka mata, wajah sang suami berada sangat dekat dengannya. “Boo, kamu ngagetin aku aja.” Andin bangun dan terduduk. “Aku pengin sarapan nasi uduk, Boo,” ucapnya sambil memegangi perut.“Ayo kita nyari sarapan di luar!” Haidar mengulurkan tangannya, tapi ditepis oleh sang istri.“Kamu aja yang beli!” titah Andin, lalu ia kembali merebahkan tubuhnya.Entah kenapa ia malas sekali untuk bangun, tidak mau jauh dengan bantal dan kasur. Andin merasa lemas dan pusing saat bangun.“Baiklah, tapi apa boleh, aku minta itu dulu.” Haidar menunjuk bibirnya dengan telunjuk sembari tersenyum.“Nggak!” jawab Andin dengan tegas. “Udah sana kamu pergi!” Andin menutup wajahnya dengan selimut.“Aneh banget,” gumam Haidar sembari berjalan menjauhi istrinya
‘Kenapa dia? Apa dia sakit?’ gumam Haidar yang menyesali perbuatannya, dua kali dicium dua kali juga sang istri memuntahkan isi perutnya. Kemudian ia mengendus bau badannya sambil mengangkat tangan. “Apa aku sebau itu?”Haidar tidak berani menghampiri istrinya, takut sang istri tambah mual melihat wajahnya. Ia hanya berdiri di ambang pintu kamar mandi.“Bee, kita periksa ke dokter ya,” ajak Haidar pada istrinya. Haidar langsung menyingkir dari tempatnya ketika Andin hendak keluar dari kamar mandi.“Nggak usah, yang penting kamu jangan deket-deket! Aku pasti baik-baik aja,” jawab Andin dengan ketus.“Salahku apa, Bee?” Haidar hendak mendekati istrinya, tapi ia urungkan. Ia takut sang istri muntah lagi.“Karena kamu bau?” balas Andin dengan cepat. Andin semakin membenci suaminya, ia merasa mual kalau melihat wa
“Bi, tolong buatkan saya kopi hitam, nanti bawa ke teras belakang ya!” titah Haidar pada pelayan di rumah itu. “Iya, Den,” jawab Bi Icih dengan sopan. Haidar pergi ke teras belakang, duduk bersantai untuk menenangkan emosi atas semua penolakan sang istri. Entah kenapa istrinya seperti itu, padahal ia tidak merasa melakukan kesalahan apa pun. Bi Icih datang membawa kopi pesanan Haidar. “Ini, Den, kopinya.” Bi Icih menaruhnya di meja persegi yang terbuat dari kayu yang berada di samping kursi tempat Haidar duduk. “Terima kasih, Bi,” ucap Haidar dengan sopan. “Bi, tolong buatin sarapan untuk Andin, coba tanya dulu, dia mau makan apa!” imbuhnya. “Iya, Den.” Bi Icih segera berlalu dari hadapan Haidar. Haidar tiak habis pikir, kenapa sang istri begitu membencinya, padahal sebelum ke Bandung ia bersikap biasa saja. “Apa salahku?” gumam Haid
Andin menghampiri Haidar sambil menutup hidungnya dengan tangan. “Boo, kamu mandi dulu sana! Biar nggak tambah gatel.” Andin meraba wajah Haidar yang bentol-bentol karena digigit sembut.Haidar menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Lalu ia segera masuk ke dalam rumah untuk membersihkan tubuhnya.“Mau ngambil apa lagi, Neng?” tanya Mang Ace pada majikannya.“Mangga muda, Mang,” sahut Andin dengan cepat. “Bi, aku masuk dulu ya, mau ngasih minyak telon buat suamiku."Walaupun Andin mual saat melihat wajah Haidar, tapi ia tidak tega melihat sang suami menderita karenanya.Andin masuk ke dalam kamarnya menyusul sang suami. "Boo, minyak telonnya aku taruh di meja rias ya, nanti kamu obatin sendiri!" teriak Andin pada suaminya yang berada di dalam kamar mandi.Setelah itu Andin melangkahkan kakinya keluar dari kamar menu
"Kamu kenapa, Ar?" Mami Inggit terkejut melihat wajah Haidar yang penuh dengan bentol."Digigit semut," jawab Haidar singkat. "Bee, ini masker sama kacamata buat kamu. Dipake ya!" Haidar menaruhnya di depan Andin."Kenapa istrimu disuruh pake masker dan kacamata, emangnya dia mau ke mana?" tanya Mami Inggit pada Haidar. Matanya mengekori ke mana anaknya berjalan.Haidar duduk di samping sang mami sembari membelakangi istrinya. "Mi, tolong olesin ini." Haidar memberikan minyak telon pada maminya, lalu membuka kaus oblong berwarna hitam itu dan menaruhnya di sandaran kursi."Astaga, kenapa bisa seperti ini." Mami Inggit meraba wajah putranya yang ditumbuhi bulu halus di pipi bagian bawah sampai dagu. "Jawab dulu pertanyaan Mami, dari tadi tanya nggak ada yang dijawab."Dia mual kalau lihat muka aku, nggak mau dideketin katanya bau," jawab Haidar sambil menggaruk tangan dan kakinya.
"Apa semua orang hamil seperti itu?" gumamnya sambil membuka kenop pintu kamar lain yang berada di samping kamar Andin.Haidar mendudukkan tubuhnya di pinggiran tempat tidur. Ia merogoh ponselnya yang ada di saku celana, kemudian kembali menelpon sahabatnya. Berniat untuk menanyakan seputar kehamilan."Ada apa lagi?" Suara dari sebrang sana sudah terdengar duluan saat sambungan telepon mereka terhubung."Apa dulu istrimu ngidam yang aneh-aneh?" tanya Haidar pada sang sahabat sekaligus dokter pribadinya yang bernama Riko. Ia sudah mempunyai anak dan istri, sehingga Haidar tidak ragu bertanya kepadanya."Kenapa kamu tanya seperti itu? Apa Andin benar-benar hamil? Apa dia ngidam yang aneh-aneh?" Riko sudah tidak sabar ingin menertawakan sahabatnya yang dingin itu.Ia ingin melihat Sang Singa diperdaya oleh istrinya sendiri. Selama ini tidak ada yang bisa menaklukkan Haidar. Hanya seorang Andin, gadis tomboy yang absurd yang bisa meluluhkan CEO