Andin berteriak karena saat membuka mata, wajah sang suami berada sangat dekat dengannya. “Boo, kamu ngagetin aku aja.” Andin bangun dan terduduk. “Aku pengin sarapan nasi uduk, Boo,” ucapnya sambil memegangi perut.
“Ayo kita nyari sarapan di luar!” Haidar mengulurkan tangannya, tapi ditepis oleh sang istri.
“Kamu aja yang beli!” titah Andin, lalu ia kembali merebahkan tubuhnya.
Entah kenapa ia malas sekali untuk bangun, tidak mau jauh dengan bantal dan kasur. Andin merasa lemas dan pusing saat bangun.
“Baiklah, tapi apa boleh, aku minta itu dulu.” Haidar menunjuk bibirnya dengan telunjuk sembari tersenyum.
“Nggak!” jawab Andin dengan tegas. “Udah sana kamu pergi!” Andin menutup wajahnya dengan selimut.
“Aneh banget,” gumam Haidar sembari berjalan menjauhi istrinya
‘Kenapa dia? Apa dia sakit?’ gumam Haidar yang menyesali perbuatannya, dua kali dicium dua kali juga sang istri memuntahkan isi perutnya. Kemudian ia mengendus bau badannya sambil mengangkat tangan. “Apa aku sebau itu?”Haidar tidak berani menghampiri istrinya, takut sang istri tambah mual melihat wajahnya. Ia hanya berdiri di ambang pintu kamar mandi.“Bee, kita periksa ke dokter ya,” ajak Haidar pada istrinya. Haidar langsung menyingkir dari tempatnya ketika Andin hendak keluar dari kamar mandi.“Nggak usah, yang penting kamu jangan deket-deket! Aku pasti baik-baik aja,” jawab Andin dengan ketus.“Salahku apa, Bee?” Haidar hendak mendekati istrinya, tapi ia urungkan. Ia takut sang istri muntah lagi.“Karena kamu bau?” balas Andin dengan cepat. Andin semakin membenci suaminya, ia merasa mual kalau melihat wa
“Bi, tolong buatkan saya kopi hitam, nanti bawa ke teras belakang ya!” titah Haidar pada pelayan di rumah itu. “Iya, Den,” jawab Bi Icih dengan sopan. Haidar pergi ke teras belakang, duduk bersantai untuk menenangkan emosi atas semua penolakan sang istri. Entah kenapa istrinya seperti itu, padahal ia tidak merasa melakukan kesalahan apa pun. Bi Icih datang membawa kopi pesanan Haidar. “Ini, Den, kopinya.” Bi Icih menaruhnya di meja persegi yang terbuat dari kayu yang berada di samping kursi tempat Haidar duduk. “Terima kasih, Bi,” ucap Haidar dengan sopan. “Bi, tolong buatin sarapan untuk Andin, coba tanya dulu, dia mau makan apa!” imbuhnya. “Iya, Den.” Bi Icih segera berlalu dari hadapan Haidar. Haidar tiak habis pikir, kenapa sang istri begitu membencinya, padahal sebelum ke Bandung ia bersikap biasa saja. “Apa salahku?” gumam Haid
Andin menghampiri Haidar sambil menutup hidungnya dengan tangan. “Boo, kamu mandi dulu sana! Biar nggak tambah gatel.” Andin meraba wajah Haidar yang bentol-bentol karena digigit sembut.Haidar menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Lalu ia segera masuk ke dalam rumah untuk membersihkan tubuhnya.“Mau ngambil apa lagi, Neng?” tanya Mang Ace pada majikannya.“Mangga muda, Mang,” sahut Andin dengan cepat. “Bi, aku masuk dulu ya, mau ngasih minyak telon buat suamiku."Walaupun Andin mual saat melihat wajah Haidar, tapi ia tidak tega melihat sang suami menderita karenanya.Andin masuk ke dalam kamarnya menyusul sang suami. "Boo, minyak telonnya aku taruh di meja rias ya, nanti kamu obatin sendiri!" teriak Andin pada suaminya yang berada di dalam kamar mandi.Setelah itu Andin melangkahkan kakinya keluar dari kamar menu
"Kamu kenapa, Ar?" Mami Inggit terkejut melihat wajah Haidar yang penuh dengan bentol."Digigit semut," jawab Haidar singkat. "Bee, ini masker sama kacamata buat kamu. Dipake ya!" Haidar menaruhnya di depan Andin."Kenapa istrimu disuruh pake masker dan kacamata, emangnya dia mau ke mana?" tanya Mami Inggit pada Haidar. Matanya mengekori ke mana anaknya berjalan.Haidar duduk di samping sang mami sembari membelakangi istrinya. "Mi, tolong olesin ini." Haidar memberikan minyak telon pada maminya, lalu membuka kaus oblong berwarna hitam itu dan menaruhnya di sandaran kursi."Astaga, kenapa bisa seperti ini." Mami Inggit meraba wajah putranya yang ditumbuhi bulu halus di pipi bagian bawah sampai dagu. "Jawab dulu pertanyaan Mami, dari tadi tanya nggak ada yang dijawab."Dia mual kalau lihat muka aku, nggak mau dideketin katanya bau," jawab Haidar sambil menggaruk tangan dan kakinya.
"Apa semua orang hamil seperti itu?" gumamnya sambil membuka kenop pintu kamar lain yang berada di samping kamar Andin.Haidar mendudukkan tubuhnya di pinggiran tempat tidur. Ia merogoh ponselnya yang ada di saku celana, kemudian kembali menelpon sahabatnya. Berniat untuk menanyakan seputar kehamilan."Ada apa lagi?" Suara dari sebrang sana sudah terdengar duluan saat sambungan telepon mereka terhubung."Apa dulu istrimu ngidam yang aneh-aneh?" tanya Haidar pada sang sahabat sekaligus dokter pribadinya yang bernama Riko. Ia sudah mempunyai anak dan istri, sehingga Haidar tidak ragu bertanya kepadanya."Kenapa kamu tanya seperti itu? Apa Andin benar-benar hamil? Apa dia ngidam yang aneh-aneh?" Riko sudah tidak sabar ingin menertawakan sahabatnya yang dingin itu.Ia ingin melihat Sang Singa diperdaya oleh istrinya sendiri. Selama ini tidak ada yang bisa menaklukkan Haidar. Hanya seorang Andin, gadis tomboy yang absurd yang bisa meluluhkan CEO
"Ini." Andin memberikan alat tes kehamilan pada suaminya tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Sengaja tidak memberitahukannya karena ia ingin tahu bagaimana reaksi suaminya."Aku harus tes juga?" tanya Haidar sembari mengambil alat tes kehamilan di tangan istrinya.Ia membolak-balikan alat itu. Padahal di situ sudah jelas hasilnya. Haidar benar-benar tidak mengerti dengan alat itu. "Gimana cara pakainya, Bee? Aku nggak tahu."Haidar kembali menyerahkan alat tes kehamilan pada istrinya. Ia benar-benar tidak mengerti bagaimana cara pakainya.Andin menepok jidatnya sembari menggelengkan kepala. "Itu udah aku pakai. Aku udah nyoba tadi dan hasilnya positif."Andin benar-benar tidak habis pikir dengan suaminya. Walaupun tidak mengerti kehamilan setidaknya dia pasti tahu kalau alat itu hanya untuk wanita."Apa?! Kamu kena covid, Bee?" Haidar terkejut mendengar ucapan sang istri. Ia hendak memeluk istrinya, tapi tidak jadi karena Andin terlebi
Seminggu sudah ia berada di Bandung. Niat hati ingin berbulan madu kembali bersama sang istri, tapi malah kesialan yang didapat Haidar. Tapi ia sangat bersyukur, di balik kesialan itu ada rezeki yang tiada tara, yaitu kehamilan sang istri.Walaupun kelakuannya menjadi aneh dan membuat Haidar merasa sedih karena istrinya tidak mau didekati, bahkan melihat wajahnya saja, sang istri langsung mual. Tapi, sejak minum vitamin untuk ibu hamil dan obat anti mual, ia sudah jarang muntah, hanya pagi-pagi saja mengalami morning sickness.Andin menoleh pada sang suami yang duduk di sampingnya. "Boo, apa aku boleh berhenti kuliah?" tanya Andin dengan serius kepada suaminya.Haidar langsung menghentikan mobilnya di bahu jalan. Kini mereka berada dalam perjalanan pulang ke Ibu kota."Kamu serius? Coba dipikir-pikir lagi!" Haidar memastikan niat sang istri untuk berhenti mengejar cita-citanya.D
Haidar mengerjapkan matanya, lalu kembali terpejam. "Ada apa, Bee? Apa ini sudah pagi? Tapi aku masih sangat mengantuk," ucap Haidar dengan suara serak khas bangun tidur. Matanya masih terpejam, sungguh begitu berat untuknya membuka kelopak mata."Aku mau tahu gejrot," ucapnya sembari membelai wajah suaminya.Haidar menyunggingkan senyumnya saat sang istri membelai wajahnya. Ia sudah sangat merindukan sentuhan wanita yang sangat dicintainya itu."Boo, kamu nggak mau beliin aku tahu gejrot?" ucap Andin dengan nada yang sedikit memelas.Haidar segera bangkit dari tidurnya, walaupun matanya masih terpejam. "Iya sebentar, Bee. Mataku susah untuk dibuka ini," ucapnya sambil mengucek matanya.Setalah matanya benar-benar terbuka, ia segera turun dari tempat tidur, lalu melangkahkan kakinya menuju kamar mandi. Setelah lima menit Haidar keluar dari kamar mandi dengan wajah yang lebih sega