Semua Bab Pengantin Tuan Haidar: Bab 191 - Bab 200

606 Bab

Bab 191. Senyuman Manis

“Kita mau ke mana, Boo?” Andin celingukan ke luar jendela. “Ini bukan ke arah rumah kita,” lanjutnya. “Kita ke kantor, Bee. Aku lagi banyak kerjaan,” jawab Haidar sambil fokus mengemudi. “Banyak kerjaan, tapi kenapa kamu jemput aku.” Andin menoleh pada suaminya. “Aku nggak bisa fokus kerja kalau kamu jauh dariku. Apalagi setelah mendengar laporan dari anak buahku kalau ada yang ingin menjebakmu.” Haidar menoleh pada istrinya sebentar lalu kembali fokus pada kemudinya. “Boo, bodyguardmu keren banget,” kata Andin yang membuat Haidar mendadak menghentikan mobilnya. “Ada apa sih?” tanya Andin pada suaminya yang mendadak menghentikan kendaraannya. “Hati-hati dong, Boo!” Haidar menatap istrinya dengan tajam. “Bee, kamu suka sama bodyguardku?” tanya Haidar den
Baca selengkapnya

Bab 192. Wanita Sang CEO

Haidar menautkan jari jemarinya pada jemari lentik sang istri. Kemudian melangkahkan kaki masuk ke dalam kantornya. Semua karyawan menatapnya sejak sang CEO memasuki lobi. Ini adalah kali pertama sang CEO menggandeng wanita ke kantornya terlebih lagi, wanitanya masih sangat muda. “Wanita si Bos masih sangat cantik dan masih sangat muda. Mereka terlihat sangat serasi, cantik dan ganteng,” bisik salah satu karyawati. “Itu istri si Bos? Cantiknya pake banget,” timpal yang lainnya. “Penampilannya apa adanya, nggak seperti wanita seorang CEO yang memakai pakaian serba mewah. Aku suka melihat istrinya si Bos.” Salah satu karyawan lainnya ikut berkomentar. “Apa itu benar istrinya? Kita ‘kan nggak pernah tahu,” sahut salah satu karyawati yang merasa cemburu melihat sang CEO menggandeg wanita cantik. “Selama
Baca selengkapnya

Bab 193. Butuh Vitamin

Andin keluar dari raung rahasia sauminya. Kemudian menghampiri Haidar yang sedang fokus dengan laptopnya. “Boo, aku bosen di dalam. Aku duduk di situ aja, boleh ya.” Andin menunjuk sofa yang ada di depan meja kerja sang suami. “Boleh dong, Bee. Asal jangan gangguin si jagoan aja,” sahutnya sambil terkekeh. “Kamu mau pesen makanan? Mau pesan apa, nanti aku suruh Baron yang pesen.” “Nggak usah! Nanti aku aja yang pesan. Kamu fokus kerja aja biar kerjaanmu cepat selesai,” jawab Andin setelah mendudukan tubuhnya di sofa panjang. Ia bermain ponsel sambil merebahkan tubuhnya di sofa panjang. “Gimana aku mau fokus kerja kalau bidadari mesum selalu menggodaku.” Haidar menelan salivanya saat melihat perut sang istri yang putih mulus karena bajunya tersingkap. Haidar bangun dari duduknya menghampiri sang istri yang sedang tersenyu
Baca selengkapnya

Bab 194. Dua Puluh Tahun Lalu

Haidar menatap dengan tajam ke arah orang kepercayaannya yang masih berdiri di hadapannya. “Maksud saya, silakan dilanjutkan kerjanya Tuan, biar Nona nggak nunggu terlalu lama,” balasnya. “Kamu pinter, Baron.” Andin mengacungkan jempolnya ke arah laki-laki yang selalu mendampingi suaminya dengan setia. “Tuanmu kerjanya sangat lamban, kalo aku jadi bosnya udah aku pecat dia,” tambahnya sambil terkekeh. “Bee, kamu udah pesan makanan?” tanya Haidar pada istrinya mengalihkan pembicaraan sebelumnya, dan dijawab dengan gelengan kepala oleh sang istri. “Saya sudah memesan makanan untuk Tuan dan Nona,” sela Baron. “Sebentar lagi juga datang.” “Kamu memang yang terbaik, Baron.” Andin kembali mengacungkan jempolnya, tapi kali ini dua jempol sekaligus. Haidar tidak suka melihat istrinya
Baca selengkapnya

Bab 195. Dalang Di Balik Kecelakaan

“Kamu tidak akan menemukan pembunuh itu karena memang kalian mengalami kecelakaan bukan karena ada sabotase dari siapa pun dan polisi sudah membuktikannya. Lagian kejadian itu udah dua puluh tahun yang lalu. Seandainya benar ada orang lain di balik kecelakaan yang merenggut nyawa saudara kembarmu, itu akan susah untuk dibuktikan karena mungkin mereka sudah menghilangkan semua buktinya,” jelas Paman Abdi panjang lebar. “Paman benar, tapi aku yakin akan segera menemukan pembunuh itu,” jawabnya dengan percaya diri. “Paman berdoa saja,” lanjutnya. “Maksudmu apa?” tanya Paman Abdi pada keponakannya. “Maksudku paman bantu doa agar aku secepatnya bisa menemukan pembunuh itu,” balas Haidar. “Oh iya, Paman, kenalin, ini istriku.” Haidar memperkenalkan istrinya pada sang paman karena waktu ia menikah sang paman tidak hadir dalam pernikahannya dikarenakan sedan
Baca selengkapnya

Bab 196. Baron vs Sekretaris Cantik

Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, Haidar masih fokus dengan kerjaannya. Sementara sang istri tertidur pulas di sofa yang ada di ruang kerjanya. Haidar melirik pada istrinya yang masih memejamkan mata. “Kasihan istriku. Aku akan secepatnya menyelesaikan kerjaanku supaya waktu dia bangun dari tidurnya, semua sudah beres.” Haidar kembali fokus pada laptopnya. Lima belas menit kemudian ia sudah menyelesaikan kerjaannya, akan tetapi sang istri masih tertidur pulas. Haidar membereskan meja kerjanya, lalu mendekati Andin dan berjongkok di depan istrinya itu. “Aku akan segera menyelesaikan kekacauan ini, agar kita bisa hidup dengan tenang.” Haidar mengecup kening sang istri dengan lembut. “Bee, ayo kita pulang,” bisik Haidar di telinga istrinya sambil membelai lembut pipi sang istri. Namun, ia tidak terusik dengan bisikan ataupun belaian tangan suaminya. 
Baca selengkapnya

Bab 197. Pelaku Pembunuhan

Andin mengerjapkan mata, lalu menguceknya matanya sambil menguap. “Boo, kamu udah selesai? Kita pulang yuk!” ajak Andin sambil meregangkan otot-ototnya. “Pulang ke mana?” tanya Haidar sambil menahan senyumnya. Ternyata Andin belum menyadari kalau dirinya sudah berada di rumah. “Ya ke rumah lah,” jawab Andin dengan tegas. Kemudian ia kembali merebahkan tubuhnya, lalu memeluk boneka kesayangannya. Ia baru tersadar saat Haidar menyingkirkan boneka itu. “Peluk aku aja, jangan boneka terus yang kamu peluk.” Haidar memeluk istrinya dengan erat dari belakang. Andin membuka matanya. “Boneka?” Andin mengedarkan pandangannya. “Kok kita udah di rumah, bukannya tadi aku tidur di kantor?” “Kamu mimpi kali, Bee,” bisik Haidar yang membuat Andin kegelian karena brewok sang suami menggesek telinganya. “Boo,
Baca selengkapnya

Bab 198. Kehancuran Si Pembunuh

“Apa masih ada yang tersisa?” tanya sang papi sambil memeriksa dokumen perusahaan Abdi Mannaf yang diakuisisi oleh Mannaf Group. “Semua usaha yang dimiliki keluarganya telah hancur. Sebentar lagi mereka akan memohon minta ampun,” jawab Haidar sambil mendudukan tubuhnya di sofa panjang di depan sang papi. Benar saja, setelah Haidar berbicara seperti itu pada papinya, sang paman yang sedang dibicarakan menerobos masuk ke dalam ruangannya. “Maaf, Tuan, saya sudah melarangnya, tapi beliau menerobos masuk,” ucap Baron sambil menundukkan kepalanya. Haidar mengangkat tangannya, memberi isyarat agar kaki tangannya itu keluar dari ruangan. Baron meninggalkan ruangan itu setelah mendapat perintah dari tuannya, tapi ia tetap berjaga-jaga di depan pintu ruangan sang CEO. “Ar, kenapa kamu menghancurkan pamanmu sendiri?” tany
Baca selengkapnya

Bab 199. Kamu Harus Mati

 “Tolong maafkan aku, Kak. Aku mengaku salah. Aku merasa Ayah tidak adil padaku karena aku nggak tahu kalau aku ini hanya anak seorang pelayan. Aku memang tidak tahu diuntung, tolong maafkan aku.” Abdi Mannaf bersimpuh di hadapan kakaknya. “Kenapa kamu baru menyesalinya sekarang? Setelah dua puluh tahun berlalu pun kamu tidak pernah menyesali perbuatanmu. Kamu berusaha menyakiti menantuku. Aku tidak bisa memaafkanmu. Kamu aku coret dari keluarga Mannaf.” Papi Mannaf bangun dari duduknya, melangkahkan kakinya melewati adik angkatnya. Haidar juga bangun dari duduknya. “Paman tahu, polisi sudah menunggu Paman di sini sejak tadi,” ucap Haidar sambil berdiri dengan angkuhnya, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. ‘Aku nggak akan diam saja,’ batin Abdi Mannaf. Ia pun bangun dan berdiri lalu mendekati kakak angkatnya. Ia mengeluarkan pisau yang disembunyikan di bal
Baca selengkapnya

Bab 200. Haidar Terluka

Memerlukan waktu setengah jam untuk sampai di rumah sakit. Kini Andin dan Sisil sudah sampai di tempat kerja sahabat Haidar yang berprofesi sebagai seorang dokter. Dokter Riko sudah mengetahui tentang kejadian di kantor sahabatnya melalui berita di televisi karena perusahaan Mannaf Group sudah sangat terkenal. Ia sudah siap dengan timnya untuk menyambut CEO muda yang sedang terluka parah. “Siang Dokter Riko,” sapa Andin dengan ramah. “Siang, Nona Andin,” balasnya sambil tersenyum. Kemudian segera mengajak Haidar masuk ke dalam ruangan khusus, dengan wajah yang kebingungan karena melihat sahabatnya yang terlihat baik-baik saja. Setelah masuk ke dalam ruangan, Dokter Riko memutar tubuh sahabatnya itu. “Mana yang luka? Andin bilang, kamu terluka parah.” “Nggak ada. Cuma tanganku aja yang sedikit tergores.” Haidar menunjukan tangannya y
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1819202122
...
61
DMCA.com Protection Status