“Kamu tidak akan menemukan pembunuh itu karena memang kalian mengalami kecelakaan bukan karena ada sabotase dari siapa pun dan polisi sudah membuktikannya. Lagian kejadian itu udah dua puluh tahun yang lalu. Seandainya benar ada orang lain di balik kecelakaan yang merenggut nyawa saudara kembarmu, itu akan susah untuk dibuktikan karena mungkin mereka sudah menghilangkan semua buktinya,” jelas Paman Abdi panjang lebar.
“Paman benar, tapi aku yakin akan segera menemukan pembunuh itu,” jawabnya dengan percaya diri. “Paman berdoa saja,” lanjutnya.
“Maksudmu apa?” tanya Paman Abdi pada keponakannya.
“Maksudku paman bantu doa agar aku secepatnya bisa menemukan pembunuh itu,” balas Haidar. “Oh iya, Paman, kenalin, ini istriku.” Haidar memperkenalkan istrinya pada sang paman karena waktu ia menikah sang paman tidak hadir dalam pernikahannya dikarenakan sedan
Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, Haidar masih fokus dengan kerjaannya. Sementara sang istri tertidur pulas di sofa yang ada di ruang kerjanya.Haidar melirik pada istrinya yang masih memejamkan mata. “Kasihan istriku. Aku akan secepatnya menyelesaikan kerjaanku supaya waktu dia bangun dari tidurnya, semua sudah beres.”Haidar kembali fokus pada laptopnya. Lima belas menit kemudian ia sudah menyelesaikan kerjaannya, akan tetapi sang istri masih tertidur pulas.Haidar membereskan meja kerjanya, lalu mendekati Andin dan berjongkok di depan istrinya itu. “Aku akan segera menyelesaikan kekacauan ini, agar kita bisa hidup dengan tenang.” Haidar mengecup kening sang istri dengan lembut.“Bee, ayo kita pulang,” bisik Haidar di telinga istrinya sambil membelai lembut pipi sang istri. Namun, ia tidak terusik dengan bisikan ataupun belaian tangan suaminya.
Andin mengerjapkan mata, lalu menguceknya matanya sambil menguap. “Boo, kamu udah selesai? Kita pulang yuk!” ajak Andin sambil meregangkan otot-ototnya.“Pulang ke mana?” tanya Haidar sambil menahan senyumnya. Ternyata Andin belum menyadari kalau dirinya sudah berada di rumah.“Ya ke rumah lah,” jawab Andin dengan tegas. Kemudian ia kembali merebahkan tubuhnya, lalu memeluk boneka kesayangannya. Ia baru tersadar saat Haidar menyingkirkan boneka itu. “Peluk aku aja, jangan boneka terus yang kamu peluk.” Haidar memeluk istrinya dengan erat dari belakang.Andin membuka matanya. “Boneka?” Andin mengedarkan pandangannya. “Kok kita udah di rumah, bukannya tadi aku tidur di kantor?”“Kamu mimpi kali, Bee,” bisik Haidar yang membuat Andin kegelian karena brewok sang suami menggesek telinganya.“Boo,
“Apa masih ada yang tersisa?” tanya sang papi sambil memeriksa dokumen perusahaan Abdi Mannaf yang diakuisisi oleh Mannaf Group.“Semua usaha yang dimiliki keluarganya telah hancur. Sebentar lagi mereka akan memohon minta ampun,” jawab Haidar sambil mendudukan tubuhnya di sofa panjang di depan sang papi.Benar saja, setelah Haidar berbicara seperti itu pada papinya, sang paman yang sedang dibicarakan menerobos masuk ke dalam ruangannya.“Maaf, Tuan, saya sudah melarangnya, tapi beliau menerobos masuk,” ucap Baron sambil menundukkan kepalanya.Haidar mengangkat tangannya, memberi isyarat agar kaki tangannya itu keluar dari ruangan.Baron meninggalkan ruangan itu setelah mendapat perintah dari tuannya, tapi ia tetap berjaga-jaga di depan pintu ruangan sang CEO.“Ar, kenapa kamu menghancurkan pamanmu sendiri?” tany
“Tolong maafkan aku, Kak. Aku mengaku salah. Aku merasa Ayah tidak adil padaku karena aku nggak tahu kalau aku ini hanya anak seorang pelayan. Aku memang tidak tahu diuntung, tolong maafkan aku.” Abdi Mannaf bersimpuh di hadapan kakaknya.“Kenapa kamu baru menyesalinya sekarang? Setelah dua puluh tahun berlalu pun kamu tidak pernah menyesali perbuatanmu. Kamu berusaha menyakiti menantuku. Aku tidak bisa memaafkanmu. Kamu aku coret dari keluarga Mannaf.” Papi Mannaf bangun dari duduknya, melangkahkan kakinya melewati adik angkatnya.Haidar juga bangun dari duduknya. “Paman tahu, polisi sudah menunggu Paman di sini sejak tadi,” ucap Haidar sambil berdiri dengan angkuhnya, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.‘Aku nggak akan diam saja,’ batin Abdi Mannaf. Ia pun bangun dan berdiri lalu mendekati kakak angkatnya. Ia mengeluarkan pisau yang disembunyikan di bal
Memerlukan waktu setengah jam untuk sampai di rumah sakit. Kini Andin dan Sisil sudah sampai di tempat kerja sahabat Haidar yang berprofesi sebagai seorang dokter.Dokter Riko sudah mengetahui tentang kejadian di kantor sahabatnya melalui berita di televisi karena perusahaan Mannaf Group sudah sangat terkenal. Ia sudah siap dengan timnya untuk menyambut CEO muda yang sedang terluka parah.“Siang Dokter Riko,” sapa Andin dengan ramah.“Siang, Nona Andin,” balasnya sambil tersenyum. Kemudian segera mengajak Haidar masuk ke dalam ruangan khusus, dengan wajah yang kebingungan karena melihat sahabatnya yang terlihat baik-baik saja.Setelah masuk ke dalam ruangan, Dokter Riko memutar tubuh sahabatnya itu. “Mana yang luka? Andin bilang, kamu terluka parah.”“Nggak ada. Cuma tanganku aja yang sedikit tergores.” Haidar menunjukan tangannya y
Haidar kembali tidur di pangkuan sang istri. Matanya terasa sangat mengantuk saat sang istri memainkan rambutnya.“Boo, kamu belum jawab pertanyaanku?” kata Andin sambil menguncir rambut sang suami dengan tali rambutnya.“Pertanyaan yang mana?” balas Haidar dengan mata yang masih terpejam.“Kenapa Baron bersikap kasar pada paman Abdi?” Andin mengulang pertanyaannya.Sebenarnya dari tadi sudah penasaran dengan apa yang telah terjadi di ruang kerja suaminya. Namun, ia merasa tidak enak hati dengan papi mertuanya.“Paman Abdi dalang dari pembunuhan berencana terhadap aku dan adikku supaya tidak ada lagi pewaris di keluargaku. Ia ingin menguasai seluruh kekayaan Papi,” jelas Haidar tanpa membuka matanya. Ia sangat menikmati saat rambutnya dimainkan oleh sang istri.“Apa yang menaruh obat perangsang di mi
Pagi-pagi sekali Andin bangun dari tidurnya. Ia mengemas pakaian yang sudah tidak dipakai lagi ke dalam koper, lalu membawanya keluar kamar dan menyimpannya di kamar pribadinnya.“Baju-bajuku banyak yang udah nggak muat, aku harus olahraga,” gumam Andin.Setelah menaruh kopernya, ia pergi ke halaman belakang untuk lari pagi tanpa memakai alas kaki. “Berasa ada di Bandung kalau pagi-pagi ada di halaman belakang.” Andin merentangkan tangannya menghirup udara segar di pagi hari.Andin berlari kecil mengitari halaman belakang yang cukup luas. Setelah setengah jam berolahraga, Andin beristirahat di taman kelinci.Duduk di rerumputan yang tumbuh subur di taman kelinci, kakinya ia selonjorkan agar tidak keram setelah berlari. Wanita cantik itu bersandar pada pohon yang rindang. Ia menghirup dalam-dalam udara pagi sembari memejamkan mata. Udara sejuk yang menyapu wajahnya
Jam menunjukkan pukul empat sore saat Andin tiba di rumah. Ia segera masuk ke kamarnya untuk mengambil ponsel.“Aku harus nelpon dia, kenapa pergi nggak pamit dulu, bikin curiga aja,” ucap Andin sambil menyalakan ponselnya.Saat ponselnya menyala, banyak panggilan tak terjawab dari suaminya. Andin segera melakukan panggilan video, Tidak menunggu lama, Haidar langsung menerima panggilan dari istrinya.“Boo, kenapa kamu pergi nggak pamit dulu? Apa kerjaanmu lebih penting dari pada aku?” Andin langsung menodong pertanyaan pada sang suami.Rasa rindu pada sang suami membuatnya kesal ditambah lagi suaminya pergi tanpa pamit terlebih dulu.‘Maksud dia apa? Aku ninggalin kerjaan pentingku demi nyariin dia,’ Haidar bertanya-tanya dalam hatinya.“Boo, kamu sekarang di mana, kayaknya itu di luar bukan di kantor?” An