“Apa masih ada yang tersisa?” tanya sang papi sambil memeriksa dokumen perusahaan Abdi Mannaf yang diakuisisi oleh Mannaf Group.
“Semua usaha yang dimiliki keluarganya telah hancur. Sebentar lagi mereka akan memohon minta ampun,” jawab Haidar sambil mendudukan tubuhnya di sofa panjang di depan sang papi.
Benar saja, setelah Haidar berbicara seperti itu pada papinya, sang paman yang sedang dibicarakan menerobos masuk ke dalam ruangannya.
“Maaf, Tuan, saya sudah melarangnya, tapi beliau menerobos masuk,” ucap Baron sambil menundukkan kepalanya.
Haidar mengangkat tangannya, memberi isyarat agar kaki tangannya itu keluar dari ruangan.
Baron meninggalkan ruangan itu setelah mendapat perintah dari tuannya, tapi ia tetap berjaga-jaga di depan pintu ruangan sang CEO.
“Ar, kenapa kamu menghancurkan pamanmu sendiri?” tany
“Tolong maafkan aku, Kak. Aku mengaku salah. Aku merasa Ayah tidak adil padaku karena aku nggak tahu kalau aku ini hanya anak seorang pelayan. Aku memang tidak tahu diuntung, tolong maafkan aku.” Abdi Mannaf bersimpuh di hadapan kakaknya.“Kenapa kamu baru menyesalinya sekarang? Setelah dua puluh tahun berlalu pun kamu tidak pernah menyesali perbuatanmu. Kamu berusaha menyakiti menantuku. Aku tidak bisa memaafkanmu. Kamu aku coret dari keluarga Mannaf.” Papi Mannaf bangun dari duduknya, melangkahkan kakinya melewati adik angkatnya.Haidar juga bangun dari duduknya. “Paman tahu, polisi sudah menunggu Paman di sini sejak tadi,” ucap Haidar sambil berdiri dengan angkuhnya, memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana.‘Aku nggak akan diam saja,’ batin Abdi Mannaf. Ia pun bangun dan berdiri lalu mendekati kakak angkatnya. Ia mengeluarkan pisau yang disembunyikan di bal
Memerlukan waktu setengah jam untuk sampai di rumah sakit. Kini Andin dan Sisil sudah sampai di tempat kerja sahabat Haidar yang berprofesi sebagai seorang dokter.Dokter Riko sudah mengetahui tentang kejadian di kantor sahabatnya melalui berita di televisi karena perusahaan Mannaf Group sudah sangat terkenal. Ia sudah siap dengan timnya untuk menyambut CEO muda yang sedang terluka parah.“Siang Dokter Riko,” sapa Andin dengan ramah.“Siang, Nona Andin,” balasnya sambil tersenyum. Kemudian segera mengajak Haidar masuk ke dalam ruangan khusus, dengan wajah yang kebingungan karena melihat sahabatnya yang terlihat baik-baik saja.Setelah masuk ke dalam ruangan, Dokter Riko memutar tubuh sahabatnya itu. “Mana yang luka? Andin bilang, kamu terluka parah.”“Nggak ada. Cuma tanganku aja yang sedikit tergores.” Haidar menunjukan tangannya y
Haidar kembali tidur di pangkuan sang istri. Matanya terasa sangat mengantuk saat sang istri memainkan rambutnya.“Boo, kamu belum jawab pertanyaanku?” kata Andin sambil menguncir rambut sang suami dengan tali rambutnya.“Pertanyaan yang mana?” balas Haidar dengan mata yang masih terpejam.“Kenapa Baron bersikap kasar pada paman Abdi?” Andin mengulang pertanyaannya.Sebenarnya dari tadi sudah penasaran dengan apa yang telah terjadi di ruang kerja suaminya. Namun, ia merasa tidak enak hati dengan papi mertuanya.“Paman Abdi dalang dari pembunuhan berencana terhadap aku dan adikku supaya tidak ada lagi pewaris di keluargaku. Ia ingin menguasai seluruh kekayaan Papi,” jelas Haidar tanpa membuka matanya. Ia sangat menikmati saat rambutnya dimainkan oleh sang istri.“Apa yang menaruh obat perangsang di mi
Pagi-pagi sekali Andin bangun dari tidurnya. Ia mengemas pakaian yang sudah tidak dipakai lagi ke dalam koper, lalu membawanya keluar kamar dan menyimpannya di kamar pribadinnya.“Baju-bajuku banyak yang udah nggak muat, aku harus olahraga,” gumam Andin.Setelah menaruh kopernya, ia pergi ke halaman belakang untuk lari pagi tanpa memakai alas kaki. “Berasa ada di Bandung kalau pagi-pagi ada di halaman belakang.” Andin merentangkan tangannya menghirup udara segar di pagi hari.Andin berlari kecil mengitari halaman belakang yang cukup luas. Setelah setengah jam berolahraga, Andin beristirahat di taman kelinci.Duduk di rerumputan yang tumbuh subur di taman kelinci, kakinya ia selonjorkan agar tidak keram setelah berlari. Wanita cantik itu bersandar pada pohon yang rindang. Ia menghirup dalam-dalam udara pagi sembari memejamkan mata. Udara sejuk yang menyapu wajahnya
Jam menunjukkan pukul empat sore saat Andin tiba di rumah. Ia segera masuk ke kamarnya untuk mengambil ponsel.“Aku harus nelpon dia, kenapa pergi nggak pamit dulu, bikin curiga aja,” ucap Andin sambil menyalakan ponselnya.Saat ponselnya menyala, banyak panggilan tak terjawab dari suaminya. Andin segera melakukan panggilan video, Tidak menunggu lama, Haidar langsung menerima panggilan dari istrinya.“Boo, kenapa kamu pergi nggak pamit dulu? Apa kerjaanmu lebih penting dari pada aku?” Andin langsung menodong pertanyaan pada sang suami.Rasa rindu pada sang suami membuatnya kesal ditambah lagi suaminya pergi tanpa pamit terlebih dulu.‘Maksud dia apa? Aku ninggalin kerjaan pentingku demi nyariin dia,’ Haidar bertanya-tanya dalam hatinya.“Boo, kamu sekarang di mana, kayaknya itu di luar bukan di kantor?” An
"Din, lo belanja banyak banget sih?” tanya Sisil saat mereka sudah dalam perjalanan pulang.“Baju gue udah pada nggak muat, di rumah adanya baju terusan semua, kalau bawa motor pake baju kayak gitu nggak bakal dibolehin sama brondong alot gue,” jawab Andin sambil merogoh ponselnya di dalam tas selempang hendak menghubungi Haidar.“Brondong alot, tapi lo demen,” cibir Sisil sembari mencebikkan bibirnya.“Yang alot malah lebih enak, Sil,” balas Andin sambil tertawa. “Kalau udah ngerasain pasti lo ketagihan,” lanjutnya lagi.“Anyir!” Sisil menoyor kepala sahabatnya. “Jangan ngomongin begituan, gue jones nih.”“Makanya lo cepetan gebet abang gue,” sahut Andin sambil berusaha menghubungi suaminya, tapi ponsel sang suami sedang tidak aktif.‘Kemana sih?” gumamnya.
Andin mengerjapkan mata saat sinar mentari pagi masuk meleawati celah gorden kamarnya. Tubuhnya tidak bisa digerakkan ketika ia hendak bangun dari tidurnya karena sang suami memeluknya dengan erat.“Boo, bangun!” Andin berusaha melepaskan tangan Haidar yang melingkar di tubuhnya. “Boo, kamu demam,” ucap Andin saat ia meraba tangan sang suami yang terasa panas tidak seperti biasanya.Andin bangun dan terduduk ketika ia sudah berhasil menyingkirkan tangan suaminya. Ia turun dari tempat tidurnya secara perlahan karena tidak mau membangunkan suaminya.Ia melangkahkan kakinya keluar kamar, meminta air hangat pada Bi Susi untuk mengompres suaminya. Setelah itu ia masuk ke dalam kamar mandi untuk membersihkan diri.Beberapa menit kemudian Andin sudah selesai mandi dan berpakaian santai karena suaminya sedang sakit, hari ini ia tidak pergi kuliah.Tok tok tok
Beberapa hari telah berlalu, kini Haidar dan Andin sedang liburan di Bandung. Mereka menghabiskan waktu hanya di dalam kamar saja.Setelah selesai mandi dan berganti pakaian, ia naik ke tempat tidur. “Bee, malam ini kamu harus dihukum karena sudah mengabaikan jagoanku selama berhari-hari.”“Nanti aja, Boo, aku udah ngantuk banget.” Tidak biasanya Andin menolak snag suami, biasanya dia yang merayu duluan kalau suaminya pura-pura tidak berhasrat padanya. “Kamu jangan deket-deket aku!” Andin mendorong tubuh suaminya. Lalu ia memiringkan badannya membelakangi sang suami.‘Ngajak bercanda rupanya,’ gumam Haidar dalam hati. Ia berpikir kalau sang istri sedang bercanda. Haidar pun turun dari tempat tidur. “Ya udah, aku tidur di kamar sebelah aja,” ucapnya sambil melirik pada sang istri. Haidar yakin kalau Andin akan menghentikannya. Ia juga akan pura-pura merajuk pada