All Chapters of Pengantin Tuan Haidar: Chapter 171 - Chapter 180

606 Chapters

Bab 171. Dimabuk Asmara

Setelah pergumulan itu mereka membersihkan diri, lalu kembali ke tempat tidur dan beristirahat. “Boo, kamu nggak apa-apa ‘kan?” Andin meraba dada suaminya untuk merasakan detak jantung suaminya. “Bee, aku sehat. Apalagi setelah mendapat vitamin dari kamu.” Haidar mencubit gemas hidung mancung istrinya. Kedua anak manusia itu tidak henti-hentinya mengucapkan kata cinta pada pasangannya. Mereka seperti anak remaja yang sedang dimabuk cinta. “Tuhan sangat baik padaku karena telah mengirimkan jodoh sepertimu, istriku.” Haidar menciumi wajah istrinya tanpa jeda. “Pilihan orang tua memang yang terbaik. Ridho Allah itu tergantung ridho orang tua. Karena kita anak yang baik, patuh pada orang tua, walaupun nggak cinta tapi tetep mau dijodohkan, dan akhirnya kita bahagia karena doa mereka.” Andin menimpali ucapan suaminya. 
Read more

Bab 172. Singa Ompong

Keesokan harinya Andin dan Haidar bangun pagi-pagi sekali. Mereka lari pagi di halaman belakang rumahnya yang sangat luas. “Berasa ada di Bandung. Pagi-pagi lihat kebun sayuran.” Andin merentangkan tangannya sambil menghirup udara pagi hari yang masih segar dan bersih. “Aku baru sadar kalau istriku cantik banget walau belum mandi.” Haidar memeluk istrinya dari belakang sambil menyandarkan dagunya di bahu sang istri. “Andin membalikkan badannya menatap Haidar. “Aku baru sadar ternyata suamiku sudah tua.” Andin meraba wajah suaminya yang ditumbuhi bulu-bulu halus yang sudah memanjang. “Bee!” geram Haidar, lalu mengangkat tubuh istrinya. “Nanti malam kamu aku hukum!” Andin menyilangkan kakinya di pinggang Haidar, tangannya ia lingkarkan di leher sang suami. Ia tertawa geli karena suaminya terus menciumi bukit kenikmat
Read more

Bab 173. Menjaga Hatimu

“Bee, siapa yang bilang kalau aku sering melamun di sini?” tanya Haidar lagi. Andin bangun dan berdiri. “Nggak ada yang bilang. Tapi, aku melihatnya sendiri lewat video call.” “Kamu curang ya.” Haidar menarik tangan Andin hingga ia terduduk di pangkuannya. Lalu menggelitik pinggang istrinya. “Aku ingin ketemu kamu aja susahnya minta ampun. Sampai harus ngorbanin kakiku.” “Ampun, Boo!” teriak Andin sambil tertawa terbahak-bahak karena kegelian. “Berhenti, Boo! Aku mati nih.” Haidar menghentikan aksinya menjahili sang istri. “Nggak boleh bilang kayak gitu!” “Makanya jangan kelitiki aku kayak tadi,” kata Andin sambil mengerucutkan bibirnya. “Duh itu bibir, pagi-pagi minta dicium.” Haidar mengecup bibir istrinya sekilas. &ldquo
Read more

Bab 174. Membawa Kehidupan Baru

Haidar membelai lembut rambut istrinya. Sebenarnya ia nggak mau membebani pikiran sang istri, tapi ia juga nggak mau menyembunyikan sesuatu dari istrinya. “Aku belum punya bukti yang kuat. Sebaiknya kamu hati-hati dengan keluargaku!” “Keluargamu?” Andin semakin bingung dengan ucapan suaminya. “Maksudnya keluarga kamu yang mencoba memisahkan kita? Tapi, Mami dan Papi baik banget sama aku.” “Karena mereka terlalu baik pada menantunya, jadi membahayakan kamu,” balas Haidar. “Maksudmu apa sih, Boo?” Andin semakin bingung dibuatnya. Ia tidak begitu dekat dengan keluarga dari Mami Inggit ataupun Papi Mannaf. “Udahlah, Bee, jangan dipikirkan lagi! Yang penting kamu hati-hati aja, jangan sampai terhasut mereka lagi. Mereka nggak akan menyakitimu, tapi mereka akan terus mencoba memisahkan kita.” Haidar membelai pipi sang istri, lalu menci
Read more

Bab 175. Bibirmu Nakal

“Hukumanmu bikin aku kecanduan, Boo,” bisik Andin di telinga suaminya. “Kalau begitu, aku akan menghukummu setiap hari.” Haidar menurunkan istrinya di tempat tidur. “Apa kamu udah siap dengan hukumanmu?” Kini Andin berada di bawah kungkungan suaminya. “Aku udah siap lahir batin,” jawab Sisil sembari menyunggingkan sudut bibirnya. Haidar pun melancarkan aksinya. Ia mulai menciumi wajah Andin dengan mesra, tapi ketika bibirnya menempel pada bibir sang istri, terdengar suara dari perut istrinya. Haidar menghentikan aksinya. “Bee, kamu lapar?” tanya Haidar pada istrinya. Andin menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Haidar bangun, lalu membantu istrinya untuk berdiri. “Ayo kita sarapan dulu!” “Aku mau mandi dulu aja.” Andin segera masuk ke dalam kamar mandi
Read more

Bab 176. Haidar Nyalon

 Haidar memerhatikan istrinya yang makan dengan serius. “Bee, kenapa kamu diam aja? Makanannya nggak enak ya?” Andin menoleh pada suaminya. “Bukannya dia nggak suka berisik kalau sedang makan,” gumam Andin dalam hatinya. “Bee, aku tanya sama kamu, kenapa kamu cuma lihatin aku kayak gitu?” tanya Haidar, lalu menyuapkan satu sendok nasi goreng ke dalam mulutnya. “Apa kamu mau sarapan roti?” tanyanya lagi karena Andin hanya diam saja tanpa memberi tanggapan sedikit pun atas pertanyaannya. Andin mengelap bibirnya dengan tisu. Lalu menatap suaminya. “Bukannya kamu nggak suka berisik kalau lagi makan?” Andin baru menyahuti suaminya saat ia selesai makan. Haidar menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. “Ternyata dia masih mengingatnya,” gumamnya dalam hati. Haidar bangun dari duduknya lalu me
Read more

Bab 177. Saudara Kembar

Andin terkejut saat masuk ke dalam salon, terpampang foto Baron di dinding salon itu. “Boo, jangan bilang kalo salon ini punya Baron.” “Ini memang miliknya,” jawab Haidar dengan santainya. Andin menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan, matanya melirik dengan tatapan aneh pada suaminya. “Jangan-jangan kalian.” “Bee, jangan berpikiran yang aneh-aneh. Aku pria normal, udah aku buktikan sendiri sama kamu. Lagia ini tuh salon khusus pria, nggak ada perawatan wajah atau lainnya seperti salon kecantikan,” jelas Haidar. Andin mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil melangkah mengikuti suaminya. “Kamu tunggu sebentar ya, Bee!” “Ok.” Andin menunggu suaminya sambil memainkan ponsel. Tidak lama kemudian. Haidar menghampiri istrinya. Kini penampilannya sudah rapih dan terlihat
Read more

Bab 178. Takut Kehilangan

“Bee, tolong kamu jangan menanyakan apa pun tentang adikku pada Mami. Jangan sampai Mami mengingat kejadian itu lagi. Kamu boleh menanyakan tentang adikku pada Papi atau padaku,” jelas Haidar pada istrinya sebelum mereka keluar dari mobil. Andin menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Ternyata ini alasan sang suami tidak pernah mau berlama-lama di rumah orang tuanya. Rumah yang penuh dengan kenangan bersama adiknya. Mereka pun keluar dari mobil, lalu masuk ke dalam rumah orang tuanya sambil bergandengan tangan. “Mami! Mami!” Seperti biasa, Andin selalu berteriak saat memanggil mertuanya. Ia sudah menganggap Mami Inggit sebagai orang tuanya sendiri. “Sayang, kalian ke sini, kenapa nggak bilang dulu,” sahut Mami Inggit dari arah belakang rumahnya. “Aku abis nyalon, Mi, terus mampir deh ke sini.” Andin tersenyum sambil melirik suamin
Read more

Bab 179. Hukuman Kenikmatan

Mami Inggit, menoleh pada Haidar. “Pantesan ada yang beda. Ternyata anak Mami ganteng pake banget,” puji Mami Inggit pada anaknya. “Kalian jangan nunda-nunda punya anak ya, Mami udah pengin banget gendong cucu,” imbuhnya sambil memelas. “Nih juga lagi on the way, Mih,” sahut Haidar sambil tersenyum manis. “Kalian nginep di sini ya,” pinta Mami Inggit pada anak dan menantunya. “Lain kali aja. Aku mau hukum Andin dulu karena seharian tadi ngetawain aku terus,” ucapnya sambil mencubit hidung mancung istrinya. “Kamu gimana sih, Ar? Kalau dia pergi lagi baru kamu tahu rasa,” sergah Mami Inggit. “Menantu mami jangan dihukum.” “Ini hukuman kenikmatan, Mih, biar cucu Mami segera launching,” sahut Haidar sambil tersenyum. “Astaga, mesum Papi menular pada anaknya.&rdqu
Read more

Bab 180. Malam Mingguan

 “Bee, kita malam mingguan yuk!” ajak Haidar setelah pergulatan nikmatnya selesai. Kini mereka sedang bersantai di balkon kamarnya menikmati udara sore hari menjelang petang.  Andin menoleh pada suaminya yang sedang menyesapi kopi hitam yang masih ngebul. “Beneran, Bee?” Andin memastikan keseriusan suaminya. “Iya, dong!” jawabnya segera setelah menaruh cangkir kopi di atas meja kecil di depannya. “Tapi, pake motor ya,” pinta Andin sambil mengedipkan matanya. “Nggak seru kalo kencan pake mobil, apalagi pake mobil mewah kayak gitu, yang ada jadi pusat perhatian orang lain. Aku ingin kencan seperti anak muda zaman sekarang.” “Apa pun asal kamu bahagia, aku turuti.” Haidar mengedipkan sebelah matanya pada sang istri. Kepercayaan dirinya meningkat setelah pulang dari salon. Ia sudah terlihat lebih muda d
Read more
PREV
1
...
1617181920
...
61
DMCA.com Protection Status