Andin terkejut saat masuk ke dalam salon, terpampang foto Baron di dinding salon itu. “Boo, jangan bilang kalo salon ini punya Baron.”
“Ini memang miliknya,” jawab Haidar dengan santainya.
Andin menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan, matanya melirik dengan tatapan aneh pada suaminya. “Jangan-jangan kalian.”
“Bee, jangan berpikiran yang aneh-aneh. Aku pria normal, udah aku buktikan sendiri sama kamu. Lagia ini tuh salon khusus pria, nggak ada perawatan wajah atau lainnya seperti salon kecantikan,” jelas Haidar.
Andin mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil melangkah mengikuti suaminya.
“Kamu tunggu sebentar ya, Bee!”
“Ok.” Andin menunggu suaminya sambil memainkan ponsel.
Tidak lama kemudian. Haidar menghampiri istrinya. Kini penampilannya sudah rapih dan terlihat
“Bee, tolong kamu jangan menanyakan apa pun tentang adikku pada Mami. Jangan sampai Mami mengingat kejadian itu lagi. Kamu boleh menanyakan tentang adikku pada Papi atau padaku,” jelas Haidar pada istrinya sebelum mereka keluar dari mobil.Andin menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. Ternyata ini alasan sang suami tidak pernah mau berlama-lama di rumah orang tuanya. Rumah yang penuh dengan kenangan bersama adiknya.Mereka pun keluar dari mobil, lalu masuk ke dalam rumah orang tuanya sambil bergandengan tangan.“Mami! Mami!” Seperti biasa, Andin selalu berteriak saat memanggil mertuanya. Ia sudah menganggap Mami Inggit sebagai orang tuanya sendiri.“Sayang, kalian ke sini, kenapa nggak bilang dulu,” sahut Mami Inggit dari arah belakang rumahnya.“Aku abis nyalon, Mi, terus mampir deh ke sini.” Andin tersenyum sambil melirik suamin
Mami Inggit, menoleh pada Haidar. “Pantesan ada yang beda. Ternyata anak Mami ganteng pake banget,” puji Mami Inggit pada anaknya. “Kalian jangan nunda-nunda punya anak ya, Mami udah pengin banget gendong cucu,” imbuhnya sambil memelas.“Nih juga lagi on the way, Mih,” sahut Haidar sambil tersenyum manis.“Kalian nginep di sini ya,” pinta Mami Inggit pada anak dan menantunya.“Lain kali aja. Aku mau hukum Andin dulu karena seharian tadi ngetawain aku terus,” ucapnya sambil mencubit hidung mancung istrinya.“Kamu gimana sih, Ar? Kalau dia pergi lagi baru kamu tahu rasa,” sergah Mami Inggit. “Menantu mami jangan dihukum.”“Ini hukuman kenikmatan, Mih, biar cucu Mami segera launching,” sahut Haidar sambil tersenyum.“Astaga, mesum Papi menular pada anaknya.&rdqu
“Bee, kita malam mingguan yuk!” ajak Haidar setelah pergulatan nikmatnya selesai. Kini mereka sedang bersantai di balkon kamarnya menikmati udara sore hari menjelang petang.Andin menoleh pada suaminya yang sedang menyesapi kopi hitam yang masih ngebul. “Beneran, Bee?” Andin memastikan keseriusan suaminya.“Iya, dong!” jawabnya segera setelah menaruh cangkir kopi di atas meja kecil di depannya.“Tapi, pake motor ya,” pinta Andin sambil mengedipkan matanya. “Nggak seru kalo kencan pake mobil, apalagi pake mobil mewah kayak gitu, yang ada jadi pusat perhatian orang lain. Aku ingin kencan seperti anak muda zaman sekarang.”“Apa pun asal kamu bahagia, aku turuti.” Haidar mengedipkan sebelah matanya pada sang istri.Kepercayaan dirinya meningkat setelah pulang dari salon. Ia sudah terlihat lebih muda d
“Adek, kok sama Nabil, suamimu mana? Apa dia belum sembuh?” tanya Bunda Anin pada putrinya yang baru datang bersama salah satu pelayan keluarganya.Setelah mengantar nona mudanya, Nabil langsung pulang lagi. Ia hanya ditugaskan mengantar istri majikannya dengan selamat sampai rumah bundanya.“Aku mau malam mingguan sama dia. Biar lebih berdebar-debar kayak orang pacaran, aku nunggu di sini, nanti dia yang jemput,’ jelas Andin pada bundanya setelah Nabil pergi.“Astaga! Kalian kayak anak abg lagi pacaran aja.” bunda Anin menggelengkan kepalanya.“Ini ‘kan kencan pertamanya, Bun,” sahut Andin sambil terkekeh. “Ayo masuk, Bun! Aku mau ganti baju dulu.”Andin segera masuk kamar dan berganti pakaian. Ia hanya memakai kaus oblong berwarna putih dan celana jeans yang sobek di bagian lututnya.Setelah
“Bunda kami pergi dulu,” pamit Andin dan Haidar pada Bunda Anin.“Hati-hati ya! Jangan pulang larut malam,” pesan Bunda Anin sambil tersenyum. Ia bersikap seolah-olah sebagai ibu dari gadis yang dikencani pacarnya.“Iya, Bunda,” sahut Andin sembari tertawa geli. Ia merasa seperti remaja yang hendak kencan dengan pacar barunya.“Kita ke mana, Bee?” tanya Haidar setelah mereka berada di atas kuda besi itu.“Kita ke tempat Pak Mamat aja, mau nggak?” tanya Andin pelan, takut sang suami tidak menyetujuinya karena itu tempat biasa dia dan Roy nongkrong.“Mau makan sate atau mau mengenang waktu sama Roy?” tanya Haidar dengan dingin.“Boo, aku udah punya kamu. Kamu segalanya bagiku. Kamu laki-laki terhebat yang pernah singgah di hatiku,” kata Andin. “Ya udah kalo gitu kita ke ta
Ternyata begini rasanya kencan sama orang yang kita sayangi,” ucap Haidar sambil melirik pada wanita yang ada di sampingnya. Kini Andin dan Haidar berada di taman dekat tenda sate Pak Mamat. Mereka berbaring di atas rumput sambil menatap langit malam Ibu kota.“Bee, apa dulu kamu juga melakukan hal yang sama bersama Roy seperti yang kita lakukan sekarang ini?” tanya Haidar tanpa menoleh pada istrinya. Pandangannya tetap mengarah ke langit malam, tanpa adanya bintang satu pun. Sepertinya karena mendung, sehingga cahaya bintang tertutup awan kelabu.Andin menoleh pada suaminya. “Aku dan Roy nggak pernah kencan berdua seperti ini. Kita selalu kumpul bareng. Walaupun Roy terlihat seperti berandal, tapi ia laki-laki yang baik, tidak pernah memperlakukanku tidak sopan.”Haidar menoleh pada istrinya. “Dia memang laki-laki yang baik.”“Maaf, Boo. Aku nggak berm
Lantai garasi tiba-tiba terbuka, perlahan muncul motor sport berwarna ungu muda, warna kesukaan Andin. Andin sangat menyukai kejutan yang diberikan oleh suaminya.Andin melingkarkan tangannya di leher sang suami, lalu mencium pipi suaminya berkali-kali. “Terima kasih, Boo. Kamu emang yang terbaik.”Haidar kembali memencet tombol pada remot yang ia pegang. Motor itu kembali ke dalam garasi bawah tanah.“Sekarang ayo kita tidur!” Haidar membopong sang istri masuk kembali ke dalam kamarnya.“Boo, apa kamu mau menghukumku lagi?” tanya Andin. Sebenarnya ia merasa sangat lelah, tapi ia sudah terlanjur berucap.“Kita tidur aja ya, kepalaku sedikit pusing, mungkin karena kehujanan.” Haidar berjalan santai sambil membopong sang istri.“Aku mencintaimu.” Andin berkali-kali mencium pipi suaminya. “Sebenar
Andin melayangkan tangannya hendak memeluk Haidar. Namun, sang suami sudah tidak ada di sampingnya. “Boo, kamu di mana.” Dengan mata yang masih terpejam, Andin meraba tempat tidur suaminya.Ia terpaksa membuka mata, walau masih sangat mengantuk. Ia menyipitkan mata untuk memperjelas penglihatannya. “Baru jam enam pagi. Ke mana dia? Bukannya dia masih cuti,” gumam Andin sambil menguap.Andin turun dari tempat tidur dengan malas. Dengan langkah yang gontai ia masuk ke kamar mandi untuk mencuci mukanya. Ia masih sangat mengantuk karena mereka tidur sudah terlalu larut malam.Andin keluar dari kamarnya masih menggunakan baju tidur bergambar kelinci, baju yang sama dengan baju yang dipakai Haidar.“Ini bukti yang kuat untuk melawan mereka.” Baron menyodorkan amplop besar berwarna coklat kepada tuannya. Kini mereka berada di taman samping rumah. Di saung kecil di pinggir