"Jadi Ibuk yang menjualku?" "Ibuk terpaksa, tapi ada ua—." Tubuh Arumi tak berdarah, tapi hatinya serasa remuk. Ia kembali berdiri dan bertanya, "Apa sekarang aku sudah bisa pergi dari sini?" "Bisa." ** Arumi melangkah pergi, pergi mencari celah cahaya untuknya. Siapa yang bisa membantunya? Bisakah dia bertahan hidup di atas kakinya sendiri? Selimut siapakah yang bisa membuatnya tetap hidup? Apakah itu Nizam? Abi? Atau justru orang laki-laki pertamanya? Baca dan rasakan semangat Arumi. Mampukah kalian hidup di atas luka sepertinya?
View MorePLAKK!
Suara tamparan keras membuat semua orang yang ada di depan toko kue yang baru buka tersebut terkejut."Issh," desis gadis yang wajahnya memerah akibat tamparan tersebut."Kamu kan yang namanya Arumi?" tanya wanita yang baru saja melayangkan tamparan tersebut dengan nada tinggi.Plakk! Sebuah balasan pun langsung disuguhkan oleh Arumi."Enak?""Kurang ajar!" teriak wanita tersebut sembari ingin kembali membalas.Namun Arumi dengan cepat mengelak, hingga membuat wanita tersebut hampir terjungkal karenanya."Hahaha!" Tawa pun menggema di tempat itu.Kemudian dengan cepat langsung saja Arumi mencengkeram kerah baju wanita yang baru saja bermain tampar-tamparan dengannya itu."Siapa kamu?" tanyanya sengit."Aku ...," ujar wanita tersebut sembari meneteskan air matanya.'Apa dia stres?' pikir Arumi karena merasa aneh dengan tingkah wanita yang tak dikenalnya sama sekali tersebut. 'Eh, tapi dia tahu namaku, jadi seharusnya bukan orang stres kan?'Sesaat kemudian ....Ssst! Sebuah motor matic lain berhenti di depan toko kue tersebut."Hentikan!" teriak laki-laki yang baru saja turun dari motor matic tersebut sembari berjalan dengan cepat ke arah Arumi. Dan ketika sudah sampai di dekat Arumi, dengan kasar laki-laki tersebut menepis tangan Arumi hingga membuat cengkeramannya terlepas.Apa Arumi terkejut? Tentu saja."Kamu kenal dia, Mas?" tanya Arumi sambil menunjuk ke arah wanita yang kini bersembunyi di belakang laki-laki yang dipanggilnya dengan sebutan Mas itu."Kenal."Seketika Arumi langsung mengerutkan kening mendengar jawaban tersebut. "Dia siapa?" tanya Arumi lagi karena mencium ada sesuatu yang tidak benar antara kekasihnya dan wanita yang beberapa saat lalu menamparnya"Tidak penting dia siapa. Yang penting itu, apa yang ingin kamu lakukan pada dia?""Dia menamparku Mas," adu wanita tersebut dengan suara terisak sembari memegangi pipinya."Dia yang menamparku duluan," tukas Arumi. "Saksinya mereka semua," imbuhnya sembari menunjuk orang-orang yang saat ini sedang berada di teras toko kue.Namun bukannya percaya, kekasih Arumi yang bernama Nizam itu justru mengangkat tangannya dan menunjuk tepat di depan wajah Arumi."Jangan bohong Ar! Dia tidak mungkin melakukan hal itu, dia ini gadis yang lembut tidak seperti—""Seperti aku?" sahut Arumi dengan senyum miris di wajahnya.Lalu dari arah lain terlihat seorang gadis sedang berlari ke arah Arumi sambil berkata, "Mas, Mbak ini memang datang dan tiba-tiba saja nampar Arumi. Kamu itu harusnya perca—""Nit, sudah." Arumi memotong kalimat gadis yang sedang membelanya itu."Tapi Ar, si Nizam ini harus tahu yang ben—""Nit, sudah. Jika dia tidak percaya, menjelaskan juga percuma," ucap Arumi dengan mata yang mulai memerah."Ar, aku—""Mas, aku ingin bekerja. Bawa wanitamu pergi dan obati lukanya, aku bisa mengobati pipiku sendiri," sela Arumi lalu berpaling dan melenggang ke arah lain."Ar!" panggil Nizam sembari ingin melangkah ke arah Arumi, tapi dengan cepat lengannya dicekal oleh wanita tadi."Mas, kepalaku pusing," ucap si wanita sembari memegangi kepalanya.Nizam pun langsung mengurungkan niatnya untuk mengikuti Arumi dan langsung memperhatikan wanita di dekatnya itu. Lima menit berlalu dan Arumi masih saja duduk di belakang toko sambil menatap bunga mawar putih yang ada di sana."Ar," panggil gadis yang membela Arumi tadi dengan lembut."Sudah pergi?" tanya Arumi sambil menoleh ke arahnya."Sudah," jawabnya lalu menghela napas. "Aku nggak habis pikir, bisa-bisanya si Nizam itu membela wanita tadi, bikin kesel banget cowokmu itu."Kalimat berapi-api itu langsung membuat Arumi menghela napas panjang. "Aku juga nggak tahu, Nit.""Sudah Ar, putusin saja dia," saran Nita, sahabat sekaligus pemilik toko kue tempat Arumi bekerja saat ini."Kalau aku putus dari dia, terus aku pacaran dengan siapa?" tanya Arumi dengan suara serak sembari mengusap bekas air mata di wajahnya. "Kamu?"Thak! jitakan yang cukup kuat diberikan oleh Nita untuk menanggapi pertanyaan sahabatnya itu."Au!" pekik Arumi."Syukurin," seloroh Nita sembari duduk di dekat Arumi. "Mikir tuh yang lurus.""Iya-iya," sahut Arumi sembari menyenderkan kepalanya di pundak Nita."Ar, kamu terima saja tawaran dari sepupuku."Nita membicarakan sepupunya yang memang tertarik dan sudah beberapa kali menyatakan cinta pada Arumi, tapi selalu saja ditolak."Huff ...." Arumi menghembus napas panjang."Kenapa, memang apa kurangnya dia? Ganteng, iya. Punya kerjaan, iya. Perhatian, iya." Nita mempromosikan sepupunya."Apa dia mau menikah dengan janda?"Nita mengernyit. "Janda? Kamu janda?""Bukan.""Lah, tak pikir kamu yang janda. Batinku, sejak kapan kamu nikah. Aku aja nggak pernah dengar kamu—""Aku nggak perawan," pungkas Arumi.Seketika suasana di sekitar terasa sunyi, bahkan senyap. Hingga ....TERRRRTTT! Suara bising kenalpot motor Viz-R yang melaju kencang di jalan raya depan toko membuat kami berdua tersentak kaget."Eh, buset!" teriak Nita sambil bangun dan berjalan masuk ke dalam toko."Hah, mau bagaimana lagi," gumam Arumi sembari bangun dari kursi yang didudukinya selama beberapa menit itu.Kemudian ia pun melangkahkan kakinya masuk ke dalam toko karena sudah waktunya bekerja. Namun ketika baru saja masuk, tiba-tiba sebuah pelukan menyambutnya."Jangan sedih Ar, aku di sini," ujar Nita sambil mengusap-usap punggung Arumi pelan.Kalimat dan pelukan itu membuat mata Arumi menghangat dan sekali lagi menumpahkan air matanya. "Aku dijual, Nit," adunya seperti anak kecil yang sedang mengadu pada ibunya."Sabar Ar, sabar," sahut Nita.Dan ketika Arumi terlihat lebih tenang, sebuah pertanyaan puj kembali muncul dari bibir Nita. "Siapa yang melakukan itu, Ar?""Ibuk," jawab Arumi lirih.Seketika mata Nita membulat. Apa dia kaget? Ya, tentu saja dia kaget, justru aneh kalau saja dia tidak kaget seperti sekarang ini."Kamu yakin? Kok bisa?" tanya Nita seolah tak percaya dengan apa yang didengarnya."Entahlah Nit, yang jelas tadi pagi aku ...." Arumi terdengar enggan melanjutkan kalimatnya.'Keterlaluan sekali. Dia memang mucikari, tapi Arumi kan anaknya,' batin Nita sembari menatap sahabatnya yang tengah menundukkan kepalanya."Ya sudah, jangan dipikirkan lagi masalah itu. Yang terpenting sekarang kamu harus segera pergi dari sana. Kalau mau, kamu bisa pindah ke rumahku," tawarnya yang benar-benar merasa kasihan pada sahabatnya itu."Ah, nggak Nit. Kalau aku tinggal di rumahmu itu sama saja bohong," tukasku."Bohong kenapa? Aku kan tinggal sendirian, bilang saja sama ibukmu kalau kamu pindah ke tempatku karena kerjaan di toko banyak. Nah, habis itu kita pikirkan lagi cara supaya kamu bisa lepas selamanya dari dia."Ide dari Nita ini membuat Arumi langsung tersenyum kecut. 'Kalau aku tinggal di rumahnya, pasti tetangganya pada pada heboh. Apa dia nggak mikir,' batinnya."Kenapa Ar, apa kamu nggak suka tinggal di tempatku?""Ngawur," jawab Arumi dengan cepat. "Sudah, aku itu nggak mau rumah kamu jadi sasaran. Secepatnya aku akan pindah, aku janji.""Ya sudah, terserah kamu. Pokoknya kalau kamu butuh tempat, rumahku selalu welcome," ujar Nita sembari mencubit gemas pipi sahabatnya itu."Welcome, keset maksud kamu?" kelakar Arumi lalu terkekeh."Keset mbahmu!" Cubit Nita sekali lagi yang kemudian tertawa bersama.** Beberapa jam berlalu dengan penuh kesibukan, hingga akhirnya waktu istirahat pun tiba. Arumi pun tersenyum puas menatap kue pesanan yang sudah tertata rapi di atas meja dan hanya tinggal memasukkannya ke dalam wadah yang berlogokan nama toko kue sahabatnya ini."Nit, akhir bulan aku harus dapat bonus," ucap Arumi sembari melirik ke arah Nita yang saat ini sedang memasang wajah di depan kipas angin karena merasa kepanasan."Tenang saja, itu gampang asal kamu bisa mencapai target penjualan bulanan," sahut Nita lalu menyeruput es teh milik Arumi dengan santainya..Segera saja Arumi melempar lap yang dipegangnya ke kepala sahabatnya itu. "Mok pikir aku SPG rokok," protesnya."SPG roti, hahaha!" Tawa mereka pun menggema di dalam ruangan yang tak begitu luas itu. Sejenak, Arumi melupakan nasib buruk yang menimpanya akhir-akhir ini."Huff ... sudah, rasanya mau copot igaku gara-gara kamu," seloroh Arumi sembari mengusap bulir air mata yang sempat menetes di pipinya karena terlalu banyak tertawa."Kalau copot tinggal ganti saja pakai iga sap—"Triing! Dering ponsel menggema di ruangan itu."Siapa," gumam Arumi yang menyadari kalau itu dering ponselnya. Ia pun dengan cepat mengambil ponselnya yang ada di dalam saku celananya."Siapa lagi ini," gumamnya sambil mengangkat panggilan tersebut."Siapa, Ar?" tanya Nita.Namun Arumi hanya mengangkat bahunya untuk menanggapi pertanyaan dari sahabatnya itu.*"Halo," sapa Arumi karena selama beberapa detik tak terdengar suara dari dalam panggilan tersebut."Kamu wanita semalam kan?" tanya seorang laki-laki di dalam panggilan tersebutArumi mengerutkan dahi ketika merasa sangat asing dengan suara laki-laki di dalam panggilan itu. "Kamu siapa?" tanyanya untuk memastikan."Aku orang yang semalam."'Semalam yang mana?' pikir Arumi karena semalam ia sempat pergi ke rumah pak RT dan bertemu banyak orang, sebelum akhirnya mengalami nasib sialnya."Semalam aku tidak memberi tip yang pantas karena aku dalam posisi sulit. Apa aku bisa bertemu kamu atau ada nomor yang bisa aku transfer untuk mengganti kerugian kamu," ucapnya lagi."Eh, kamu si Kampret semalam!" teriak Arumi tiba-tiba."Kampret?""Kamu semalam membeliku dari siapa?" Arumi meledak-ledak."Aku tidak membeli kamu. Maka dari itu, aku ingin—""Setan sialan!" selaku. "Dengar! Aku tidak menjual tubuhku. Ambil uangmu untuk membayar dirimu sendiri! Dasar gigolo bangsat!" maki Arumi yang kemudian langsung memutus panggilan tersebut."Ck-ck-ck, memang sahabatku," komentar Nita sembari menggeleng pelan."Sialan banget itu orang, memangnya dia pikir dia—"Brakk! Suara gebrakan dari arah depan toko."Siapa Ar, jangan-jangan preman kemarin," ujar Nita sembari bangun dari tempatnya."Kamu duduk aja, biar aku yang nanganin," sahut Arumi sembari mengambil loyang kue di dekatnya."Lah, kok loyang," celetuk Nita."Kalau macam-macam, tak gampar mereka pakai ini," sahut Arumi sembari melangkah ke ruangan depan dengan berani.Namun ketika sampai di ruang depan, tiba-tiba ... "Loh, siapa kalian?"Sesaat kemudian pintu yang baru saja diketuk oleh Arumi tersebut pun terbuka. Ia menatap seorang laki-laki yang keluar dari sana."Loh, bukannya kamu sedang keluar negeri?" tanya Arumi sambil menatap kekasihnya tersebut menggunakan kaos oblong dan celana pendek biasa."Sejak kapan kamu menjadi dekat dengan Aris?" tanya Satria yang terdengar seperti sedang mengintrogasi.Arumi langsung memutar bola matanya. Ia sudah sangat terbiasa dengan kecemburuan Satria yang agak berlebihan."Istrinya tidak senang saat mendengar kamu mengajaknya liburan, kamu mengerti?" Satria berdalih agar Arumi tak marah karena dia cemburu lagi.Mata Arumi membola. "Dia punya istri?"Sesaat kemudian terlihat Aris keluar lewat pintu lain."Ris, kamu punya istri?" tanya Arumi langsung.Aris pun tersenyum canggung. Dia tadi mendengar dengan jelas kebohongan apa yang Satria katatakan. "Iya Nyonya," jawabnya."Lah, harusnya kamu ajak juga istri kamu, jadi kita bisa liburan bersama," ucap Arumi sembari t
Tiga bulan berlalu. Perlahan perasaan Arumi mulai membaik, walaupun terkadang ia masih suka melamun dan tiba-tiba menangis sendiri ketika teringat dengan putri kecilnya."Hayo … ngelamun lagi," ucap Nita yang baru saja datang ke taman kecil samping cafe. Ia kemudian dengan santai duduk di samping Arumi yang sedari tadi terus menghadap bunga."Apa ada pesanan lagi?" tanya Arumi sembari mengusap air matanya."Tidak ada, semuanya sudah beres," jawab Nita. "Kamu ingat dengan Syahila lagi?" tanyanya.Arumi menghela napas panjang. "Ya … mau bagaimana lagi. Tadi malam aku mimpi gendong dia," jawabnya."Ar, kamu pasti tahu aku mau ngomong apa. Jadi aku nggak akan ngomong itu lagi, soalnya kata-kata mutiaraku udah habis buat menghibur kamu." Nita berseloroh.Arumi pun menoleh sembari tersenyum kecil. "Iya … aku nggak akan sedih lagi. Ini sudah tiga bulan lebih 'kan?" Ia menirukan ucapan Nita ketika terakhir kali menghiburnya."Nah, gitu baru bener," sahut Nita sembari mencubit ge
Beberapa menit berlalu, saat ini Satria, Abi dan Arumi pun sampai di lantai paling atas tempat di mana Rena berada."Syahila," panggil Arumi karena mendengar putri kecilnya itu sedang menangis kencang."Ren, berikan bayinya," ucap Abi sembari mencoba melangkah ke arah Rena, tetapi langsung berhenti ketika Rena mengangkat tangannya, memberi tanda agar dia berhenti."Aku berubah pikiran," ucap Rena."Berubah pikiran apa, kami sudah membawa Abi ke sini," sahut Satria dengan tangan yang mengepal kuat.Rena pun mengganti pandangannya pada Satria. "Sat, kamu seharusnya tidak ikut campur dalam urusan rumah tanggaku ini. Aku beri kamu kesempatan untuk pergi dari sini, aku hitung sampai tiga. Satu … dua ti—""Aku tidak akan ke mana pun. Serahkan bayinya dan kamu bisa pergi dengan Abi ke mana pun yang kamu mau," tukas Satria."Kenapa kamu selalu bertingkah dominan? Di sini aku bosnya, bukan kamu!" teriak Rena.Sesaat kemudian tangisan Syahila terdengar makin kencang."Mbak, tolong beri
Setelah beberapa menit, akhirnya Arumi pun selesai menyusui Syahila. Tangannya mengepal kuat memikirkan apa alasan yang bisa ia gunakan untuk mengulur waktu."Sudah selesai, Nyonya?" tanya baby sitter yang baru saja masuk ke dalam kamar itu.Arumi pun langsung menoleh. "Sudah," jawabnya.Kemudian baby sitter itu pun mendekat ke arah Arumi. "Saya ditugaskan oleh Tuan Abi untuk membantu Anda berkemas," ujarnya.Sesaat kemudian Arumi pun mengangguk. "Tapi aku ingin ke kamar mandi dulu, tidak apa-apa kan? Soalnya perutku seperti melilit ini," ujarnya sembari berakting meringis menahan sakit."Iya Nyonya, tidak apa-apa. Saya akan mengatakan ini pada Tuan," jawab baby sitter sembari mengambil alih Syahila.'Sayang, kita bertahan dulu ya,' batin Arumi sembari menatap ke arah bayi mungilnya yang sedang tertidur lelap.Dan kemudian ia pun segera melangkah mencari kamar mandi di kamar itu. Sepuluh menit berlalu, saat ini Arumi terus berada di dalam kamar mandi dan duduk
Kemudian Arumi beralih menatap orang tersebut. "Apa maksudnya ini? Kenapa kamu mencelakai dia?" tanyanya."Semua ini atas perintah Tuan," jawab orang tersebut dengan ekspresi dingin.Sementara itu Rasyid pun kembali terbatuk-batuk."Lalu?" Arumi bertanya kembali sembari menatap orang yang ada di depannya itu dengan tak kalah tajam.Sesaat kemudian, orang di depan Arumi yang memiliki paras cantik seperti perempuan tetapi bersuara gahar khas lelaki itu pun mengeluarkan sebuah botol dari dalam jasnya dan kemudian memberikannya pada Rasyid.Secepat kilat Rasyid menyambar botol tersebut dan langsung menenggak isinya. 'Apa-apaan ini?' batin Arumi yang makin terkejut melihat apa yang terjadi."Aku pikir kamu sudah berpindah haluan," seloroh orang tersebut sembari menengadahkan tangannya.Beberapa esaat kemudian, Rasyid yang tadi membungkukkan tubuhnya saat menahan sakit kini kembali berdiri tegap. "Belum waktunya kamu bicara seperti itu," pungkasnya sembari memberikan kembali botol obat pe
Satu jam lebih berlalu. Saat ini Arumi sedang berdiri di dekat sebuah perempatan yang ramai dengan kendaraan berlalu lalang."Di mana …," gumam Arumi sembari menatap ke arah jam tangan yang diberikan oleh Satria. Kakinya menghentak-hentak kecil karena tidak sabar menunggu."Bagaimana kalau Syahila lapar," gumam Arumi lagi yang merasakan payudaranya penuh dan itu tandanya kalau buah hatinya itu sedang lapar. Masih teringat dengan jelas bagaimana tangisan bayi kecil itu di telepon tadi.Tak lama kemudian terlihat sebuah mobil berwarna hitam mendekat ke arahnya. Dan setelah mengamati selama beberapa saat, terlihat seorang laki-laki turun dari mobil tersebut."Kenapa kamu lama sekali," gerutu Arumi karena melihat itu adalah Rasyid yang menjemputnya.Setelah itu Arumi pun segera masuk ke dalam mobil tersebut tanpa basa-basi. "Ayo cepat kita pergi," ucapnya ketika Rasyid juga sudah masuk ke dalam mobil tersebut."Apa Anda benar-benar sendirian?" tanya Rasyid sembari menekan pedal g
Satu jam berlalu. Saat ini Satria, Arumi dan Rena sudah berada di halaman rumah sakit. Terlihat para anak buah Satria sudah berjaga di berbagai sudut rumah sakit. Dan ketika baru saja turun dari mobil, Arumi pun memaksa dirinya untuk berjalan dengan cepat ke arah pintu masuk rumah sakit."Syahila, di mana kamu," ucap Arumi sembari terus melangkah. Kalau bisa, ia ingin berlari dan mengobrak-abrik seluruh gedung tersebut untuk mencari buah hatinya. Namun, ia sangat sadar dengan kemampuannya yang hanya wanita biasa dan baru melahirkan."Aris, bawa dia ke ruangan Arumi!" titah Satria sembari mendorong Rena ke arah Aris.Aris pun dengan sigap menangkap Rena dan membawanya mengikuti Satria."Lepas! Aku bisa berjalan sendiri!" sergahnya yang kemudian melangkah dengan tenang mengikuti Satria dan Arumi. Setelah sampai di lantai tempat Sahila biasanya diletakkan, Arumi pun segera masuk ke dalam ruangan tersebut. Dia mengecek sendiri tempat di mana Sahila biasanya tidur. a
Langsung saja para wartawan menyorot ke arah orang tersebut. Setelah itu ia dengan tenang membuka topi dan maskernya.Melihat hal itu mata Arumi pun membulat. "Mas, itu Rena. Bagaimana?" bisik Arumi sembari mencubit paha Satria."Kamu tenang saja. Katakan saja semua yang kamu inginkan," jawab Satria dengan suara yang tak kalah lirih.Langsung saja Arumi menoleh dan mengernyitkan dahinya. 'Apa maksudnya?' pikir Arumi sembari melihat Satria yang saat ini sedang menatap Rena dengan santai. Sesaat kemudian Satria pun ikut menoleh dan mengusap kepala Arumi dengan lembut. "Kamu tenang saja," ujarnya dengan suara normal, hingga menarik perhatian beberapa wartawan dan mereka pun langsung mengabadikan momen itu.Arumi yang menyadari hal itu pun langsung melirik ke arah para wartawan yang menyorot mereka saat ini. 'Jangan-jangan dari tadi dia sudah tahu kalau itu Rena,' batinnya."Sudah aku katakan tenang saja. Aku ada di sini, tidak ada yang perlu kamu khawatirkan," ujar Satria lagi.Langsung
Dua jam kemudian di dalam ruangan Satria. Saat ini terlihat Satria yang tengah duduk di kursi kerjanya."Apa wanita itu memang sulit ditangani, Pak? atau hanya dia saja?" tanya Satria pada Pak Taufik, setelah ia selesai mematikan panggilan dari Aris yang mengatakan kalau dirinya dan Arumi sudah berada di lantai dasar perusahaan itu.Pak Taufik pun tersenyum kecil mendengar hal itu. "Nona Arumi ingin membantu Anda, Tuan. Dan saya pikir ini juga tidak ada salahnya," jawabnya dengan bijak."Aku sengaja tidak ingin melibatkan dia karena tidak mau dia mendengar pertanyaan-pertanyaan wartawan itu," ucapnya dengan nada mengeluh."Saya yakin Nona Arumi bisa menghadapinya, dia wanita yang kuat," sahut Pak Taufik masih dengan nada bicaranya tadi.Setelah itu yang terdengar hanyalah helaan napas panjang dari bibir Satria. Setelah 15 menit merapikan penampilan dan merencanakan semuanya, akhirnya Arumi dan Satria pun berjalan dengan tenang ke arah ruang konferensi pers yan
Selamat datang di dunia fiksi kami - Goodnovel. Jika Anda menyukai novel ini untuk menjelajahi dunia, menjadi penulis novel asli online untuk menambah penghasilan, bergabung dengan kami. Anda dapat membaca atau membuat berbagai jenis buku, seperti novel roman, bacaan epik, novel manusia serigala, novel fantasi, novel sejarah dan sebagainya yang berkualitas tinggi. Jika Anda seorang penulis, maka akan memperoleh banyak inspirasi untuk membuat karya yang lebih baik. Terlebih lagi, karya Anda menjadi lebih menarik dan disukai pembaca.
Comments