Shhht! Arumi menggunakan kemoceng andalannya untuk menepis tangan wanita yang saat ini hampir berhasil menamparnya.
"Akh!" pekik wanita tersebut sembari mengibas-ngibaskan tangannya yang tentu saja terasa ngilu akibat terkena kemoceng Arumi."Rasakan!" teriak Nita yang saat ini sedang duduk menikmati adegan tersebut dari teras tokonya. "Ayo Ar, pukul sampek gosong. Jangan kasih ampun!" teriaknya memberi semangat.Langsung saja Arumi tersenyum menyeringai mendengar kalimat penyemangat tersebut.Namun, berbeda dengan Arumi yang termotivasi, wanita di depan Arumi justru terlihat kebingungan. Ia pun mundur beberapa langkah ketika Arumi masih dengan senyum menyeringainya berjalan maju selangkah demi selangkah ke arahnya.'Cara ini emang paling ampuh,' batin Arumi yang memang selalu menggunakan cara seperti itu untuk menakuti teman-temannya yang sering membully dirinya sejak SMP, hingga akhirnya hal itu membuat anak sebayanya tak ada yang berani melawannya dan membuatnya terkenal sebagai murid paling nakal kala itu."Pergi sana!" teriak wanita di depan Arumi tersebut.Lalu Arumi pun menghentikan langkahnya. "Mbak, otakmu itu kau tinggal di mana? Ini tempatku, harusnya kamu yang pergi!"Wanita tersebut langsung terdiam sesaat dan kemudian menegakkan tubuhnya di depan Arumi."Ayo, aku sedang semangat berkelahi ini," tantang Arumi."Tidak," tukas wanita tersebut."Yang tidak itu apanya?""Aku ke sini untuk membuatmu sadar kalau menjadi pelakor itu tid—""Pelakor lagi," keluh Arumi. "Dengar ya Mbak Kaila ... benarkan namamu itu?""Ya.""Aku ini bukan pelakor, oke?" Arumi menjeda. "Aku sudah pacaran dengan mas Nizam selama setahun dan kamu baru bertunangan dengannya tiga bulan lalu. Selama ini dia tidak pernah mengatakan tentang kamu, dan ya ... kemarin malam aku sudah melepas dia.""Lalu kenapa dia membatalkan pernikahan kami?" tanya wanita bernama Kayla itu.'Lha mana aku tahu,' sahut Arumi di dalam hati."Aku nggak tahu. Pokoknya semua itu nggak ada hubungannya denganku. Mulai saat ini kamu bisa ambil dia, aku nggak butuh laki-laki kampret itu lagi.""Tapi—""Mbak, yang namanya laki-laki kalau sekali bohong itu biasanya seterusnya bakal bohong juga!" teriak Nita yang sebenarnya tak begitu jauh dari tempat Arumi dan Kayla berdiri. "Jangan-jangan calon suamimu itu juga punya perempuan lain selain Arumi." Ia mengompori."Perempuan lain," gumam Kayla sembari mengerutkan keningnya mendengar provokasi Nita."Iya, pasti ada perempuan lainnya. Lha dia saja bisa menyelingkuhi Arumi yang bersama dia selama setahun, terus dia juga bisa membatalkan pernikahanmu yang sudah menghitung hari itu. Lha, masa toh kamu nggak mikir kalau dia bisa punya perempuan lain yang jadi incerannya?""Apa benar?" tanya Kayla sembari kembali menatap ke arah Arumi.Tentu saja, Arumi yang mendapat pertanyaan tersebut pun langsung tersenyum aneh. 'Dia ini tipe perempuan yang bagaimana, masa dikomporin gitu aja udah bingung,' komentarnya di dalam hati."Lha mana aku tahu, tanyakan saja pada dia," sahut Arumi dengan santai sembari berbalik dan melangkah meninggalkan calon istri mantan kekasihnya itu. Beberapa saat kemudian, calon istri Nizam itu pun meninggalkan halaman toko tersebut karena Arumi dan Nita sudah masuk ke dalam toko dan seolah tak memperdulikan keberadaannya lagi."Sudah pergi Ar," ucap Nita setelah mengintip dari balik etalase toko."Bagus," sahut Arumi sembari menyenderkan punggungnya di dinding dan mendongakkan kepalanya ke atas."Kenapa?" tanya Nita sembari mendekati Arumi."Nit, tolong bantu aku," ucap Arumi dengan suara serak."Kenapa?""Bantu masukin uang ke ATM," jawabnya."Uang yang dari Ibukmu itu?" tanya Nita."Iya. Setelah itu bantu aku cari tiket ke Jakarta.""Jakarta?" Nita terkejut."Iya. Aku tidak aman kalau di sini," jawab Arumi lalu menghembus napas panjang."Kamu ke Jakarta sama siapa? Terus mau apa?" Nita benar-benar khawatir. "Kalau kamu mau kabur sementara, kamu bisa ke tempat saudaraku nanti—""Aku akan ke tempat Bapakku," potong Arumi."Bapakmu, dia masih hidup?""Masih."** Beberapa jam berlalu. Setelah selesai bersiap dengan semua hal, akhirnya kini Arumi bersama dengan Nita duduk di terminal, menunggu kedatangan bis yang akan membawa Arumi ke Jakarta"Kamu yakin Ar?" tanya Nita untuk yang kesekian kalinya."Yakin Nit. Lagi pula ini hanya sementara, kalau nanti semuanya sudah aman aku pasti kembali.""Tapi Ar—""Nit, tenang saja aku pasti akan pulang dan membantu kamu bikin kue lagi," seloroh Arumi."Ck, bukan itunya. Kamu ah—" Kalimat Nita terhenti ketika sebuan panggilan masuk ke dalam ponselnya.Nita pun dengan cepat mengangkat panggilan tersebut dan segera menjauh dari tempatnya dan Arumi karena area tersebut sangat ramai.Namun, belum sempat Arumi berkomentar tentang tingkah sahabatnya itu, tiba-tiba sebuah panggilan pun masuk ke dalam ponselnya."Nizam," gumamnya ketika membaca nama yang tertera di atas layar ponselnya. "Ck, untuk apa dia menelepon.* Sementara itu, di tempat Nizam."Arumi, di mana kamu," gumam Nizam yang saat ini berada di teras rumah Arumi sembari terus mencoba menghubungi Arumi yang sedari tadi tak mengangkat panggilannya.Lalu ia pun menoleh ke arah wanita di sampingnya. "Tadi dia bilang mau perginya kapan?""Dia cuma pamit mau pergi hari ini. Katanya sih mau ke Jakarta, tapi ndak tahu juga," jawab wanita yang menggunakan pakaian super ketat di samping Nizam saat ini."Ck, ke mana dia," gumam Nizam sembari kembali menelepon Arumi, hingga akhirnya panggilannya pun diangkat."Halo, Ar. Kamu di mana?" tanya Nizam dengan cepat."Aku mau pergi, tidak usah mencariku lagi.""Ar, kamu sekarang di mana? Aku akan menyusul kamu, kita ke Jakarta sama-sama," ucap Nizam dengan yakin."..." Namun tak terdengar jawaban dari Arumi.Hingga suara seseorang yang menyebut tentang bus pun terdengar di dalam panggilan tersebut. "Kamu di terminal kan? Aku ke sana, tunggu aku," ucap Nizam, lalu mematikan panggilan tersebut.Tanpa berpikir panjang, dengan cepat Nizam membawa motor maticnya meninggalkan rumah Arumi. Nizam pun membawa motornya ke arah terminal satu-satunya di kota itu. Hingga akhirnya ...Ciiit! Nizam mengerem mendadak ketika menghindari seorang anak kecil yang sedang membawa sepedah.Brakk!"Akh!" Nizam terlempar ke aspal selama beberapa saat."Maaf Mas, maaf, kamu ndak apa-apa?" ucap seorang laki-laki yang entah dari mana.Nizam pun langsung membuka helmnya dan menggeleng-gelengkan kepalanya karena merasa pusing. "Tidak, hanya ... akh!" Ia meringis merasakan kepalanya berdenyut.'Aku harus ke terminal sekarang,' batin Nizam sembari memijat kepalanya yang masih terasa berdenyut.* Di tempat lain, saat ini Arumi terus menatap ke arah pintu masuk area terminal. Entah kenapa, tiba-tiba saja ia mempunyai keinginan untuk bisa melihat Nizam sebelum ia pergi."Aku rasa dia tidak akan datang Ar," ucap Nita yang saat ini sedang berdiri di dekat Arumi.Arumi pun langsung tersenyum pahit mendengar hal itu. "Kamu benar Nit, bisnya juga sudah hampir penuh," sahut Arumi, lalu menghela napas dalam-dalam."Aku akan menunggunya sampai dia datang dan bilang—""Tidak perlu," potong Arumi. "Kamu pulang saja setelah aku pergi Nit, terima kasih," ujarnya sembari memeluk sahabatnya itu dengan hangat."Iya Ar." Di sisi lain, saat ini terlihat seorang pemuda dan dua orang laki-laki di belakangnya sedang mengawasi Arumi dan Nita dari kejauhan."Tuan muda, apa kita perlu membatalkan jadwal bus in—""Tidak. Kalian ikuti saja dia sampai ke Jakarta!" titah pemuda tersebut dengan santai sembari membuka kaca mata hitamnya."Baik," sahut kedua orang tersebut yang kemudian dengan cepat berlari ke arah bus yang akan dikendarai Arumi."Arumi ... Arumi, enak saja kamu bilang kita impas. Kamu masih punya hutang padaku," ucap pemuda tersebut sembari menatap ke arah Arumi yang saat ini berjalan mendekati bus.Namun, tiba-tiba saja ...."Ar!" teriak seseorang dari kejauhan.Teriakan tersebut membuat Arumi, Nita, sekaligus pemuda yang ingin melindungi Arumi itu pun menoleh."Arumi!""Ayo Mbak naik apa tidak? "Tanya kernet bus yang sudah menatap Arumi dengan tajam karena sudah terlalu lama menunggu."Iya-iya Pak, sebentar," ucap Arumi sembari meletakkan satu kakinya di pintu bis."Nit, aku pergi dulu, kamu tolong urusin anak buahnya Ibuk," ucap Arumi sembari menatap ke arah wanita yang saat ini sedang melambaikan tangan pada Arumi dan berlari ke arah mereka."Ya," sahut Nita sembari menganggukkan kepalanya dengan cepat.Ahirnya Arumi pun masuk ke dalam bis. Dan sesaat kemudian, bis tersebut pun langsung berangkat meninggalkan terminal itu."Ck," decak wanita yang kini sudah berada di dekat Nita dengan ekspresi kesal. "Ke mana dia pergi?" tanya wanita bercelana hot pants dan jaket berbulu tersebut pada Nita yang saat ini masih memandangi pintu masuk terminal."Nggak tahu, ke Malaysia mungkin," jawab Nita dengan ketus. Setelah itu Nita pun melangkah meninggalkan wanita dengan pakaian memalukan karena mempertontonkan lemak-lemak di tubuhnya itu."Hei, jawab yang ben
"Kamu siapa?" tanya laki-laki yang diperkirakan Arumi berusia sekitar 40 tahunan itu."Saya Arumi anak dari Susmi—" Seketika kalimat Arumi terhenti ketika tiba-tiba saja laki-laki di hadapannya itu menarik lengannya dan berjalan menjauh dari depan rumah tadi."Kamu anaknya Susmiati?" tanya laki-laki tersebut."Benar, jadi sampean ini benar ayah saya?" tanya Arumi yang sebenarnya sendikit ragu dengan pertanyaannya ini."Ibumu yang menyuruhmu ke sini?" tanya Arifin dengan gusar.Arumi tercenung mendapati hal ini. Terlihat jelas kalau Ayahnya itu tak senang dengan kedatangannya.Sesaat kemudian Arifin pun langsung merogoh saku celananya dan mengambil dompet kulit imitasinya. "Ini, ambil uang ini dan ini nomer Ayah. Kamu cari makan atau tempat tinggal dan nanti hubungi Ayah, mengerti?" ujarnya dengan cepat sembari memberikan beberapa uang berwarna merah dan biru ke tangan Arumi.Belum sempat Arumi mengucap sepatah kata, tapi laki-laki yang berstatus sebagai ayahnya itu sudah pergi meningg
"Dia katanya ayahnya," jawab orang yang ada di luar kamar tersebut."Kamu punya ayah, Ar?" tanya Cheri tiba-tiba. "Eh, maksudku, ayahmu di dekat sini tinggalnya?"Arumi pun langsung berdiri dan menjawab, "Nanti aku ceritakan, apa kamu mau ikut aku menemui dia?"Dengan sifat Cheri yang suka penasaran, ia pun langsung berdiri dan menunjukkan dua jempolnya pada Arumi sembari tersenyum lebar.Alhasil, mereka berdua pun melangkah bersama untuk bertemu dengan laki-laki yang hampir memasuki usia paruh baya tersebut. Beberapa menit berlalu, kini Arumi dan Cheri sampai di teras bangunan paling luar kos-kosan tersebut. "Ar, apa itu ayahmu?" bisik Cheri karena merasa aneh melihat laki-laki yang terlihat cukup muda untuk memiliki anak seusia Arumi."Tentu saja dia ayahku, siapa lagi," sahut Arumi dengan suara yang cukup keras. Ia memang sengaja melakukan hal itu agar Arifin, ayahnya, menoleh pada dirinya.Mata Cheri langsung terbelalak mendengar hal itu. Langkahnya sempat terhent
Setengah jam berlalu, Arumi yang baru saja bangun dari pingsannyaa pun langsung memijat-mijat keningnya karena pusing."Ar," panggil Cheri yang saat ini ada di sampingnya dengan lembut."Ini di kamar?" tanya Arumi sembari bangun sembari memijat-mijat pelipisnya."Iya, kita di kamar. Tadi kamu pingsan," terang Cheri sembari mengambilkan air minum untuk Arumi."Apa tadi dia menolongku?"Gerakan tangan Cheri terhenti sejenak ketika menyadari kalau Arumi sedang menanyakan tentang Arifin."Dia siapa? Kamu itu jang—""Ayahku. Apa dia tadi menolongku saat aku pingsan?" tanya Arumi sekali lagi.Masih teringat jelas saat Arumi baru saja pingsan, Arifin hanya menoleh dan berkata 'Dasar anak yang menyusahkan, memang harusnya dia itu mati sebelum lahir'. "Dia tidak menolongku 'kan?" desak Arumi karena Cheri tak segera menjawab pertanyaanya.'Dia pasti kecewa karena hal ini, tapi setidaknya dia tidak akan sakit hati karena tidak perlu mendengar mulut busuk ayahnya,' batin Cheri semb
Cheri dan Arumi sama-sama meringis ketika melihat pemuda yang memberika mereka brosur saat ini terjatuh dari motor yang baru saja menjemputnya."Mas, tidak apa-apa?" teriak Arumi sembari ingin melangkah ke arah pemuda yang saat ini sedang berusaha bangun dari tempat terjatuhnya tadi."Tidak apa-apa," jawab Pemuda tersebut sembari melambaikan tangannya, tanda menolak bantuan.Tak lama kemudian pemuda tersebut dengan cepat bangun dan terlihat tergesa-gesa naik ke motor yang menjemputnya tadi."Apa dia mabuk," komentar Cheri saat melihat tingkah aneh pemuda tersebut."Tidak mungkin," tukas Arumi. "Kamu lihat sendiri dia tadi baik-baik saja. Aku pikir dia itu takut pada kita," lanjutnya."Hah?" Cheri menoleh ke arah Arumi. "Kamu pikir kita ini setan?"Pertanyaan konyol tersebut langsung membuat Arumi mengerutkan dahinya."Tidak mirip sih," kelakar Arumi sembari menundukkan kepalanya sembari mengamati kakinya yang menapat tanah.Langsung saja Cheri terkekeh mendengar candaan Arum
Saat ini, di kost tempat Arumi dan Cheri tinggal, terlihat dua gadis tersebut sedang sibuk dengan makanan yang ada di hadapan mereka."Kamu nanti berangkat jam berapa?" tanya Arumi sembari melirik ke arah Cheri yang baru saja menyendok makanan masuk ke dalam mulutnya."Aku berangkat sebentar lagi. Sebelum masuk kelas, aku ingin ke perpustakaan dulu," jawab Cheri dengan santai setelah lahap mengunyah makanannya.Arumi pun manggut-manggut mendengar jawaban Cheri yang diucapkan tanpa melirik ke arahnya. Teman sekamaranya itu terlihat tak bisa teralihkan dari menu masakan buatannya."Kalau kamu, nanti jam berapa kamu mulai bekerja, Ar?" tanya Cheri tanpa melirik sedikit pun ke arah Arumi."Nanti paling jam sembilan. Nanti sebelum berangkat, aku akan cuci baju dan membuang sampah dulu," terang Arumi sembari mengisi gelas kosong miliknya dengan air galon yang mereka beli patungan.Tiba-tiba saja Cherry menghentikan gerakannya, hingga membuat suara dentingan yang cukup mengage
Arumi pun menatap tajam laki-laki yang ia tahu dengan jelas adalah salah satu anak buah Satria yang waktu itu sempat berkelahi dengannya saat pertama kali bertemu dengan Satria, si suami netizen itu."Nona, saya mendapat perintah dar—" Kalimat laki-laki tersebut langsung terhenti ketika tiba-tiba saja Arumi menarik tangan laki-laki tersebut dan membawanya keluar dari area itu.'Aku tidak tahu apakah dia sudah mendapat izin dari ibu kos atau belum. Tapi aku lebih baik tidak memilih resiko,' pikir Vivian karena sudah jelas kalau kos tersebut tidak boleh dimasuki oleh laki-laki.Setelah menarik tangan laki-laki tersebut selama beberapa menit, akhirnya Arumi dan anak buah Satria itu pun sampai di tempat paling luar kos-kosan tersebut. "Sekarang katakan, apa?" tanya Arumi sembari melepaskan tangan laki-laki tersebut."Maaf Nona, Tuan Satria ingin Anda mengangkat panggilannya. Jika tidak, Anda harus menanggung konsekuensinya," ujar laki-laki di depan Arumi itu dengan nada dingin.
"Tunggu sebentar," sahut Arumi sembari sedikit bangun dari kursinya dan kemudian menepuk pundak Pak Taufik."Ya?" Pak Taufik bereaksi."Maaf, apa saya bisa bicara sebentar dengan Anda?" tanya Arumi dengan sopan.Pak Taufik yang sedari tadi mengawasi semua hal dari kaca yang ada di depannya pun langsung kembali menatap ke arah kaca tersebut untuk memastikan reaksi Satria. "Baik Nona," jawab Pak Taufik setelah memastikan ekspresi wajah Satria yang terlihat baik-baik saja. Setelah itu mereka berdua pun keluar dari dalam mobil dan meninggalkan Satria sendirian di dalam sana."Pak, mohon maaf dan tolong jawab dengan jujur. Apa Dia itu sedikit …." Arumi menggunakan jari telunjuknya untuk membentuk garis miring di keningnya.'Sangat wajar kalau dia menganggap Tuan Muda memiliki penyakit jiwa,' pikir Pak Taufik yang juga sempat terkejut dengan ucapan Satria tadi."Tidak Nona," jawabnya dengan tenang."Apa dia pecandu?"'Ya, dia pasti pecandu dan sedang memakai,' pikir Vivian sembari memaink
Sesaat kemudian pintu yang baru saja diketuk oleh Arumi tersebut pun terbuka. Ia menatap seorang laki-laki yang keluar dari sana."Loh, bukannya kamu sedang keluar negeri?" tanya Arumi sambil menatap kekasihnya tersebut menggunakan kaos oblong dan celana pendek biasa."Sejak kapan kamu menjadi dekat dengan Aris?" tanya Satria yang terdengar seperti sedang mengintrogasi.Arumi langsung memutar bola matanya. Ia sudah sangat terbiasa dengan kecemburuan Satria yang agak berlebihan."Istrinya tidak senang saat mendengar kamu mengajaknya liburan, kamu mengerti?" Satria berdalih agar Arumi tak marah karena dia cemburu lagi.Mata Arumi membola. "Dia punya istri?"Sesaat kemudian terlihat Aris keluar lewat pintu lain."Ris, kamu punya istri?" tanya Arumi langsung.Aris pun tersenyum canggung. Dia tadi mendengar dengan jelas kebohongan apa yang Satria katatakan. "Iya Nyonya," jawabnya."Lah, harusnya kamu ajak juga istri kamu, jadi kita bisa liburan bersama," ucap Arumi sembari t
Tiga bulan berlalu. Perlahan perasaan Arumi mulai membaik, walaupun terkadang ia masih suka melamun dan tiba-tiba menangis sendiri ketika teringat dengan putri kecilnya."Hayo … ngelamun lagi," ucap Nita yang baru saja datang ke taman kecil samping cafe. Ia kemudian dengan santai duduk di samping Arumi yang sedari tadi terus menghadap bunga."Apa ada pesanan lagi?" tanya Arumi sembari mengusap air matanya."Tidak ada, semuanya sudah beres," jawab Nita. "Kamu ingat dengan Syahila lagi?" tanyanya.Arumi menghela napas panjang. "Ya … mau bagaimana lagi. Tadi malam aku mimpi gendong dia," jawabnya."Ar, kamu pasti tahu aku mau ngomong apa. Jadi aku nggak akan ngomong itu lagi, soalnya kata-kata mutiaraku udah habis buat menghibur kamu." Nita berseloroh.Arumi pun menoleh sembari tersenyum kecil. "Iya … aku nggak akan sedih lagi. Ini sudah tiga bulan lebih 'kan?" Ia menirukan ucapan Nita ketika terakhir kali menghiburnya."Nah, gitu baru bener," sahut Nita sembari mencubit ge
Beberapa menit berlalu, saat ini Satria, Abi dan Arumi pun sampai di lantai paling atas tempat di mana Rena berada."Syahila," panggil Arumi karena mendengar putri kecilnya itu sedang menangis kencang."Ren, berikan bayinya," ucap Abi sembari mencoba melangkah ke arah Rena, tetapi langsung berhenti ketika Rena mengangkat tangannya, memberi tanda agar dia berhenti."Aku berubah pikiran," ucap Rena."Berubah pikiran apa, kami sudah membawa Abi ke sini," sahut Satria dengan tangan yang mengepal kuat.Rena pun mengganti pandangannya pada Satria. "Sat, kamu seharusnya tidak ikut campur dalam urusan rumah tanggaku ini. Aku beri kamu kesempatan untuk pergi dari sini, aku hitung sampai tiga. Satu … dua ti—""Aku tidak akan ke mana pun. Serahkan bayinya dan kamu bisa pergi dengan Abi ke mana pun yang kamu mau," tukas Satria."Kenapa kamu selalu bertingkah dominan? Di sini aku bosnya, bukan kamu!" teriak Rena.Sesaat kemudian tangisan Syahila terdengar makin kencang."Mbak, tolong beri
Setelah beberapa menit, akhirnya Arumi pun selesai menyusui Syahila. Tangannya mengepal kuat memikirkan apa alasan yang bisa ia gunakan untuk mengulur waktu."Sudah selesai, Nyonya?" tanya baby sitter yang baru saja masuk ke dalam kamar itu.Arumi pun langsung menoleh. "Sudah," jawabnya.Kemudian baby sitter itu pun mendekat ke arah Arumi. "Saya ditugaskan oleh Tuan Abi untuk membantu Anda berkemas," ujarnya.Sesaat kemudian Arumi pun mengangguk. "Tapi aku ingin ke kamar mandi dulu, tidak apa-apa kan? Soalnya perutku seperti melilit ini," ujarnya sembari berakting meringis menahan sakit."Iya Nyonya, tidak apa-apa. Saya akan mengatakan ini pada Tuan," jawab baby sitter sembari mengambil alih Syahila.'Sayang, kita bertahan dulu ya,' batin Arumi sembari menatap ke arah bayi mungilnya yang sedang tertidur lelap.Dan kemudian ia pun segera melangkah mencari kamar mandi di kamar itu. Sepuluh menit berlalu, saat ini Arumi terus berada di dalam kamar mandi dan duduk
Kemudian Arumi beralih menatap orang tersebut. "Apa maksudnya ini? Kenapa kamu mencelakai dia?" tanyanya."Semua ini atas perintah Tuan," jawab orang tersebut dengan ekspresi dingin.Sementara itu Rasyid pun kembali terbatuk-batuk."Lalu?" Arumi bertanya kembali sembari menatap orang yang ada di depannya itu dengan tak kalah tajam.Sesaat kemudian, orang di depan Arumi yang memiliki paras cantik seperti perempuan tetapi bersuara gahar khas lelaki itu pun mengeluarkan sebuah botol dari dalam jasnya dan kemudian memberikannya pada Rasyid.Secepat kilat Rasyid menyambar botol tersebut dan langsung menenggak isinya. 'Apa-apaan ini?' batin Arumi yang makin terkejut melihat apa yang terjadi."Aku pikir kamu sudah berpindah haluan," seloroh orang tersebut sembari menengadahkan tangannya.Beberapa esaat kemudian, Rasyid yang tadi membungkukkan tubuhnya saat menahan sakit kini kembali berdiri tegap. "Belum waktunya kamu bicara seperti itu," pungkasnya sembari memberikan kembali botol obat pe
Satu jam lebih berlalu. Saat ini Arumi sedang berdiri di dekat sebuah perempatan yang ramai dengan kendaraan berlalu lalang."Di mana …," gumam Arumi sembari menatap ke arah jam tangan yang diberikan oleh Satria. Kakinya menghentak-hentak kecil karena tidak sabar menunggu."Bagaimana kalau Syahila lapar," gumam Arumi lagi yang merasakan payudaranya penuh dan itu tandanya kalau buah hatinya itu sedang lapar. Masih teringat dengan jelas bagaimana tangisan bayi kecil itu di telepon tadi.Tak lama kemudian terlihat sebuah mobil berwarna hitam mendekat ke arahnya. Dan setelah mengamati selama beberapa saat, terlihat seorang laki-laki turun dari mobil tersebut."Kenapa kamu lama sekali," gerutu Arumi karena melihat itu adalah Rasyid yang menjemputnya.Setelah itu Arumi pun segera masuk ke dalam mobil tersebut tanpa basa-basi. "Ayo cepat kita pergi," ucapnya ketika Rasyid juga sudah masuk ke dalam mobil tersebut."Apa Anda benar-benar sendirian?" tanya Rasyid sembari menekan pedal g
Satu jam berlalu. Saat ini Satria, Arumi dan Rena sudah berada di halaman rumah sakit. Terlihat para anak buah Satria sudah berjaga di berbagai sudut rumah sakit. Dan ketika baru saja turun dari mobil, Arumi pun memaksa dirinya untuk berjalan dengan cepat ke arah pintu masuk rumah sakit."Syahila, di mana kamu," ucap Arumi sembari terus melangkah. Kalau bisa, ia ingin berlari dan mengobrak-abrik seluruh gedung tersebut untuk mencari buah hatinya. Namun, ia sangat sadar dengan kemampuannya yang hanya wanita biasa dan baru melahirkan."Aris, bawa dia ke ruangan Arumi!" titah Satria sembari mendorong Rena ke arah Aris.Aris pun dengan sigap menangkap Rena dan membawanya mengikuti Satria."Lepas! Aku bisa berjalan sendiri!" sergahnya yang kemudian melangkah dengan tenang mengikuti Satria dan Arumi. Setelah sampai di lantai tempat Sahila biasanya diletakkan, Arumi pun segera masuk ke dalam ruangan tersebut. Dia mengecek sendiri tempat di mana Sahila biasanya tidur. a
Langsung saja para wartawan menyorot ke arah orang tersebut. Setelah itu ia dengan tenang membuka topi dan maskernya.Melihat hal itu mata Arumi pun membulat. "Mas, itu Rena. Bagaimana?" bisik Arumi sembari mencubit paha Satria."Kamu tenang saja. Katakan saja semua yang kamu inginkan," jawab Satria dengan suara yang tak kalah lirih.Langsung saja Arumi menoleh dan mengernyitkan dahinya. 'Apa maksudnya?' pikir Arumi sembari melihat Satria yang saat ini sedang menatap Rena dengan santai. Sesaat kemudian Satria pun ikut menoleh dan mengusap kepala Arumi dengan lembut. "Kamu tenang saja," ujarnya dengan suara normal, hingga menarik perhatian beberapa wartawan dan mereka pun langsung mengabadikan momen itu.Arumi yang menyadari hal itu pun langsung melirik ke arah para wartawan yang menyorot mereka saat ini. 'Jangan-jangan dari tadi dia sudah tahu kalau itu Rena,' batinnya."Sudah aku katakan tenang saja. Aku ada di sini, tidak ada yang perlu kamu khawatirkan," ujar Satria lagi.Langsung
Dua jam kemudian di dalam ruangan Satria. Saat ini terlihat Satria yang tengah duduk di kursi kerjanya."Apa wanita itu memang sulit ditangani, Pak? atau hanya dia saja?" tanya Satria pada Pak Taufik, setelah ia selesai mematikan panggilan dari Aris yang mengatakan kalau dirinya dan Arumi sudah berada di lantai dasar perusahaan itu.Pak Taufik pun tersenyum kecil mendengar hal itu. "Nona Arumi ingin membantu Anda, Tuan. Dan saya pikir ini juga tidak ada salahnya," jawabnya dengan bijak."Aku sengaja tidak ingin melibatkan dia karena tidak mau dia mendengar pertanyaan-pertanyaan wartawan itu," ucapnya dengan nada mengeluh."Saya yakin Nona Arumi bisa menghadapinya, dia wanita yang kuat," sahut Pak Taufik masih dengan nada bicaranya tadi.Setelah itu yang terdengar hanyalah helaan napas panjang dari bibir Satria. Setelah 15 menit merapikan penampilan dan merencanakan semuanya, akhirnya Arumi dan Satria pun berjalan dengan tenang ke arah ruang konferensi pers yan