Arumi pun bergegas pergi ke arah sumber suara tersebut sambil berkata, "Aku tid—"
Namun suarannya langsung tercekat ketika tahu siapa orang yang ada di dalam ruangan yang baru saja diinjaknya."Ar," panggil laki-laki yang ada di dalam ruangan tersebut ketika melihat Arumi.Sadar dengan laki-laki yang sedang menatapnya, kemudian Arumi pun menoleh ke arah wanita paruh baya yang sedang merokok dengan santai di ruangan itu. "Buk, apa yang Ibuk rundingkan tadi dengan Mas Nizam? Seratus juta apa?" tanyanya meminta kejelasan."Dia mau menikahimu," jawab wanita paruh baya tersebut. "Aku memberi dia syarat seratus juta kalau mau membawamu pergi, tapi sepertinya dia keberatan.""Dia sudah benar kalau tidak mau menikahiku," debat Arumi lalu kembali menoleh ke arah laki-laki yang sudah menjadi kekasihnya selama setahun ini."Tunggu Ar, aku bukan tidak mau menikahimu," sanggah Nizam sambil berdiri dari kursinya."Sudahlah Mas, ibumu sudah mengatakan semuanya," pungkas Arumi.Nizam tersentak mendengar hal itu."Kaget?" tanya Arumi dengan sinis."Tunggu Ar, aku bisa jelaskan semuanya," ucap Nizam sambil melangkah ke arah Arumi.Lalu Arumi pun tersenyum remeh. Dan dengan tangan bersedekap dia berkata, "Kamu punya waktu satu menit untuk menjelaskan."'Berapa kali aku harus kecewa karena dia. Tanpa masalah dari dia, masalahku yang lainnya pun sudah banyak. Aku tidak perlu disumbang masalah lagi, dari dia ataupun orang tuanya,' batin Arumi yang tadi sudah mendengar tentang hubungan yang sebenarnya antara Nizam dan wanita yang tadi pagi menamparnya."Aku ...." Nizam terlihat kebingungan."Habis waktumu," tandas Arumi sambil menatap ke arah jam dinding seolah ia benar-benar menghitung waktu yang diberikan olehnya, padahal tidak sama sekali."Ar, tolong berikan aku waktu. Aku akan membatalkan pernikahanku dengan Kaila. Aku janji," ujar Nizam sambil mencoba mengambil tangan Arumi yang sudah tak jauh darinya.Langsung saja Arumi menghindar. "Mas, katakan padaku. Sejak kapan kamu mengenal wanita bernama Kaila itu?"Nizam menatap ke arah lain, dari ekspresi wajahnya terlihat jelas kalau dia masih kesulitan menjawab pertanyaan Arumi ini."Nggak bisa jaw—""Aku kenal dia sejak lima tahun lalu," potong Nizam. "Tapi baru tiga bulan ini tiba-tiba ibuku menjodohkan kami," imbuhnya."Kamu sudah bertunangan dengan dia kan?" tanya Arumi yang meminta kejelasan tentang hal ini, walaupun sebenarnya ia sudah mendengar hal ini dari ibu kekasihnya yang tadi siang meneleponnya dan mengatakan beberapa hal tentang hubungan Nizam dan wanita yang bernama Kaila tersebut.Sekali lagi gaya yang sama ditunjukkan oleh Nizam ketika Arumi meminta penjelasan."Jadi benar, kamu dan dia—""Ar, sebulan yang lalu Ibuk sakit, dan aku tidak bisa menolak pertunangan ini. Kamu harus mengerti posisiku saat itu.""Harus?" Senyuman remeh langsung muncul dari bibir Arumi. "Kalau aku mengerti kamu, lalu yang mengerti aku ini siapa, ha? Siapa?"Air mata sudah mengambang di pelupuk mata Arumi, tapi ia tetap mencoba untuk terlihat tegar."Kamu memposisikan aku sebagai perusak hubungan orang Mas! Apa ini lucu?" raungnya. "Kalau tahu seperti ini kenyataannya, harusnya yang kutampar tadi pagi bukan dia, tapi kamu," ucap Arumi sembari menunjuk tepat ke arah wajah Nizam."Ar, aku mohon tenanglah! Aku akan segera membatalkan semuanya demi kamu, tenanglah." Nizam merendah."Sekarang kita sudah tidak ada hubungan apa pun. Kamu silahkan pergi Mas, aku capek habis kerja," usir Arumi dengan sopan sambil menunjuk ke arah pintu masuk rumah itu."Ar," panggil Nizam sambil sekali lagi ingin mencoba meraih tangan Arumi."Keluar!" teriak Arumi tiba-tiba.Sontak saja Nizam yang terkejut pun dengan cepat meninggalkan rumah ini setelah berpamitan pada Ibuku yang sedari tadi masih memperhatikan pertengkaran kami berdua dengan santai sambil menghisap rokok di tangannya."Hah," desah Arumi sambil mendaratkan pantatnya di sofa setelah kepergian Nizam."Selesai?" tanya Ibuk sambil menatapku dengan ekspresi datar.Sedangkan aku langsung menatap tajam ke arah Ibukku yang merupakan pemilik tempat remang-remang terbesar di wilayah wajib kontrasepsi ini. "Apanya yang selesai? Buk, tadi laki-laki itu menemuiku," ujarnya memulai pembicaraan."Ya, jadi kamu sudah tahu," gumam Ibuk."Tahu, terus?""Ibuk terpaksa memberikan kamu karena orang yang membawanya minta perawan," terang Ibuk. "Kamu kan tahu sendiri kalau di sini mana ada yang namanya perawan," imbuhnya.Helaan napas panjang pun keluar dari bibir Arumi. Ingin sekali dia berteriak pada Ibunya, tapi apa gunanya sekarang? Lagipula tubuhnya sudah sangat capek menghadapi rentetan masalah hari ini."Sudahlah Buk, terserah Ibuk saja bagaimana berpikirnya. Yang jelas aku harap Ibuk tidak mendapat karma karena hal ini, aku—""Kamu menyumpahi Ibuk?" Mata Ibuk melotot."Tentu saja," sahut Arumi sembari bangun dari kursi yang didudukinya. "Memangnya jika Ibuk jadi aku, Ibuk akan senang diperlakukan seperti ini?"Sesaat Arumi menatap ke arah Ibunya dengan tajam. Dan tak menunggu lama, kemudian ia pun melangkah meninggalkan ruang tamu tersebut tanpa menunggu jawaban dari wanita yang melahirkannya ke dunia itu. Setelah beberapa saat melangkah, akhirnya ia pun masuk kembali ke dalam kamarnya. Ia merebahkan tubuhnya di atas ranjang yang ditempatinya sejak kecil."Huff ...," Arumi menghembus napas panjang ketika merasakan pikirannya buntu. Air matanya pun kembali menetes, ingin rasanya ia berteriak sekeras mungkin untuk melampiaskan perasaannya yang tertekan karena harus terbelenggu dalam keadaan menyedihkan yang seolah tak ada habisnya."Kenapa hidup sangat sulit, padahal aku nggak minta yang muluk-muluk. Aku hanya ingin hidup tenang, bekerja di toko Nita sampai punya uang banyak, lalu pergi dari tempat ini. Cuma itu saja, kenapa sulit sekali?" keluh Arumi sembari mengangkat tangannya ke arah langit-langit kamar yang saat ini dipandanginya.Hingga ....Tok-tok-tok!"Ar!" Suara ibu Arumi mengagetkannya."Kenapa lagi toh," gerutu Arumi sembari bangun dari ranjangnya."Ar!""Apa?" sahut Arumi dengan kasar sembari membuka pintu kamar tersebut.Namun ketika pintu baru saja terbuka, tiba-tiba Ibuk dengan cepat menarik tangan Arumi dan mendorongnya ke arah dapur."Ada apa toh, Buk?" tanya Arumi yang merasa bingung."Dengar, bawa uang ini dan pergi dari sini lewat belakang," ujar Ibuk sembari memberikan sebuah tas kecil yang terlihat cukup berisi pada Arumi."Ada apa?" tanya Arumi lagi yang makin penasaran dengan tingkah ibunya."Sudah, pokoknya jangan kembali sebelum besok! Ngerti?"Arumi pun langsung mengerutkan dahinya mendengar hal itu. Namun belum sempat ia bertanya lagi, ibunya sudah mendorongnya keluar dari pintu dapur dan kemudian mengunci pintu tersebut."Ada apa sih," gumamnya yang kemudian melangkah ke arah samping dan ingin mencari tahu apa yang sedang terjadi di depan rumahnya, sehingga membuat Ibunya mengeluarkan dirinya lewat pintu belakang.Namun baru beberapa saat ia melangkah, tiba-tiba terdengar keributan serta sirine mobil polisi yang terdengar di kejauhan. Akhirnya Arumi pun mengurungkan langkahnya dan segera berbalik meninggalkan kawasan itu dengan memanjat dinding pembatas kawasan tersebut seperti yang diperintahkan oleh Ibunya.Brugh!"Issh," desis Arumi yang baru saja terjatuh keluar pagar. "Siapa toh yang bikin pagar tinggi begini," gerutu Arumi sembari bangun dari tanah tempatnya terjatuh.Ia kemudian bergegas meninggalkan tempat tersebut walaupun langkahnya kini harus tertatih karena kakinya yang terluka. "Ck, harus ke jalan besar, bisa bahaya kalau mereka nyari sampai sini," gumam Arumi sembari terus melangkah.Namun ketika baru sampai di jalan raya, tiba-tiba saja ....Ciiit! Suara rem motor yang diinjak dengan tiba-tiba pun menggema di sekitar jalanan yang sudah tak begitu ramai tersebut.Brugh!"Akh!" pekik Arumi yang kini terduduk di aspal. "Aku hidup," gumamnya sembari membuka mata ketika merasakan tidak ada yang salah dengan dirinya."Kamu cari mati!" teriak pengendara motor yang kini melangkah ke arah Arumi sembari membuka helmnya.Seketika mata Arumi membulat ketika melihat wajah si pengendara motor tersebut. "Kamu lagi," ucapnya."Kamu gadis yang kemarin malam kan?"'Kenapa harus dia lagi,' gerutu Arumi di dalam hati sembari mengangkat telunjuknya ke arah Satria yang saat ini sedang menatap tajam ke arahnya.Tiba-tiba ...."Itu dia!" teriak seseorang dari kejauhan.Langsung saja Arumi menarik tangan pemuda di depannya itu. "Ayo!"Setelah lebih dari lima menit meninggalkan tempat tadi dengan penuh ketegangan, akhirnya Satria yang saat ini sedang membonceng Arumi pun mulai bersuara."Ada apa ini sebenarnya?" tanya Satria sembari melirik kaca spion motor sportnya."Nanti aku ceritakan, yang penting sekarang kita ke warung kopi yang aku tunjukan dulu," jawab Arumi sembari berpegangan erat pada pinggang Satria karena Satria membawa motornya cukup kencang.Setelah itu Arumi pun menunjukkan jalan ke tempat yang ia katakan. Dan entah kenapa, tanpa protes Satria mendengarkan setiap perkataan Arumi tanpa tahu dengan pasti ke mana ia dan Arumi akan pergi."Di depan berhenti," ucap Arumi setelah lebih dari sepuluh menit berada di boncengan Satria.Satria pun mengikuti perkataan Arumi dan memarkirkan motornya di halaman sebuah warung kopi yang terlihat cukup ramai pelanggan itu."Ayo!" ajak Arumi sembari menarik tangan Satria seperti yang ia lakukan sebelumnya."Katakan dengan benar, apa yang sebenarnya terjad
Shhht! Arumi menggunakan kemoceng andalannya untuk menepis tangan wanita yang saat ini hampir berhasil menamparnya."Akh!" pekik wanita tersebut sembari mengibas-ngibaskan tangannya yang tentu saja terasa ngilu akibat terkena kemoceng Arumi."Rasakan!" teriak Nita yang saat ini sedang duduk menikmati adegan tersebut dari teras tokonya. "Ayo Ar, pukul sampek gosong. Jangan kasih ampun!" teriaknya memberi semangat.Langsung saja Arumi tersenyum menyeringai mendengar kalimat penyemangat tersebut.Namun, berbeda dengan Arumi yang termotivasi, wanita di depan Arumi justru terlihat kebingungan. Ia pun mundur beberapa langkah ketika Arumi masih dengan senyum menyeringainya berjalan maju selangkah demi selangkah ke arahnya.'Cara ini emang paling ampuh,' batin Arumi yang memang selalu menggunakan cara seperti itu untuk menakuti teman-temannya yang sering membully dirinya sejak SMP, hingga akhirnya hal itu membuat anak sebayanya tak ada yang berani melawannya dan membuatnya terkenal sebagai mu
"Ayo Mbak naik apa tidak? "Tanya kernet bus yang sudah menatap Arumi dengan tajam karena sudah terlalu lama menunggu."Iya-iya Pak, sebentar," ucap Arumi sembari meletakkan satu kakinya di pintu bis."Nit, aku pergi dulu, kamu tolong urusin anak buahnya Ibuk," ucap Arumi sembari menatap ke arah wanita yang saat ini sedang melambaikan tangan pada Arumi dan berlari ke arah mereka."Ya," sahut Nita sembari menganggukkan kepalanya dengan cepat.Ahirnya Arumi pun masuk ke dalam bis. Dan sesaat kemudian, bis tersebut pun langsung berangkat meninggalkan terminal itu."Ck," decak wanita yang kini sudah berada di dekat Nita dengan ekspresi kesal. "Ke mana dia pergi?" tanya wanita bercelana hot pants dan jaket berbulu tersebut pada Nita yang saat ini masih memandangi pintu masuk terminal."Nggak tahu, ke Malaysia mungkin," jawab Nita dengan ketus. Setelah itu Nita pun melangkah meninggalkan wanita dengan pakaian memalukan karena mempertontonkan lemak-lemak di tubuhnya itu."Hei, jawab yang ben
"Kamu siapa?" tanya laki-laki yang diperkirakan Arumi berusia sekitar 40 tahunan itu."Saya Arumi anak dari Susmi—" Seketika kalimat Arumi terhenti ketika tiba-tiba saja laki-laki di hadapannya itu menarik lengannya dan berjalan menjauh dari depan rumah tadi."Kamu anaknya Susmiati?" tanya laki-laki tersebut."Benar, jadi sampean ini benar ayah saya?" tanya Arumi yang sebenarnya sendikit ragu dengan pertanyaannya ini."Ibumu yang menyuruhmu ke sini?" tanya Arifin dengan gusar.Arumi tercenung mendapati hal ini. Terlihat jelas kalau Ayahnya itu tak senang dengan kedatangannya.Sesaat kemudian Arifin pun langsung merogoh saku celananya dan mengambil dompet kulit imitasinya. "Ini, ambil uang ini dan ini nomer Ayah. Kamu cari makan atau tempat tinggal dan nanti hubungi Ayah, mengerti?" ujarnya dengan cepat sembari memberikan beberapa uang berwarna merah dan biru ke tangan Arumi.Belum sempat Arumi mengucap sepatah kata, tapi laki-laki yang berstatus sebagai ayahnya itu sudah pergi meningg
"Dia katanya ayahnya," jawab orang yang ada di luar kamar tersebut."Kamu punya ayah, Ar?" tanya Cheri tiba-tiba. "Eh, maksudku, ayahmu di dekat sini tinggalnya?"Arumi pun langsung berdiri dan menjawab, "Nanti aku ceritakan, apa kamu mau ikut aku menemui dia?"Dengan sifat Cheri yang suka penasaran, ia pun langsung berdiri dan menunjukkan dua jempolnya pada Arumi sembari tersenyum lebar.Alhasil, mereka berdua pun melangkah bersama untuk bertemu dengan laki-laki yang hampir memasuki usia paruh baya tersebut. Beberapa menit berlalu, kini Arumi dan Cheri sampai di teras bangunan paling luar kos-kosan tersebut. "Ar, apa itu ayahmu?" bisik Cheri karena merasa aneh melihat laki-laki yang terlihat cukup muda untuk memiliki anak seusia Arumi."Tentu saja dia ayahku, siapa lagi," sahut Arumi dengan suara yang cukup keras. Ia memang sengaja melakukan hal itu agar Arifin, ayahnya, menoleh pada dirinya.Mata Cheri langsung terbelalak mendengar hal itu. Langkahnya sempat terhent
Setengah jam berlalu, Arumi yang baru saja bangun dari pingsannyaa pun langsung memijat-mijat keningnya karena pusing."Ar," panggil Cheri yang saat ini ada di sampingnya dengan lembut."Ini di kamar?" tanya Arumi sembari bangun sembari memijat-mijat pelipisnya."Iya, kita di kamar. Tadi kamu pingsan," terang Cheri sembari mengambilkan air minum untuk Arumi."Apa tadi dia menolongku?"Gerakan tangan Cheri terhenti sejenak ketika menyadari kalau Arumi sedang menanyakan tentang Arifin."Dia siapa? Kamu itu jang—""Ayahku. Apa dia tadi menolongku saat aku pingsan?" tanya Arumi sekali lagi.Masih teringat jelas saat Arumi baru saja pingsan, Arifin hanya menoleh dan berkata 'Dasar anak yang menyusahkan, memang harusnya dia itu mati sebelum lahir'. "Dia tidak menolongku 'kan?" desak Arumi karena Cheri tak segera menjawab pertanyaanya.'Dia pasti kecewa karena hal ini, tapi setidaknya dia tidak akan sakit hati karena tidak perlu mendengar mulut busuk ayahnya,' batin Cheri semb
Cheri dan Arumi sama-sama meringis ketika melihat pemuda yang memberika mereka brosur saat ini terjatuh dari motor yang baru saja menjemputnya."Mas, tidak apa-apa?" teriak Arumi sembari ingin melangkah ke arah pemuda yang saat ini sedang berusaha bangun dari tempat terjatuhnya tadi."Tidak apa-apa," jawab Pemuda tersebut sembari melambaikan tangannya, tanda menolak bantuan.Tak lama kemudian pemuda tersebut dengan cepat bangun dan terlihat tergesa-gesa naik ke motor yang menjemputnya tadi."Apa dia mabuk," komentar Cheri saat melihat tingkah aneh pemuda tersebut."Tidak mungkin," tukas Arumi. "Kamu lihat sendiri dia tadi baik-baik saja. Aku pikir dia itu takut pada kita," lanjutnya."Hah?" Cheri menoleh ke arah Arumi. "Kamu pikir kita ini setan?"Pertanyaan konyol tersebut langsung membuat Arumi mengerutkan dahinya."Tidak mirip sih," kelakar Arumi sembari menundukkan kepalanya sembari mengamati kakinya yang menapat tanah.Langsung saja Cheri terkekeh mendengar candaan Arum
Saat ini, di kost tempat Arumi dan Cheri tinggal, terlihat dua gadis tersebut sedang sibuk dengan makanan yang ada di hadapan mereka."Kamu nanti berangkat jam berapa?" tanya Arumi sembari melirik ke arah Cheri yang baru saja menyendok makanan masuk ke dalam mulutnya."Aku berangkat sebentar lagi. Sebelum masuk kelas, aku ingin ke perpustakaan dulu," jawab Cheri dengan santai setelah lahap mengunyah makanannya.Arumi pun manggut-manggut mendengar jawaban Cheri yang diucapkan tanpa melirik ke arahnya. Teman sekamaranya itu terlihat tak bisa teralihkan dari menu masakan buatannya."Kalau kamu, nanti jam berapa kamu mulai bekerja, Ar?" tanya Cheri tanpa melirik sedikit pun ke arah Arumi."Nanti paling jam sembilan. Nanti sebelum berangkat, aku akan cuci baju dan membuang sampah dulu," terang Arumi sembari mengisi gelas kosong miliknya dengan air galon yang mereka beli patungan.Tiba-tiba saja Cherry menghentikan gerakannya, hingga membuat suara dentingan yang cukup mengage
Sesaat kemudian pintu yang baru saja diketuk oleh Arumi tersebut pun terbuka. Ia menatap seorang laki-laki yang keluar dari sana."Loh, bukannya kamu sedang keluar negeri?" tanya Arumi sambil menatap kekasihnya tersebut menggunakan kaos oblong dan celana pendek biasa."Sejak kapan kamu menjadi dekat dengan Aris?" tanya Satria yang terdengar seperti sedang mengintrogasi.Arumi langsung memutar bola matanya. Ia sudah sangat terbiasa dengan kecemburuan Satria yang agak berlebihan."Istrinya tidak senang saat mendengar kamu mengajaknya liburan, kamu mengerti?" Satria berdalih agar Arumi tak marah karena dia cemburu lagi.Mata Arumi membola. "Dia punya istri?"Sesaat kemudian terlihat Aris keluar lewat pintu lain."Ris, kamu punya istri?" tanya Arumi langsung.Aris pun tersenyum canggung. Dia tadi mendengar dengan jelas kebohongan apa yang Satria katatakan. "Iya Nyonya," jawabnya."Lah, harusnya kamu ajak juga istri kamu, jadi kita bisa liburan bersama," ucap Arumi sembari t
Tiga bulan berlalu. Perlahan perasaan Arumi mulai membaik, walaupun terkadang ia masih suka melamun dan tiba-tiba menangis sendiri ketika teringat dengan putri kecilnya."Hayo … ngelamun lagi," ucap Nita yang baru saja datang ke taman kecil samping cafe. Ia kemudian dengan santai duduk di samping Arumi yang sedari tadi terus menghadap bunga."Apa ada pesanan lagi?" tanya Arumi sembari mengusap air matanya."Tidak ada, semuanya sudah beres," jawab Nita. "Kamu ingat dengan Syahila lagi?" tanyanya.Arumi menghela napas panjang. "Ya … mau bagaimana lagi. Tadi malam aku mimpi gendong dia," jawabnya."Ar, kamu pasti tahu aku mau ngomong apa. Jadi aku nggak akan ngomong itu lagi, soalnya kata-kata mutiaraku udah habis buat menghibur kamu." Nita berseloroh.Arumi pun menoleh sembari tersenyum kecil. "Iya … aku nggak akan sedih lagi. Ini sudah tiga bulan lebih 'kan?" Ia menirukan ucapan Nita ketika terakhir kali menghiburnya."Nah, gitu baru bener," sahut Nita sembari mencubit ge
Beberapa menit berlalu, saat ini Satria, Abi dan Arumi pun sampai di lantai paling atas tempat di mana Rena berada."Syahila," panggil Arumi karena mendengar putri kecilnya itu sedang menangis kencang."Ren, berikan bayinya," ucap Abi sembari mencoba melangkah ke arah Rena, tetapi langsung berhenti ketika Rena mengangkat tangannya, memberi tanda agar dia berhenti."Aku berubah pikiran," ucap Rena."Berubah pikiran apa, kami sudah membawa Abi ke sini," sahut Satria dengan tangan yang mengepal kuat.Rena pun mengganti pandangannya pada Satria. "Sat, kamu seharusnya tidak ikut campur dalam urusan rumah tanggaku ini. Aku beri kamu kesempatan untuk pergi dari sini, aku hitung sampai tiga. Satu … dua ti—""Aku tidak akan ke mana pun. Serahkan bayinya dan kamu bisa pergi dengan Abi ke mana pun yang kamu mau," tukas Satria."Kenapa kamu selalu bertingkah dominan? Di sini aku bosnya, bukan kamu!" teriak Rena.Sesaat kemudian tangisan Syahila terdengar makin kencang."Mbak, tolong beri
Setelah beberapa menit, akhirnya Arumi pun selesai menyusui Syahila. Tangannya mengepal kuat memikirkan apa alasan yang bisa ia gunakan untuk mengulur waktu."Sudah selesai, Nyonya?" tanya baby sitter yang baru saja masuk ke dalam kamar itu.Arumi pun langsung menoleh. "Sudah," jawabnya.Kemudian baby sitter itu pun mendekat ke arah Arumi. "Saya ditugaskan oleh Tuan Abi untuk membantu Anda berkemas," ujarnya.Sesaat kemudian Arumi pun mengangguk. "Tapi aku ingin ke kamar mandi dulu, tidak apa-apa kan? Soalnya perutku seperti melilit ini," ujarnya sembari berakting meringis menahan sakit."Iya Nyonya, tidak apa-apa. Saya akan mengatakan ini pada Tuan," jawab baby sitter sembari mengambil alih Syahila.'Sayang, kita bertahan dulu ya,' batin Arumi sembari menatap ke arah bayi mungilnya yang sedang tertidur lelap.Dan kemudian ia pun segera melangkah mencari kamar mandi di kamar itu. Sepuluh menit berlalu, saat ini Arumi terus berada di dalam kamar mandi dan duduk
Kemudian Arumi beralih menatap orang tersebut. "Apa maksudnya ini? Kenapa kamu mencelakai dia?" tanyanya."Semua ini atas perintah Tuan," jawab orang tersebut dengan ekspresi dingin.Sementara itu Rasyid pun kembali terbatuk-batuk."Lalu?" Arumi bertanya kembali sembari menatap orang yang ada di depannya itu dengan tak kalah tajam.Sesaat kemudian, orang di depan Arumi yang memiliki paras cantik seperti perempuan tetapi bersuara gahar khas lelaki itu pun mengeluarkan sebuah botol dari dalam jasnya dan kemudian memberikannya pada Rasyid.Secepat kilat Rasyid menyambar botol tersebut dan langsung menenggak isinya. 'Apa-apaan ini?' batin Arumi yang makin terkejut melihat apa yang terjadi."Aku pikir kamu sudah berpindah haluan," seloroh orang tersebut sembari menengadahkan tangannya.Beberapa esaat kemudian, Rasyid yang tadi membungkukkan tubuhnya saat menahan sakit kini kembali berdiri tegap. "Belum waktunya kamu bicara seperti itu," pungkasnya sembari memberikan kembali botol obat pe
Satu jam lebih berlalu. Saat ini Arumi sedang berdiri di dekat sebuah perempatan yang ramai dengan kendaraan berlalu lalang."Di mana …," gumam Arumi sembari menatap ke arah jam tangan yang diberikan oleh Satria. Kakinya menghentak-hentak kecil karena tidak sabar menunggu."Bagaimana kalau Syahila lapar," gumam Arumi lagi yang merasakan payudaranya penuh dan itu tandanya kalau buah hatinya itu sedang lapar. Masih teringat dengan jelas bagaimana tangisan bayi kecil itu di telepon tadi.Tak lama kemudian terlihat sebuah mobil berwarna hitam mendekat ke arahnya. Dan setelah mengamati selama beberapa saat, terlihat seorang laki-laki turun dari mobil tersebut."Kenapa kamu lama sekali," gerutu Arumi karena melihat itu adalah Rasyid yang menjemputnya.Setelah itu Arumi pun segera masuk ke dalam mobil tersebut tanpa basa-basi. "Ayo cepat kita pergi," ucapnya ketika Rasyid juga sudah masuk ke dalam mobil tersebut."Apa Anda benar-benar sendirian?" tanya Rasyid sembari menekan pedal g
Satu jam berlalu. Saat ini Satria, Arumi dan Rena sudah berada di halaman rumah sakit. Terlihat para anak buah Satria sudah berjaga di berbagai sudut rumah sakit. Dan ketika baru saja turun dari mobil, Arumi pun memaksa dirinya untuk berjalan dengan cepat ke arah pintu masuk rumah sakit."Syahila, di mana kamu," ucap Arumi sembari terus melangkah. Kalau bisa, ia ingin berlari dan mengobrak-abrik seluruh gedung tersebut untuk mencari buah hatinya. Namun, ia sangat sadar dengan kemampuannya yang hanya wanita biasa dan baru melahirkan."Aris, bawa dia ke ruangan Arumi!" titah Satria sembari mendorong Rena ke arah Aris.Aris pun dengan sigap menangkap Rena dan membawanya mengikuti Satria."Lepas! Aku bisa berjalan sendiri!" sergahnya yang kemudian melangkah dengan tenang mengikuti Satria dan Arumi. Setelah sampai di lantai tempat Sahila biasanya diletakkan, Arumi pun segera masuk ke dalam ruangan tersebut. Dia mengecek sendiri tempat di mana Sahila biasanya tidur. a
Langsung saja para wartawan menyorot ke arah orang tersebut. Setelah itu ia dengan tenang membuka topi dan maskernya.Melihat hal itu mata Arumi pun membulat. "Mas, itu Rena. Bagaimana?" bisik Arumi sembari mencubit paha Satria."Kamu tenang saja. Katakan saja semua yang kamu inginkan," jawab Satria dengan suara yang tak kalah lirih.Langsung saja Arumi menoleh dan mengernyitkan dahinya. 'Apa maksudnya?' pikir Arumi sembari melihat Satria yang saat ini sedang menatap Rena dengan santai. Sesaat kemudian Satria pun ikut menoleh dan mengusap kepala Arumi dengan lembut. "Kamu tenang saja," ujarnya dengan suara normal, hingga menarik perhatian beberapa wartawan dan mereka pun langsung mengabadikan momen itu.Arumi yang menyadari hal itu pun langsung melirik ke arah para wartawan yang menyorot mereka saat ini. 'Jangan-jangan dari tadi dia sudah tahu kalau itu Rena,' batinnya."Sudah aku katakan tenang saja. Aku ada di sini, tidak ada yang perlu kamu khawatirkan," ujar Satria lagi.Langsung
Dua jam kemudian di dalam ruangan Satria. Saat ini terlihat Satria yang tengah duduk di kursi kerjanya."Apa wanita itu memang sulit ditangani, Pak? atau hanya dia saja?" tanya Satria pada Pak Taufik, setelah ia selesai mematikan panggilan dari Aris yang mengatakan kalau dirinya dan Arumi sudah berada di lantai dasar perusahaan itu.Pak Taufik pun tersenyum kecil mendengar hal itu. "Nona Arumi ingin membantu Anda, Tuan. Dan saya pikir ini juga tidak ada salahnya," jawabnya dengan bijak."Aku sengaja tidak ingin melibatkan dia karena tidak mau dia mendengar pertanyaan-pertanyaan wartawan itu," ucapnya dengan nada mengeluh."Saya yakin Nona Arumi bisa menghadapinya, dia wanita yang kuat," sahut Pak Taufik masih dengan nada bicaranya tadi.Setelah itu yang terdengar hanyalah helaan napas panjang dari bibir Satria. Setelah 15 menit merapikan penampilan dan merencanakan semuanya, akhirnya Arumi dan Satria pun berjalan dengan tenang ke arah ruang konferensi pers yan