Namun bukannya menjawab, salah satu dari keempat orang yang kini ada di depan toko pun maju selangkah dan bertanya, "Apa Anda Nona yang semalam?"
'Jadi dia laki-laki semalam,' batin Arasy sembari terbengong melihat laki-laki paruh baya yang bertanya padanya itu. 'Astaga, sial sekali hidup ini,' pikirnya karena mengira kalau keperawanannya diambil oleh laki-laki tua yang mungkin lebih tepat menjadi ayahnya itu."Kenapa?" sergah Arumi."Tuan kami ingin memberikan uang ini untuk membayar kerugian Nona," ujar laki-laki tersebut sambil mengulurkan sebuah amplop tebal.'Jadi bukan dia,' pikir Arumi sembari mengamati keempat laki-laki berkemeja hitam tak jauh di depannya itu bergantian. "Di mana orangnya, bawa aku bertemu dia!" ujarnya sembari mengambil amplop tebal tersebut dengan kasar.Dua laki-laki di belakang laki-laki berumur itu pun langsung maju selangkah, tapi ditahan dengan cepat oleh laki-laki tersebut. "Mari ikut saya, Nona," ujarnya sopan.Arumi pun mengikuti langkah laki-laki paruh baya tersebut, hingga mereka sampai di sebuah mobil hitam mewah yang terparkir tak jauh dari jalanan di depan toko kue."Ck, benar orang kaya," gumam Arumi lalu mengetuk kaca mobil tersebut dengan keras.Sesaat kemudian kaca mobil tersebut pun turun perlahan."Kenapa?" Suara seorang laki-laki dari dalam mobil tanpa menunjukkan wajahnya.Tanpa pikir panjang, Arumi pun langsung mengambil uang yang ada di dalam amplop tersebut dan melemparkannya ke dalam mobil. "Makan uangmu! Aku bukan pelacur!" teriaknya tanpa tahu siapa yang ia teriaki.Tiba-tiba ...Grepp! Kedua tangan Arumi ditangkap oleh dua orang yang sedari tadi di belakangnya.Dengan cepat ia mempraktekkan ilmu yang dipelajarinya dari YouTube. Ia mendorong tubuhnya ke belakang, tak lupa ia menginjak kaki salah satu laki-laki yang menangkapnya agar sama-sama terjungkal ke belakang. Setelah itu, dengan sigap ia pun bangun dan ..."Diam!" bentak seorang pemuda yang baru saja keluar dari dalam mobil.Sontak saja semua orang pun berhenti bergerak, begitu juga dengan Arumi yang sudah bersiap kabur namun langsung berhenti sejenak karena terkejut.'Sial, kenapa harus kaget,' batin Arumi sembari kembali bergerak untuk kabur.Namun baru beberapa langkah, tiba-tiba kaos yang dikenakannya terasa seperti tersangkut sesuatu. 'Apa lagi ini,' gerutu Arumi di dalam hati sembari menoleh karena mengira ia benar-benar tersangkut sesuatu."Mau ke mana kamu?" tanya pemuda yang kini ada di belakang Arumi."Lepaskan!" teriak Arumi sembari menarik kaos yang digunakannya dari genggaman tangan pemuda di belakangnya itu."Lepaskan? Enak saja," sahut pemuda yang separuh wajahnya tertutupi masker.Lalu sedetik kemudian, Arumi pun berbalik dan menatap dengan berani pemuda yang sedang memegangi kaosnya itu. "Apa lagi mau kamu, ha?""Kamu gadis kecil, jang—""Kecil kepalamu!" potong Arumi sembari mencoba menendang laki-laki di belakangnya itu, tapi tak berhasil dan justru kini kakinya tengah di tangkap oleh pemuda tersebut."Hentikan dramamu!" bentak pemuda tersebut sembari melepaskan dengan kasar kaki Arumi."Drama kamu bilang!" geram Arumi, lalu dengan cepat menarik masker penutup wajah pemuda di depannya itu.Seketika mata Arumi terbelalak melihat wajah di balik masker tersebut.'Dia yang viral itu kan?' batinnya sembari mengamati mata tajam, hidung mancung dan bentuk wajah bak artis korea milik laki-laki di depannya itu. Namun ...."Hahaha!" Tawa Arumi meledak saat melihat bagian bibir pemuda di hadapannya."Kamu habis operasi bibir apa disengat tawon, hahaha!" Arumi tertawa terpingkal-pingkal.Seketika para orang-orang yang dibawa pemuda tersebut pun langsung maju, tapi dengan cepat pemuda itu mengangkat tangannya, memberi tanda agar mereka semua meninggalkan dirinya dan Arumi di sana."Sudah puas?" tanya pemuda tersebut dengan tenang ketika tawa Arumi terdengar mereda."Maaf, ya habis kenapa bibir kamu melendung begitu?" tanya Arumi sembari menunjuk bibir pemuda di depannya itu. " Hamil?" imbuhnya lalu kembali terkekeh."Apa kamu lupa, ini semua gara-gara kamu," sahut pemuda tersebut sembari balas menunjuk wajah Arumi.Seketika Arumi terdiam mendengar hal itu. Benar, dia memang lupa atau lebih tepatnya tidak ingat sama sekali dengan apa yang terjadi semalam."Ehem," dehemnya. "Sudah untung tidak hilang bibirmu.""Kamu ...," geram pemuda tampan tersebut."Dengar ya, jangan pikir karena kamu ini ganteng dan juga terkenal, maka semua wanita akan bertekuk lutut saat melihat kamu," ujar Arumi sembari menunjuk dada pemuda di depannya. "Aku tidak peduli siapa kamu, tapi yang jelas aku tidak ikhlas perawanku kamu yang ambil. Aku—""Kenapa, kamu ingin minta kunikahi?" sela pemuda tersebut sembari menarik tangan Arumi dan membuat tubuh Arumi sempat menghantam body mobilnya, hingga akhirnya ia berhasil mengungkung Arumi di antara dirinya dan mobil tersebut. "Apa kamu tidak memiliki trik lain, selain trik pasaran ini?" ejeknya."Trik kepalamu!" teriak Arumi sembari menempelkan kelima jarinya tepat ke wajah pemuda di depannya. "Dengar ya Tuan Satria ... eh, namamu benar Satria kan?"Arumi menjeda kalimatnya untuk mengetahui tanggapan pemuda di depannya yang saat ini sedang menepis tangannya dengan kasar."Aku anggap itu jawaban iya," lanjut Arumi. "Dengar ya, aku ingin kamu tahu kalau aku ini tidak sadar saat bersama kamu semalam. Dan juga, aku sudah minum obat pengaman tadi pagi, jadi aku tidak akan mungkin mengandung anak kamu karena aku tidak sudi.""Bagus," sahut Satria dengan santai."Aku hanya ingin kamu tahu kalau aku ini bukan pelacur. Dan ya, jika suatu saat kamu impoten dan tidak bisa punya anak, kamu harus ingat kalau itu semua karena doaku yang dikabulkan oleh Tuhan, jadi kamu tidak perlu berobat."Mata Satria pun membulat. "Kamu itu—""Ar!"Panggilan dari Nita tersebut membuat Arumi dan Satria sama-sama langsung menoleh.Melihat Satria yang lengah, Arumi pun dengan cepat menendang tepat di selangkangan Satria."Akh! pekiknya sembari mundur selangkah."Mampus!" ucap Arumi sembari melangkah ke arah Nita yang saat ini tengah terbengong-bengong melihat apa yang terjadi.Sesaat kemudian ..."Tuan, Tuan Muda, Anda tidak apa-apa?" tanya para pengawal yang dibawanya."Diam!" bentak Satria sembari meringis menahan sakit. "Tidak ada yang pernah melihat hal ini, mengerti!""Mengerti Tuan," sahut keempat orang tersebut kompak.'Dasar wanita kurang ajar, lihat saja nanti,' geram Satria di dalam hati.**Malam harinya Seperti biasanya, Arumi langsung menatap ke arah jam dinding ketika baru saja selesai menutup pintu toko tersebut."Hah ...," desahnya sembari menyeka keringat yang menetes di dahi karena malam ini pun udara terasa tetap saja panas. "Jam sembilan ternyata," ujarnya sembari melangkah ke belakang."Aku antar Ar," ucap Nita sambil menyisir rambutnya dengan santai di ruangan yang berada di belakang ruangan paling depan."Tumben," celetuk Arumi.Tiba-tiba saja dia menoleh ke arah Arumi yang baru saja masuk ke dalam ruangan itu sambil cengengesan. "Sekalian mau ngapel," jawabnya."Dih, ngapel," sahut Arumi sambil mendekati Nita yang saat ini sedang memoles bibirnya. "Ada yang baru nih? Udah nggak inget sama mas Akh-bar?" seloronya sambil menekankan nama Akbar, mantan kekasih Nita."Siapa itu, nggak kenal," sahut Nita dengan gaya sok centilnya.Arumi pun langsung terkekeh mendengar sahutan sahabatnya. "Iyes ... iyes, mentang-mentang ada yang baru," godanya.Kemudian mereka berdua pun tertawa bersama. Beberapa saat berlalu, Nita pun benar-benar mengantar Arumi menggunakan motor matic kesayangannya seperti yang dikatakannya tadi."Stop!" Arumi langsung menghentikanya ketika mereka sampai di dekat gapura sebelum masuk kawasan rumahnya."Kenapa Ar? Nggak apa-apa kok, biar aku antar sampai ke rumahmu," ujar Nita sembari menatap gapura besar di atasnya."Nggak perlu," sahut Arumi dengan santai sembari turun dari motor. "Aku takut kamu jatuh cinta sama bapak-bapak yang nginep di sini," candanya sambil mencolek pinggang Nita.Langsung saja Nita mencebik ke arah Arumi seperti candaan biasa mereka."Sudah, pergi sana! Jangan lupa, besok pagi sisain martabak manisnya gebetanmu!" ucap Arumi sambil mencoba mencolek pinggang sahabatnya sekali lagi, tapi dengan cepat si empunya menghindar dan menarik gasnya lagi."Ogah!" teriak Nita sambil membawa motornya dengan cepat menjauh dari Arumi.Arumi pun tersenyum melihat hal itu. Hal sederhana yang menghangatkan hatinya malam ini."Nit ... Nit," gumamnya.Setelah puas menatap Nita yang kini sudah menghilang dari pandangannya, kemudian Arumi pun melangkah memasuki kawasan dengan gapura bertuliskan 'Kawasan Wajib Kontrasepsi' ini."Kapan mereka akan mati," gerutu Arumi ketika melewati barisan rumah yang sudah ramai dengan pengunjung-pengunjungnya.Ia pun mempercepat langkahnya hingga akhirnya sampai di sebuah rumah yang memang terlihat cukup mewah dibandingkan dengan rumah-rumah yang ada di dalam kawasan penuh dosa itu.Namun, ketika baru saja melewati pintu utama, langkah kakinya seketika terhenti ketika mendengar ... "Seratus juta dan kamu boleh membawa Arumi."Arumi pun bergegas pergi ke arah sumber suara tersebut sambil berkata, "Aku tid—" Namun suarannya langsung tercekat ketika tahu siapa orang yang ada di dalam ruangan yang baru saja diinjaknya."Ar," panggil laki-laki yang ada di dalam ruangan tersebut ketika melihat Arumi. Sadar dengan laki-laki yang sedang menatapnya, kemudian Arumi pun menoleh ke arah wanita paruh baya yang sedang merokok dengan santai di ruangan itu. "Buk, apa yang Ibuk rundingkan tadi dengan Mas Nizam? Seratus juta apa?" tanyanya meminta kejelasan."Dia mau menikahimu," jawab wanita paruh baya tersebut. "Aku memberi dia syarat seratus juta kalau mau membawamu pergi, tapi sepertinya dia keberatan.""Dia sudah benar kalau tidak mau menikahiku," debat Arumi lalu kembali menoleh ke arah laki-laki yang sudah menjadi kekasihnya selama setahun ini."Tunggu Ar, aku bukan tidak mau menikahimu," sanggah Nizam sambil berdiri dari kursinya."Sudahlah Mas, ibumu sudah mengatakan semuanya," pungkas Arumi.Nizam tersentak mend
Setelah lebih dari lima menit meninggalkan tempat tadi dengan penuh ketegangan, akhirnya Satria yang saat ini sedang membonceng Arumi pun mulai bersuara."Ada apa ini sebenarnya?" tanya Satria sembari melirik kaca spion motor sportnya."Nanti aku ceritakan, yang penting sekarang kita ke warung kopi yang aku tunjukan dulu," jawab Arumi sembari berpegangan erat pada pinggang Satria karena Satria membawa motornya cukup kencang.Setelah itu Arumi pun menunjukkan jalan ke tempat yang ia katakan. Dan entah kenapa, tanpa protes Satria mendengarkan setiap perkataan Arumi tanpa tahu dengan pasti ke mana ia dan Arumi akan pergi."Di depan berhenti," ucap Arumi setelah lebih dari sepuluh menit berada di boncengan Satria.Satria pun mengikuti perkataan Arumi dan memarkirkan motornya di halaman sebuah warung kopi yang terlihat cukup ramai pelanggan itu."Ayo!" ajak Arumi sembari menarik tangan Satria seperti yang ia lakukan sebelumnya."Katakan dengan benar, apa yang sebenarnya terjad
Shhht! Arumi menggunakan kemoceng andalannya untuk menepis tangan wanita yang saat ini hampir berhasil menamparnya."Akh!" pekik wanita tersebut sembari mengibas-ngibaskan tangannya yang tentu saja terasa ngilu akibat terkena kemoceng Arumi."Rasakan!" teriak Nita yang saat ini sedang duduk menikmati adegan tersebut dari teras tokonya. "Ayo Ar, pukul sampek gosong. Jangan kasih ampun!" teriaknya memberi semangat.Langsung saja Arumi tersenyum menyeringai mendengar kalimat penyemangat tersebut.Namun, berbeda dengan Arumi yang termotivasi, wanita di depan Arumi justru terlihat kebingungan. Ia pun mundur beberapa langkah ketika Arumi masih dengan senyum menyeringainya berjalan maju selangkah demi selangkah ke arahnya.'Cara ini emang paling ampuh,' batin Arumi yang memang selalu menggunakan cara seperti itu untuk menakuti teman-temannya yang sering membully dirinya sejak SMP, hingga akhirnya hal itu membuat anak sebayanya tak ada yang berani melawannya dan membuatnya terkenal sebagai mu
"Ayo Mbak naik apa tidak? "Tanya kernet bus yang sudah menatap Arumi dengan tajam karena sudah terlalu lama menunggu."Iya-iya Pak, sebentar," ucap Arumi sembari meletakkan satu kakinya di pintu bis."Nit, aku pergi dulu, kamu tolong urusin anak buahnya Ibuk," ucap Arumi sembari menatap ke arah wanita yang saat ini sedang melambaikan tangan pada Arumi dan berlari ke arah mereka."Ya," sahut Nita sembari menganggukkan kepalanya dengan cepat.Ahirnya Arumi pun masuk ke dalam bis. Dan sesaat kemudian, bis tersebut pun langsung berangkat meninggalkan terminal itu."Ck," decak wanita yang kini sudah berada di dekat Nita dengan ekspresi kesal. "Ke mana dia pergi?" tanya wanita bercelana hot pants dan jaket berbulu tersebut pada Nita yang saat ini masih memandangi pintu masuk terminal."Nggak tahu, ke Malaysia mungkin," jawab Nita dengan ketus. Setelah itu Nita pun melangkah meninggalkan wanita dengan pakaian memalukan karena mempertontonkan lemak-lemak di tubuhnya itu."Hei, jawab yang ben
"Kamu siapa?" tanya laki-laki yang diperkirakan Arumi berusia sekitar 40 tahunan itu."Saya Arumi anak dari Susmi—" Seketika kalimat Arumi terhenti ketika tiba-tiba saja laki-laki di hadapannya itu menarik lengannya dan berjalan menjauh dari depan rumah tadi."Kamu anaknya Susmiati?" tanya laki-laki tersebut."Benar, jadi sampean ini benar ayah saya?" tanya Arumi yang sebenarnya sendikit ragu dengan pertanyaannya ini."Ibumu yang menyuruhmu ke sini?" tanya Arifin dengan gusar.Arumi tercenung mendapati hal ini. Terlihat jelas kalau Ayahnya itu tak senang dengan kedatangannya.Sesaat kemudian Arifin pun langsung merogoh saku celananya dan mengambil dompet kulit imitasinya. "Ini, ambil uang ini dan ini nomer Ayah. Kamu cari makan atau tempat tinggal dan nanti hubungi Ayah, mengerti?" ujarnya dengan cepat sembari memberikan beberapa uang berwarna merah dan biru ke tangan Arumi.Belum sempat Arumi mengucap sepatah kata, tapi laki-laki yang berstatus sebagai ayahnya itu sudah pergi meningg
"Dia katanya ayahnya," jawab orang yang ada di luar kamar tersebut."Kamu punya ayah, Ar?" tanya Cheri tiba-tiba. "Eh, maksudku, ayahmu di dekat sini tinggalnya?"Arumi pun langsung berdiri dan menjawab, "Nanti aku ceritakan, apa kamu mau ikut aku menemui dia?"Dengan sifat Cheri yang suka penasaran, ia pun langsung berdiri dan menunjukkan dua jempolnya pada Arumi sembari tersenyum lebar.Alhasil, mereka berdua pun melangkah bersama untuk bertemu dengan laki-laki yang hampir memasuki usia paruh baya tersebut. Beberapa menit berlalu, kini Arumi dan Cheri sampai di teras bangunan paling luar kos-kosan tersebut. "Ar, apa itu ayahmu?" bisik Cheri karena merasa aneh melihat laki-laki yang terlihat cukup muda untuk memiliki anak seusia Arumi."Tentu saja dia ayahku, siapa lagi," sahut Arumi dengan suara yang cukup keras. Ia memang sengaja melakukan hal itu agar Arifin, ayahnya, menoleh pada dirinya.Mata Cheri langsung terbelalak mendengar hal itu. Langkahnya sempat terhent
Setengah jam berlalu, Arumi yang baru saja bangun dari pingsannyaa pun langsung memijat-mijat keningnya karena pusing."Ar," panggil Cheri yang saat ini ada di sampingnya dengan lembut."Ini di kamar?" tanya Arumi sembari bangun sembari memijat-mijat pelipisnya."Iya, kita di kamar. Tadi kamu pingsan," terang Cheri sembari mengambilkan air minum untuk Arumi."Apa tadi dia menolongku?"Gerakan tangan Cheri terhenti sejenak ketika menyadari kalau Arumi sedang menanyakan tentang Arifin."Dia siapa? Kamu itu jang—""Ayahku. Apa dia tadi menolongku saat aku pingsan?" tanya Arumi sekali lagi.Masih teringat jelas saat Arumi baru saja pingsan, Arifin hanya menoleh dan berkata 'Dasar anak yang menyusahkan, memang harusnya dia itu mati sebelum lahir'. "Dia tidak menolongku 'kan?" desak Arumi karena Cheri tak segera menjawab pertanyaanya.'Dia pasti kecewa karena hal ini, tapi setidaknya dia tidak akan sakit hati karena tidak perlu mendengar mulut busuk ayahnya,' batin Cheri semb
Cheri dan Arumi sama-sama meringis ketika melihat pemuda yang memberika mereka brosur saat ini terjatuh dari motor yang baru saja menjemputnya."Mas, tidak apa-apa?" teriak Arumi sembari ingin melangkah ke arah pemuda yang saat ini sedang berusaha bangun dari tempat terjatuhnya tadi."Tidak apa-apa," jawab Pemuda tersebut sembari melambaikan tangannya, tanda menolak bantuan.Tak lama kemudian pemuda tersebut dengan cepat bangun dan terlihat tergesa-gesa naik ke motor yang menjemputnya tadi."Apa dia mabuk," komentar Cheri saat melihat tingkah aneh pemuda tersebut."Tidak mungkin," tukas Arumi. "Kamu lihat sendiri dia tadi baik-baik saja. Aku pikir dia itu takut pada kita," lanjutnya."Hah?" Cheri menoleh ke arah Arumi. "Kamu pikir kita ini setan?"Pertanyaan konyol tersebut langsung membuat Arumi mengerutkan dahinya."Tidak mirip sih," kelakar Arumi sembari menundukkan kepalanya sembari mengamati kakinya yang menapat tanah.Langsung saja Cheri terkekeh mendengar candaan Arum
Sesaat kemudian pintu yang baru saja diketuk oleh Arumi tersebut pun terbuka. Ia menatap seorang laki-laki yang keluar dari sana."Loh, bukannya kamu sedang keluar negeri?" tanya Arumi sambil menatap kekasihnya tersebut menggunakan kaos oblong dan celana pendek biasa."Sejak kapan kamu menjadi dekat dengan Aris?" tanya Satria yang terdengar seperti sedang mengintrogasi.Arumi langsung memutar bola matanya. Ia sudah sangat terbiasa dengan kecemburuan Satria yang agak berlebihan."Istrinya tidak senang saat mendengar kamu mengajaknya liburan, kamu mengerti?" Satria berdalih agar Arumi tak marah karena dia cemburu lagi.Mata Arumi membola. "Dia punya istri?"Sesaat kemudian terlihat Aris keluar lewat pintu lain."Ris, kamu punya istri?" tanya Arumi langsung.Aris pun tersenyum canggung. Dia tadi mendengar dengan jelas kebohongan apa yang Satria katatakan. "Iya Nyonya," jawabnya."Lah, harusnya kamu ajak juga istri kamu, jadi kita bisa liburan bersama," ucap Arumi sembari t
Tiga bulan berlalu. Perlahan perasaan Arumi mulai membaik, walaupun terkadang ia masih suka melamun dan tiba-tiba menangis sendiri ketika teringat dengan putri kecilnya."Hayo … ngelamun lagi," ucap Nita yang baru saja datang ke taman kecil samping cafe. Ia kemudian dengan santai duduk di samping Arumi yang sedari tadi terus menghadap bunga."Apa ada pesanan lagi?" tanya Arumi sembari mengusap air matanya."Tidak ada, semuanya sudah beres," jawab Nita. "Kamu ingat dengan Syahila lagi?" tanyanya.Arumi menghela napas panjang. "Ya … mau bagaimana lagi. Tadi malam aku mimpi gendong dia," jawabnya."Ar, kamu pasti tahu aku mau ngomong apa. Jadi aku nggak akan ngomong itu lagi, soalnya kata-kata mutiaraku udah habis buat menghibur kamu." Nita berseloroh.Arumi pun menoleh sembari tersenyum kecil. "Iya … aku nggak akan sedih lagi. Ini sudah tiga bulan lebih 'kan?" Ia menirukan ucapan Nita ketika terakhir kali menghiburnya."Nah, gitu baru bener," sahut Nita sembari mencubit ge
Beberapa menit berlalu, saat ini Satria, Abi dan Arumi pun sampai di lantai paling atas tempat di mana Rena berada."Syahila," panggil Arumi karena mendengar putri kecilnya itu sedang menangis kencang."Ren, berikan bayinya," ucap Abi sembari mencoba melangkah ke arah Rena, tetapi langsung berhenti ketika Rena mengangkat tangannya, memberi tanda agar dia berhenti."Aku berubah pikiran," ucap Rena."Berubah pikiran apa, kami sudah membawa Abi ke sini," sahut Satria dengan tangan yang mengepal kuat.Rena pun mengganti pandangannya pada Satria. "Sat, kamu seharusnya tidak ikut campur dalam urusan rumah tanggaku ini. Aku beri kamu kesempatan untuk pergi dari sini, aku hitung sampai tiga. Satu … dua ti—""Aku tidak akan ke mana pun. Serahkan bayinya dan kamu bisa pergi dengan Abi ke mana pun yang kamu mau," tukas Satria."Kenapa kamu selalu bertingkah dominan? Di sini aku bosnya, bukan kamu!" teriak Rena.Sesaat kemudian tangisan Syahila terdengar makin kencang."Mbak, tolong beri
Setelah beberapa menit, akhirnya Arumi pun selesai menyusui Syahila. Tangannya mengepal kuat memikirkan apa alasan yang bisa ia gunakan untuk mengulur waktu."Sudah selesai, Nyonya?" tanya baby sitter yang baru saja masuk ke dalam kamar itu.Arumi pun langsung menoleh. "Sudah," jawabnya.Kemudian baby sitter itu pun mendekat ke arah Arumi. "Saya ditugaskan oleh Tuan Abi untuk membantu Anda berkemas," ujarnya.Sesaat kemudian Arumi pun mengangguk. "Tapi aku ingin ke kamar mandi dulu, tidak apa-apa kan? Soalnya perutku seperti melilit ini," ujarnya sembari berakting meringis menahan sakit."Iya Nyonya, tidak apa-apa. Saya akan mengatakan ini pada Tuan," jawab baby sitter sembari mengambil alih Syahila.'Sayang, kita bertahan dulu ya,' batin Arumi sembari menatap ke arah bayi mungilnya yang sedang tertidur lelap.Dan kemudian ia pun segera melangkah mencari kamar mandi di kamar itu. Sepuluh menit berlalu, saat ini Arumi terus berada di dalam kamar mandi dan duduk
Kemudian Arumi beralih menatap orang tersebut. "Apa maksudnya ini? Kenapa kamu mencelakai dia?" tanyanya."Semua ini atas perintah Tuan," jawab orang tersebut dengan ekspresi dingin.Sementara itu Rasyid pun kembali terbatuk-batuk."Lalu?" Arumi bertanya kembali sembari menatap orang yang ada di depannya itu dengan tak kalah tajam.Sesaat kemudian, orang di depan Arumi yang memiliki paras cantik seperti perempuan tetapi bersuara gahar khas lelaki itu pun mengeluarkan sebuah botol dari dalam jasnya dan kemudian memberikannya pada Rasyid.Secepat kilat Rasyid menyambar botol tersebut dan langsung menenggak isinya. 'Apa-apaan ini?' batin Arumi yang makin terkejut melihat apa yang terjadi."Aku pikir kamu sudah berpindah haluan," seloroh orang tersebut sembari menengadahkan tangannya.Beberapa esaat kemudian, Rasyid yang tadi membungkukkan tubuhnya saat menahan sakit kini kembali berdiri tegap. "Belum waktunya kamu bicara seperti itu," pungkasnya sembari memberikan kembali botol obat pe
Satu jam lebih berlalu. Saat ini Arumi sedang berdiri di dekat sebuah perempatan yang ramai dengan kendaraan berlalu lalang."Di mana …," gumam Arumi sembari menatap ke arah jam tangan yang diberikan oleh Satria. Kakinya menghentak-hentak kecil karena tidak sabar menunggu."Bagaimana kalau Syahila lapar," gumam Arumi lagi yang merasakan payudaranya penuh dan itu tandanya kalau buah hatinya itu sedang lapar. Masih teringat dengan jelas bagaimana tangisan bayi kecil itu di telepon tadi.Tak lama kemudian terlihat sebuah mobil berwarna hitam mendekat ke arahnya. Dan setelah mengamati selama beberapa saat, terlihat seorang laki-laki turun dari mobil tersebut."Kenapa kamu lama sekali," gerutu Arumi karena melihat itu adalah Rasyid yang menjemputnya.Setelah itu Arumi pun segera masuk ke dalam mobil tersebut tanpa basa-basi. "Ayo cepat kita pergi," ucapnya ketika Rasyid juga sudah masuk ke dalam mobil tersebut."Apa Anda benar-benar sendirian?" tanya Rasyid sembari menekan pedal g
Satu jam berlalu. Saat ini Satria, Arumi dan Rena sudah berada di halaman rumah sakit. Terlihat para anak buah Satria sudah berjaga di berbagai sudut rumah sakit. Dan ketika baru saja turun dari mobil, Arumi pun memaksa dirinya untuk berjalan dengan cepat ke arah pintu masuk rumah sakit."Syahila, di mana kamu," ucap Arumi sembari terus melangkah. Kalau bisa, ia ingin berlari dan mengobrak-abrik seluruh gedung tersebut untuk mencari buah hatinya. Namun, ia sangat sadar dengan kemampuannya yang hanya wanita biasa dan baru melahirkan."Aris, bawa dia ke ruangan Arumi!" titah Satria sembari mendorong Rena ke arah Aris.Aris pun dengan sigap menangkap Rena dan membawanya mengikuti Satria."Lepas! Aku bisa berjalan sendiri!" sergahnya yang kemudian melangkah dengan tenang mengikuti Satria dan Arumi. Setelah sampai di lantai tempat Sahila biasanya diletakkan, Arumi pun segera masuk ke dalam ruangan tersebut. Dia mengecek sendiri tempat di mana Sahila biasanya tidur. a
Langsung saja para wartawan menyorot ke arah orang tersebut. Setelah itu ia dengan tenang membuka topi dan maskernya.Melihat hal itu mata Arumi pun membulat. "Mas, itu Rena. Bagaimana?" bisik Arumi sembari mencubit paha Satria."Kamu tenang saja. Katakan saja semua yang kamu inginkan," jawab Satria dengan suara yang tak kalah lirih.Langsung saja Arumi menoleh dan mengernyitkan dahinya. 'Apa maksudnya?' pikir Arumi sembari melihat Satria yang saat ini sedang menatap Rena dengan santai. Sesaat kemudian Satria pun ikut menoleh dan mengusap kepala Arumi dengan lembut. "Kamu tenang saja," ujarnya dengan suara normal, hingga menarik perhatian beberapa wartawan dan mereka pun langsung mengabadikan momen itu.Arumi yang menyadari hal itu pun langsung melirik ke arah para wartawan yang menyorot mereka saat ini. 'Jangan-jangan dari tadi dia sudah tahu kalau itu Rena,' batinnya."Sudah aku katakan tenang saja. Aku ada di sini, tidak ada yang perlu kamu khawatirkan," ujar Satria lagi.Langsung
Dua jam kemudian di dalam ruangan Satria. Saat ini terlihat Satria yang tengah duduk di kursi kerjanya."Apa wanita itu memang sulit ditangani, Pak? atau hanya dia saja?" tanya Satria pada Pak Taufik, setelah ia selesai mematikan panggilan dari Aris yang mengatakan kalau dirinya dan Arumi sudah berada di lantai dasar perusahaan itu.Pak Taufik pun tersenyum kecil mendengar hal itu. "Nona Arumi ingin membantu Anda, Tuan. Dan saya pikir ini juga tidak ada salahnya," jawabnya dengan bijak."Aku sengaja tidak ingin melibatkan dia karena tidak mau dia mendengar pertanyaan-pertanyaan wartawan itu," ucapnya dengan nada mengeluh."Saya yakin Nona Arumi bisa menghadapinya, dia wanita yang kuat," sahut Pak Taufik masih dengan nada bicaranya tadi.Setelah itu yang terdengar hanyalah helaan napas panjang dari bibir Satria. Setelah 15 menit merapikan penampilan dan merencanakan semuanya, akhirnya Arumi dan Satria pun berjalan dengan tenang ke arah ruang konferensi pers yan