Semua Bab Pengantin Tuan Haidar: Bab 161 - Bab 170

606 Bab

Bab 161. Tidak Waras Karena Cinta

“Baron, cepat sedikit, kenapa lama sekali!” Andin sudah tidak sabar ingin segera bertemu dengan suaminya. “Iya, Nona.” Baron kembali menambah kecepatan laju kendaraannya. “Apa orang yang jatuh cinta itu sedikit tidak waras? Seperti Tuan, yang hampir gila hanya karena seminggu ditinggal Nona,” batin Baron sambil melirik nona mudanya yang terlihat gelisah dari spion depan. “Baron, apa kamu lapar? Kenapa bawa mobilnya lambat banget?” tanya Andin pada kaki tangan suaminya. “Tidak, Nona,” jawab Baron dengan sopan. “Ini sudah sangat cepat, Nona,”  batin Baron. “Berenti di depan sana, kita sarapan dulu!” titah Andin sambil menunjuk penjual bubur ayam di pinggir jalan. “Astaga! Apa aku juga harus makan bubur itu?” Keringet dingin sudah merembes dari kening Baron
Baca selengkapnya

Bab 162. Bertemu Haidar

Andin berjalan cepat masuk ke dalam rumah. “Bi, suamiku di mana?” tanya Andin pada Bi Narti. Bi Narti terkejutu melihat nona mudanya pulang. “Sykurlah, Nona udah pulang,” ucap Bi Narti sambil tersenyum bahagia. “Tuan, ada di kamar-” “Makasih, Bi,” sela Andin memotong ucapan Bi Narti. Andin melangkahkan kakinya dengan cepat menuju kamarnya. Sementara di dalam kamar, Mami Inggit sedang membujuk Haidar agar mau makan bubur. “Mi, aku bukan anak kecil, kenapa harus makan makanan seperti ini.” Haidar mendorong sendok berisi bubur yang maminya sodorkan di depan mulutnya. “Kamu harus makan biar cepet sembuh. Badan kamu kekar, tapi sakit-sakitan mulu,” cibir Mami Inggit pada putranya yang sedang terbaring lemah dengan infus di tangannya. Baru dua hari lalu ia sembuh dari sakitnya, sekarang ia suda
Baca selengkapnya

Bab 163. Obat Mujarab

Andin membelai dengan lembut pipi suaminya, tapi sang suami menepisnya tanpa membuka mata. “Aku nggak mau makan bubur,” sahutnya dengan mata yang masih terpejam. Andin menaruh mangkuk bubur di atas nakas. Kemudian ia membisikkan kata cinta di telinga suaminya. “Boo, aku mencintaimu.” Haidar mengerjapkan matanya sebentar, lalu memejamkannya lagi. Ia belum sadar kalau yang ia lihat seperti bayangan sang istri, itu memang benar istrinya yang selalu ia rindukan. Haidar kembali membuka mata, menyipitkan mata untuk memperjelas penglihatannya. Andin tersenyum manis pada suaminya. “Aku mencintaimu, Suamiku.” Haidar langsung bangun dan terduduk. Ia mengucek matanya berkali-kali. “Apa aku masih berhalusinasi?” ucapnya pelan. Lalu ia menyentuh wajah cantik sang istri dengan ragu-ragu. “Bee, apa ini kamu?” tanya
Baca selengkapnya

Bab 164. Pawang Cinta

Aku suka kamu cemburu, tapi aku nggak suka kalau kamu pergi ninggalin aku, apalagi sampai ingin pisah denganku,” sahut Haidar sambil menatap manik mata sang istri. “Tapi, aku nggak mau kamu minum minuman beralkohol lagi, kalau itu terjadi aku nggak akan memaafkanmu. Aku nggak mau tidur bareng kamu lagi.” Andin menjauhkan wajah sang suami dengan telapak tangannya. “Kamu masih bau minuman,” kata Andin sambil mengipas-ngipas tangannya di depan hidung. “Aku nggak minum minuman kayak gitu. Kalau soda, aku sering minum,” elak Haidar. “Lalu ini siapa?” Andin menyodorkan selembar foto Haiadar yang terbaring di sofa sambil memeluk botol bekas minuman. Haidar menerima foto itu. “Ini pasti kerjaan Baron,” gumamnya dalam hati. Tok tok tok Baron mengetuk pintu kamar tuannya yang sedikit terbuka unt
Baca selengkapnya

Bab 165. Temani Aku Sampai Akhir Hayat

“Kamu ngapain masih di sini? Keluar sana!” titah Haidar pada Baron. “Baik, Tuan. Saya permisi,” ucap Baron sambil menundukkan kepalanya. “Terima kasih, Baron. Lain kali kita makan bubur lagi ya.” Andin sengaja membuat panas hati suaminya. “Bee!” ucap Haidar dengan geram. “Apa sih?” Andin memutar bola matanya dengan malas. Lalu kembali menatap Baron yang berjalan dengan gagah ke luar dari kamar tuannya. “Jangan lihatin dia terus!” Haidar menangkup wajah istrinya. “Dia lebih enak dipandang,” jawab Andin sambil menahan senyumnya. “Apa aku udah nggak menarik hatimu lagi.” Haidar melepas tangannya dari wajah sang istri, lalu merebahkan tubuhnya. Kemudian memejamkan mata, ia tidak suka istrinya memandang laki-laki lain dengan penuh minat.&nbs
Baca selengkapnya

Bab 166. Jangan Pergi Lagi

Andin dan Haidar terlelap dalam tidurnya. Pasangan suami istri itu baru merasakan kembali tidur yang  begitu nyenyak setelah lebih dari satu minggu bergelut dengan perasaan masing-masing. Kini keduanya telah bersatu kembali. Cinta mereka semakin kuat setelah mampu melewati cobaan pertama dalam rumah tangganya. Saling percaya adalah kunci dari segalanya. Menyatukan pasangan dengan dua hati yang berbeda tidaklah mudah.  Saling menerima dan saling melengkapi kekurangan dan kelebihan pasangan akan jauh lebih indah menjalani kehidupan berumah tangga karena tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini. “Sayang, bangun, Nak!” Mami Inggit membangunkan menantunya sambil mengusap-usap bahu sang menantu.  Mami Inggit terpaksa membangunkan Andin karena jam sudah menunjukkan pukul dua siang hari. Menantu dan anaknya sudah melewati jam makan siang. “Mungkin sel
Baca selengkapnya

Bab 167. Orang Yang Tepat

Andin dan Haidar makan siang bersama di dalam kamar. Mereka makan dengan lahapnya karena sudah melewati waktu makan siang. “Boo, kamu berapa hari nggak makan?” tanya Andin pada suaminya yang makan begitu banyak, tidak seperti biasanya. Haidar tersenyum pada sang istri. “Entahlah. Sejak kepergianmu aku tidak berselera untuk makan,” jawabnya sambil mengelap bibirnya dengan tisu. Setelah selesai makan, mereka bersantai di balkon kamarnya. Andin duduk bersandar pada dada bidang sang suami. Sementara Haidar bersandar pada kuri santai yang terbuat dari rotan itu. “Boo, apa kamu benar-benar mencintaiku bukan karena aku pewaris kekayaan papimu ‘kan?” Andin mendongakkan kepalanya menatap wajah sang suami. “Bee, aku benar-benar mencintaimu. Aku udah nggak mikirin itu lagi, bahkan aku belum tahu kalau akhirnya Papi mewariskan semuanya pada kam
Baca selengkapnya

Bab 168. Tergila-gila

Haidar bangun dari duduknya, lalu tanpa permisi lagi ia langsung membopong istrinya. “Boo, turunin aku. Kesehatanmu masih belum pulih.” Andin meronta minta diturunkan ia takut dibawa jatuh oleh suaminya yang masih terlihat sangat lemah. “Aku nggak akan mati hanya karena menggendong bidadariku. Mendaki dua gunung pun aku masih sanggup walau kesehatanku belum pulih,” ucap Haidar sambil terkekeh. “Boo!” Andin memukul dada suaminya. “Kalau itu nanti dulu, aku nggak mau bercinta dengan orang sakit,” lanjutnya sambil mengalungkan tangannya di leher sang suami. “Aku udah sangat merindukanmu, Bee,” ucapnya sambil mengecup bibir ranum sang istri. “Aku juga, tapi tahan dulu ya,” sahut Andin sambil tersenyum. “Apa aku harus pergi lagi supaya kamu bisa menahannya,” lanjutnya sambil menahan senyum.&nbs
Baca selengkapnya

Bab 169. Siap Punya Anak

“Boo, jangan teriak-teriak kayak gitu! Kamu udah kayak orang gila,” cibir Andin pada Haidar sambil mengusap-usap telinganya. “Aku gila karenamu, Bee.” Haidar memeluk istrinya dengan erat sambil menciumi wajah sang istri dengan gemas. Saat mereka sedang tertawa, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Mami Inggit, Baron, Pak Jaka dan Bi Narti masuk ke dalam kamarnya. “Kamu kenapa, Ar?” tanya Mami Inggit dengan raut wajah yang penuh kecemasan. Haidar menautkan alisnya. “Kalian kenapa pada masuk ke kamar nggak ketuk pintu dulu?” “Mami khawatir sama kamu, tadi kamu teriak-teriak, Mami kira kamu kumat gilanya,” sergah Mami Inggit. Ia kira anaknya sakit lagi, tapi ternyata sedang melepas rindu. “Anakmu memang sudah gila, Mi,” sahut Haidar. “Gila karena menantumu ini.” Haidar mencubit hidung
Baca selengkapnya

Bab 170. Pejantan Tangguh ( khusus 21+)

“Boo, kamu baru sembuh. Nanti aja kalau kamu udah benar-benar pulih.” Andin menatap wajah sang suami yang sedikit menghitam di kantung matanya. “Bee, apa kamu takut aku nggak bisa memuaskanmu?” tanya Haidar dengan serius. “Boo, bukan seperti itu, aku takut kamu kecapean,” sahut Andin sambil membelai wajah suaminya yang dipenuhi bulu-bulu halus yang sudah memanjang di pipi bawah dan dagunya.  “Ya udah kita tidur aja! Kamu udah meragukan kejantananku.” Haidar memiringkan tubuhnya membelakangi sang istri, ia berpura-pura merajuk. “Boo, maksudku nggak seperti itu.” Andin memeluk suaminya dari belakang. “Kamu itu pejantan tangguh. Aku sama sekali nggak meragukan itu.” Haidar sama sekali tidak merespons ocehan istrinya. Padahal ia ingin sekali tertawa terbahak-bahak, tapi ditahannya. Ia mau melihat bagaimana A
Baca selengkapnya
Sebelumnya
1
...
1516171819
...
61
DMCA.com Protection Status