“Kamu ngapain masih di sini? Keluar sana!” titah Haidar pada Baron.
“Baik, Tuan. Saya permisi,” ucap Baron sambil menundukkan kepalanya.
“Terima kasih, Baron. Lain kali kita makan bubur lagi ya.” Andin sengaja membuat panas hati suaminya.
“Bee!” ucap Haidar dengan geram.
“Apa sih?” Andin memutar bola matanya dengan malas. Lalu kembali menatap Baron yang berjalan dengan gagah ke luar dari kamar tuannya.
“Jangan lihatin dia terus!” Haidar menangkup wajah istrinya.
“Dia lebih enak dipandang,” jawab Andin sambil menahan senyumnya.
“Apa aku udah nggak menarik hatimu lagi.” Haidar melepas tangannya dari wajah sang istri, lalu merebahkan tubuhnya. Kemudian memejamkan mata, ia tidak suka istrinya memandang laki-laki lain dengan penuh minat.
&nbs
Andin dan Haidar terlelap dalam tidurnya. Pasangan suami istri itu baru merasakan kembali tidur yang begitu nyenyak setelah lebih dari satu minggu bergelut dengan perasaan masing-masing. Kini keduanya telah bersatu kembali.Cinta mereka semakin kuat setelah mampu melewati cobaan pertama dalam rumah tangganya. Saling percaya adalah kunci dari segalanya. Menyatukan pasangan dengan dua hati yang berbeda tidaklah mudah.Saling menerima dan saling melengkapi kekurangan dan kelebihan pasangan akan jauh lebih indah menjalani kehidupan berumah tangga karena tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini.“Sayang, bangun, Nak!” Mami Inggit membangunkan menantunya sambil mengusap-usap bahu sang menantu.Mami Inggit terpaksa membangunkan Andin karena jam sudah menunjukkan pukul dua siang hari. Menantu dan anaknya sudah melewati jam makan siang.“Mungkin sel
Andin dan Haidar makan siang bersama di dalam kamar. Mereka makan dengan lahapnya karena sudah melewati waktu makan siang.“Boo, kamu berapa hari nggak makan?” tanya Andin pada suaminya yang makan begitu banyak, tidak seperti biasanya.Haidar tersenyum pada sang istri. “Entahlah. Sejak kepergianmu aku tidak berselera untuk makan,” jawabnya sambil mengelap bibirnya dengan tisu.Setelah selesai makan, mereka bersantai di balkon kamarnya. Andin duduk bersandar pada dada bidang sang suami. Sementara Haidar bersandar pada kuri santai yang terbuat dari rotan itu.“Boo, apa kamu benar-benar mencintaiku bukan karena aku pewaris kekayaan papimu ‘kan?” Andin mendongakkan kepalanya menatap wajah sang suami.“Bee, aku benar-benar mencintaimu. Aku udah nggak mikirin itu lagi, bahkan aku belum tahu kalau akhirnya Papi mewariskan semuanya pada kam
Haidar bangun dari duduknya, lalu tanpa permisi lagi ia langsung membopong istrinya.“Boo, turunin aku. Kesehatanmu masih belum pulih.” Andin meronta minta diturunkan ia takut dibawa jatuh oleh suaminya yang masih terlihat sangat lemah.“Aku nggak akan mati hanya karena menggendong bidadariku. Mendaki dua gunung pun aku masih sanggup walau kesehatanku belum pulih,” ucap Haidar sambil terkekeh.“Boo!” Andin memukul dada suaminya. “Kalau itu nanti dulu, aku nggak mau bercinta dengan orang sakit,” lanjutnya sambil mengalungkan tangannya di leher sang suami.“Aku udah sangat merindukanmu, Bee,” ucapnya sambil mengecup bibir ranum sang istri.“Aku juga, tapi tahan dulu ya,” sahut Andin sambil tersenyum. “Apa aku harus pergi lagi supaya kamu bisa menahannya,” lanjutnya sambil menahan senyum.&nbs
“Boo, jangan teriak-teriak kayak gitu! Kamu udah kayak orang gila,” cibir Andin pada Haidar sambil mengusap-usap telinganya.“Aku gila karenamu, Bee.” Haidar memeluk istrinya dengan erat sambil menciumi wajah sang istri dengan gemas.Saat mereka sedang tertawa, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Mami Inggit, Baron, Pak Jaka dan Bi Narti masuk ke dalam kamarnya.“Kamu kenapa, Ar?” tanya Mami Inggit dengan raut wajah yang penuh kecemasan.Haidar menautkan alisnya. “Kalian kenapa pada masuk ke kamar nggak ketuk pintu dulu?”“Mami khawatir sama kamu, tadi kamu teriak-teriak, Mami kira kamu kumat gilanya,” sergah Mami Inggit. Ia kira anaknya sakit lagi, tapi ternyata sedang melepas rindu.“Anakmu memang sudah gila, Mi,” sahut Haidar. “Gila karena menantumu ini.” Haidar mencubit hidung
“Boo, kamu baru sembuh. Nanti aja kalau kamu udah benar-benar pulih.” Andin menatap wajah sang suami yang sedikit menghitam di kantung matanya.“Bee, apa kamu takut aku nggak bisa memuaskanmu?” tanya Haidar dengan serius.“Boo, bukan seperti itu, aku takut kamu kecapean,” sahut Andin sambil membelai wajah suaminya yang dipenuhi bulu-bulu halus yang sudah memanjang di pipi bawah dan dagunya.“Ya udah kita tidur aja! Kamu udah meragukan kejantananku.” Haidar memiringkan tubuhnya membelakangi sang istri, ia berpura-pura merajuk.“Boo, maksudku nggak seperti itu.” Andin memeluk suaminya dari belakang. “Kamu itu pejantan tangguh. Aku sama sekali nggak meragukan itu.”Haidar sama sekali tidak merespons ocehan istrinya. Padahal ia ingin sekali tertawa terbahak-bahak, tapi ditahannya. Ia mau melihat bagaimana A
Setelah pergumulan itu mereka membersihkan diri, lalu kembali ke tempat tidur dan beristirahat.“Boo, kamu nggak apa-apa ‘kan?” Andin meraba dada suaminya untuk merasakan detak jantung suaminya.“Bee, aku sehat. Apalagi setelah mendapat vitamin dari kamu.” Haidar mencubit gemas hidung mancung istrinya.Kedua anak manusia itu tidak henti-hentinya mengucapkan kata cinta pada pasangannya. Mereka seperti anak remaja yang sedang dimabuk cinta.“Tuhan sangat baik padaku karena telah mengirimkan jodoh sepertimu, istriku.” Haidar menciumi wajah istrinya tanpa jeda.“Pilihan orang tua memang yang terbaik. Ridho Allah itu tergantung ridho orang tua. Karena kita anak yang baik, patuh pada orang tua, walaupun nggak cinta tapi tetep mau dijodohkan, dan akhirnya kita bahagia karena doa mereka.” Andin menimpali ucapan suaminya.
Keesokan harinya Andin dan Haidar bangun pagi-pagi sekali. Mereka lari pagi di halaman belakang rumahnya yang sangat luas.“Berasa ada di Bandung. Pagi-pagi lihat kebun sayuran.” Andin merentangkan tangannya sambil menghirup udara pagi hari yang masih segar dan bersih.“Aku baru sadar kalau istriku cantik banget walau belum mandi.” Haidar memeluk istrinya dari belakang sambil menyandarkan dagunya di bahu sang istri.“Andin membalikkan badannya menatap Haidar. “Aku baru sadar ternyata suamiku sudah tua.” Andin meraba wajah suaminya yang ditumbuhi bulu-bulu halus yang sudah memanjang.“Bee!” geram Haidar, lalu mengangkat tubuh istrinya. “Nanti malam kamu aku hukum!”Andin menyilangkan kakinya di pinggang Haidar, tangannya ia lingkarkan di leher sang suami. Ia tertawa geli karena suaminya terus menciumi bukit kenikmat
“Bee, siapa yang bilang kalau aku sering melamun di sini?” tanya Haidar lagi.Andin bangun dan berdiri. “Nggak ada yang bilang. Tapi, aku melihatnya sendiri lewat video call.”“Kamu curang ya.” Haidar menarik tangan Andin hingga ia terduduk di pangkuannya. Lalu menggelitik pinggang istrinya. “Aku ingin ketemu kamu aja susahnya minta ampun. Sampai harus ngorbanin kakiku.”“Ampun, Boo!” teriak Andin sambil tertawa terbahak-bahak karena kegelian. “Berhenti, Boo! Aku mati nih.”Haidar menghentikan aksinya menjahili sang istri. “Nggak boleh bilang kayak gitu!”“Makanya jangan kelitiki aku kayak tadi,” kata Andin sambil mengerucutkan bibirnya.“Duh itu bibir, pagi-pagi minta dicium.” Haidar mengecup bibir istrinya sekilas.&ldquo
Terima kasih untuk kakak-kakak cantik dan kakak-kakak ganteng yang sudah mendukung novel saya ini. Tak terasa ternyata Haidar sudah menemani kalian selama setahun. Ceritanya memang belum selesai, masih ada kelanjutannya. Bagaimana kehidupan rumah tangga Gara dan Jennie setelah mamanya tahu, dan apakah mereka bisa mempertahankan pernikahannya di saat orang-orang yang membencinya berusaha untuk memisahkan mereka. Kisah si CEO bucin akan dilanjut di buku baru ya, khusus Gara dan Jennie. Novel ini sudah terlalu panjang, takut kalian mual lihat bab yang udah ratusan, hehehe .... Pemenang GA akan diumumkan di sosmed saya, i*, efbe, w*, kalau barangnya sudah datang, wkwwkk. Silakan follow i* @nyi.ratu_gesrek, atau bisa gabung di grup w*. Penilaian akan berlangsung sampai barang datang. Terima kasih banyak kakak-kakak sekalian. Mohon maaf jika cerita saya kurang memuaskan dan membuat kakak-kakak sekalian jengkel. Saya akan terus berusaha m
“Dia istri saya, kamu telah menghin orang yang saya cintai.”Jennie menatap suaminya sambil tersenyum. Ia senang mendengar Gara mengakui perasaannya di depan orang lain.“Maafkan saya, Tuan. Saya tidak tahu kalau Jennie … maksudnya saya tidak tahu kalau Nona Jennie istri anda.”Sekretaris cantik terus memohon minta ampun sambil berlinang air mata, namun Gara sudah terlanjur sakit hati.“Kalau dia bukan istri saya, apa kamu berhak menghina sesama kaummu seperti itu?”“Maafkan saya, Tuan, tolong jangan pecat saya!”“Saya tidak mau mempekerjakan orang-orang berhati busuk sepertimu.”“Sayang, berilah dia kesempatan sekali lagi, mungkin kalau aku ada di posisi dia, aku akan lebih parah dari itu.”Jennie merasa bersalah kepada sekretaris suaminya karena dirinyalah, wanita itu dipecat.“Saya tahu. Tapi, saya tidak suka melihat orang yang telah
“Hati-hati, Bos!”“Saya sudah jatuh, Biggie!" kesal Gara.“Ya udah ayo bangun!” Jennie membantu Gara yang tersungkur karena terkejut melihatnya masih bekerja sebagai office girl di kantornya sendiri.“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Gara setelah bangun dan berdiri.“Aku kan masih kerja di sini, Bos,” jawab Jennie sambil tersenyum.“Tidak perlu kerja lagi, kamu tunggu saya pulang kerja saja di rumah!”“Aku bosan di rumah terus.”“Kamu bisa jalan-jalan atau belanja bersama Anisa atau Mommy. Kamu cari kegiatan lain, tapi jangan bekerja di sini!”“Kenapa? Kamu malu kalau sampai orang lain tahu kalau istri dari CEO Mannaf Group ternyata hanya seorang office girl?”“Bukan itu maksudnya. Saya hanya tidak ingin kamu kerja lagi. Kamu istirahat saja ya, biar saya yang mencari uang untuk kamu.”“Kontr
"Bukan apa-apa," jawab Jennie sambil berjalan keluar dari kamar."Biggie, saya yakin ada yang kamu sembunyikan.""Nggak ada. Besok kamu udah mulai kerja lagi, pasti pulangnya malam dan capek 'kan? Mana mungkin kita bisa bercanda seperti tadi lagi.""Saya akan meluangkan banyak waktu untukmu. Kamu tenang saja, kali ini saya tidak akan pulang malam."Jennie menghentikan langkah kakinya, lalu berbalik menghadap Gara."Jangan kayak gitu. Lakukanlah kegiatanmu seperti sebelumnya. Aku nggak mau menjadi pengganggumu, lagian kita 'kan bisa menghabiskan waktu seharian di akhir pekan."Gara tersenyum menanggapi ucapan istrinya. "Saya bersyukur mempunyai istri sepertimu."Pria yang memakai kaus berwarna putih dengan dipadukan celana panjang berwarna krem menggenggam tangan istrinya, lalu melanjutkan langkahnya menuju ruang makan.Mereka makan sambil suap-suapan yang membuat seisi rumah itu berbahagia melihat Tuan dan nona mudanya be
Jennie juga melakukan hal yang sama seperti suaminya. “Aku juga mencintaimu.”Kedua pasangan pengantin baru itu sedang berbahagia. Mereka menghabiskan waktu di dalam kamar dengan bermain kertas gunting batu. Yang kalah akan menuruti perintah yang menang.“Kamu kalah suamiku,” kata Jennie sambil tertawa.“Apa yang harus saya lakukan?”“Buatkan aku jus jeruk!” titah Jennie.“Baiklah, saya akan melakuknanya.”“Tapi haus kamu yang membutanya, jangan menyuruh Bibi.”“Iya ….” Gara turun dari tempat tidur, lalu pergi ke dapur untuk membuatkan minuman sang istri.“Kapan lagi memerintah CEO,” kata Jennie sambil tertawa setelah suaminya keluar dari kamar. “Belum tentu aku bisa bersamanya terus,” lanjutnya dengan pelan. “Aku takut Mama tahu pernikahan ini?”Beberapa menit kemudian sang suami masuk den
Gara bangun dan berdiri. "Saya mau pakai baju dulu."Laki-laki tampan itu buru-buru masuk ke dalam kamar mandi.Jennie bangun dan terduduk sambil memerhatikan suaminya. "Katanya mau pakai baju, tapi kenapa malah masuk lagi ke dalam kamar mandi?" gumamnya."Kenapa adik saya bangun hanya karena saya menindihnya?" gumam Gara saat berada di bawah pancuran air. Berharap sang adik tenang dan kembali tertidur. "Kalau Biggie tahu, ini sangat memalukan."Setelah beberapa menit Gara keluar dari kamar mandi dan langsung pergi ke ruang ganti. Laki-laki itu menghampiri istrinya setelah berpakaian."Lehermu tidak apa-apa 'kan?" Gara duduk di samping istrinya . "Maafkan saya ya!"Jennie memiringkan duduknya menghadap sang suami. "Gara, apa kamu sadar saat tadi kamu bilang kalau kamu mencintai saya?"Bukannya menjawab laki-laki tampan itu malah menyentil kening istrinya dengan keras."Sakit, Garangan!" Jennie mengusap-usap keningnya samb
"Apa kamu mencoba menukar keperawananku dengan motor ini?"“Kamu itu istri saya, kenapa kamu berbicara seperti itu kepada suamimu?”Gara tersinggung dengan ucapan istrinya karena dia menyiapkan motor itu setelah resmi menjadi suami Jennie.Ia hanya ingin memfasilitasi istrinya supaya wanita yang telah sah menjadi pendamping hidupnya itu bisa aman berkendara dengan motor barunya karena motor lamanya sudah tidak layak pakai."Bukannya kamu bilang nggak mau melakukannya kalau aku belum siap? Kalau ngomong tuh jangan asal keluar terus dilupain, kayak kentut aja.”Gara menatap istrinya dengan tatapan tajam, lalu pergi meninggalkan wanita itu. Ia kembali ke kamar dan langsung berendam air hangat untuk melemaskan otot-ototnya.“Kenapa saya selalu lupa dengan apa yang saya ucapkan padanya. Saya pasti terlihat seperti laki-laki bodoh yang plin plan,” ucapnya sambil menengadahkan kepalanya dengan tangan bersandar pa
"Bukannya kamu rindu dengan keluargamu," sahut Gara sambil berjalan menghampiri istrinya."Mereka ada di mana?" tanya Jennie tanpa mengalihkan pandangannya pada layar ponsel. Ia tersenyum bahagia saat melihat adik satu-satunya."Di rumah keluarga barunya. Ibu kamu sudah menikah lagi dan mereka hidup bahagia bersama adikmu.""Kenapa Mama nggak bilang sama aku kalau mau menikah? Kenapa Mama melupakanku?"Gara mencengkram dagu istrinya dengan lembut. "Hey, Cantik! Apa kamu memberitahu ibumu kalau kamu sudah menikah dengan saya?""Benar juga," sahutnya. "Tapi, aku punya alasan sendiri kenapa nggak bilang sama Mama." Jennie menepis tangan suaminya."Ibu kamu juga punya alasan sendiri.""Kamu tahu dari mana?""Jangan lupakan siapa suamimu ini?""Maaf, aku lupa soal itu," jawabnya sambil melirik dengan sinis suaminya."Jangan bersedih!" Gara membelai lembut rambut sang istri yang tergerai indah."Kenapa dia
“Ya saya ingin merekam suara kamu,” jawab Gara pelan sambil tersenyum.“Sejak tadi kamu udah denger ‘kan, apa yang aku katakan?” tukas Jennie yang dijawab dengan anggukkan kepala oleh suaminya. “Kamu memang menyebalkan Gara.”Jennie menggelengkan kepala sambil menggeser duduknya membelakangi sang suami. “Kena kutukan apa aku ini? Bisa-bisanya jatuh cinta kepada laki-laki seperti dia. Laki-laki narsis, dingin, angkuh, dan sangat menyebalkan."“Salah saya apa? Saya hanya ingin merekam suara kamu, itu aja. Saya ingin menyimpannya sebagai pengingat kalau saya sedang merindukanmu.”Jennie menoleh pada suaminya, lalu berkata, “Salah kamu apa? Astaga, ini CEO punya otak apa nggak sih? Tensi darahku bisa naik ini." Jennie menarik napas dalam-dalam, lalu mengembuskannya perlahan. "Aku harus tetap menjaga kewarasanku," ucapnya sambil mengipasi wajah menggunakan telapak tangan."Biggie, saya ha