“Boo, jangan teriak-teriak kayak gitu! Kamu udah kayak orang gila,” cibir Andin pada Haidar sambil mengusap-usap telinganya.
“Aku gila karenamu, Bee.” Haidar memeluk istrinya dengan erat sambil menciumi wajah sang istri dengan gemas.
Saat mereka sedang tertawa, tiba-tiba pintu kamar terbuka. Mami Inggit, Baron, Pak Jaka dan Bi Narti masuk ke dalam kamarnya.
“Kamu kenapa, Ar?” tanya Mami Inggit dengan raut wajah yang penuh kecemasan.
Haidar menautkan alisnya. “Kalian kenapa pada masuk ke kamar nggak ketuk pintu dulu?”
“Mami khawatir sama kamu, tadi kamu teriak-teriak, Mami kira kamu kumat gilanya,” sergah Mami Inggit. Ia kira anaknya sakit lagi, tapi ternyata sedang melepas rindu.
“Anakmu memang sudah gila, Mi,” sahut Haidar. “Gila karena menantumu ini.” Haidar mencubit hidung
“Boo, kamu baru sembuh. Nanti aja kalau kamu udah benar-benar pulih.” Andin menatap wajah sang suami yang sedikit menghitam di kantung matanya.“Bee, apa kamu takut aku nggak bisa memuaskanmu?” tanya Haidar dengan serius.“Boo, bukan seperti itu, aku takut kamu kecapean,” sahut Andin sambil membelai wajah suaminya yang dipenuhi bulu-bulu halus yang sudah memanjang di pipi bawah dan dagunya.“Ya udah kita tidur aja! Kamu udah meragukan kejantananku.” Haidar memiringkan tubuhnya membelakangi sang istri, ia berpura-pura merajuk.“Boo, maksudku nggak seperti itu.” Andin memeluk suaminya dari belakang. “Kamu itu pejantan tangguh. Aku sama sekali nggak meragukan itu.”Haidar sama sekali tidak merespons ocehan istrinya. Padahal ia ingin sekali tertawa terbahak-bahak, tapi ditahannya. Ia mau melihat bagaimana A
Setelah pergumulan itu mereka membersihkan diri, lalu kembali ke tempat tidur dan beristirahat.“Boo, kamu nggak apa-apa ‘kan?” Andin meraba dada suaminya untuk merasakan detak jantung suaminya.“Bee, aku sehat. Apalagi setelah mendapat vitamin dari kamu.” Haidar mencubit gemas hidung mancung istrinya.Kedua anak manusia itu tidak henti-hentinya mengucapkan kata cinta pada pasangannya. Mereka seperti anak remaja yang sedang dimabuk cinta.“Tuhan sangat baik padaku karena telah mengirimkan jodoh sepertimu, istriku.” Haidar menciumi wajah istrinya tanpa jeda.“Pilihan orang tua memang yang terbaik. Ridho Allah itu tergantung ridho orang tua. Karena kita anak yang baik, patuh pada orang tua, walaupun nggak cinta tapi tetep mau dijodohkan, dan akhirnya kita bahagia karena doa mereka.” Andin menimpali ucapan suaminya.
Keesokan harinya Andin dan Haidar bangun pagi-pagi sekali. Mereka lari pagi di halaman belakang rumahnya yang sangat luas.“Berasa ada di Bandung. Pagi-pagi lihat kebun sayuran.” Andin merentangkan tangannya sambil menghirup udara pagi hari yang masih segar dan bersih.“Aku baru sadar kalau istriku cantik banget walau belum mandi.” Haidar memeluk istrinya dari belakang sambil menyandarkan dagunya di bahu sang istri.“Andin membalikkan badannya menatap Haidar. “Aku baru sadar ternyata suamiku sudah tua.” Andin meraba wajah suaminya yang ditumbuhi bulu-bulu halus yang sudah memanjang.“Bee!” geram Haidar, lalu mengangkat tubuh istrinya. “Nanti malam kamu aku hukum!”Andin menyilangkan kakinya di pinggang Haidar, tangannya ia lingkarkan di leher sang suami. Ia tertawa geli karena suaminya terus menciumi bukit kenikmat
“Bee, siapa yang bilang kalau aku sering melamun di sini?” tanya Haidar lagi.Andin bangun dan berdiri. “Nggak ada yang bilang. Tapi, aku melihatnya sendiri lewat video call.”“Kamu curang ya.” Haidar menarik tangan Andin hingga ia terduduk di pangkuannya. Lalu menggelitik pinggang istrinya. “Aku ingin ketemu kamu aja susahnya minta ampun. Sampai harus ngorbanin kakiku.”“Ampun, Boo!” teriak Andin sambil tertawa terbahak-bahak karena kegelian. “Berhenti, Boo! Aku mati nih.”Haidar menghentikan aksinya menjahili sang istri. “Nggak boleh bilang kayak gitu!”“Makanya jangan kelitiki aku kayak tadi,” kata Andin sambil mengerucutkan bibirnya.“Duh itu bibir, pagi-pagi minta dicium.” Haidar mengecup bibir istrinya sekilas.&ldquo
Haidar membelai lembut rambut istrinya. Sebenarnya ia nggak mau membebani pikiran sang istri, tapi ia juga nggak mau menyembunyikan sesuatu dari istrinya. “Aku belum punya bukti yang kuat. Sebaiknya kamu hati-hati dengan keluargaku!”“Keluargamu?” Andin semakin bingung dengan ucapan suaminya. “Maksudnya keluarga kamu yang mencoba memisahkan kita? Tapi, Mami dan Papi baik banget sama aku.”“Karena mereka terlalu baik pada menantunya, jadi membahayakan kamu,” balas Haidar.“Maksudmu apa sih, Boo?” Andin semakin bingung dibuatnya. Ia tidak begitu dekat dengan keluarga dari Mami Inggit ataupun Papi Mannaf.“Udahlah, Bee, jangan dipikirkan lagi! Yang penting kamu hati-hati aja, jangan sampai terhasut mereka lagi. Mereka nggak akan menyakitimu, tapi mereka akan terus mencoba memisahkan kita.” Haidar membelai pipi sang istri, lalu menci
“Hukumanmu bikin aku kecanduan, Boo,” bisik Andin di telinga suaminya.“Kalau begitu, aku akan menghukummu setiap hari.” Haidar menurunkan istrinya di tempat tidur. “Apa kamu udah siap dengan hukumanmu?”Kini Andin berada di bawah kungkungan suaminya. “Aku udah siap lahir batin,” jawab Sisil sembari menyunggingkan sudut bibirnya.Haidar pun melancarkan aksinya. Ia mulai menciumi wajah Andin dengan mesra, tapi ketika bibirnya menempel pada bibir sang istri, terdengar suara dari perut istrinya.Haidar menghentikan aksinya. “Bee, kamu lapar?” tanya Haidar pada istrinya.Andin menganggukkan kepalanya sambil tersenyum.Haidar bangun, lalu membantu istrinya untuk berdiri. “Ayo kita sarapan dulu!”“Aku mau mandi dulu aja.” Andin segera masuk ke dalam kamar mandi
Haidar memerhatikan istrinya yang makan dengan serius. “Bee, kenapa kamu diam aja? Makanannya nggak enak ya?”Andin menoleh pada suaminya. “Bukannya dia nggak suka berisik kalau sedang makan,” gumam Andin dalam hatinya.“Bee, aku tanya sama kamu, kenapa kamu cuma lihatin aku kayak gitu?” tanya Haidar, lalu menyuapkan satu sendok nasi goreng ke dalam mulutnya. “Apa kamu mau sarapan roti?” tanyanya lagi karena Andin hanya diam saja tanpa memberi tanggapan sedikit pun atas pertanyaannya.Andin mengelap bibirnya dengan tisu. Lalu menatap suaminya. “Bukannya kamu nggak suka berisik kalau lagi makan?” Andin baru menyahuti suaminya saat ia selesai makan.Haidar menganggukkan kepalanya sambil tersenyum. “Ternyata dia masih mengingatnya,” gumamnya dalam hati.Haidar bangun dari duduknya lalu me
Andin terkejut saat masuk ke dalam salon, terpampang foto Baron di dinding salon itu. “Boo, jangan bilang kalo salon ini punya Baron.”“Ini memang miliknya,” jawab Haidar dengan santainya.Andin menutup mulutnya dengan kedua telapak tangan, matanya melirik dengan tatapan aneh pada suaminya. “Jangan-jangan kalian.”“Bee, jangan berpikiran yang aneh-aneh. Aku pria normal, udah aku buktikan sendiri sama kamu. Lagia ini tuh salon khusus pria, nggak ada perawatan wajah atau lainnya seperti salon kecantikan,” jelas Haidar.Andin mengangguk-anggukkan kepalanya. Sambil melangkah mengikuti suaminya.“Kamu tunggu sebentar ya, Bee!”“Ok.” Andin menunggu suaminya sambil memainkan ponsel.Tidak lama kemudian. Haidar menghampiri istrinya. Kini penampilannya sudah rapih dan terlihat