Semasa kecilnya, saat itu Juda masih kelas tiga SD ketika harus menjalani operasi usus buntu, yang membuatnya harus drawat inap di sebuah rumah sakit selama hampir satu minggu. Meski masa-masa itu tidak menyenangkan karena rasa sakit yang membuatnya kerap menangis, ada yang Juda syukuri. Dokter yang merawatnya sangatlah ramah dan baik. Dokter itu menjadi sosok pria favorit kedua setelah ayahnya.
Sejak saat itu, Juda bercita-cita menjadi seorang dokter anak, mengikuti jejak dokternya yang bagi Juda telah menciptakan keajaiban untuknya. Juda menyebutnya keajaiban karena karena dengan kemampuannya itu, bekas operasi di perut Juda berangsur-angsur hilang hingga tak terlihat seperti pernah melakukan operasi.
Mimpi itu bertahan hingga Juda naik kelas dua SMA. Beberapa teman yang mendengar cita-cita mulianya itu mencibir dan mengoloknya, bahwa seorang Juda yang tidak akan pernah bisa menjadi dokter jika tidak pernah mau belajar bagaimana cara menghadapi orang dengan baik. Bukan malah bersikap judes dan galak, yang membuat orang-orang segan dekat dengannya.
Yang paling menyakitkan adalah saat teman yang ia kira cukup dekat dengannya, dengan tega melontarkan, “Lo belajar attitude dulu yang bener. Bisa-bisa pasien lo trauma semua kalau mereka dapet dokter setan kayak lo.”
Di hari itu, Juda langsung memutus pertemanan dengan entah siapa namanya. Juda enggan mengingat nama mantan teman yang telah melubangi hatinya dengan kata-kata menyakitkan itu.
Di lain waktu, kala itu saat sedang pelajaran olahraga, Juda tak sengaja menghantam kepala temannya menggunakan bola basket karena tahu-tahu muncul di tengah lapangan saat Juda melemparkan bola untuk temannya yang lain. Temannya itu tidak terluka dan bahkan tidak menyalahkan Juda, tetapi seseorang langsung menyeletuk dengan sinis seolah ia yang baru saja dihantam bola.
Begini katanya, “Orang barbar kayak lo nggak cocok jadi dokter anak, tapi cocoknya jadi sipir penjara, Ju. Kriminal-kriminal di sana pasti langsung tunduk sama kebrutalan lo.”
Suara lain−milik seorang laki-laki−ikut berkomentar dengan nada yang sarat penuh ejekan, “Dasar calon penganut KDRT. Eh, tapi nggak mungkin juga ada cowok mau sama cewek barbar.
Tidak sekali dua kali Juda mendapat cemoohan jahat serupa di saat dirinya bahkan hanya sedang bercanda dengan salah seorang teman−yang tidak bermuka dua dan mau berteman dengan siapa saja. Di depan teman-temannya, Juda akan membalas dengan kalimat yang lebih menyakitkan, bahkan terkadang mempermalukan mereka dua kali lipat lebih kejam dari ucapan mereka, tetapi setelah sampai di rumah, Juda akan menangis tersedu-sedu selama berjam-jam di kamarnya.
Juda terkadang bingung dengan dirinya sendiri. Tidak ada yang salah dengan cara orang tuanya mendidik dirinya dan kedua kakak laki-lakinya. Namun, kenapa hanya dirinya yang seolah gagal menyerap didikan orang tuanya? Kenapa hanya dirinya yang susah bergaul? Kenapa ia tidak bisa seramah orang tua dan kakak-kakaknya?
Juda benar-benar sudah berusaha untuk menjalin pertemanan, tetapi usahanya malah menjadi bumerang. Bukannya diterima dengan baik, ia malah dianggap cari muka. Bahkan ada yang menuduhnya ingin menjadikan mereka anak buah yang bisa diperbudak dengan ucapan-ucapan sinis yang sering terlontar dari bibirnya.
Saat mengadukan hal itu di hadapan Papi, Papi berkata, “Kata siapa anak Papi jahat? Kalau anak Papi yang paling cantik ini jahat, dia nggak akan nangis di kamar sendirian. Dia pasti sudah akan mendatangi mereka, membalas perlakuan mereka yang sampai menyakiti hati anak Papi.”
“Tapi Juju memang balas mereka, Pi. Juju bikin mereka nangis karena ucapan Juju yang jahat.” Juda meringkuk di atas tempat tidur, memunggungi Papi yang duduk di tepi tempat tidurnya. “Juju mau punya teman dekat juga, Pi. Tapi kata mereka semua Juju jahat. Juju nggak berhak punya teman dekat. Mereka yang Juju deketin, pada akhirnya cuma mau . Nggak ada yang mau temenan sama Juju. Di mata mereka Juju selalu salah, padahal Juju udah berusaha sebaik mungkin.”
Papi mengelus rambut panjang anak gadisnya.
“Kalau anak Papi udah berusaha, dan mereka nggak melihat usaha kamu, berarti mereka memang bukan teman yang tepat. Seorang teman yang benar-benar tulus, dia akan menerima kamu apa adanya. Mengingatkan saat kamu salah, bukan malah mengatai dan mengolok-olok.”
Juda menghapus air mata. Masih tidak mau berbalik menatap ayahnya yang terus bicara untuk menenangkannya.
“Ini semua salah Mami sama Papi. Kalau aku nggak dikasih nama Juda, aku nggak akan judes sama orang-orang. Kalau aja Papi sama Mami kasih aka nama Rahma atau apa pun selain Juda, aku pasti bisa lebih ramah. Kenapa sih Papi kasih aku nama jelek ini?”
Kala itu, Papi tertawa terbahak-bahak. Rajukan Juda dianggapnya begitu lucu hingga membuat Juda menangis lagi sampai-sampai membuat Mami dan kakak-kakaknya berbondong-bondong menyusul masuk ke kamar, untuk melihat apa yang terjadi dan kemudian mengomeli Papi setelah mendengar rajukan Juda.
Dan di hari itu juga, Juda langsung mencetuskan keinginannya untuk pindah sekolah. Kalau tidak mendapat restu pindah, Juda mengancam tidak akan mau pergi ke sekolah lagi.
Awalnya, Mami menentang karena menurut wanita itu, pindah sekolah hanya karena tidak akur dengan teman terasa terlalu berlebihan. Namun, setelah berdiskusi cukup alot−diselingi dengan tangis drama Juda setiap kali tidak tercapai keputusan yang diinginkannya, Juda pun akhirnya pindah sekolah tepat saat memasuki semester dua kelas dua SMA.
Di sekolah baru, Juda memegang apa yang telah dikatakan Papi. Ia menjadi dirinya sendiri saat ia berkenalan dengan teman-teman barunya. Dalam tiga bulan, Juda mempunyai dua teman dekat. Teman yang menerima dirinya apa adanya, yang tidak menyakiti hatinya meski ia seringkali berkata dengan nada pedas. Dan keinginan untuk menjadi dokter anak pun gugur seiring berjalannya waktu−terutama karena masih sakit hati akibat olokan teman-temannya di sekolah lama.
Mempunyai teman baru yang bisa dibilang memiliki sifat yang hampir mirip, membuat Juda tidak lagi merasa rendah diri. Ia memang tidak lantas bangga dengan sifat galak dan judesnya yang sulit ia hilangkan, tetapi setidaknya hal itu tidak menghambatnya dalam bergaul. Memang bukan pergaulan yang luas, namun ia tidak lagi merasa tersisihkan. Ia mendapatkan masa-masa indah bersama teman-temannya yang tidak bermuka dua. Juda juga bisa merasakan manisnya memiliki gebetan dan berpacaran dengan kakak kelas.
Masa-masa itu berlalu dalam sekejap mata. Hingga ia mengenal patah hati. Dipatahkan hingga remuk oleh laki-laki yang ia kira tidak akan pernah tega menyakiti, bahkan untuk sekadar membunuh nyamuk. Namun, nyatanya laki-laki itu tega berkhianat dengan begitu kejam hingga Juda merasa bahwa ia sudah tak punya kepingan hati yang tersisa untuk laki-laki lain. Mengakhiri masa-masa indah di SMA-nya dengan mimpi buruk yang kemudian menjadi momok dalam hidupnya selama bertahun-tahun.
Hingga umurnya kini menginjak 28 tahun, Juda belum bisa benar-benar membuka hati. Setiap kali ada yang mendekatinya, Juda selalu terbayang akan rasa sakit yang menghantuinya karena terlalu percaya terhadap laki-laki sehingga ia mau tak mau memasang banteng yang cukup kuat agar tidak mudah luluh dan terperangkap dalam tipu daya. Yang pada akhirnya menjadi bumerang untuk dirinya sendiri karena hampir semua laki-laki yang awalnya tulus mendekatinya mulai lelah, dan menganggap Juda hanya main-main dan kemudian ditinggalkan.
Siklus itu terus terjadi dalam beberapa tahun terakhir. Awalnya, Juda menganggap itu hal biasa. Bahwa mereka memang tidak tepat untuknya, karena tidak mau berjuang lebih keras untuk mendapatkan hatinya.
Hingga beberapa minggu terakhir ini, Juda mulai kelabakan saat terus-terusan ditodong Mami agar segera menikah. Menyusul kedua kakak laki-lakinya yang masing-masing sudah menikah dan mempunyai anak. Atau setidaknya mengenalkan pasangan yang akan dinikahinya.
“Ju, besok Sabtu pulang ke rumah, kan?” tanya Mami lewat sambungan telepon.
Juda mendengus malas.
Ini masih hari Senin. Baru tadi malam ia kembali ke indekosnya−yang berada di dekat tempat kerjanya−setelah menginap di rumah orang tuanya yang berada di Bogor selama akhir pekan.
“Kenapa, Mi?”
“Mami butuh teman belanja.”
Juda mengernyit hingga timbul lekukan dalam di keningnya.
“Kok nggak minta antar Papi? Papi emangnya ke mana? Jangan bilang Papi mau camping sama teman-temannya lagi?” berondong Juda dengan pertanyaan.
“Mami belum tanya papi kamu, sih. Soalnya Mami emang niat ngajak kamu. Males ngajak Papi. Kamu kan tahu sendiri papi kamu rempong banget.”
Juda ingin menjawab kalau Mami-lah yang paling rempong, tetapi Juda tidak mengatakannya, karena sudah pasti akan langsung diomeli dari A sampai Z.
Akhirnya Juda menyahut, “Ini masih ada hubungannya dengan teman arisan Mami yang nggak jadi datang kemarin? Mami suruh main ke rumah lagi sama anaknya?”
“Bukan teman arisan yang kemarin aja, sih. Tapi emang arisannya minggu ini di rumah kita. Nah, Mami butuh kamu buat bantu-bantu ngelap piring.”
Juda mencibir. Tentu saja Mami tidak akan melibatkan Juda perihal masak-memasak.
“Aku nggak janji, Mi. Aku belum tahu ada acara apa enggak.”
“Hari Sabtu kan libur, Ju,” protes Mami.
“Libur bukan berarti aku nggak punya kegiatan, Mi. Katanya Mami pengen anak gadisnya buru-buru kawin. Nah ini aku lagi usahain.”
“JUJU! Mami nggak minta kamu kawin! Mami mau kamu nikah dulu sebelum kawin!” erang Mami penuh drama. “Astaghfirullah, Mami kayaknya darah tingginya kumat. Punya anak gadis satu bikin stress minta ampun.”
Semakin berumur, bukannya menjadi kalem, Mami malah semakin banyak drama. Terutama jika menyangkut Juda dan kelakuannya yang bikin sakit kepala.
“Mi, sambung nanti lagi, ya. Aku lagi kerja, nggak enak sama yang lain kalau malah teleponan sama Mami dan nggak kerja.”
Mami tidak terlalu mengindahkan ucapan Juda dan malah berkata, “Pokoknya usahain buat pulang ke rumah. Ada anak temen Mami yang Mami jamin cocok sama kamu.”
“Sakha yang duda itu?”
“Bukan. Semalam Mami ngobrol sama temen Mami kalau Sakha katanya nggak mau kasih harapan terlalu banyak dengan rencana perkenalan kalian. Ternyata belum move on dari mantan istrinya. Untung belum jadi ke sini. Makanya, Mami bilang kalau lebih baik dibatalkan aja demi kebaikan masing-masing,” ucap Mami dengan agak nyinyir.
“Oh, Mami udah ngobrol sama teman Mami yang lain, anaknya baru pulang dari Kanada. Namanya Hamish−tapi bukan Hamish Daud suaminya Raisa loh ya. Dia cari istri yang mau diajak tinggal di sana. Kamu mau kan kenalan sama dia?”
Padahal belum ada sehari Juda merasa lega karena tidak perlu bertemu dengan si duda Sakha, dan hari ini ia sudah harus menghadapi acara jodoh menjodohkan yang sangat disukai Mami. Mau menolak pun percuma. Mami akan terus mengejar-ngejar dirinya hingga Juda tidak punya pilihan selain menurut.
“Emangnya Mami nggak capek jodoh-jodohin aku terus sama anak temen Mami?” Juda mendesah. “Mami pernah ngitung nggak udah seberapa banyak anak temen Mami yang gagal Mami jodohin sama aku?”
“Mami juga sebenarnya malu sama teman-teman Mami. Punya anak gadis satu kok seret amat jodohnya. Tapi ya mau gimana lagi, selama kamu masih jomlo, Mami juga bakal sekuat tenaga menahan malu. Asal anak Mami bisa menikah.”
Juda menggeram kesal. Mami memang sangat sulit dilawan.
“Mi, nanti juga pada akhirnya aku bakal nikah kok.”
“Ya itu Mami juga tahu. Tapi kalau melihat usaha kamu, Mami nggak yakin kamu bisa dapat pasangan tanpa bantuan Mami.”
“Aku udah berapa kali bilang kalau aku bisa cari pasangan sendiri, Mamiku Sayan. Aku cuma butuh waktu aja. Cari suami yang cocok kan nggak segampang cari sepatu,” ujar Juda dengan gemas.
Kalau saja tidak dosa, Juda sudah akan memutus paksa sambungan teleponnya dengan Mami agar tidak lagi mendengar kecerewetan ibunya itu.
“Kamu emang bisanya banyak alasan. Itu juga jadi salah satu faktor yang bikin kamu susah dapat jodoh.”
“Jodoh nggak ke mana kalau kata pepatah.”
“Jodohmu memang nggak akan ke mana-mana. Tapi kalau nggak dicari dan dijemput, nggak mungkin tiba-tiba muncul di hadapan kamu.”
Juda menyerah mendebat Mami. Ia akan selalu kalah karena Mami selalu punya jawaban untuk setiap kata yang ia ucapkan.
“Iya-iya. Terserah Mami aja, deh. Pusing aku debat sama Mami mulu.”
“Mami juga pusing mikirin anak gadis Mami,” gerutu Mami.
“Kalau Mami mau aku pulang hari Sabtu besok, jangan bikin aku kesel, Mi, please.”
“Ya udah, selamat bekerja lagi, anak gadis Mami yang paling jomlo se-Jakarta.”
Juda tidak sempat membalas ejekan Mami karena sambungan sudah diputus lebih dulu. Juda meremas ponselnya dengan gemas untuk melampiaskan rasa frustrasinya.
Dan tampaknya, sejak ia berbincang di telepon, salah seorang seniornya di tempat kerja menyimak obrolannya dengan Mami, karena tiba-tiba berkata, “Lo mau gue kenalin sama temennya suami gue nggak, Ju? Siapa tahu cocok.”
Juda tersenyum dengan agak dipaksakan.
“Nanti deh, Mbak, kalau sama anak temen nyokap gue nggak cocok.”
Seniornya yang sudah menikah lebih dari sepuluh tahun itu tersenyum geli.
“Gue pernah ada di posisi lo, Ju. Tapi ntar juga lewat kok.”
“Ini udah cowok entah keberapa yang nyokap gue sodorin ke gue, Mbak.”
Seniornya tertawa. “Kalau belum jodoh yam au gimana lagi. Nanti bakal ada saatnya ketemu yang tepat.”
“Nah, masalah itu kapan?” erang Juda putus asa, yang sekali lagi ditertawakan oleh seniornya.
.
.
to be continued
Sejujurnya, Juda belum seputus asa itu untuk bisa segera menikah. Ini semua karena tuntutan dan desakan Mami yang membuat Juda nyaris gila. Jika diberi pilihan, tentu saja Juda akan memilih untuk tidak menikah dulu, setidaknya sampai ia bisa menuntaskan masalah hatinya. Juda ingin dan berharap bisa menemukan seseorang yang bisa membuatnya kembali percaya kepada laki-laki. Yang bisa mengajarinya arti cinta, bukan sebuah pertemuan yang diatur oleh Mami dengan paksaan yang membuatnya tertekan hingga membuatnya tak bisa tidur nyenyak.Ema, teman terdekatnya sejak SMA, berkali-kali berkata, “Sekali-kali lo tegasin aja ke nyokap lo, Ju. Bilang ke beliau kalau lo udah gede dan bisa ngatur masa depan lo sendiri. Lo bisa tegas ke orang-orang, tapi sama nyokap sendiri lembek banget. Dengan lo bersikap kayak gitu, nyokap lo pasti jadi ngerasa kalau dia punya kuasa buat ngatur lo harus begini begitu.”Hari ini, setelah Juda bercerita tentang Sakha dan juga Hamish, ia langsung disembur Ema dengan
Seperti yang sudah Juda prediksi, laki-laki yang bernama Hamish−bukan Hamish Daud−jauh dari apa yang Juda harapkan. Tinggal di luar negeri cukup lama tidak membuat Hamish menjadi pribadi yang liberal. Laki-laki itu sangat konservatif bahkan cenderung patriarkis. Juda berkali-kali ingin menampar wajah laki-laki berparas tampan itu−terlalu putih untuk ukuran laki-laki Jawa tulen−karena mendominasi percakapan dengan segala pencapaiannya selama hidup. Mereka bahkan baru bertatap muka tidak sampai dua jam dan laki-laki itu“Kalau kita menikah, saya sangat berharap kamu mau ikut saya ke Kanada dan menetap di sana. Saya di sana sudah punya rumah, cukup besar untuk menampung satu keluarga dengan dua sampai empat anak. Saya sudah siapkan tabungan masa depan, biaya sekolah anak dari sekolah dasar sampai kuliah."Insyaallah cukup dan masih akan bertambah selama saya masih bekerja sampai pension dua puluh tahun lagi. Kamu juga nggak perlu khawatir, saya menanam saham di banyak perusahaan besar, j
Sepulang Hamish dari rumah Mami−setelah Juda diomeli Mami sampai telinganya panas karena katanya menyia-nyiakan calon suami potensial−wanita itu buru-buru masuk ke kamar dan menghubungi Ema. Menceritakan semuanya dari awal hingga akhir pertemuannya dengan Hamish tadi.“Gila sih, duitnya emang banyak. Tapi ritme hidupnya gila banget. Nggak seimbang sama ritme hidup gue,” keluh Juda.“Seriusan lo tolak langsung orangnya? Please, dia nggak lo judesin karena lo nggak sreg sama orangnya, kan?”“Gue nolaknya classy kok. Nggak sambil ngomel-ngomel kayak ibu-ibu,” tukas Juda sebelum Ema mengejeknya. Kemudian ia mendesah lirih. “Gue bisa bilang kalau Hamish ini mantu idaman banget, Em. Tutur katanya halus kayak sultan, santun banget sama orang tua, murah senyum, nggak suka main mata selama ngobrol sama gue, udah gitu ganteng, tajir, pokoknya paket lengkap. Tapi tetap aja a big NO buat gue. Bisa mati muda kayaknya hidup sama laki-laki penganut paham patriarkis kayak dia. Gue belum ngomong aja d
Laki-laki yang dibicarakan oleh Juda dan Ema itu hidup dan tinggal di belahan bumi yang lain. Namanya Daniswara Jati Praba. Nama pemberian dari orang tuanya yang terdengar kuat dan gagah. Sudah sepuluh tahun Danis tinggal di Belanda. Mengejar mimpi berkuliah di negeri kincir angin itu, bekerja di sana, dan berniat untuk menetap di sana, sampai bayangan masa depan itu diruntuhkan oleh seseorang yang sudah ia beri kepercayaan besar sebagai pasangan hidupnya. Kehidupan yang sudah susah payah Danis bangun, dengan harapan ada kebahagiaan di dalamnya, kini seolah tak ada artinya. Ia dihempas oleh rasa sakit yang membuatnya kehilangan pegangan dalam hidup. Danis sedang menatap keluar jendela kamarnya yang berada di lantai lima dengan mata yang menerawang jauh seakan bisa menembus langit. Sudah beberapa minggu terakhir ini hanya aktivitas itu yang ia lakukan selepas pulang dari kantor. Ia mengunci diri di kamar, tak membiarkan siapa pun menginterupsi aktivitasnya. Terutama penghuni lain di
Hari itu, sekitar lima minggu yang lalu, Danis baru saja kembali ke Amsterdam setelah melakukan perjalanan dinas selama satu minggu ke Paris. Ia tidak langsung pulang ke apartemen karena harus mengunjungi pemakaman rekan kerjanya yang meninggal karena kecelakaan. Dari pemakaman, Danis diajak mampir untuk minum-minum—Danis tidak ikut minum minuman keras, namun tetap ikut berkumpul sebagai bentuk solidaritas—bersama rekan-rekan kerjanya untuk mengenang teman mereka. Hari sudah mulai gelap saat Danis pamit untuk pulang.Danis membuka pintu apartemennya yang tidak terkunci dengan perasaan ringan. Ingin cepat-cepat memeluk dan mencium istrinya untuk menyalurkan kerinduan yang membuncah memenuhi dadanya. Namun, segera setelah pintu apartemennya terbuka lebar, ia disuguhi pemandangan paling buruk yang tidak pernah ia bayangkan akan ia lihat. Istrinya sedang bercumbu mesra dengan Samuel, sahabat dekat Danis, di sofa ruang tamu. Saling meraba tubuh satu sama lain dengan gairah yang menggebu-ge
Setelah gagal mendapatkan kontak Danis yang bisa dihubungi, Juda mulai berpikir bahwa kemungkinan memang bukan karena unfinished business-nya dengan Danis yang membuat hubungan percintaannya selama beberapa tahun terakhir ini menjadi kacau. Seperti kata Ema, masalah Juda kemungkinan hanya ada pada dirinya. Namun, ia malah seperti sengaja mengkambinghitamkan orang lain—dalam hal ini Danis—agar tidak dipandang terlalu buruk karena bermasalah dalam berhubungan dengan laki-laki hingga Mami harus turun tangan berkali-kali untuk ‘mencarikan’ dirinya jodoh. Yang sampai saat ini masih belum nampak juga hilalnya.“Saran gue, lo harus berusaha gimana pun caranya buat buka hati. Mami lo bener waktu bilang kalau jodoh nggak akan datang cuma karena lo tungguin, tapi harus ada usaha juga buat ‘nemuin’ jodoh lo. Jangan nunggu ada orang lain yang bisa mendobrak benteng pertahanan hati lo. Lo udah ngalamin berkali-kali kalau kebanyakan orang nyerah duluan karena tahu kalau lo nggak bener-bener mau men
Renata tidak terima diceraikan begitu saja 'hanya' karena ia kepergok berciuman dengan Samuel. Itulah kenapa setelah Danis mengikrarkan perpisahan, Renata tidak terima.Awalnya Renata memohon sambil menangis-nangis, meminta maaf atas segala kesalahannya, tetapi setelah dua minggu tidak ada progres dan malah membuat Danis semakin menjauh, Renata kehilangan kesabaran. Ia berang dan meluapkan kemarahan dengan membanting piring. Awalnya, hanya karena satu buah piring yang baru saja ia pakai untuk makan yang tidak sengaja meluncur dari tangannya dan kemudian jatuh ke lantai hingga pecah berkeping-keping. Ada perasaan puas yang terasa ganjal yang terlintas di kepalanya, merasa bahwa dengan memecahkan piring ia bisa merasa lega.Maka, setiap kali Renata pulang ke apartemen dan lagi-lagi harus mendapati kenyataan kalau Danis masih tidak mau bicara dengannya, wanita itu akan melampiaskan rasa frustrasinya dengan membanting piring. Semakin banyak piring yang ia banting, seraya meluapkan amarahn
Danis membuka dompetnya dengan perasaan campur aduk. Ia benar-benar telah melupakan keberadaan foto Juda yang ada di dompetnya. Dulu, Juda sendiri yang memasukkan fotonya ke sana saat memberikan dompet itu sebagai hadiah ulang tahun untuknya. Meski sudah tidak terlalu mengingat momen itu, Danis samar ingat bahwa Juda sempat berkata, "Biar kamu semangat belajarnya, aku taroh foto aku di dompet kamu. Kamu bisa pandangin foto aku kalau kamu kangen aku.” Saat itu, Juda mengatakannya dengan senyum yang menghiasi wajah tirusnya. Juda yang lebih sering menampilkan wajah judes dan galaknya, hari itu menyuguhkan senyum manis yang membuat hati Danis berbunga-bunga. Sudut hati Danis seolah berdenyut nyeri saat foto Juda ia keluarkan dari dompetnya. Juda tampak sangat belia di foto yang sudah termakan usia itu. Bagaimana penampilan Juda versi dewasa? Apakah semakin cantik? Apakah bertambah galak dan judes seperti saat masih menjadi kekasihnya? Bagaimana kehidupan Juda saat ini? Apakah Juda be