Sejujurnya, Juda belum seputus asa itu untuk bisa segera menikah. Ini semua karena tuntutan dan desakan Mami yang membuat Juda nyaris gila. Jika diberi pilihan, tentu saja Juda akan memilih untuk tidak menikah dulu, setidaknya sampai ia bisa menuntaskan masalah hatinya. Juda ingin dan berharap bisa menemukan seseorang yang bisa membuatnya kembali percaya kepada laki-laki. Yang bisa mengajarinya arti cinta, bukan sebuah pertemuan yang diatur oleh Mami dengan paksaan yang membuatnya tertekan hingga membuatnya tak bisa tidur nyenyak.
Ema, teman terdekatnya sejak SMA, berkali-kali berkata, “Sekali-kali lo tegasin aja ke nyokap lo, Ju. Bilang ke beliau kalau lo udah gede dan bisa ngatur masa depan lo sendiri. Lo bisa tegas ke orang-orang, tapi sama nyokap sendiri lembek banget. Dengan lo bersikap kayak gitu, nyokap lo pasti jadi ngerasa kalau dia punya kuasa buat ngatur lo harus begini begitu.”
Hari ini, setelah Juda bercerita tentang Sakha dan juga Hamish, ia langsung disembur Ema dengan omelan serupa.
Juda mengaduk-aduk kopinya yang tinggal tersisa separuh gelas tanpa berminat menghabiskannya.
“Nyokap gue begitu karena khawatir sama gue, Em. Karena nyokap gue sayang sama gue.”
“Ngerti gue.” Ema bersedekap. Duduk tegak di kursinya yang berseberangan dengan Juda. “Gue juga bukannya nyuruh lo jadi anak durhaka. Gue cuma minta lo buat ngomong lebih tegas aja. Gue bilang tegas ya, bukan yang cuma ngomel galak terus ngadu ke bokap lo kalau nyokap lo nggak mau dengerin pendapat lo. Gue yakin bokap lo juga bakal dukung lo kalau lo mau tegas soal hidup dan perasaan lo sendiri.”
Ema memberikan tatapan galak dan serius di waktu yang bersamaan. Satu-satunya orang terdekat Juda−selain orang tua dan kedua kakaknya−yang bisa membuat Juda mengkeret saat diceramahi.
“Katanya lo berharap ketemu sama cowok yang bisa bikin lo nyaman dan bisa buka hati lo buat dia, kan? Percaya sama gue, mau sampai seratus laki disodorin nyokap lo, kalau lo nggak beneran ikhlas ketemu mereka, bakal sia-sia. Bisa-bisa sampai umur empat puluh lo bakalan masih perawan.”
“Doa lo jelek banget, sih! Gue juga bukannya pengen jadi perawan tua.”
Juda melemparkan gumpalan tisu ke wajah Ema dengan kesal.
Ema menghindar dengan mudah hingga tisu itu jatuh di lantai.
“Ya, makanya. Daripada lo tiap saat ngeluh mulu ke gue tiap nyokap lo mulai gencar jodoh-jodohin lo, mending lo turutin nasihat gue. Atau gini aja, kalau lo beneran nggak bisa ngomong ke nyokap lo, lo tetepin hati lo dulu sebelum ketemu calon yang dipilihin nyokap lo. Jangan langsung kasih red flag cuma gara-gara dia nggak bisa bedain warna lilac sama lavender.”
“Gue nggak pernah kasih red flag ke cowok yang nggak bisa bedain warna lilac sama lavender! Gue kan juga buta warna. Gue cuma tahu warna pelangi mejikuhibiniu,” cerocos Juda.
Ema menyemburkan tawa karenanya.
“Tapi lo pernah kasih red flag ke siapa tuh, cowok berkacamata yang nembak lo pake 25 tangkai bunga mawar waktu lo ulang tahun ke-25.”
“Oh si Gibran yang dokter saraf itu ya. Waktu dua kali jalan sama dia, gue udah cerita kalau gue tuh nggak suka bunga, tapi masih aja dikasih. Gue sebel aja soalnya dia tuh kelihatannya aja pendengar yang baik, ternyata pura-pura doang. Udah gitu ternyata anaknya pamrih banget. Dia bilang ‘Sia-sia sekali menghabiskan waktu bersama perempuan yang nggak punya masa depan’,” gerutu Juda yang mulai mengais ingatan tentang salah satu mantan pacarnya.
“Siapa juga yang mau tiba-tiba langsung diajak kawin padahal baru kenal empat bulan. Satu bukti lagi kalau dia emang nggak bener-bener dengerin tiap gue ngomong. Di date pertama setelah dikenalin sama senior gue aja gue udah bilang kalau gue mau hubungan yang nyantai. Eh, dia malah ngegas, kan gue males juga jadinya.”
“Kalau gue jadi lo juga bakal langsung kabur sih walaupun doi duitnya banyak,” gumam Ema. “Tapi yang masih bikin gue heran, kenapa lo kenal sama cowok nggak jelas semua.”
Warna muka Juda semakin keruh.
“Gue curiga kalau ada yang ngutuk gue biar gue nggak bisa punya hubungan yang adem ayem sama cowok.”
“Coba lo inget-inget lagi, deh. Menurut lo, dari semua mantan lo, siapa yang paling tersakiti waktu kalian putus?”
Itu adalah pertanyaan paling mudah yang bisa dijawab Juda tanpa perlu berpikir.
“Lo tahu pasti siapa, Em,” ujarnya dengan pahit.
Perlu beberapa detik sebelum Ema paham.
“Danis. Dia juga yang bikin lo patah hati nggak sembuh-sembuh,” cetus wanita berkuncir kuda itu dengan nada setengah prihatin dan setengah bosan. “Gue jadi penasaran gimana kabar pujaan hati lo itu.”
“Danis bukan pujaan hati gue,” elak Juda dengan galak.
Ema tidak mengindahkan suara keras Juda dan malah berkata, “Gue dengar-dengar sih, katanya Danis belum pernah balik ke Indonesia dari sejak dia berangkat ke Belanda sepuluh tahun lalu. Setelah lulus S1, doi langsung lanjut S2. Sebelum lulus S2 dia udah dapet kerjaan di sana.”
“Gue nggak peduli. Nggak usah bahas Danis lagi, bisa kan?”
Ema mengerling geli. “Duh, ada yang galau.”
“Gue nggak galau.” Juda memutar bola matanya dengan malas.
Ema sudah ingin kembali menggoda Juda, namun saat melihat jarum jam pendek di angka sepuluh, ia urung.
“Udah ah, yuk balik. Udah mau jam sepuluh nih,” ajak Ema masih sambil menatap arloji di pergelangan tangan. “Gue besok harus ke bandara pagi-pagi banget.”
“Jemput Astu? Bukannya bulan lalu dia pulang ke Jakarta? Masa udah pulang lagi?” tanya Juda.
Ema menggeleng. “Gue mau dinas ke Bali.”
Juda langsung menggerutu, “Dinas mulu kerja lo. Apalah gue yang tiap hari cuma duduk di depan komputer ngitung duit sampai bokong gue tepos.”
Juda sudah lima tahun−ia belum pernah pindah sejak lulus kuliah−bekerja sebagai akuntan di bagian Subag Akuntansi di sebuah rumah sakit di daerah Kebon Jeruk. Berkutat dengan angka-angka miliaran yang imajiner yang tidak pernah ia lihat wujudnya.
“Gue ikut lo ke Bali aja kali ya biar gue bisa mangkir dari acara arisan nyokap gue,” desah Juda.
“Besok masih Jumat, dodol! Mau bolos lo?” Ema berdiri, dan Juda pun ikut berdiri dari tempat duduknya. Keduanya beranjak meninggalkan kafe. “Ketemu aja dulu, Ju. Kali aja si Hamish ini lebih hot dari Hamish Daud.”
“Gue nggak mau expect terlalu tinggi. Cepak gue dapet zonk mulu.”
Ema tertawa.
Sebelum keduanya berpisah, Ema sekali lagi menawari Juda untuk ikut mobilnya saja ketimbang naik grab menuju indekosnya. Juda menolak karena indekos dan apartemen Ema beda arah.
“Inget kata-kata gue, Ju. Hadapi nyokap lo dengan tegas!” seru Ema setelah grab yang dipesan Juda saat keduanya masih di dalam itu sudah datang dan Juda masuk ke dalamnya setelah mencium pipi kiri dan pipi kanan sahabatnya.
Juda melambaikan tangan dari kursi penumpang kepada Ema sambil tersenyum bosan.
Setelah mobil grab yang membawanya berbelok ke arah jalan raya, Juda menyandarkan punggung dan memejamkan mata sejenak. Empat hari berlalu dengan cepat. Dan lusa sudah akhir pecan. Kalau biasanya akhir pekan selalu dinanti-nanti, sekarang tidak lagi. Sejak desakan Mami kepada Juda untuk segera menikah dan memintanya untuk sering-sering pulang, akhir pekan tidak lagi menjadi hal yang paling Juda hindari.
.
.
to be continued
Seperti yang sudah Juda prediksi, laki-laki yang bernama Hamish−bukan Hamish Daud−jauh dari apa yang Juda harapkan. Tinggal di luar negeri cukup lama tidak membuat Hamish menjadi pribadi yang liberal. Laki-laki itu sangat konservatif bahkan cenderung patriarkis. Juda berkali-kali ingin menampar wajah laki-laki berparas tampan itu−terlalu putih untuk ukuran laki-laki Jawa tulen−karena mendominasi percakapan dengan segala pencapaiannya selama hidup. Mereka bahkan baru bertatap muka tidak sampai dua jam dan laki-laki itu“Kalau kita menikah, saya sangat berharap kamu mau ikut saya ke Kanada dan menetap di sana. Saya di sana sudah punya rumah, cukup besar untuk menampung satu keluarga dengan dua sampai empat anak. Saya sudah siapkan tabungan masa depan, biaya sekolah anak dari sekolah dasar sampai kuliah."Insyaallah cukup dan masih akan bertambah selama saya masih bekerja sampai pension dua puluh tahun lagi. Kamu juga nggak perlu khawatir, saya menanam saham di banyak perusahaan besar, j
Sepulang Hamish dari rumah Mami−setelah Juda diomeli Mami sampai telinganya panas karena katanya menyia-nyiakan calon suami potensial−wanita itu buru-buru masuk ke kamar dan menghubungi Ema. Menceritakan semuanya dari awal hingga akhir pertemuannya dengan Hamish tadi.“Gila sih, duitnya emang banyak. Tapi ritme hidupnya gila banget. Nggak seimbang sama ritme hidup gue,” keluh Juda.“Seriusan lo tolak langsung orangnya? Please, dia nggak lo judesin karena lo nggak sreg sama orangnya, kan?”“Gue nolaknya classy kok. Nggak sambil ngomel-ngomel kayak ibu-ibu,” tukas Juda sebelum Ema mengejeknya. Kemudian ia mendesah lirih. “Gue bisa bilang kalau Hamish ini mantu idaman banget, Em. Tutur katanya halus kayak sultan, santun banget sama orang tua, murah senyum, nggak suka main mata selama ngobrol sama gue, udah gitu ganteng, tajir, pokoknya paket lengkap. Tapi tetap aja a big NO buat gue. Bisa mati muda kayaknya hidup sama laki-laki penganut paham patriarkis kayak dia. Gue belum ngomong aja d
Laki-laki yang dibicarakan oleh Juda dan Ema itu hidup dan tinggal di belahan bumi yang lain. Namanya Daniswara Jati Praba. Nama pemberian dari orang tuanya yang terdengar kuat dan gagah. Sudah sepuluh tahun Danis tinggal di Belanda. Mengejar mimpi berkuliah di negeri kincir angin itu, bekerja di sana, dan berniat untuk menetap di sana, sampai bayangan masa depan itu diruntuhkan oleh seseorang yang sudah ia beri kepercayaan besar sebagai pasangan hidupnya. Kehidupan yang sudah susah payah Danis bangun, dengan harapan ada kebahagiaan di dalamnya, kini seolah tak ada artinya. Ia dihempas oleh rasa sakit yang membuatnya kehilangan pegangan dalam hidup. Danis sedang menatap keluar jendela kamarnya yang berada di lantai lima dengan mata yang menerawang jauh seakan bisa menembus langit. Sudah beberapa minggu terakhir ini hanya aktivitas itu yang ia lakukan selepas pulang dari kantor. Ia mengunci diri di kamar, tak membiarkan siapa pun menginterupsi aktivitasnya. Terutama penghuni lain di
Hari itu, sekitar lima minggu yang lalu, Danis baru saja kembali ke Amsterdam setelah melakukan perjalanan dinas selama satu minggu ke Paris. Ia tidak langsung pulang ke apartemen karena harus mengunjungi pemakaman rekan kerjanya yang meninggal karena kecelakaan. Dari pemakaman, Danis diajak mampir untuk minum-minum—Danis tidak ikut minum minuman keras, namun tetap ikut berkumpul sebagai bentuk solidaritas—bersama rekan-rekan kerjanya untuk mengenang teman mereka. Hari sudah mulai gelap saat Danis pamit untuk pulang.Danis membuka pintu apartemennya yang tidak terkunci dengan perasaan ringan. Ingin cepat-cepat memeluk dan mencium istrinya untuk menyalurkan kerinduan yang membuncah memenuhi dadanya. Namun, segera setelah pintu apartemennya terbuka lebar, ia disuguhi pemandangan paling buruk yang tidak pernah ia bayangkan akan ia lihat. Istrinya sedang bercumbu mesra dengan Samuel, sahabat dekat Danis, di sofa ruang tamu. Saling meraba tubuh satu sama lain dengan gairah yang menggebu-ge
Setelah gagal mendapatkan kontak Danis yang bisa dihubungi, Juda mulai berpikir bahwa kemungkinan memang bukan karena unfinished business-nya dengan Danis yang membuat hubungan percintaannya selama beberapa tahun terakhir ini menjadi kacau. Seperti kata Ema, masalah Juda kemungkinan hanya ada pada dirinya. Namun, ia malah seperti sengaja mengkambinghitamkan orang lain—dalam hal ini Danis—agar tidak dipandang terlalu buruk karena bermasalah dalam berhubungan dengan laki-laki hingga Mami harus turun tangan berkali-kali untuk ‘mencarikan’ dirinya jodoh. Yang sampai saat ini masih belum nampak juga hilalnya.“Saran gue, lo harus berusaha gimana pun caranya buat buka hati. Mami lo bener waktu bilang kalau jodoh nggak akan datang cuma karena lo tungguin, tapi harus ada usaha juga buat ‘nemuin’ jodoh lo. Jangan nunggu ada orang lain yang bisa mendobrak benteng pertahanan hati lo. Lo udah ngalamin berkali-kali kalau kebanyakan orang nyerah duluan karena tahu kalau lo nggak bener-bener mau men
Renata tidak terima diceraikan begitu saja 'hanya' karena ia kepergok berciuman dengan Samuel. Itulah kenapa setelah Danis mengikrarkan perpisahan, Renata tidak terima.Awalnya Renata memohon sambil menangis-nangis, meminta maaf atas segala kesalahannya, tetapi setelah dua minggu tidak ada progres dan malah membuat Danis semakin menjauh, Renata kehilangan kesabaran. Ia berang dan meluapkan kemarahan dengan membanting piring. Awalnya, hanya karena satu buah piring yang baru saja ia pakai untuk makan yang tidak sengaja meluncur dari tangannya dan kemudian jatuh ke lantai hingga pecah berkeping-keping. Ada perasaan puas yang terasa ganjal yang terlintas di kepalanya, merasa bahwa dengan memecahkan piring ia bisa merasa lega.Maka, setiap kali Renata pulang ke apartemen dan lagi-lagi harus mendapati kenyataan kalau Danis masih tidak mau bicara dengannya, wanita itu akan melampiaskan rasa frustrasinya dengan membanting piring. Semakin banyak piring yang ia banting, seraya meluapkan amarahn
Danis membuka dompetnya dengan perasaan campur aduk. Ia benar-benar telah melupakan keberadaan foto Juda yang ada di dompetnya. Dulu, Juda sendiri yang memasukkan fotonya ke sana saat memberikan dompet itu sebagai hadiah ulang tahun untuknya. Meski sudah tidak terlalu mengingat momen itu, Danis samar ingat bahwa Juda sempat berkata, "Biar kamu semangat belajarnya, aku taroh foto aku di dompet kamu. Kamu bisa pandangin foto aku kalau kamu kangen aku.” Saat itu, Juda mengatakannya dengan senyum yang menghiasi wajah tirusnya. Juda yang lebih sering menampilkan wajah judes dan galaknya, hari itu menyuguhkan senyum manis yang membuat hati Danis berbunga-bunga. Sudut hati Danis seolah berdenyut nyeri saat foto Juda ia keluarkan dari dompetnya. Juda tampak sangat belia di foto yang sudah termakan usia itu. Bagaimana penampilan Juda versi dewasa? Apakah semakin cantik? Apakah bertambah galak dan judes seperti saat masih menjadi kekasihnya? Bagaimana kehidupan Juda saat ini? Apakah Juda be
Ketika pertama kali membuka laman dating app yang diunduh Ema di ponselnya, Juda langsung disuguhi dengan ratusan foto laki-laki. Tidak hanya memperlihatkan foto saja, pengguna juga bisa mengatur lokasi sedemikian rupa, sehingga bisa memperlihatkan seberapa jauh jarak antara pengguna dengan pengguna lain, yang tentu saja semakin memudahkan pengguna dating app tersebut. Swipe ke kanan jika merasa tertarik dengan orang tersebut atau swipe ke kiri apabila tidak tertarik atau tidak suka. Dan kini, terhitung dua minggu sudah terlewati sejak Juda pertama kali bermain Tinder. Namun, ia belum menemukan 'match' yang benar-benar sesuai dengan kriterianya. Ada sekitar lima puluh orang yang ia swipe kanan, ada sekitar dua puluhan orang yang 'match'—atau bisa dibilang kedua belah pihak sama-sama saling men-swipe kanan—dan hanya sembilan di antaranya yang sampai ke tahap chatting-an. Yang mana merupakan tahap paling sulit bagi Juda, karena ia harus membangun percakapan yang menyenangkan. Dan mes