Seperti yang sudah Juda prediksi, laki-laki yang bernama Hamish−bukan Hamish Daud−jauh dari apa yang Juda harapkan. Tinggal di luar negeri cukup lama tidak membuat Hamish menjadi pribadi yang liberal. Laki-laki itu sangat konservatif bahkan cenderung patriarkis. Juda berkali-kali ingin menampar wajah laki-laki berparas tampan itu−terlalu putih untuk ukuran laki-laki Jawa tulen−karena mendominasi percakapan dengan segala pencapaiannya selama hidup. Mereka bahkan baru bertatap muka tidak sampai dua jam dan laki-laki itu
“Kalau kita menikah, saya sangat berharap kamu mau ikut saya ke Kanada dan menetap di sana. Saya di sana sudah punya rumah, cukup besar untuk menampung satu keluarga dengan dua sampai empat anak. Saya sudah siapkan tabungan masa depan, biaya sekolah anak dari sekolah dasar sampai kuliah.
"Insyaallah cukup dan masih akan bertambah selama saya masih bekerja sampai pension dua puluh tahun lagi. Kamu juga nggak perlu khawatir, saya menanam saham di banyak perusahaan besar, jadi setelah pensiun dari pekerjaan saya sekarang, hidup kita masih tetap akan terjamin, nggak akan kekurangan sedikit pun.”
Juda terbengong-bengong.
Masa depan yang sudah terencana dengan sistematis itu sama sekali tidak sampai di otak Juda. Untuk berpacaran yang menjurus ke arah serius saja Juda kerap kali gagal, lalu tiba-tiba ia dihadapkan dengan seorang Hamish yang langsung membombardirnya dengan rencana besar untuk belasan bahkan puluhan tahun ke depan. Menikah, membangun keluarga kecil yang bahagia, punya anak. Terlalu banyak informasi yang dijejalkan laki-laki itu ke otak Juda, membuatnya pening dan ingin muntah.
“Maaf, Hamish, saya mau ke dapur sebentar,” sela Juda sebelum Hamish kembali menjabarkan satu demi satu rencana masa depannya. “Kamu mau sekalian nambah minum atau makanan?”
Hamish tersenyum seraya melirik meja yang penuh hidangan makanan dan minuman.
“Ini udah lebih dari cukup, Juda. Terima kasih.”
“Oke, kalau gitu saya tinggal sebentar ya.”
Juda membalas dengan senyum canggung sebelum beranjak pergi.
Sejujurnya, saat pertama kali dihadiahi senyum manis laki-laki itu, jantung Juda kembang kempis kesenangan. Senyum Hamish sangat memikat. Namun, senyuman saja tidak cukup. Hamish tidak memberikan kenyamanan, bahkan tidak mau berusaha membangun percakapan dua arah. Sepanjang mengobrol, semua hanya tentang dirinya.
Terlebih lagi, laki-laki itu menawarkan kehidupan rumah tangga di mana Juda akan ditahan di dalam rumah. Sementara Juda tidak bisa melepaskan kehidupannya, terutama pekerjaannya di Indonesia hanya untuk menjadi ibu rumah tangga yang dalam sisa hidupnya untuk ia baktikan kepada suami dan anak-anaknya kelak. Ia jelas tidak akan sanggup dengan kehidupan semacam itu.
Juda berlama-lama di kamar mandi yang berada di samping dapur. Mengulur waktu selama mungkin sambil berharap acara arisan di rumahnya itu segera berakhir agar ia tidak terjebak dengan Hamish lebih lama lagi. Agar ia bisa segera memberikan penolakan dan membuat Hamish mundur teratur tanpa pertimbangan dua kali.
Saat Juda sedang melamun, ia dikagetkan oleh ketukan agak kasar dari luar.
“Ju, Hamish-nya kenapa kamu tinggalin di belakang?!”
Itu adalah suara Mami.
Juda mengerang dengan gemas.
“Aku kebanyakan makan puding, Mi. Mules, nih,” dusta Juda dengan setengah berteriak.
“Ya ampun, malu-maluin banget kamu itu. Jangan lama-lama, Ju. Kasihan anak orang kamu anggurin sendirian kayak anak ilang.”
“Nggak kayak anak ilang juga kali, Mi. Udah tiga puluh tahun umurnya,” cetus Juda.
“Terserah. Pokoknya jangan bikin malu Mami, ya. Mami percaya kamu bisa mengambil hati Hamish. Jangan terlalu galak dan tertutup.”
“Iya, Mami tenang aja.
Kemudian Juda meminta Mami pergi setelah berkata bahwa ia akan segera keluar.
Setelah terdengar langkah kaki Mami menjauh, Juda menggerutu kecil, “Nggak usah repot-repot mengambil hatinya, Mi. Si Hamish sibuk promosi sendiri.”
***
Juda merasa waktu sudah berlalu cukup lama, tetapi nyatanya hanya sepuluh menit ia menghabiskan waktunya di kamar mandi.
“Maaf agak lama,” ucap Juda sembari duduk.
Wanita itu pura-pura merasa tak enak hati dan menunjukkan ekspresi penuh sesal yang dibuat-buat.
“Nggak apa-apa.” Hamish kembali menampilkan senyum manisnya yang memikat. “Sampai mana tadi kita ngobrolnya?”
Juda menahan diri untuk tidak mengungkapkan rasa muaknya dengan tersenyum singkat dan kemudian membiarkan Hamish kembali bicara tentang visi misi dalam hidupnya.
Juda akui bahwa Hamish adalah orang hebat. Sukses membangun karir di negeri orang bukanlah hal yang remeh dan bisa dilakukan semua orang. Namun, jika laki-laki itu terus membicarakan tentang dirinya sendiri, tanpa sekali pun bertanya tentang kehidupan Juda, bagaimana mereka bisa membangun rumah tangga seperti yang diinginkan laki-laki itu?
“Untuk biaya pernikahan, saya juga sudah siapkan. Mau yang mewah atau yang sederhana, saya mengikuti saja. Semua saya serahkan ke kamu.” Hamish menyebutkan nominal yang cukup besar, yang bahkan junlah tabungan di rekening Juda saja tidak mencapai setengahnya. “Kita bisa mulai mendiskusikannya hari ini kalau kamu mau−”
“Maaf, Hamish,” Juda menyela dengan agak sungkan sebelum Hamish makin melantur. “Saya yakin kalau sejak tadi kamu belum bertanya ke saya, apa saya bersedia menikahi kamu hanya dari CV yang kamu jabarkan dari sejak kamu dan saya duduk di sini. Kamu bahkan nggak bertanya tentang umur saya, di mana saya bekerja, kesibukan saya apa, apa kamu yakin memang mau menikah dengan saya? Atau kamu hanya mau mencari istri yang segala-galanya kamu atur sampai istri kamu kehilangan hak suaranya untuk berpendapat?”
Hamish terlihat cukup syok karena Juda yang sejak tadi hanya bicara sepatah dua patah kata dengan nada lembut nan canggung itu tiba-tiba mencerocos panjang lebar dengan suara yang bisa dibilang cukup keras dan tegas−lebih tepatnya galak dan judes kalau mengutip kata Mami dan orang-orang.
Laki-laki itu terlihat ingin membuka mulut untuk menjelaskan. Namun, Juda masih belum selesai dengan ganjalan yang mendesak agar segera dikeluarkan dari kepalanya.
“Look, saya sangat menghargai kamu yang mau datang ke sini dan menemui saya untuk… katakan saja melamar saya. Kalau kamu berniat membuat saya terkesan dengan semua pencapaian, jumlah tabungan sekian M dan berbagai aset yang kamu miliki, jujur saja saya memang terkesan. Amat sangat terkesan. Dan saya yakin dengan semua itu, kamu bisa memenuhi kebutuhan saya tanpa saya perlu bekerja keras untuk mendapatkannya. Tapi maaf, bukan itu yang saya inginkan, Hamish. Saya nggak mau hidup hanya dengan bergantung pada orang lain walaupun itu suami saya sendiri kelak.”
Juda mengambil napas dalam satu tarikan, mengembuskannya perlahan kemudian lanjut bersuara, “Saya senang dengan apa yang saya miliki sekarang di sini dan saya nggak berniat melepaskan pekerjaan saya dalam waktu dekat. Walaupun saya harus bekerja dari pagi sampai sore dan terus-terusan mengeluh karena banyak deadline. Walaupun saya sudah bekerja bertahun-tahun tapi nggak punya tabungan masa depan sebanyak yang kamu miliki.
“Kamu mungkin nggak mau tahu, tapi saya dididik orang tua saya untuk menjadi mandiri dan independen. Menjadi wanita karir adalah cita-cita saya sejak kecil. Kalau diminta, apalagi dipaksa untuk melepaskan pekerjaan saya untuk mengabdi menjadi istri dan ibu, dengan segala hormat saya untuk kamu, saya harus menolak,” sambung Juda tanpa gentar. “Saya sadar, saya mungkin terlalu sombong karena menolak laki-laki sekaliber kamu. Tapi saya benar-benar nggak bisa.”
“Kamu baru saja menolak saya?”
Hamish mungkin tidak menyangka akan mendapat penolakan sejelas dan setegas itu. Kepercayaan diri yang terpancar sejak menginjakkan kaki di halaman rumah Juda itu mulai pudar digantikan seraut wajah gelisah yang ia coba samarkan.
Juda menatap Hamish dengan penuh sesal. Kali ini bukan sebuah kepura-puraan. Ia benjar-benar menyesal karena tidak bisa menerima niat baik Hamish.
“Maaf. Saya harus bilang kalau banyak wanita yang lebih siap untuk menjadi istri dan ibu rumah tangga. Dan orang itu bukan saya.”
“Kalau saya mengizinkan kamu tetap bekerja setelah kita menikah, kamu mau menerima saya?”
Kalau saja Juda tidak terlanjur illfeel dengan kenarsisan laki-laki itu, mungkin saja ia masih mau mempertimbangkan tawaran itu.
Namun, tidak.
Keputusan Juda sudah bulat.
Juda pun menggeleng tegas. “Maaf, Hamish.”
.
.
to be continued
Sepulang Hamish dari rumah Mami−setelah Juda diomeli Mami sampai telinganya panas karena katanya menyia-nyiakan calon suami potensial−wanita itu buru-buru masuk ke kamar dan menghubungi Ema. Menceritakan semuanya dari awal hingga akhir pertemuannya dengan Hamish tadi.“Gila sih, duitnya emang banyak. Tapi ritme hidupnya gila banget. Nggak seimbang sama ritme hidup gue,” keluh Juda.“Seriusan lo tolak langsung orangnya? Please, dia nggak lo judesin karena lo nggak sreg sama orangnya, kan?”“Gue nolaknya classy kok. Nggak sambil ngomel-ngomel kayak ibu-ibu,” tukas Juda sebelum Ema mengejeknya. Kemudian ia mendesah lirih. “Gue bisa bilang kalau Hamish ini mantu idaman banget, Em. Tutur katanya halus kayak sultan, santun banget sama orang tua, murah senyum, nggak suka main mata selama ngobrol sama gue, udah gitu ganteng, tajir, pokoknya paket lengkap. Tapi tetap aja a big NO buat gue. Bisa mati muda kayaknya hidup sama laki-laki penganut paham patriarkis kayak dia. Gue belum ngomong aja d
Laki-laki yang dibicarakan oleh Juda dan Ema itu hidup dan tinggal di belahan bumi yang lain. Namanya Daniswara Jati Praba. Nama pemberian dari orang tuanya yang terdengar kuat dan gagah. Sudah sepuluh tahun Danis tinggal di Belanda. Mengejar mimpi berkuliah di negeri kincir angin itu, bekerja di sana, dan berniat untuk menetap di sana, sampai bayangan masa depan itu diruntuhkan oleh seseorang yang sudah ia beri kepercayaan besar sebagai pasangan hidupnya. Kehidupan yang sudah susah payah Danis bangun, dengan harapan ada kebahagiaan di dalamnya, kini seolah tak ada artinya. Ia dihempas oleh rasa sakit yang membuatnya kehilangan pegangan dalam hidup. Danis sedang menatap keluar jendela kamarnya yang berada di lantai lima dengan mata yang menerawang jauh seakan bisa menembus langit. Sudah beberapa minggu terakhir ini hanya aktivitas itu yang ia lakukan selepas pulang dari kantor. Ia mengunci diri di kamar, tak membiarkan siapa pun menginterupsi aktivitasnya. Terutama penghuni lain di
Hari itu, sekitar lima minggu yang lalu, Danis baru saja kembali ke Amsterdam setelah melakukan perjalanan dinas selama satu minggu ke Paris. Ia tidak langsung pulang ke apartemen karena harus mengunjungi pemakaman rekan kerjanya yang meninggal karena kecelakaan. Dari pemakaman, Danis diajak mampir untuk minum-minum—Danis tidak ikut minum minuman keras, namun tetap ikut berkumpul sebagai bentuk solidaritas—bersama rekan-rekan kerjanya untuk mengenang teman mereka. Hari sudah mulai gelap saat Danis pamit untuk pulang.Danis membuka pintu apartemennya yang tidak terkunci dengan perasaan ringan. Ingin cepat-cepat memeluk dan mencium istrinya untuk menyalurkan kerinduan yang membuncah memenuhi dadanya. Namun, segera setelah pintu apartemennya terbuka lebar, ia disuguhi pemandangan paling buruk yang tidak pernah ia bayangkan akan ia lihat. Istrinya sedang bercumbu mesra dengan Samuel, sahabat dekat Danis, di sofa ruang tamu. Saling meraba tubuh satu sama lain dengan gairah yang menggebu-ge
Setelah gagal mendapatkan kontak Danis yang bisa dihubungi, Juda mulai berpikir bahwa kemungkinan memang bukan karena unfinished business-nya dengan Danis yang membuat hubungan percintaannya selama beberapa tahun terakhir ini menjadi kacau. Seperti kata Ema, masalah Juda kemungkinan hanya ada pada dirinya. Namun, ia malah seperti sengaja mengkambinghitamkan orang lain—dalam hal ini Danis—agar tidak dipandang terlalu buruk karena bermasalah dalam berhubungan dengan laki-laki hingga Mami harus turun tangan berkali-kali untuk ‘mencarikan’ dirinya jodoh. Yang sampai saat ini masih belum nampak juga hilalnya.“Saran gue, lo harus berusaha gimana pun caranya buat buka hati. Mami lo bener waktu bilang kalau jodoh nggak akan datang cuma karena lo tungguin, tapi harus ada usaha juga buat ‘nemuin’ jodoh lo. Jangan nunggu ada orang lain yang bisa mendobrak benteng pertahanan hati lo. Lo udah ngalamin berkali-kali kalau kebanyakan orang nyerah duluan karena tahu kalau lo nggak bener-bener mau men
Renata tidak terima diceraikan begitu saja 'hanya' karena ia kepergok berciuman dengan Samuel. Itulah kenapa setelah Danis mengikrarkan perpisahan, Renata tidak terima.Awalnya Renata memohon sambil menangis-nangis, meminta maaf atas segala kesalahannya, tetapi setelah dua minggu tidak ada progres dan malah membuat Danis semakin menjauh, Renata kehilangan kesabaran. Ia berang dan meluapkan kemarahan dengan membanting piring. Awalnya, hanya karena satu buah piring yang baru saja ia pakai untuk makan yang tidak sengaja meluncur dari tangannya dan kemudian jatuh ke lantai hingga pecah berkeping-keping. Ada perasaan puas yang terasa ganjal yang terlintas di kepalanya, merasa bahwa dengan memecahkan piring ia bisa merasa lega.Maka, setiap kali Renata pulang ke apartemen dan lagi-lagi harus mendapati kenyataan kalau Danis masih tidak mau bicara dengannya, wanita itu akan melampiaskan rasa frustrasinya dengan membanting piring. Semakin banyak piring yang ia banting, seraya meluapkan amarahn
Danis membuka dompetnya dengan perasaan campur aduk. Ia benar-benar telah melupakan keberadaan foto Juda yang ada di dompetnya. Dulu, Juda sendiri yang memasukkan fotonya ke sana saat memberikan dompet itu sebagai hadiah ulang tahun untuknya. Meski sudah tidak terlalu mengingat momen itu, Danis samar ingat bahwa Juda sempat berkata, "Biar kamu semangat belajarnya, aku taroh foto aku di dompet kamu. Kamu bisa pandangin foto aku kalau kamu kangen aku.” Saat itu, Juda mengatakannya dengan senyum yang menghiasi wajah tirusnya. Juda yang lebih sering menampilkan wajah judes dan galaknya, hari itu menyuguhkan senyum manis yang membuat hati Danis berbunga-bunga. Sudut hati Danis seolah berdenyut nyeri saat foto Juda ia keluarkan dari dompetnya. Juda tampak sangat belia di foto yang sudah termakan usia itu. Bagaimana penampilan Juda versi dewasa? Apakah semakin cantik? Apakah bertambah galak dan judes seperti saat masih menjadi kekasihnya? Bagaimana kehidupan Juda saat ini? Apakah Juda be
Ketika pertama kali membuka laman dating app yang diunduh Ema di ponselnya, Juda langsung disuguhi dengan ratusan foto laki-laki. Tidak hanya memperlihatkan foto saja, pengguna juga bisa mengatur lokasi sedemikian rupa, sehingga bisa memperlihatkan seberapa jauh jarak antara pengguna dengan pengguna lain, yang tentu saja semakin memudahkan pengguna dating app tersebut. Swipe ke kanan jika merasa tertarik dengan orang tersebut atau swipe ke kiri apabila tidak tertarik atau tidak suka. Dan kini, terhitung dua minggu sudah terlewati sejak Juda pertama kali bermain Tinder. Namun, ia belum menemukan 'match' yang benar-benar sesuai dengan kriterianya. Ada sekitar lima puluh orang yang ia swipe kanan, ada sekitar dua puluhan orang yang 'match'—atau bisa dibilang kedua belah pihak sama-sama saling men-swipe kanan—dan hanya sembilan di antaranya yang sampai ke tahap chatting-an. Yang mana merupakan tahap paling sulit bagi Juda, karena ia harus membangun percakapan yang menyenangkan. Dan mes
Setelah mulai kuliah di Belanda, Danis hanya beberapa kali pulang ke Indonesia. Kepulangannya dalam sepuluh tahun terakhir bisa dihitung jari. Dan selalu hanya orang-orang terdekatnya yang tahu. Salah satunya Martin. Bukan karena ingin menjadi sok misterius seperti kata Martin. Namun, karena ia sedang berusaha untuk melupakan banyak hal menyesakkan yang terjadi di tanah kelahirannya itu. Yang pertama adalah karena perceraian orang tuanya yang membuat hidupnya menjadi tak sama lagi. Dan alasan yang kedua karena Juda, mantan kekasihnya yang membuat hatinya patah. Orang tuanya mengikrarkan perceraian saat Danis pulang membawa berita kelulusan bersamkaan dengan saat Danis mengais-ngais sisa-sisa keping hatinya yang patah karena Juda. Hari itu menjadi hari terburuk yang terjadi dalam hidupnya. Danis diputuskan oleh Juda, yang sangat ia sayangi meski hanya tiga bulan berpacaran. Dan saat Danis ingin mengadu kesedihannya ketika kembali ke rumah, ia malah mendapati banyak koper dan tump