Hari itu, sekitar lima minggu yang lalu, Danis baru saja kembali ke Amsterdam setelah melakukan perjalanan dinas selama satu minggu ke Paris. Ia tidak langsung pulang ke apartemen karena harus mengunjungi pemakaman rekan kerjanya yang meninggal karena kecelakaan. Dari pemakaman, Danis diajak mampir untuk minum-minum—Danis tidak ikut minum minuman keras, namun tetap ikut berkumpul sebagai bentuk solidaritas—bersama rekan-rekan kerjanya untuk mengenang teman mereka. Hari sudah mulai gelap saat Danis pamit untuk pulang.
Danis membuka pintu apartemennya yang tidak terkunci dengan perasaan ringan. Ingin cepat-cepat memeluk dan mencium istrinya untuk menyalurkan kerinduan yang membuncah memenuhi dadanya. Namun, segera setelah pintu apartemennya terbuka lebar, ia disuguhi pemandangan paling buruk yang tidak pernah ia bayangkan akan ia lihat. Istrinya sedang bercumbu mesra dengan Samuel, sahabat dekat Danis, di sofa ruang tamu. Saling meraba tubuh satu sama lain dengan gairah yang menggebu-gebu.
Bukan pemandangan sialan itu yang Danis harapkan saat menginjakkan kaki di apartemen. Tadinya, laki-laki itu sengaja tidak memberitahu Renata kalau ia akan pulang hari ini, bermaksud memberikan kejutan kepada istrinya, namun malah ia yang mendapatkan kejutan.
Danis terpaku di tempatnya berdiri. Ia menatap Renata dan Samuel dengan nanar. Sebuket bunga tulip—ia beli dari toko bunga yang berjarak dua blok dari apartemennya—dalam perjalanan pulang menuju apartemen itu jatuh ke lantai, teronggok menyedihkan seperti sekeping hati Danis yang dihempas dengan keras hingga hancur lebur.
“What the hell are you guys doing in my apartment?!” teriak Danis saat Renata dan Samuel semakin larut dalam gairah, hampir saling melucuti pakaian masing-masing tanpa menyadari ada orang lain di sana.
Pergulatan Renata dan Samuel akhirnya terhenti. Keduanya hampir jatuh dari sofa karena terlalu terkejut dengan teriakan Danis yang sarat kemarahan.
Renata gelagapan. Ia berdiri dengan cepat, membenahi rambut dan pakaiannya yang kusut karena pergulatannya dengan Samuel. Ia ingin mengucap sesuatu dan memberikan penjelasan tetapi seolah kata-katanya tertahan. Pada akhirnya ia hanya berdiri canggung di samping Samuel, bergeser dua langkah menjauh dari laki-laki itu, seolah tindakannya bisa membuat suasana menjadi lebih baik.
“Renata, kamu... gimana bisa kamu melakukan ini ke aku?” Tenggorokan Danis tercekat. Rasanya seperti menelan ratusan duri.
Seperti sengaja menuang minyak tanah ke dalam api, bukannya memperlihatkan penyesalan atau setidaknya perasaan tak enak hati karena mencium istri orang, Samuel mencetus, “Maafin gue, Dan. Gue sayang Renata.”
Pengakuan tergila yang membuat Renata melotot panik dan berkata bahwa Samuel sudah tidak waras. Sementara Danis hanya diam di tempat. Ia terlalu marah dan jijik hingga tak bisa berkata-kata.
“Jangan dengerin kata Samuel, Hon. Please,” ujar Renata dengan nada lembut yang justru membuat telinga Danis serasa diiris dengan pisau.
Kalau saja dengan pukulan telak di wajah atau tendangan keras di perut Samuel bisa sedikit membuat Danis lega. Sayangnya, untuk bergerak dari posisinya saja Danis tak mampu. Ia terlalu kaget melihat istrinya bercumbu dengan Samuel. Memasukkan lidahnya ke dalam mulut Samuel seolah hal itu adalah hal yang paling mudah wanita itu lakukan. Tidak hanya sampai di situ, Renata bahkan membiarkan—atau mungkin malah dengan senang hati—tangan Samuel menelusup ke balik baju dan meremas dadanya. Mengeksplorasi tubuh wanita itu seolah-olah itu adalah sesuatu yang paling wajar yang laki-laki itu lakukan. Danis bahkan tak bisa membayangkan bagaimana posisi dua orang di depannya itu jika ia datang lima menit lebih lama. Bukan tidak mungkin ia akan melihat mereka telanjang. Perut Danis terasa amat sangat mual saat membayangkan kemungkinan itu.
“Keluar dari apartemen gue,” ujar Danis dalam suara yang sarat rasa benci dan jijik. “Keluar dari apartemen gue sekarang sebelum gue teriak dan tetangga-tetangga gue ke sini buat nyeret lo pergi.”
Samuel menatap Danis lurus-lurus. “Gue—”
“Kamu pulang aja dulu, Sam.” Kali ini Renata yang bersuara. Dengan mata yang bergantian melirik Danis dan Samuel.
“Renata, kamu bilang kalau—”
“Shut up and just go,” usir Renata dengan nada agak tinggi yang mulai semakin panik karena Samuel menunjukkan sisi keras kepalanya di saat yang tidak tepat.
Selama adegan pengusiran yang dilakukan Renata di depannya itu berlangsung, Danis hanya bisa menatap mereka dengan hati yang tercabik perih. Tidak pernah terbayang di kepalanya bahwa di tahun kedua pernikahannya dengan Renata, ia akan disuguhi pengkhianatan paling tega yang dilakukan istri dan sahabatnya.
“Renata—”
“GO!”
Samuel masih terlihat seperti tidak ingin pergi. Seolah keberadaannya di sana belum cukup membuat suasana hati Danis menjadi buruk. Seolah ia berhak ada di sana. Namun, pada akhirnya ia mengalah pergi setelah Renata dua kali memintanya untuk meninggalkan dirinya dan Danis sendirian.
“Danis, aku bisa jelasin,” ujar Renata dengan hati-hati setelah Samuel pergi. Ia berjalan mendekat ke arah Danis yang masih berdiri di depan pintu.
Danis menggeleng. Memberikan isyarat agar Renata tidak mendekat. “Aku nggak butuh penjelasan tentang bagaimana kamu dan si berengsek itu bersilat lidah.”
“Danis, please,” lirih Renata. “Aku sama Sam—”
“Jangan bilang kamu dan Sam khilaf. Karena aku sama sekali nggak melihat penyesalan di mata kalian,” potong Danis sinis.
Renata tetap melangkah sedekat mungkin ke arah Danis berdiri. “Ciuman tadi cuma kesalahan, Honey.”
“Kamu berharap aku percaya bualan kamu setelah kamu dengan sadar memasukkan lidah kamu ke mulut Samuel?!” Danis kembali diserang perasaan jijik. Ia tidak bisa menatap istrinya tanpa luapan kemarahan dan kekecewaan. “Kamu masih mau menyangkal setelah Samuel bilang kalau dia sayang sama kamu?”
“Aku nggak tahu kalau Sam—”
“Cut that bullshit. Aku nggak mau dengar pembelaan kamu.”
Renata menggeleng. Wajahnya kini tampak sangat sedih.
Danis menunduk. Tatapan kosongnya tertumbuk pada bunga tulip yang terlihat sama menyedihkannya dengan dirinya. “Aku nggak bisa bertahan dalam rumah tangga yang udah kamu nodai dengan pengkhianatan. Perselingkuhan itu kejahatan yang paling nggak termaafkan, Renata. Apa kamu lupa kalau sebelum kita menikah, aku berkali-kali cerita kalau aku pernah dikhianati orang-orang terdekatku?”
“I am so sorry, Honey. Aku benar-benar nggak pernah berniat menyakiti kamu dengan cara ini,” lirih Renata.
“Aku sampai nggak pernah mau pulang ke Indonesia karena terlalu banyak pngkhianatan yang aku dapatkan di sana. Ibuku selingkuh dari Papa, mantan pacar aku bermain-main dengan hati aku, dan sekarang kamu yang terang-terangan melakukan itu di depan aku dengan sahabatku sendiri,” sambung Danis. Masih dengan kepala tertunduk.
“It’s just a kiss.” Renata menghampiri Danis lebih dekat. Dan tanpa sengaja menginjak bunga tulip merah yang melambangkan gairah dan cinta yang sempurna.
Danis mendecih sinis. “Menurut kamu mungkin cuma sekadar ciuman. Tapi bagiku enggak. Kamu bayangkan sendiri, kalau aku yang mencium wanita lain, kalau aku mencium sahabat kamu, apa kamu terima? Kamu masih bisa tidur di satu ranjang yang sama dengan suami kamu? Bisa?”
Renata menggeleng. Mulai putus asa. “Aku minta maaf, Sayang.”
Danis mendongak dan mundur dua langkah saat Renata menjulurkan kedua lengan untuk meraihnya. “Aku nggak bisa kayak gini.”
“Kamu mau aku melakukan apa supaya perasaan kamu menjadi lebih baik?”
Kalau bisa, Danis ingin menghapus bayangan menjijikkan yang terus menyesaki kepalanya hingga nyaris meledak.
Mungkin karena terlalu sakit oleh pengkhianatan istrinya, Danis lupa bagaimana rasanya saat ia begitu tergila-gila kepada wanita itu. Danis lupa rasanya mencintai dan dicintai.
“Danis, please… say something.”
Danis menatap Renata dengan menahan sakit di hatinya yang sudah remuk redam. “Kamu mau tahu apa yang aku inginkan?”
Renata balas menatap Danis dengan mata berkaca-kaca.
“Aku mau kamu pergi dari sini. Aku nggak mau melihat kamu lagi.”
“You… what?” Suara Renata yang keluar hanya serupa bisikan yang sangat lirih.
Danis membuang muka. Tidak sanggung lagi menatap istri pengkhianat yang tega meremukkan hatinya. “Aku nggak yakin aku masih mau bersama kamu setelah melihat apa yang kalian lakukan.”
“No! Please, Danis, jangan begini.” Renata merangsek maju dan memaksa Danis menatapnya. “Aku nggak akan pergi ke mana-mana. Aku istri kamu dan aku akan tetap di sini.”
Danis menepis tangan Renata dari wajahnya. Ia memberikan tatapan penuh luka. “Aku nggak bisa melihat kamu lagi tanpa membayangkan apa yang sudah kamu perbuat dengan Samuel.” Danis menunjuk dadanya. “Di sini rasanya sakit banget, Ren.”
Air mata Renata jatuh menuruni pipi. “Maaf, Danis. Maaf.”
Tubuh Renata merosot. Ia jatuh terduduk di lantai. Kedua tangannya mencengkeram erat celana Danis. Kepalanya tertunduk dalam.
“Aku menyesal, Danis. Tolong, jangan minta aku pergi.”
Danis menarik kakinya dengan satu sentakan. Membuat Renata hampir terjengkang. Kemudian, tanpa berkata apa-apa lagi, Danis beranjak pergi dari ruangan itu, masuk ke dalam kamar dan menguncinya dari dalam. Meninggalkan Renata yang menangis tersedu.
***
Satu minggu berlalu. Apartemen Danis dan Renata yang dulunya penuh kehangatan, kini berubah dingin dan suram. Kenangan-kenangan manis yang tercipta di sana seolah sirna, digantikan satu kenangan menjijikkan yang tidak bisa dihapus begitu saja dari pikiran Danis. Meski sofa yang menjadi tempat terkutuk itu sudah Danis buang dan ia ganti dengan yang baru, tetapi tidak memberikan perbedaan. Ingatannya akan hari itu justru makin menguat seiring waktu berlalu.
Setelah satu minggu tak mau bicara dengan Renata−wanita itu tetap tinggal di apartemen, namun tidur di kamar tamu−dan selalu menghindar dari istrinya itu, Danis memutuskan satu hal besar dalm hidupnya. Sesuatu yang tak pernah terbayang akan pernah ia lakukan dalam hidup.
“Aku udah memutuskan kalau kita nggak bisa lagi menjadi suami istri,” katanya kepada Renata tanpa basa-basi setelah ia pulang dari tempat kerja.
Renata yang sedang menjerang air di dapur itu termangu di tempat. “Maksud kamu apa?”
“Maksud aku sudah sangat jelas, Ren. Aku mau pisah.”
Tubuh Renata limbung. Ia harus berpegangan pada meja yang berada di dekatnya untuk menahan tubuhnya agar tidak jatuh. “Kamu… kamu kamu kita pisah?”
“Setelah kamu melakukan pengkhianatan dengan terang-terangan di depanku, apa yang kamu harapkan akan aku lakukan, Ren?”
“Nggak. Kita nggak boleh pisah. Aku nggak mau pisah dari kamu,” kata Renata dengan tegas dan keras setelah berhasil menguasai diri.
“Kalau kamu nggak mau kita pisah, kamu nggak akan bermain api dengan sengaja. Tapi kamu sengaja menyakiti aku. Kamu dan Samuel sengaja menghancurkan aku.”
“Harus berapa kali aku bilang kalau aku menyesal?”ratap Renata.
Danis tak bergeming. “Sudah sepatutnya kamu menyesal kalau kamu memang masih punya hati.”
“Aku sayang sama kamu, Danis,” ucap Renata.
Alih-alih membuat Danis luluh, ungkapan perasaan Renata itu tidak membuat Danis berang. “Dan menurut kamu, aku nggak sayang kamu?”
Renata menggeleng. “Kita berdua sama-sama saling sayang. Apa itu nggak cukup buat kamu memaafkan aku?”
Danis tertawa sumbang. “Kalau kamu tahu kita saling sayang, kamu nggak akan mengkhianati aku. But you did. " Laki-laki itu diam selama beberapa saat sebelum lanjut berkata dengan lirih, "Aku salah apa sama kamu, Renata? Kenapa kamu setega ini?”
“Kamu nggak salah apa-apa. Aku yang tolol karena bertindak sebodoh itu. Please, kasih aku satu kesempatan buat menebus kesalahanku. Kamu boleh marah selama mungkin, tapi jangan pisah. Aku nggak mau kita pisah cuma gara-gara ciuman bodoh−”
“Cuma gara-gara ciuman bodoh kamu bilang?” Danis lagi-lagi tertawa. Sumbang dan sinis. “Besok-besok kalau kamu dan Samuel kepergok tidur bersama, kamu juga akan bilang kalau kalian cuma tidur bersama? Seolah-olah yang kalian lakukan itu adalah hal yang bisa diberi pemakluman? You know what? You sucks, Renata! Dan aku benci kenyataan karena menikahi perempuan seperti kamu. Aku sangat menyesal menikahi kamu.”
.
.
to be continued
Setelah gagal mendapatkan kontak Danis yang bisa dihubungi, Juda mulai berpikir bahwa kemungkinan memang bukan karena unfinished business-nya dengan Danis yang membuat hubungan percintaannya selama beberapa tahun terakhir ini menjadi kacau. Seperti kata Ema, masalah Juda kemungkinan hanya ada pada dirinya. Namun, ia malah seperti sengaja mengkambinghitamkan orang lain—dalam hal ini Danis—agar tidak dipandang terlalu buruk karena bermasalah dalam berhubungan dengan laki-laki hingga Mami harus turun tangan berkali-kali untuk ‘mencarikan’ dirinya jodoh. Yang sampai saat ini masih belum nampak juga hilalnya.“Saran gue, lo harus berusaha gimana pun caranya buat buka hati. Mami lo bener waktu bilang kalau jodoh nggak akan datang cuma karena lo tungguin, tapi harus ada usaha juga buat ‘nemuin’ jodoh lo. Jangan nunggu ada orang lain yang bisa mendobrak benteng pertahanan hati lo. Lo udah ngalamin berkali-kali kalau kebanyakan orang nyerah duluan karena tahu kalau lo nggak bener-bener mau men
Renata tidak terima diceraikan begitu saja 'hanya' karena ia kepergok berciuman dengan Samuel. Itulah kenapa setelah Danis mengikrarkan perpisahan, Renata tidak terima.Awalnya Renata memohon sambil menangis-nangis, meminta maaf atas segala kesalahannya, tetapi setelah dua minggu tidak ada progres dan malah membuat Danis semakin menjauh, Renata kehilangan kesabaran. Ia berang dan meluapkan kemarahan dengan membanting piring. Awalnya, hanya karena satu buah piring yang baru saja ia pakai untuk makan yang tidak sengaja meluncur dari tangannya dan kemudian jatuh ke lantai hingga pecah berkeping-keping. Ada perasaan puas yang terasa ganjal yang terlintas di kepalanya, merasa bahwa dengan memecahkan piring ia bisa merasa lega.Maka, setiap kali Renata pulang ke apartemen dan lagi-lagi harus mendapati kenyataan kalau Danis masih tidak mau bicara dengannya, wanita itu akan melampiaskan rasa frustrasinya dengan membanting piring. Semakin banyak piring yang ia banting, seraya meluapkan amarahn
Danis membuka dompetnya dengan perasaan campur aduk. Ia benar-benar telah melupakan keberadaan foto Juda yang ada di dompetnya. Dulu, Juda sendiri yang memasukkan fotonya ke sana saat memberikan dompet itu sebagai hadiah ulang tahun untuknya. Meski sudah tidak terlalu mengingat momen itu, Danis samar ingat bahwa Juda sempat berkata, "Biar kamu semangat belajarnya, aku taroh foto aku di dompet kamu. Kamu bisa pandangin foto aku kalau kamu kangen aku.” Saat itu, Juda mengatakannya dengan senyum yang menghiasi wajah tirusnya. Juda yang lebih sering menampilkan wajah judes dan galaknya, hari itu menyuguhkan senyum manis yang membuat hati Danis berbunga-bunga. Sudut hati Danis seolah berdenyut nyeri saat foto Juda ia keluarkan dari dompetnya. Juda tampak sangat belia di foto yang sudah termakan usia itu. Bagaimana penampilan Juda versi dewasa? Apakah semakin cantik? Apakah bertambah galak dan judes seperti saat masih menjadi kekasihnya? Bagaimana kehidupan Juda saat ini? Apakah Juda be
Ketika pertama kali membuka laman dating app yang diunduh Ema di ponselnya, Juda langsung disuguhi dengan ratusan foto laki-laki. Tidak hanya memperlihatkan foto saja, pengguna juga bisa mengatur lokasi sedemikian rupa, sehingga bisa memperlihatkan seberapa jauh jarak antara pengguna dengan pengguna lain, yang tentu saja semakin memudahkan pengguna dating app tersebut. Swipe ke kanan jika merasa tertarik dengan orang tersebut atau swipe ke kiri apabila tidak tertarik atau tidak suka. Dan kini, terhitung dua minggu sudah terlewati sejak Juda pertama kali bermain Tinder. Namun, ia belum menemukan 'match' yang benar-benar sesuai dengan kriterianya. Ada sekitar lima puluh orang yang ia swipe kanan, ada sekitar dua puluhan orang yang 'match'—atau bisa dibilang kedua belah pihak sama-sama saling men-swipe kanan—dan hanya sembilan di antaranya yang sampai ke tahap chatting-an. Yang mana merupakan tahap paling sulit bagi Juda, karena ia harus membangun percakapan yang menyenangkan. Dan mes
Setelah mulai kuliah di Belanda, Danis hanya beberapa kali pulang ke Indonesia. Kepulangannya dalam sepuluh tahun terakhir bisa dihitung jari. Dan selalu hanya orang-orang terdekatnya yang tahu. Salah satunya Martin. Bukan karena ingin menjadi sok misterius seperti kata Martin. Namun, karena ia sedang berusaha untuk melupakan banyak hal menyesakkan yang terjadi di tanah kelahirannya itu. Yang pertama adalah karena perceraian orang tuanya yang membuat hidupnya menjadi tak sama lagi. Dan alasan yang kedua karena Juda, mantan kekasihnya yang membuat hatinya patah. Orang tuanya mengikrarkan perceraian saat Danis pulang membawa berita kelulusan bersamkaan dengan saat Danis mengais-ngais sisa-sisa keping hatinya yang patah karena Juda. Hari itu menjadi hari terburuk yang terjadi dalam hidupnya. Danis diputuskan oleh Juda, yang sangat ia sayangi meski hanya tiga bulan berpacaran. Dan saat Danis ingin mengadu kesedihannya ketika kembali ke rumah, ia malah mendapati banyak koper dan tump
Setengah tahun kemudian Danis lulus kuliah. Meski masih ada setitik rasa kecewa terhadap kedua orang tuanya, ia tetap meminta Ibu dan Ayah datang ke upacara wisudanya. Sekaligus memperkenalkan Renata—yang sudah ia pacari selama enam bulan—kepada mereka. Teman seperjuangan Danis selain Samuel selama tinggal di negeri orang untuk meraih mimpi. Danis tidak pulang ke Indonesia setelah lulus karena mendapat tawaran untuk melanjutkan kuliah S2, yang langsung ia terima dengan penuh rasa syukur. Hubungan dengan Ibu dan Ayah berangsur membaik. Seperti yang Ibu pernah katakan, ayahnya memang tidak lagi berulah. Dan mereka hampir kembali menjadi keluarga yang harmonis. Seperti tidak pernah ada kehancuran yang meluluhlantakkan keluarga mereka. Setelah lulus S2, Danis langsung mendapatkan pekerjaan. Tidak ada alasan untuk menolak. Di tahun kedua bekerja, saat keuangannya mulai cukup stabil untuk menghidupi dirinya dan ia tabung untuk masa depan, Danis memutuskan untuk melamar kekasihnya, Ren
Mengenal Guntur selama satu minggu membuat Juda serasa kembali ke masa-masa SMA, saat ia baru pertama mengenal rasa suka terhadap lawan jenis. Ia begitu bersemangat setiap memulai hari—bahkan di hari Senin yang sangat ia dan sebagian besar orang benci—menunggu-nunggu pesan ucapan selamat pagi dari Guntur, mengobrol sebentar sebelum berangkat ke kantor. Awalnya, Juda tidak terlalu yakin. Namun, mengingat ia tidak punya banyak waktu menjelang acara reuni yang tinggal seminggu lagi dan juga berkat Ema yang gigih mendorong dan menyemangati, Juda mau tidak mau meyakinkan diri bahwa tidak ada salahnya untuk bertemu dengan Guntur setelah beberapa kali laki-laki itu mengajaknya bertemu. Hari ini, sepulang ia dari tempat kerja, Juda datang ke tempat yang ia dan Guntur sepakati untuk bertemu. Juda tiba lima belas menit lebih awal dari janji yang mereka sepakati. Di sebuah kedai kopi—yang tidak hanya menyuguhkan kopi, tetapi juga makanan yang menggugah selera—yang cukup terkenal. Sore itu tida
"Hai, kamu benar Juda, kan? Teman kencan saya hari ini?" tanya sosok lelaki yang kini sudah berdiri di dekat meja tempat Juda duduk.Juda mengangguk pasti. Kemudian mengulurkan tangan untuk berjabat tangan dengan Guntur."Betul. Kamu persis dengan yang ada di foto."Guntur tersenyum. "Kamu juga. Menurut saya, kamu lebih cantik aslinya."Gombal abis! gemas Juda dalam hati.Namun, Juda tetap menyukainya. Juda memang cantik dan ia cukup percaya diri hari ini dengan penampilannya. Mendapatkan pujian terang-terangan dari Guntur membuat dirinya semakin percaya diri. Ia sudah merias diri dengan riasan tipis, mengenakan pakaian rapi dan wangi yang sengaja ia bawa ke tempat kerja. Karena tidak mungkin ia bertemu teman kencannya dengan mengenakan pakaian kerja yang pastinya sudah penuh keringat dan apek karena dipakai seharian untuk bekerja."Yang tadi itu teman kamu?"Juda mengangguk. "Maaf kalau itu mengganggu kamu. Saya baru sekali ini kenalan dengan orang lewat dating app, jadi saya sengaja
Jika bukan berkat obrolannya dengan Haikal pagi itu, Juda tidak yakin akan ada di sini sekarang. Bersama Danis, bergandengan tangan seperti dua remaja yang sedang kasmaran, menaiki tangga satu per satu untuk menuju flat Juda setelah dua hari terakhir —sejak Jumat malam hingga Minggu sore—mereka menghabiskan waktu di apartemen Danis yang terletak cukup jauh dari flat Juda. Ini tepat empat bulan setelah mereka resmi berpacaran. Juda masih juga bersikukuh bahwa mereka bukan balikan, tetapi menjalin hubungan baru yang lebih sehat. Sehat dalam artian selalu saling jujur dan mengkomunikasikan tentang segala hal yang mengganjal dalam hubungan mereka. "Ju, kita nggak balikan atau tetap jadi mantan seperti yang kamu bilang, tapi kita pada akhirnya bakal jadi manten, kan?" ucap Danis saat mereak sudah sampai di depan pintu flat Juda. Juda tertawa seraya mengeluarkan kunci pintu dari salah satu kantong tasnya. "Ketemu Mami sama Papi dulu, baru bilang gitu!" "Kita punya waktu cukup banyak untu
Bicara soal bahagia, selalu ada kriteria-kriteria tersendiri bagi setiap orang. Seperti Juda yang sudah cukup bahagia melihat video keponakannya menendang-nendang air saat mandi hingga airnya menciprat ke mana-mana. Atau saat keponakannya tertawa-tawa melihat kekonyolan ayahnya. Juda... bisa semudah itu merasa bahagia. Saat bertelepon dengan Ema, membicarakan tentang apa saja yang terlewat saat mereka tidak lagi berada di kota yang sama, berbagi tentang hidup mereka, itu pun sudah membuat Juda bahagia juga. Dan saat Juda menghabiskan waktu bersama Kim dan Nic, yang mengkalim diri mereka sebagai bestie-nya Juda, selalu ada kebahagiaan yang terpupuk di dalam hatinya. Juda bersyukur sekali memiliki keluarga dan teman dekat yang dengan cara yang sederhana membuatnya bahagia. Lalu, bagaimana dengan Danis? Yang juga ingin menjadi salah satu orang yang menjadi bahagianya Juda? Tak Juda pungkiri bahwa saat bersama Danis—entah saat mereka berpacaran pertama kalinya saat SMA, atau saat merek
Meski sudah begitu yakin akan sanggup menerima penolakan demi penolakan Juda, nyatanya ada masa-masa di mana Danis ingin menyerah saja. Sulit sekali menembus tembok pertahanan yang Juda bangun. Enam bulan sudah kembali terlewati dan Danis belum menghasilkan apa-apa. Itu artinya sudah sembilan bulan lamanya Juda bekerja di kantor yang sama dengan Danis. Sudah nyaris setahun sejak Danis bisa berada dekat sekali dengan Juda. Tetapi masih juga tak tergapai sosoknya. "I'm so done. Gue mau nyerah aja." Nyaris setiap bulan Danis akan mengeluh demikian kepada Martin yang hanya tertawa-tawa melihat penderitaan Danis. Sebenarnya, ada juga masa-masa di mana Juda terlihat mulai membuka diri. Terhitung sudah tiga kali Juda mau diajak makan siang. Itu pun tampaknya Juda merasa kasihan kepada Danis yang belum juga menyerah mendekati Juda. Danis seperti termakan omongannya sendiri ketika berkata tak ingin dikasihani. Nyatanya, saat Juda menunjukkan respons positif bahkan sekadar mengasihani, Danis
Juda bukannya tidak sadar Danis mulai mendekatinya lagi sejak beberapa minggu yang lalu. Memang tidak secara blak-blakan seperti saat awal-awal Juda pindah. Dimulai sejak Danis mulai membelikannya kopi, memberikan ucapan-ucapan penyemangat untuk menjalani hari, mengajak Juda mengobrol ringan di dalam lift, dan masih banyak lagi. Danis bersikap lebih sopan, seperti seorang gentleman.Dan hari ini, Danis mulai menaikkan level. Sebelum Juda keluar dari lift saat tiba di lantai 21, Danis berkata, "Ju, nanti makan siang bareng aku, mau?"Jawaban Juda tidak. Karena ia sudah ada agenda bersama Jason untuk bertemu klien sekalian makan siang. Seandainya tidak ada agenda apa-apa pun Juda tetap akan menolak. Menerima pemberian kopi dari Danis dan mengobrol dengan laki-laki itu di dalam lift adalah hal yang tidak bisa Juda hindari karena Danis selalu melakukannya di depan banyak orang. Menolak pemberian Danis hanya akan membuat Juda dipandang buruk orang-orang. Itu tidak bagus untuk image Juda di
Danis tidak lagi mengganggu Juda setelah penolakan telak yang dilontarkan Juda siang itu. Dan itu sudah lewat tiga bulan yang lalu.Awalnya, Danis pikir Juda hanya bertindak berdasarkan emosi yang saat itu sedang menguasai, sehingga Danis membiarkan dirinya mundur. Mengalah. Memberikan Juda waktu lebih banyak.Sayangnya, Juda tidak membutuhkan waktu. Juda tidak sedang menunggu Danis datang lagi, untuk memohon dan mengemis kesempatan terakhir. Sebab, Juda benar-benar serius tentang ucapannya. Tidak lagi tersisa kesempatan. Karena Danis yang sudah membuang kesempatan itu dan menukarnya dengan kesia-siaan."Lo kapan kawinnya, sih? Biar gue bisa balik ke Jakarta," tanya Danis saat Martin menelepon suatu malam."PMS lo? Sewot amat," sindir Martin saat mendengar suara sinis Danis. "Kalau kawin kan gue udah sering, nikah ya aja yang belom," sambungnya."Gue serius, Tin. Gue kayaknya mau balik ke Jakarta dalam waktu dekat," desah Danis."Ngapain? Jangan bilang lo serius mempertimbangkan buat
Juda beruntung karena di kantornya mewajibkan para pegawai bicara menggunakan Bahasa Inggris jika sedang membahas pekerjaan sehingga Juda bisa dengan cepat beradaptasi dengan rekan-rekan kerja sekantornya. Sudah satu minggu Juda menempati posisi barunya sebagai manager pemasaran. Tantangan yang cukup sulit, terutama karena ini pertama kalinya ia menduduki jabatan yang cukup tinggi dan langsung berhadapan dengan orang-orang asing dari berbagai negara. Sejauh ini, Juda belum begitu banyak menemui kesulitan yang membuatnya stres, kecuali keberadaan Danis yang setiap jam makan siang selalu tiba-tiba muncul di ruangan Juda. “Can you stop doing this?” “I’m just trying to be nice.” “To be nice?” Juda mendecih. “Dengan membuat orang-orang di kantor mulai curiga soal kita karena kamu terlalu sering datang ke ruanganku, itu yang kamu sebut mencoba bersikap baik?” “Then, let them be. Kita cuma bernapas aja orang-orang bisa curiga sama kita kok,” tukas Danis dengan enteng sekali. Juda menut
Tiga hari yang Juda punya untuk mempersiapkan diri sebelum memulai hari pertamanya di kantor baru–kantor yang sama dengan kantor Danis–sudah habis. Juda menghabiskan tiga hari pertamanya di Rotterdam itu untuk menata kamar flatnya seperti dulu ia menata kamar kosnya agar terasa familier dan nyaman.Juda juga sudah berkenalan dengan tetangga-tetangga flatnya yang sebagian besar juga perantau dari luar Belanda. Yang cukup ramah kepada Juda ada dua orang. Kim, gadis manis dari Korea yang telah tinggal di flat itu nyaris dua tahun, sedang menempuh pendidikan S2, sekaligus bekerja paruh waktu sebagai pengasuh anak. Lalu satu orang lagi bernama Nic, laki-laki tinggi bongsor dari Inggris yang ternyata satu kantor dengan Juda, tetapi masih pegawai magang dan berbeda divisi dari Juda.Mengetahui kalau Juda adalah pegawai baru, Nic dengan baik hati mengajaknya berangkat bersama menaiki tram. Hari sebelumnya, Nic juga sudah mengajaknya berkeliling kota untuk beradaptasi. Juda benar-benar bersyuk
Perjalanan menggunakan kereta intercity dari Stasiun Schipol ke Rotterdam Centraal yang merupakan stasiun utama di kota Rotterdam memakan waktu 47 menit. Juda memaksakan diri untuk tidur agar tidak harus membangun percakapan dengan Danis yang sejak tadi nampak sekali berusaha keras untuk mengajak Juda bicara. Dari Rotterdam Centraal, untuk menuju flat yang akan ditinggali Juda selama di sana, harus menggunakan taksi. Danis yang sudah belasan tahun tinggal di Belanda itu tampak begitu membaur dengan sekitar. Hanya Juda yang merasa sangat asing di tempatnya berdiri kini. Tadinya, Juda sudah berniat memisahkan diri dari Danis begitu turun dari kereta, tetapi Danis tidak membiarkan Juda pergi. Danis beralasan bahwa ia harus mengantarkan Juda sampai ke flat atas perintah atasannya di kantor. Selain untuk menjelaskan beberapa hal basic tentang transportasi yang harus dinaiki juga untuk ke kantor dan juga untuk bepergian ke tempat-tempat umum, Danis berkata bahwa ia takut Juda tersesat. J
Meninggalkan Jakarta untuk pergi ke Belanda bukanlah pilihan yang mudah bagi Juda. Saat pertama kali mendapatkan tawaran dari bosnya di kantor, untuk dipromosikan ke posisi yang lebih tinggi, tetapi ditempatkan di luar Jakarta, Juda sempat mengira ia akan dimutasi ke Bali. Namun, ternyata Juda akan ditempatkan di perusahaan utama yang bertempat di Rotterdam, Belanda. Juda sempat bertengkar dengan Haikal karena kakak laki-lakinya itu menuduh Juda sengaja pindah ke Belanda untuk mengejar Danis yang selama tiga tahun terakhir menjadi topik yang paling dihindari keluarganya. Jika dibilang sengaja ingin mengejar Danis, tentu itu tidak benar. Awalnya, Juda bahkan tidak langsung ingat bahwa Danis bekerja dan tinggal di Belanda, entah di kota mana, Juda tidak tahu. Juda mempertimbangkan tawaran itu karena memang sudah lama menunggu momen ia dipromosikan. Baru setelah Haikal menyinggungnya, Juda menjadi bimbang. Apakah pilihannya untuk pergi adalah pilihan yang tepat? Juda bisa saja membatal