“Lo adalah cowok ke sekian yang akhirnya bertekuk lutut sama gue setelah sok jual mahal basi. Permainan udah nggak asik lagi. Kita putus aja, Dan. Gue udah bosen sama lo.”Diputuskan saat sedang sayang-sayangnya bukanlah menjadi hal yang Danis harapkan terjadi. Namun, ekspresi di wajah Danis tidak menunjukkan keterkejutan ataupun kesedihan. Laki-laki itu menatap Juda lurus dan berkata, “Aku tau kamu bakal bilang gitu, Ju. Aku nggak masalah kalo rasa sayangku ke kamu nggak terbalas. Aku nggak berharap banyak, dari awal aku juga tau kalo kamu cuma jadiin aku taruhan sama temen-temen kamu. Congratulations karena kamu menang taruhan.”Danis mengatakan sederet kalimat itu tanpa terselip kesinisan ataupun sindiran sepeti yang Juda harapkan. “Asal kamu tahu, Ju, aku nggak nyesel udah bisa pacaran sama kamu selama tiga bulan ini. It was fun. Kamu mungkin akan jadi mantan terindahku.”“Udah ngomongnya?” Juda menarik ujung bibirnya ke atas. Menampakkan senyum sinis yang semakin membuat wajah Ju
Juda menggeram kesal. Ia sudah terbiasa mimpi random. Mulai dari menjadi istri simpanan presiden, menjadi manajer BIGBANG–boyband Korea yang populer sejak tahun 2011-an–yang menjadi idolanya, suatu kali juga pernah menjadi dokter paling dikagumi di rumah sakit besar di Jakarta. Di lain waktu, Juda tiba-tiba menjadi pendaki yang suka menjelajah gunung-gunung tinggi di dunia. Ya, memang serandom itu bunga tidur yang Juda dapatkan saat tidur.Juda tidak pernah terlalu memusingkan mimpi-mimpi yang menghiasi malam-malamnya itu. Karena baginya, mimpi hanyalah bunga tidur yang kadang berbau harum dan terkadang berbau busuk. Mereka hanya ilusi yang tidak akan menjadi kenyataan.Namun, selama beberapa minggu terakhir ini, Juda hampir selalu memimpikan hal yang sama. Hal ini membuatnya kesal laur biasa karena ia terpaksa harus kembali mengingat kenangan terakhir di masa-masa SMA-nya yang tidak terlalu menyenangkan.“Kenapa sih nongol mulu di mimpi gue?” gerutu Juda sambil menggaruk kepalanya de
Semasa kecilnya, saat itu Juda masih kelas tiga SD ketika harus menjalani operasi usus buntu, yang membuatnya harus drawat inap di sebuah rumah sakit selama hampir satu minggu. Meski masa-masa itu tidak menyenangkan karena rasa sakit yang membuatnya kerap menangis, ada yang Juda syukuri. Dokter yang merawatnya sangatlah ramah dan baik. Dokter itu menjadi sosok pria favorit kedua setelah ayahnya.Sejak saat itu, Juda bercita-cita menjadi seorang dokter anak, mengikuti jejak dokternya yang bagi Juda telah menciptakan keajaiban untuknya. Juda menyebutnya keajaiban karena karena dengan kemampuannya itu, bekas operasi di perut Juda berangsur-angsur hilang hingga tak terlihat seperti pernah melakukan operasi.Mimpi itu bertahan hingga Juda naik kelas dua SMA. Beberapa teman yang mendengar cita-cita mulianya itu mencibir dan mengoloknya, bahwa seorang Juda yang tidak akan pernah bisa menjadi dokter jika tidak pernah mau belajar bagaimana cara menghadapi orang dengan baik. Bukan malah bersika
Sejujurnya, Juda belum seputus asa itu untuk bisa segera menikah. Ini semua karena tuntutan dan desakan Mami yang membuat Juda nyaris gila. Jika diberi pilihan, tentu saja Juda akan memilih untuk tidak menikah dulu, setidaknya sampai ia bisa menuntaskan masalah hatinya. Juda ingin dan berharap bisa menemukan seseorang yang bisa membuatnya kembali percaya kepada laki-laki. Yang bisa mengajarinya arti cinta, bukan sebuah pertemuan yang diatur oleh Mami dengan paksaan yang membuatnya tertekan hingga membuatnya tak bisa tidur nyenyak.Ema, teman terdekatnya sejak SMA, berkali-kali berkata, “Sekali-kali lo tegasin aja ke nyokap lo, Ju. Bilang ke beliau kalau lo udah gede dan bisa ngatur masa depan lo sendiri. Lo bisa tegas ke orang-orang, tapi sama nyokap sendiri lembek banget. Dengan lo bersikap kayak gitu, nyokap lo pasti jadi ngerasa kalau dia punya kuasa buat ngatur lo harus begini begitu.”Hari ini, setelah Juda bercerita tentang Sakha dan juga Hamish, ia langsung disembur Ema dengan
Seperti yang sudah Juda prediksi, laki-laki yang bernama Hamish−bukan Hamish Daud−jauh dari apa yang Juda harapkan. Tinggal di luar negeri cukup lama tidak membuat Hamish menjadi pribadi yang liberal. Laki-laki itu sangat konservatif bahkan cenderung patriarkis. Juda berkali-kali ingin menampar wajah laki-laki berparas tampan itu−terlalu putih untuk ukuran laki-laki Jawa tulen−karena mendominasi percakapan dengan segala pencapaiannya selama hidup. Mereka bahkan baru bertatap muka tidak sampai dua jam dan laki-laki itu“Kalau kita menikah, saya sangat berharap kamu mau ikut saya ke Kanada dan menetap di sana. Saya di sana sudah punya rumah, cukup besar untuk menampung satu keluarga dengan dua sampai empat anak. Saya sudah siapkan tabungan masa depan, biaya sekolah anak dari sekolah dasar sampai kuliah."Insyaallah cukup dan masih akan bertambah selama saya masih bekerja sampai pension dua puluh tahun lagi. Kamu juga nggak perlu khawatir, saya menanam saham di banyak perusahaan besar, j
Sepulang Hamish dari rumah Mami−setelah Juda diomeli Mami sampai telinganya panas karena katanya menyia-nyiakan calon suami potensial−wanita itu buru-buru masuk ke kamar dan menghubungi Ema. Menceritakan semuanya dari awal hingga akhir pertemuannya dengan Hamish tadi.“Gila sih, duitnya emang banyak. Tapi ritme hidupnya gila banget. Nggak seimbang sama ritme hidup gue,” keluh Juda.“Seriusan lo tolak langsung orangnya? Please, dia nggak lo judesin karena lo nggak sreg sama orangnya, kan?”“Gue nolaknya classy kok. Nggak sambil ngomel-ngomel kayak ibu-ibu,” tukas Juda sebelum Ema mengejeknya. Kemudian ia mendesah lirih. “Gue bisa bilang kalau Hamish ini mantu idaman banget, Em. Tutur katanya halus kayak sultan, santun banget sama orang tua, murah senyum, nggak suka main mata selama ngobrol sama gue, udah gitu ganteng, tajir, pokoknya paket lengkap. Tapi tetap aja a big NO buat gue. Bisa mati muda kayaknya hidup sama laki-laki penganut paham patriarkis kayak dia. Gue belum ngomong aja d
Laki-laki yang dibicarakan oleh Juda dan Ema itu hidup dan tinggal di belahan bumi yang lain. Namanya Daniswara Jati Praba. Nama pemberian dari orang tuanya yang terdengar kuat dan gagah. Sudah sepuluh tahun Danis tinggal di Belanda. Mengejar mimpi berkuliah di negeri kincir angin itu, bekerja di sana, dan berniat untuk menetap di sana, sampai bayangan masa depan itu diruntuhkan oleh seseorang yang sudah ia beri kepercayaan besar sebagai pasangan hidupnya. Kehidupan yang sudah susah payah Danis bangun, dengan harapan ada kebahagiaan di dalamnya, kini seolah tak ada artinya. Ia dihempas oleh rasa sakit yang membuatnya kehilangan pegangan dalam hidup. Danis sedang menatap keluar jendela kamarnya yang berada di lantai lima dengan mata yang menerawang jauh seakan bisa menembus langit. Sudah beberapa minggu terakhir ini hanya aktivitas itu yang ia lakukan selepas pulang dari kantor. Ia mengunci diri di kamar, tak membiarkan siapa pun menginterupsi aktivitasnya. Terutama penghuni lain di
Hari itu, sekitar lima minggu yang lalu, Danis baru saja kembali ke Amsterdam setelah melakukan perjalanan dinas selama satu minggu ke Paris. Ia tidak langsung pulang ke apartemen karena harus mengunjungi pemakaman rekan kerjanya yang meninggal karena kecelakaan. Dari pemakaman, Danis diajak mampir untuk minum-minum—Danis tidak ikut minum minuman keras, namun tetap ikut berkumpul sebagai bentuk solidaritas—bersama rekan-rekan kerjanya untuk mengenang teman mereka. Hari sudah mulai gelap saat Danis pamit untuk pulang.Danis membuka pintu apartemennya yang tidak terkunci dengan perasaan ringan. Ingin cepat-cepat memeluk dan mencium istrinya untuk menyalurkan kerinduan yang membuncah memenuhi dadanya. Namun, segera setelah pintu apartemennya terbuka lebar, ia disuguhi pemandangan paling buruk yang tidak pernah ia bayangkan akan ia lihat. Istrinya sedang bercumbu mesra dengan Samuel, sahabat dekat Danis, di sofa ruang tamu. Saling meraba tubuh satu sama lain dengan gairah yang menggebu-ge