Sepulang Hamish dari rumah Mami−setelah Juda diomeli Mami sampai telinganya panas karena katanya menyia-nyiakan calon suami potensial−wanita itu buru-buru masuk ke kamar dan menghubungi Ema. Menceritakan semuanya dari awal hingga akhir pertemuannya dengan Hamish tadi.
“Gila sih, duitnya emang banyak. Tapi ritme hidupnya gila banget. Nggak seimbang sama ritme hidup gue,” keluh Juda.
“Seriusan lo tolak langsung orangnya? Please, dia nggak lo judesin karena lo nggak sreg sama orangnya, kan?”
“Gue nolaknya classy kok. Nggak sambil ngomel-ngomel kayak ibu-ibu,” tukas Juda sebelum Ema mengejeknya. Kemudian ia mendesah lirih. “Gue bisa bilang kalau Hamish ini mantu idaman banget, Em. Tutur katanya halus kayak sultan, santun banget sama orang tua, murah senyum, nggak suka main mata selama ngobrol sama gue, udah gitu ganteng, tajir, pokoknya paket lengkap. Tapi tetap aja a big NO buat gue. Bisa mati muda kayaknya hidup sama laki-laki penganut paham patriarkis kayak dia. Gue belum ngomong aja dia udah ceramah soal kodrat wanita yang harusnya tinggal di rumah, jadi istri yang nurut sama suami blablabla,” cerocos Juda. Ia sampai terengah karena lupa memasok udara ke dalam paru-parunya.
“Lo maunya punya suami yang kayak gimana, sih?” tanya Ema bingung.
“Yang jelas bukan kayak Hamish atau kayak mantan-mantan gue sebelumnya.” Juda merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. Matanya menatap langit-langit kamarnya. Pikirannya melayang. “Lo sendiri tahu kalau gue belum benar-benar serius mikir ke arah sana, Em. Makanya gue juga kadang nggak ngerti siapa dan kayak gimana yang aslinya gue mau buat jadi pasangan hidup gue.”
Ada sekitar lima detik terjeda dalam hening sebelum Ema menimpali, “Kalau kata Astu, waktu lo ketemu orang yang tepat, saat itu juga lo akan tahu. Kalau dialah yang lo inginkan buat jadi pasangan hidup lo.”
“Lo sama Astu gitu?”
Ema berdeham kecil kemudian menjawab dengan yakin, “Awalnya gue nggak tahu. Tapi makin ke sini gue sadar kalau gue emang mau Astu yang jadi pasangan hidup gue. Gue udah nggak mau cari-cari yang lain lagi. He’s the one whom I want to spend the rest of my life with.”
Dari cara Ema mengucapkan kata demi katanya, Juda tahu jika sahabatnya itu sedang tersenyum berseri-seri. Ada rasa iri menggelayut di hati setiap kali ia melihat kebahagiaan memancar ketika Ema membicarakan Astu−bahkan saat tidak saling berhadapan pun Juda bisa merasakan pancaran kebahagiaan yang terbentuk dari rasa cinta mereka berdua itu.
Juda tersenyum kecut. Dalam satu minggu, ada dua orang yang mengucapkan hal yang hampir sama kepadanya. Tentang menemukan orang yang tepat. Tentang menemuka the one. Sekali lagi, Juda bertanya-tanya, kapan momentum itu datang kepadanya? Apakah di luar sana ada orang yang tepat untuknya? Bagaimana jika tidak ada? Apakah seumur hidupnya ia hanya akan terus mencari seseorang yang menurutnya tepat, yang belum tentu ada? Berbagai kelebatan pikiran itu membuat Juda panik.
“Menurut lo, semua orang bakal ketemu sama orang yang tepat dalam hidupnya nggak, sih?” tanya Juda yang lebih mirip gumaman untuk dirinya sendiri.
“I guess so.”
Juda lagi-lagi mendesah. “Orang-orang yang memutuskan buat nggak nikah itu gimana dong? Tuhan lupa nggak masukin mereka ke list umat-Nya yang butuh pasangan? Terus gimana sama orang yang udah nikah lama, pernah saling mencintai dan berjanji akan sehidup semati, tapi akhirnya cerai? Gimana sama orang-orang yang kawin cerai kawin cerai kayak ganti celana dalam? Gimana−”
“Shut up! Gue juga nggak tahu! Gue bukan pakar percintaan, oke?” potong Ema dengan tidak sabaran. “Listen, lo cuma lagi stress aja karena hubungan lo sama cowok berkali-kali nggak work out. Makanya lo freak out gini.”
“Nggak usah diperjelas ‘berkali-kali’-nya juga. Gue juga nggak bangga gagal mulu,” sela Juda.
“Mau tahu kenapa lo gagal mulu urusan cowok?”
Juda bangkit dari posisi rebahannya dan duduk bersandar di headboard, meletakkan bantal di sandaran. “Kenapa?”
“Karena lo nggak tulus,” tutur Ema yang langsung menohok hati Juda. “Lo ketemu sama cowok-cowok yang dipilihin nyokap lo karena lo terpaksa. Lo nggak benar-benar mau ketemu mereka, makanya lo selalu cari kesalahan sekecil apa pun buat mendorong mereka menjauh dari lo. Lo bukan lagi kena karma karena pernah bikin Danis dan selusin cowok lain patah hati. I’m so sorry to say this to you, tapi masalahnya ada di diri lo sendiri. Lo yang menutup diri. Membatasi akses buat orang-orang yang tulus mendekati lo.”
Juda tahu. Sebelum Ema menjabarkannya dengan begitu jelas, Juda sudah tahu. Dirinya memang bermasalah. Dan ia juga tahu bahwa jalan satu-satunya adalah menyelesaikan masalah itu. Itu artinya yang pertama yang harus ia lakukan adalah dengan menuntuskannya dari sumber masalahnya terlebih dahulu.
“Em, lo bisa bantu gue kan?” Tiba-tiba saja adrenalin di dalam tubuhnya terpacu dengan kuat, yang selalu terjadi ketika ia mengharapkan sesuatu dengan penuh harap.
“Gue sama Astu udah nggak ada temen atau kenalan yang bisa gue kenalin ke lo. Kalau itu bantuan yang lo maksud,” ujar Ema penuh antisipasi.
Juda langsung menukas, “Bukan. Bukan itu. Gue butuh nomor hape, email, atau akun sosmed-nya Danis. Pokoknya yang terhubung sama dia. Gue harus banget ngobrol sama Danis. kalau bisa secepatnya.”
“Biasanya lo paling males kalau gue ngomongin Danis. Mau ngapain lo?” Suara Ema sarat akan rasa curiga.
“Lo tadi bilang kalau masalah gue ada di diri gue sendiri. Nah, masalah gue adalah… gue ngerasa kalau urusan gue sama Danis belum tuntas. Lo juga tahu kalau Danis yang bikin gue jadi begini. Gue mau nuntasin masalah gue sama dia. Closure, Em. Gue butuh closure.”
“Menurut gue, lo cuma jadiin masa lalu lo sama Danis sebagai alasan. Percaya sama gue, nggak akan ada gunanya ngehubungin Danis. Lo cuma bakal nambah drama nggak penting.”
“Gue nggak drama!” sangkal Juda dengan suara agak keras.
“Gue kasih tahu satu fakta kalau lo lupa. Lo sama Danis tuh udah sepuluh tahun lalu putusnya. Gue malah nggak yakin kalau dia masih inget sama lo. Apalagi inget pernah pacaran cuma tiga bulan sama lo.”
Juda seketika lemas. “Gue seenggak penting itu ya?”
“Nggak gitu maksud gue, Ju,” koreksi Ema cepat-cepat. “Kalaupun Danis masih inget, gue yakin dia cuma nganggep lo sebagai cinta monyetnya.”
“Bagus kalau gitu. Gue juga bukannya berharap Danis masih belum bisa lupain gue atau apa. Bukannya malah lebih gampang kelarin masalah gue kalau Danis udah lupa tentang gue?”
Terdengar helaan napas Ema. “Lo yakin kalau ini ada hubungannya sama Danis? Karena gue nggak yakin.”
Kalau tadinya Juda cukup yakin, sekarang tidak lagi. Ia mulai ragu. Karena barangkali memang Danis tidak berperan dalam membuat hati Juda tertutup rapat. Bisa jadi orang lain−mantan pacarnya yang lain. Lalu sekilas terbersit satu hal tentang dirinya dan Danis yang sempat ia mimpikan beberapa waktu yang lalu.
“Gue mau minta maaf sama Danis.”
“Soal?”
Juda membayangkan ekspresi Danis yang sama-samar masih ia ingat. “Soal gue yang sengaja nyakitin dia dengan pura-pura bikin taruhan dan mutusin dia tanpa perasaan.”
“Well, kalau memang harus, berarti lo perlu minta maaf ke semua cowok yang pernah lo sakiti, kalau mau hidup lo jadi lebih tenang dan lo bisa mulai berburu calon suami potensial.”
Kalimat terakhir yang diucapkan Ema yang bernada penuh ejekan itu membuat Juda mencebik.
“Gue minta tolong ya, Em. Please. Pasti ada temen kita yang masih kontakan sama Danis.”
“Kenapa lo nggak coba cari sendiri?”
Juda berdecak malas. “Gue males kalau dikira belum move on dari cinta monyet gue!”
Dan Ema pun tertawa keras hingga terbatuk-batuk. Juda harus menunggu sampai tawa itu reda sebelum kembali mendesak Ema untuk benar-benar serius mempertimbangkan permintaannya.
“Gue harus mulai dari mana dulu nih kira-kira,” gumam Ema.
“Martin. Gue yakin Danis pasti masih temenan sama Martin.”
“Kok lo tahu banget, sih,” goda Ema.
Juda memutar bola matanya. Mulai bosan. “Terus-terusin aja ngebully gue.”
“Sensi amat, Sis! Gue udah DM Martin di I*******m. Gue bilang gue mau kasih undangan kawinan.”
Juda mengernyit tidak mengerti. “Ngapain lo kasih undnagan kawinan buat Martin?”
“Buat mantan lo, Bego!”
“Ngapain juga lo ngundang Danis?” Juda makin tidak mengerti.
Sessat terdengar erangan gemas Ema. “Please, ini kan undangan boongan doang.”
“Boongan atau bukan, harusnya yang meyakinkan dikit dong alasannya,” geram Juda.
“Wih, langsung dibales nih.” Ema kembali bergumam. Mengabaikan protes Juda.
Jantung Juda mendadak berdebar keras. Menanti dengan harap-harap cemas balasan dari sahabat mantan pacarnya.
“Nggak dikasih,” kata Ema. “Katanya bisa nitip undangan ke Martin aja, nanti dibakal dia terusin ke Danis.”
Dan Juda pun tertunduk lesu.
.
.
to be continued
Laki-laki yang dibicarakan oleh Juda dan Ema itu hidup dan tinggal di belahan bumi yang lain. Namanya Daniswara Jati Praba. Nama pemberian dari orang tuanya yang terdengar kuat dan gagah. Sudah sepuluh tahun Danis tinggal di Belanda. Mengejar mimpi berkuliah di negeri kincir angin itu, bekerja di sana, dan berniat untuk menetap di sana, sampai bayangan masa depan itu diruntuhkan oleh seseorang yang sudah ia beri kepercayaan besar sebagai pasangan hidupnya. Kehidupan yang sudah susah payah Danis bangun, dengan harapan ada kebahagiaan di dalamnya, kini seolah tak ada artinya. Ia dihempas oleh rasa sakit yang membuatnya kehilangan pegangan dalam hidup. Danis sedang menatap keluar jendela kamarnya yang berada di lantai lima dengan mata yang menerawang jauh seakan bisa menembus langit. Sudah beberapa minggu terakhir ini hanya aktivitas itu yang ia lakukan selepas pulang dari kantor. Ia mengunci diri di kamar, tak membiarkan siapa pun menginterupsi aktivitasnya. Terutama penghuni lain di
Hari itu, sekitar lima minggu yang lalu, Danis baru saja kembali ke Amsterdam setelah melakukan perjalanan dinas selama satu minggu ke Paris. Ia tidak langsung pulang ke apartemen karena harus mengunjungi pemakaman rekan kerjanya yang meninggal karena kecelakaan. Dari pemakaman, Danis diajak mampir untuk minum-minum—Danis tidak ikut minum minuman keras, namun tetap ikut berkumpul sebagai bentuk solidaritas—bersama rekan-rekan kerjanya untuk mengenang teman mereka. Hari sudah mulai gelap saat Danis pamit untuk pulang.Danis membuka pintu apartemennya yang tidak terkunci dengan perasaan ringan. Ingin cepat-cepat memeluk dan mencium istrinya untuk menyalurkan kerinduan yang membuncah memenuhi dadanya. Namun, segera setelah pintu apartemennya terbuka lebar, ia disuguhi pemandangan paling buruk yang tidak pernah ia bayangkan akan ia lihat. Istrinya sedang bercumbu mesra dengan Samuel, sahabat dekat Danis, di sofa ruang tamu. Saling meraba tubuh satu sama lain dengan gairah yang menggebu-ge
Setelah gagal mendapatkan kontak Danis yang bisa dihubungi, Juda mulai berpikir bahwa kemungkinan memang bukan karena unfinished business-nya dengan Danis yang membuat hubungan percintaannya selama beberapa tahun terakhir ini menjadi kacau. Seperti kata Ema, masalah Juda kemungkinan hanya ada pada dirinya. Namun, ia malah seperti sengaja mengkambinghitamkan orang lain—dalam hal ini Danis—agar tidak dipandang terlalu buruk karena bermasalah dalam berhubungan dengan laki-laki hingga Mami harus turun tangan berkali-kali untuk ‘mencarikan’ dirinya jodoh. Yang sampai saat ini masih belum nampak juga hilalnya.“Saran gue, lo harus berusaha gimana pun caranya buat buka hati. Mami lo bener waktu bilang kalau jodoh nggak akan datang cuma karena lo tungguin, tapi harus ada usaha juga buat ‘nemuin’ jodoh lo. Jangan nunggu ada orang lain yang bisa mendobrak benteng pertahanan hati lo. Lo udah ngalamin berkali-kali kalau kebanyakan orang nyerah duluan karena tahu kalau lo nggak bener-bener mau men
Renata tidak terima diceraikan begitu saja 'hanya' karena ia kepergok berciuman dengan Samuel. Itulah kenapa setelah Danis mengikrarkan perpisahan, Renata tidak terima.Awalnya Renata memohon sambil menangis-nangis, meminta maaf atas segala kesalahannya, tetapi setelah dua minggu tidak ada progres dan malah membuat Danis semakin menjauh, Renata kehilangan kesabaran. Ia berang dan meluapkan kemarahan dengan membanting piring. Awalnya, hanya karena satu buah piring yang baru saja ia pakai untuk makan yang tidak sengaja meluncur dari tangannya dan kemudian jatuh ke lantai hingga pecah berkeping-keping. Ada perasaan puas yang terasa ganjal yang terlintas di kepalanya, merasa bahwa dengan memecahkan piring ia bisa merasa lega.Maka, setiap kali Renata pulang ke apartemen dan lagi-lagi harus mendapati kenyataan kalau Danis masih tidak mau bicara dengannya, wanita itu akan melampiaskan rasa frustrasinya dengan membanting piring. Semakin banyak piring yang ia banting, seraya meluapkan amarahn
Danis membuka dompetnya dengan perasaan campur aduk. Ia benar-benar telah melupakan keberadaan foto Juda yang ada di dompetnya. Dulu, Juda sendiri yang memasukkan fotonya ke sana saat memberikan dompet itu sebagai hadiah ulang tahun untuknya. Meski sudah tidak terlalu mengingat momen itu, Danis samar ingat bahwa Juda sempat berkata, "Biar kamu semangat belajarnya, aku taroh foto aku di dompet kamu. Kamu bisa pandangin foto aku kalau kamu kangen aku.” Saat itu, Juda mengatakannya dengan senyum yang menghiasi wajah tirusnya. Juda yang lebih sering menampilkan wajah judes dan galaknya, hari itu menyuguhkan senyum manis yang membuat hati Danis berbunga-bunga. Sudut hati Danis seolah berdenyut nyeri saat foto Juda ia keluarkan dari dompetnya. Juda tampak sangat belia di foto yang sudah termakan usia itu. Bagaimana penampilan Juda versi dewasa? Apakah semakin cantik? Apakah bertambah galak dan judes seperti saat masih menjadi kekasihnya? Bagaimana kehidupan Juda saat ini? Apakah Juda be
Ketika pertama kali membuka laman dating app yang diunduh Ema di ponselnya, Juda langsung disuguhi dengan ratusan foto laki-laki. Tidak hanya memperlihatkan foto saja, pengguna juga bisa mengatur lokasi sedemikian rupa, sehingga bisa memperlihatkan seberapa jauh jarak antara pengguna dengan pengguna lain, yang tentu saja semakin memudahkan pengguna dating app tersebut. Swipe ke kanan jika merasa tertarik dengan orang tersebut atau swipe ke kiri apabila tidak tertarik atau tidak suka. Dan kini, terhitung dua minggu sudah terlewati sejak Juda pertama kali bermain Tinder. Namun, ia belum menemukan 'match' yang benar-benar sesuai dengan kriterianya. Ada sekitar lima puluh orang yang ia swipe kanan, ada sekitar dua puluhan orang yang 'match'—atau bisa dibilang kedua belah pihak sama-sama saling men-swipe kanan—dan hanya sembilan di antaranya yang sampai ke tahap chatting-an. Yang mana merupakan tahap paling sulit bagi Juda, karena ia harus membangun percakapan yang menyenangkan. Dan mes
Setelah mulai kuliah di Belanda, Danis hanya beberapa kali pulang ke Indonesia. Kepulangannya dalam sepuluh tahun terakhir bisa dihitung jari. Dan selalu hanya orang-orang terdekatnya yang tahu. Salah satunya Martin. Bukan karena ingin menjadi sok misterius seperti kata Martin. Namun, karena ia sedang berusaha untuk melupakan banyak hal menyesakkan yang terjadi di tanah kelahirannya itu. Yang pertama adalah karena perceraian orang tuanya yang membuat hidupnya menjadi tak sama lagi. Dan alasan yang kedua karena Juda, mantan kekasihnya yang membuat hatinya patah. Orang tuanya mengikrarkan perceraian saat Danis pulang membawa berita kelulusan bersamkaan dengan saat Danis mengais-ngais sisa-sisa keping hatinya yang patah karena Juda. Hari itu menjadi hari terburuk yang terjadi dalam hidupnya. Danis diputuskan oleh Juda, yang sangat ia sayangi meski hanya tiga bulan berpacaran. Dan saat Danis ingin mengadu kesedihannya ketika kembali ke rumah, ia malah mendapati banyak koper dan tump
Setengah tahun kemudian Danis lulus kuliah. Meski masih ada setitik rasa kecewa terhadap kedua orang tuanya, ia tetap meminta Ibu dan Ayah datang ke upacara wisudanya. Sekaligus memperkenalkan Renata—yang sudah ia pacari selama enam bulan—kepada mereka. Teman seperjuangan Danis selain Samuel selama tinggal di negeri orang untuk meraih mimpi. Danis tidak pulang ke Indonesia setelah lulus karena mendapat tawaran untuk melanjutkan kuliah S2, yang langsung ia terima dengan penuh rasa syukur. Hubungan dengan Ibu dan Ayah berangsur membaik. Seperti yang Ibu pernah katakan, ayahnya memang tidak lagi berulah. Dan mereka hampir kembali menjadi keluarga yang harmonis. Seperti tidak pernah ada kehancuran yang meluluhlantakkan keluarga mereka. Setelah lulus S2, Danis langsung mendapatkan pekerjaan. Tidak ada alasan untuk menolak. Di tahun kedua bekerja, saat keuangannya mulai cukup stabil untuk menghidupi dirinya dan ia tabung untuk masa depan, Danis memutuskan untuk melamar kekasihnya, Ren