Danis tidak lagi mengganggu Juda setelah penolakan telak yang dilontarkan Juda siang itu. Dan itu sudah lewat tiga bulan yang lalu.Awalnya, Danis pikir Juda hanya bertindak berdasarkan emosi yang saat itu sedang menguasai, sehingga Danis membiarkan dirinya mundur. Mengalah. Memberikan Juda waktu lebih banyak.Sayangnya, Juda tidak membutuhkan waktu. Juda tidak sedang menunggu Danis datang lagi, untuk memohon dan mengemis kesempatan terakhir. Sebab, Juda benar-benar serius tentang ucapannya. Tidak lagi tersisa kesempatan. Karena Danis yang sudah membuang kesempatan itu dan menukarnya dengan kesia-siaan."Lo kapan kawinnya, sih? Biar gue bisa balik ke Jakarta," tanya Danis saat Martin menelepon suatu malam."PMS lo? Sewot amat," sindir Martin saat mendengar suara sinis Danis. "Kalau kawin kan gue udah sering, nikah ya aja yang belom," sambungnya."Gue serius, Tin. Gue kayaknya mau balik ke Jakarta dalam waktu dekat," desah Danis."Ngapain? Jangan bilang lo serius mempertimbangkan buat
Juda bukannya tidak sadar Danis mulai mendekatinya lagi sejak beberapa minggu yang lalu. Memang tidak secara blak-blakan seperti saat awal-awal Juda pindah. Dimulai sejak Danis mulai membelikannya kopi, memberikan ucapan-ucapan penyemangat untuk menjalani hari, mengajak Juda mengobrol ringan di dalam lift, dan masih banyak lagi. Danis bersikap lebih sopan, seperti seorang gentleman.Dan hari ini, Danis mulai menaikkan level. Sebelum Juda keluar dari lift saat tiba di lantai 21, Danis berkata, "Ju, nanti makan siang bareng aku, mau?"Jawaban Juda tidak. Karena ia sudah ada agenda bersama Jason untuk bertemu klien sekalian makan siang. Seandainya tidak ada agenda apa-apa pun Juda tetap akan menolak. Menerima pemberian kopi dari Danis dan mengobrol dengan laki-laki itu di dalam lift adalah hal yang tidak bisa Juda hindari karena Danis selalu melakukannya di depan banyak orang. Menolak pemberian Danis hanya akan membuat Juda dipandang buruk orang-orang. Itu tidak bagus untuk image Juda di
Meski sudah begitu yakin akan sanggup menerima penolakan demi penolakan Juda, nyatanya ada masa-masa di mana Danis ingin menyerah saja. Sulit sekali menembus tembok pertahanan yang Juda bangun. Enam bulan sudah kembali terlewati dan Danis belum menghasilkan apa-apa. Itu artinya sudah sembilan bulan lamanya Juda bekerja di kantor yang sama dengan Danis. Sudah nyaris setahun sejak Danis bisa berada dekat sekali dengan Juda. Tetapi masih juga tak tergapai sosoknya. "I'm so done. Gue mau nyerah aja." Nyaris setiap bulan Danis akan mengeluh demikian kepada Martin yang hanya tertawa-tawa melihat penderitaan Danis. Sebenarnya, ada juga masa-masa di mana Juda terlihat mulai membuka diri. Terhitung sudah tiga kali Juda mau diajak makan siang. Itu pun tampaknya Juda merasa kasihan kepada Danis yang belum juga menyerah mendekati Juda. Danis seperti termakan omongannya sendiri ketika berkata tak ingin dikasihani. Nyatanya, saat Juda menunjukkan respons positif bahkan sekadar mengasihani, Danis
Bicara soal bahagia, selalu ada kriteria-kriteria tersendiri bagi setiap orang. Seperti Juda yang sudah cukup bahagia melihat video keponakannya menendang-nendang air saat mandi hingga airnya menciprat ke mana-mana. Atau saat keponakannya tertawa-tawa melihat kekonyolan ayahnya. Juda... bisa semudah itu merasa bahagia. Saat bertelepon dengan Ema, membicarakan tentang apa saja yang terlewat saat mereka tidak lagi berada di kota yang sama, berbagi tentang hidup mereka, itu pun sudah membuat Juda bahagia juga. Dan saat Juda menghabiskan waktu bersama Kim dan Nic, yang mengkalim diri mereka sebagai bestie-nya Juda, selalu ada kebahagiaan yang terpupuk di dalam hatinya. Juda bersyukur sekali memiliki keluarga dan teman dekat yang dengan cara yang sederhana membuatnya bahagia. Lalu, bagaimana dengan Danis? Yang juga ingin menjadi salah satu orang yang menjadi bahagianya Juda? Tak Juda pungkiri bahwa saat bersama Danis—entah saat mereka berpacaran pertama kalinya saat SMA, atau saat merek
Jika bukan berkat obrolannya dengan Haikal pagi itu, Juda tidak yakin akan ada di sini sekarang. Bersama Danis, bergandengan tangan seperti dua remaja yang sedang kasmaran, menaiki tangga satu per satu untuk menuju flat Juda setelah dua hari terakhir —sejak Jumat malam hingga Minggu sore—mereka menghabiskan waktu di apartemen Danis yang terletak cukup jauh dari flat Juda. Ini tepat empat bulan setelah mereka resmi berpacaran. Juda masih juga bersikukuh bahwa mereka bukan balikan, tetapi menjalin hubungan baru yang lebih sehat. Sehat dalam artian selalu saling jujur dan mengkomunikasikan tentang segala hal yang mengganjal dalam hubungan mereka. "Ju, kita nggak balikan atau tetap jadi mantan seperti yang kamu bilang, tapi kita pada akhirnya bakal jadi manten, kan?" ucap Danis saat mereak sudah sampai di depan pintu flat Juda. Juda tertawa seraya mengeluarkan kunci pintu dari salah satu kantong tasnya. "Ketemu Mami sama Papi dulu, baru bilang gitu!" "Kita punya waktu cukup banyak untu
“Lo adalah cowok ke sekian yang akhirnya bertekuk lutut sama gue setelah sok jual mahal basi. Permainan udah nggak asik lagi. Kita putus aja, Dan. Gue udah bosen sama lo.”Diputuskan saat sedang sayang-sayangnya bukanlah menjadi hal yang Danis harapkan terjadi. Namun, ekspresi di wajah Danis tidak menunjukkan keterkejutan ataupun kesedihan. Laki-laki itu menatap Juda lurus dan berkata, “Aku tau kamu bakal bilang gitu, Ju. Aku nggak masalah kalo rasa sayangku ke kamu nggak terbalas. Aku nggak berharap banyak, dari awal aku juga tau kalo kamu cuma jadiin aku taruhan sama temen-temen kamu. Congratulations karena kamu menang taruhan.”Danis mengatakan sederet kalimat itu tanpa terselip kesinisan ataupun sindiran sepeti yang Juda harapkan. “Asal kamu tahu, Ju, aku nggak nyesel udah bisa pacaran sama kamu selama tiga bulan ini. It was fun. Kamu mungkin akan jadi mantan terindahku.”“Udah ngomongnya?” Juda menarik ujung bibirnya ke atas. Menampakkan senyum sinis yang semakin membuat wajah Ju
Juda menggeram kesal. Ia sudah terbiasa mimpi random. Mulai dari menjadi istri simpanan presiden, menjadi manajer BIGBANG–boyband Korea yang populer sejak tahun 2011-an–yang menjadi idolanya, suatu kali juga pernah menjadi dokter paling dikagumi di rumah sakit besar di Jakarta. Di lain waktu, Juda tiba-tiba menjadi pendaki yang suka menjelajah gunung-gunung tinggi di dunia. Ya, memang serandom itu bunga tidur yang Juda dapatkan saat tidur.Juda tidak pernah terlalu memusingkan mimpi-mimpi yang menghiasi malam-malamnya itu. Karena baginya, mimpi hanyalah bunga tidur yang kadang berbau harum dan terkadang berbau busuk. Mereka hanya ilusi yang tidak akan menjadi kenyataan.Namun, selama beberapa minggu terakhir ini, Juda hampir selalu memimpikan hal yang sama. Hal ini membuatnya kesal laur biasa karena ia terpaksa harus kembali mengingat kenangan terakhir di masa-masa SMA-nya yang tidak terlalu menyenangkan.“Kenapa sih nongol mulu di mimpi gue?” gerutu Juda sambil menggaruk kepalanya de
Semasa kecilnya, saat itu Juda masih kelas tiga SD ketika harus menjalani operasi usus buntu, yang membuatnya harus drawat inap di sebuah rumah sakit selama hampir satu minggu. Meski masa-masa itu tidak menyenangkan karena rasa sakit yang membuatnya kerap menangis, ada yang Juda syukuri. Dokter yang merawatnya sangatlah ramah dan baik. Dokter itu menjadi sosok pria favorit kedua setelah ayahnya.Sejak saat itu, Juda bercita-cita menjadi seorang dokter anak, mengikuti jejak dokternya yang bagi Juda telah menciptakan keajaiban untuknya. Juda menyebutnya keajaiban karena karena dengan kemampuannya itu, bekas operasi di perut Juda berangsur-angsur hilang hingga tak terlihat seperti pernah melakukan operasi.Mimpi itu bertahan hingga Juda naik kelas dua SMA. Beberapa teman yang mendengar cita-cita mulianya itu mencibir dan mengoloknya, bahwa seorang Juda yang tidak akan pernah bisa menjadi dokter jika tidak pernah mau belajar bagaimana cara menghadapi orang dengan baik. Bukan malah bersika