“Lo adalah cowok ke sekian yang akhirnya bertekuk lutut sama gue setelah sok jual mahal basi. Permainan udah nggak asik lagi. Kita putus aja, Dan. Gue udah bosen sama lo.”
Diputuskan saat sedang sayang-sayangnya bukanlah menjadi hal yang Danis harapkan terjadi. Namun, ekspresi di wajah Danis tidak menunjukkan keterkejutan ataupun kesedihan. Laki-laki itu menatap Juda lurus dan berkata, “Aku tau kamu bakal bilang gitu, Ju. Aku nggak masalah kalo rasa sayangku ke kamu nggak terbalas. Aku nggak berharap banyak, dari awal aku juga tau kalo kamu cuma jadiin aku taruhan sama temen-temen kamu. Congratulations karena kamu menang taruhan.”
Danis mengatakan sederet kalimat itu tanpa terselip kesinisan ataupun sindiran sepeti yang Juda harapkan. “Asal kamu tahu, Ju, aku nggak nyesel udah bisa pacaran sama kamu selama tiga bulan ini. It was fun. Kamu mungkin akan jadi mantan terindahku.”
“Udah ngomongnya?” Juda menarik ujung bibirnya ke atas. Menampakkan senyum sinis yang semakin membuat wajah Juda makin judes. “Cut that bullshit. Gue nggak butuh pidato lo.”
Danis terkekeh. Ia menyugar rambutnya yang sudah mulai memanjang menutupi kening. “Untuk yang terakhir, boleh peluk, nggak?”
Juda melotot hingga matanya hampir keluar dari sarangnya. “Lo nggak tau malu banget, sih! Nggak sudi gue pelukan sama lo!”
“Anggap aja pelukan perpisahan, Juju. Santai, dong. Nggak usah ngegas gitu. Habis ini kita nggak akan ketemu lagi kok.”
Kali ini Juda mencebik. Danis adalah satu-satunya yang bisa membalas kejutekan Juda dengan jawaban yang santai. Beberapa saat kemudian, Juda mengubah ekspresi keras di wajahnya menjadi segurat raut penasaran.
Seolah mengerti tanpa ditanya, Danis pun berkata, “Kamu inget nggak kalo aku pernah apply beasiswa ke Belanda? Waktu itu aku isi formulirnya di depan rumah kamu, pakai laptop punya kamu, terus numpang Wi-Fi juga di rumah kamu.” Danis tertawa kala mengingat hari itu. “Pengumumannya kemaren dan aku lolos, Ju. Minggu depan aku berangkat ke Belanda.”
Juda cukup terpengaruh akan pernyataan Danis. Ia ikut bersyukur karena Danis lolos. Namun, dengan mudah menyembunyikan perasaannya. Danis juga tidak perlu tahu meski Juda mengingat dengan jelas akan mengingat hari sore yang cerah itu. Ketika Danis tiba-tiba muncul di depan rumahnya, mengendarai motor Scoopy berwarna putih dan mengenakan helm bogo yang membuat laki-laki itu terlihat manis. Sangat berbeda dengan Danis yang saat ini berdiri di depan Juda dengan senyum terkulum.
Danis yang datang tanpa pemberitahuan itu mengatakan bahwa ia sedang berada dalam kondisi terdesak. Juda yang mudah panik itu pun mengizinkan Danis masuk dan duduk di teras rumah untuk mendengarkan curahan hati pacarnya itu.
Saat itulah Danis bercerita tentang rencananya bersekolah di luar negeri. Juda memberikan dukungan positif dan langsung mendorong Danis agar segera mendaftar.
“Lo diterima atau enggak itu bukan urusan gue. Gue nggak peduli,” tukas Juda.
“Kalo kamu nggak peduli, kamu nggak akan pinjemin aku laptop, dan kasih Wi-Fi gratis, Ju.”
“Apa ada gunanya diungkit sekarang?” Juda menimpali dengan nada sarkas yang kentara dalam suaranya.
Danis menggeleng. Ada sorot keputusasaan di matanya yang hadir sekejap sebelum kemudian hilang. “Thank you for always supporting me and stay by my side at that time, Ju. Kalo kamu nggak dukung aku waktu itu, mungkin aku sekarang masih bingung cari-cari kampus atau malah main-main nggak jelas. I owe you so much, Ju.”
Juda mengerling malas. Mau diingatkan akan kebaikannya di masa lalu, tidak akan membuat Juda luluh atau sekadar mengendurkan pertahanan. Kemauan terbesar Juda saat ini adalah menyelesaikan semua yang berhubungan dengan Danis dan membuang laki-laki itu jauh dari hidupnya. Dan kepergian Danis ke Belanda itu mungkin adalah satu dari cara Tuhan menjawab keinginannya.
Danis akan pergi dan Juda akan hidup tenang.
Atau mungkin sebaliknya, Danis-lah yang akan hidup tenang karena berhasil lepas dan bebas dari sosok Juda yang lebih mirip nenek sihir galak yang biasa digambarkan dalam cerita anak.
“Well, congratulations, Danis,” kata Juda dengan nada tidak ikhlas dalam suaranya. Ia bersedekap dan lanjut berkata, “Udah nggak ada yang perlu dibahas lagi, kan?”
Danis tersenyum tipis sembari memandang wajah Juda yang kini menatapnya dengan begitu muak. “Kamu mungkin nggak butuh denger ini, tapi aku tetep mau bilang. Semoga lancar kuliahnya dan kamu bisa jadi dokter seperti yang kamu cita-citakan. Yang terakhir, aku mau minta maaf kalo selama jadi pacar kamu, aku norak banget. Aku juga minta maaf karena bikin kamu kecewa.”
“Gue nggak butuh dari lo, apalagi permintaan maaf lo,” sela Juda dengan ekspresi keras di wajah. Pikirannya seketika melayang ke alasan gadis itu memilih untuk putus dari Danis.
“Aku nggak minta buat dimaafkan, Ju. Aku tau aku salah, jadi aku cuma mau minta maaf terlepas kamu maafin atau enggak.” Danis tersenyum tipis. Tangannya terangkat untuk mengelus puncak kepala Juda. Namun, gadis di depannya itu dengan cepat mengelak. Danis menurunkan tangan dan berkata, “Semoga kamu ketemu cowok yang baik yang nggak akan nyakitin kamu kayak aku. You deserve someone better than me.”
“Nggak usah sok baik. Lo nggak berhak ngomong kayak gitu.”
“Satu pelukan, Ju. Please?” Tanpa menunggu jawaban Juda, Danis mendekat untuk memeluk Juda. Bukan pelukan erat yang membuat Juda sesak, melainkan hanya pelukan ringan. Laki-laki itu mengelus punggung Juda–yang memiliki rambut sebahu yang berwarna hitam legam–selama beberapa saat dan berbisik, “Thank you, Juju. Boleh minta satu hal lagi?”
“Lo lama-lama ngelunjak ya!” Juda mendorong Danis dengan kuat hingga membuat pelukan singkat itu terlepas. Danis terdorong hingga dua langkah ke belakang.
“Di punggung kamu masih ada space kosong, aku boleh tulis sesuatu di situ?” tanya Danis. Mengabaikan lirikan judes yang Juda berikan padanya.
Juda pun melirik seragamnya yang sudah penuh dengan coretan spidol dan pilok warna-warni. Inginnya ia menolak, namun Danis lebih gesit. Tahu-tahu, laki-laki itu sudah memutar tubuh Juda membelakangi dirinya. Laki-laki itu tak membiarkan Juda mengelak.
“Awas kalo lo nulis yang aneh-aneh,” geram Juda yang meski suaranya terdengar penuh kebencian, tetapi ia tetap membiarkan Danis berbuat sesukanya. Dalam hati, gadis itu berbisik, Ini yang terakhir. Setelah ini gue nggak akan ketemu Danis lagi. Baju gue juga nggak akan gue simpen selamanya. It's nothing, Juju!
Danis memegangi pundak Juda dengan erat menggunakan satu tangan. Tangannya yang lain menggoreskan beberapa patah kata di punggung Juda sebelah kiri sembari tersenyum.
Setelah Danis berbalik dan menjauh menuju teman-teman laki-laki itu, Juda tersenyum kecut. Air mata perlahan menggenangi mata. “Danis brengsek! Semoga lo ketemu cewek jahat yang lebih kejam dari gue!”
Saat kalimat itu meluncur, Danis sempat menatap Juda dengan senyum pengertian sebelum kemudian kembali berjalan menjauhi Juda.
Juda sangat marah dan kesal karena Danis yang sama sekali tidak terlihat memendam amarah akan semua kata-kata kasar dan kejam yang Juda ucapkan. Danis juga tidak terlihat menyesal akan pengkhianatan yang dilakukan laki-laki itu hingga merusak hubungan keduanya.
“Danis sialan,” lirih Juda. Air matanya jatuh dan dengan cepat gadis itu hapus dengan punggung tangannya.
Yang tidak pernah Juda tahu, begitu Danis berbalik, laki-laki itu meruntuhkan senyum yang selalu terpatri di wajah saat berhadapan dengan Juda. Danis tampak murung dan sedih. Meninggalkan dan ditinggalkan oleh Juda bukanlah hal yang ia harapkan terjadi meski ia harus menempuh pendidikan nun jauh di sana. Yang Danis inginkan, mereka meraih mimpi itu bersama-sama meski raga keduanya terpisah oleh jarak yang membentang. Danis ingin mereka selalu ada untuk satu sama lain di saat susah maupun senang. Saling mendukung saat sedang berada di bawah maupun berada di atas. Sayangnya, harapan itu kini hanya tersisa harap semu yang tidak akan permah terwujud.
Juda sudah memutus ikatan yang tidak bisa disambung kecuali membuat ikatan baru dengan ikatan yang lain.
“Juju nggak lo ajak ke sini, Dan?” tanya salah satu teman Danis yang bajunya sama dekali tidka terdapat coretan.
Danis mengendikkan bahu kemudian menjawab dengan santai, “Gue sama Juju barusan putus.”
Deklarasi putus itu membuat keempat teman Danis menatap laki-laki itu prihatin. Mereka cukup tahu bahwa Danis amat sangat menyayangi Juda meski gadis itu sepertinya tidak memiliki perasaan yang sama besar. Atau malah tidak punya rasa terhadap Danis kecuali rasa benci.
Untungnya, tidak ada pembahasan lebih lanjut karena mereka menghargai perasaan Danis.
Menjelang sore, halaman sekolah yang tadinya ramai oleh siswa siswi–dengan berbagai coretan di seragam untuk merayakan kelulusan itu–kini mulai sepi. Para siswa satu demi satu meninggalkan sekolah yang menjadi tempat belajar selama tiga tahun itu untuk menuju gerbang lain yang akan membawa mereka selangkah lebih dekat dengan mimpi.
Masa SMA Juda dan Danis pun berakhir dengan menyisakan hati-hati yang patah. Hati-hati patah yang terbawa hingga masa dewasa.
.
.
to be continued
Juda menggeram kesal. Ia sudah terbiasa mimpi random. Mulai dari menjadi istri simpanan presiden, menjadi manajer BIGBANG–boyband Korea yang populer sejak tahun 2011-an–yang menjadi idolanya, suatu kali juga pernah menjadi dokter paling dikagumi di rumah sakit besar di Jakarta. Di lain waktu, Juda tiba-tiba menjadi pendaki yang suka menjelajah gunung-gunung tinggi di dunia. Ya, memang serandom itu bunga tidur yang Juda dapatkan saat tidur.Juda tidak pernah terlalu memusingkan mimpi-mimpi yang menghiasi malam-malamnya itu. Karena baginya, mimpi hanyalah bunga tidur yang kadang berbau harum dan terkadang berbau busuk. Mereka hanya ilusi yang tidak akan menjadi kenyataan.Namun, selama beberapa minggu terakhir ini, Juda hampir selalu memimpikan hal yang sama. Hal ini membuatnya kesal laur biasa karena ia terpaksa harus kembali mengingat kenangan terakhir di masa-masa SMA-nya yang tidak terlalu menyenangkan.“Kenapa sih nongol mulu di mimpi gue?” gerutu Juda sambil menggaruk kepalanya de
Semasa kecilnya, saat itu Juda masih kelas tiga SD ketika harus menjalani operasi usus buntu, yang membuatnya harus drawat inap di sebuah rumah sakit selama hampir satu minggu. Meski masa-masa itu tidak menyenangkan karena rasa sakit yang membuatnya kerap menangis, ada yang Juda syukuri. Dokter yang merawatnya sangatlah ramah dan baik. Dokter itu menjadi sosok pria favorit kedua setelah ayahnya.Sejak saat itu, Juda bercita-cita menjadi seorang dokter anak, mengikuti jejak dokternya yang bagi Juda telah menciptakan keajaiban untuknya. Juda menyebutnya keajaiban karena karena dengan kemampuannya itu, bekas operasi di perut Juda berangsur-angsur hilang hingga tak terlihat seperti pernah melakukan operasi.Mimpi itu bertahan hingga Juda naik kelas dua SMA. Beberapa teman yang mendengar cita-cita mulianya itu mencibir dan mengoloknya, bahwa seorang Juda yang tidak akan pernah bisa menjadi dokter jika tidak pernah mau belajar bagaimana cara menghadapi orang dengan baik. Bukan malah bersika
Sejujurnya, Juda belum seputus asa itu untuk bisa segera menikah. Ini semua karena tuntutan dan desakan Mami yang membuat Juda nyaris gila. Jika diberi pilihan, tentu saja Juda akan memilih untuk tidak menikah dulu, setidaknya sampai ia bisa menuntaskan masalah hatinya. Juda ingin dan berharap bisa menemukan seseorang yang bisa membuatnya kembali percaya kepada laki-laki. Yang bisa mengajarinya arti cinta, bukan sebuah pertemuan yang diatur oleh Mami dengan paksaan yang membuatnya tertekan hingga membuatnya tak bisa tidur nyenyak.Ema, teman terdekatnya sejak SMA, berkali-kali berkata, “Sekali-kali lo tegasin aja ke nyokap lo, Ju. Bilang ke beliau kalau lo udah gede dan bisa ngatur masa depan lo sendiri. Lo bisa tegas ke orang-orang, tapi sama nyokap sendiri lembek banget. Dengan lo bersikap kayak gitu, nyokap lo pasti jadi ngerasa kalau dia punya kuasa buat ngatur lo harus begini begitu.”Hari ini, setelah Juda bercerita tentang Sakha dan juga Hamish, ia langsung disembur Ema dengan
Seperti yang sudah Juda prediksi, laki-laki yang bernama Hamish−bukan Hamish Daud−jauh dari apa yang Juda harapkan. Tinggal di luar negeri cukup lama tidak membuat Hamish menjadi pribadi yang liberal. Laki-laki itu sangat konservatif bahkan cenderung patriarkis. Juda berkali-kali ingin menampar wajah laki-laki berparas tampan itu−terlalu putih untuk ukuran laki-laki Jawa tulen−karena mendominasi percakapan dengan segala pencapaiannya selama hidup. Mereka bahkan baru bertatap muka tidak sampai dua jam dan laki-laki itu“Kalau kita menikah, saya sangat berharap kamu mau ikut saya ke Kanada dan menetap di sana. Saya di sana sudah punya rumah, cukup besar untuk menampung satu keluarga dengan dua sampai empat anak. Saya sudah siapkan tabungan masa depan, biaya sekolah anak dari sekolah dasar sampai kuliah."Insyaallah cukup dan masih akan bertambah selama saya masih bekerja sampai pension dua puluh tahun lagi. Kamu juga nggak perlu khawatir, saya menanam saham di banyak perusahaan besar, j
Sepulang Hamish dari rumah Mami−setelah Juda diomeli Mami sampai telinganya panas karena katanya menyia-nyiakan calon suami potensial−wanita itu buru-buru masuk ke kamar dan menghubungi Ema. Menceritakan semuanya dari awal hingga akhir pertemuannya dengan Hamish tadi.“Gila sih, duitnya emang banyak. Tapi ritme hidupnya gila banget. Nggak seimbang sama ritme hidup gue,” keluh Juda.“Seriusan lo tolak langsung orangnya? Please, dia nggak lo judesin karena lo nggak sreg sama orangnya, kan?”“Gue nolaknya classy kok. Nggak sambil ngomel-ngomel kayak ibu-ibu,” tukas Juda sebelum Ema mengejeknya. Kemudian ia mendesah lirih. “Gue bisa bilang kalau Hamish ini mantu idaman banget, Em. Tutur katanya halus kayak sultan, santun banget sama orang tua, murah senyum, nggak suka main mata selama ngobrol sama gue, udah gitu ganteng, tajir, pokoknya paket lengkap. Tapi tetap aja a big NO buat gue. Bisa mati muda kayaknya hidup sama laki-laki penganut paham patriarkis kayak dia. Gue belum ngomong aja d
Laki-laki yang dibicarakan oleh Juda dan Ema itu hidup dan tinggal di belahan bumi yang lain. Namanya Daniswara Jati Praba. Nama pemberian dari orang tuanya yang terdengar kuat dan gagah. Sudah sepuluh tahun Danis tinggal di Belanda. Mengejar mimpi berkuliah di negeri kincir angin itu, bekerja di sana, dan berniat untuk menetap di sana, sampai bayangan masa depan itu diruntuhkan oleh seseorang yang sudah ia beri kepercayaan besar sebagai pasangan hidupnya. Kehidupan yang sudah susah payah Danis bangun, dengan harapan ada kebahagiaan di dalamnya, kini seolah tak ada artinya. Ia dihempas oleh rasa sakit yang membuatnya kehilangan pegangan dalam hidup. Danis sedang menatap keluar jendela kamarnya yang berada di lantai lima dengan mata yang menerawang jauh seakan bisa menembus langit. Sudah beberapa minggu terakhir ini hanya aktivitas itu yang ia lakukan selepas pulang dari kantor. Ia mengunci diri di kamar, tak membiarkan siapa pun menginterupsi aktivitasnya. Terutama penghuni lain di
Hari itu, sekitar lima minggu yang lalu, Danis baru saja kembali ke Amsterdam setelah melakukan perjalanan dinas selama satu minggu ke Paris. Ia tidak langsung pulang ke apartemen karena harus mengunjungi pemakaman rekan kerjanya yang meninggal karena kecelakaan. Dari pemakaman, Danis diajak mampir untuk minum-minum—Danis tidak ikut minum minuman keras, namun tetap ikut berkumpul sebagai bentuk solidaritas—bersama rekan-rekan kerjanya untuk mengenang teman mereka. Hari sudah mulai gelap saat Danis pamit untuk pulang.Danis membuka pintu apartemennya yang tidak terkunci dengan perasaan ringan. Ingin cepat-cepat memeluk dan mencium istrinya untuk menyalurkan kerinduan yang membuncah memenuhi dadanya. Namun, segera setelah pintu apartemennya terbuka lebar, ia disuguhi pemandangan paling buruk yang tidak pernah ia bayangkan akan ia lihat. Istrinya sedang bercumbu mesra dengan Samuel, sahabat dekat Danis, di sofa ruang tamu. Saling meraba tubuh satu sama lain dengan gairah yang menggebu-ge
Setelah gagal mendapatkan kontak Danis yang bisa dihubungi, Juda mulai berpikir bahwa kemungkinan memang bukan karena unfinished business-nya dengan Danis yang membuat hubungan percintaannya selama beberapa tahun terakhir ini menjadi kacau. Seperti kata Ema, masalah Juda kemungkinan hanya ada pada dirinya. Namun, ia malah seperti sengaja mengkambinghitamkan orang lain—dalam hal ini Danis—agar tidak dipandang terlalu buruk karena bermasalah dalam berhubungan dengan laki-laki hingga Mami harus turun tangan berkali-kali untuk ‘mencarikan’ dirinya jodoh. Yang sampai saat ini masih belum nampak juga hilalnya.“Saran gue, lo harus berusaha gimana pun caranya buat buka hati. Mami lo bener waktu bilang kalau jodoh nggak akan datang cuma karena lo tungguin, tapi harus ada usaha juga buat ‘nemuin’ jodoh lo. Jangan nunggu ada orang lain yang bisa mendobrak benteng pertahanan hati lo. Lo udah ngalamin berkali-kali kalau kebanyakan orang nyerah duluan karena tahu kalau lo nggak bener-bener mau men