Laki-laki yang dibicarakan oleh Juda dan Ema itu hidup dan tinggal di belahan bumi yang lain. Namanya Daniswara Jati Praba. Nama pemberian dari orang tuanya yang terdengar kuat dan gagah.
Sudah sepuluh tahun Danis tinggal di Belanda. Mengejar mimpi berkuliah di negeri kincir angin itu, bekerja di sana, dan berniat untuk menetap di sana, sampai bayangan masa depan itu diruntuhkan oleh seseorang yang sudah ia beri kepercayaan besar sebagai pasangan hidupnya.
Kehidupan yang sudah susah payah Danis bangun, dengan harapan ada kebahagiaan di dalamnya, kini seolah tak ada artinya. Ia dihempas oleh rasa sakit yang membuatnya kehilangan pegangan dalam hidup.
Danis sedang menatap keluar jendela kamarnya yang berada di lantai lima dengan mata yang menerawang jauh seakan bisa menembus langit. Sudah beberapa minggu terakhir ini hanya aktivitas itu yang ia lakukan selepas pulang dari kantor. Ia mengunci diri di kamar, tak membiarkan siapa pun menginterupsi aktivitasnya. Terutama penghuni lain di apartemennya, yang membuat Danis menjadi seperti ini.
Satu jam berlalu, Danis masih duduk di kursi yang sengaja ia tempatkan di samping jendela, kali ini ada kepulan asap yang keluar dari sebatang rokok di tangan−jendela ia buka, menghantarkan angin sore yang cukup dingin membelai wajah−saat kemudian terdengar suara pecahan piring, gedoran di pintu yang cukup keras hingga kemungkinan bisa merobohkan pintu itu, dan juga teriakan kemarahan.
Tiga hal itu juga sudah menjadi lagu yang didengar Danis sehari-hari dalam satu bulan terakhir. Pelakunya adalah Renata, istrinya. Si penghuni apartemen selain dirinya, yang memang sengaja menciptakan keributan untuk membuatnya keluar dari sarang persembunyian.
“Udah aku bilang kalau aku nggak mau cerai, Danis. Kita nggak akan pernah bercerai!” teriak Renata dengan suara yang cukup keras untuk bisa di dengar para penghuni di unit apartemen di gedung itu.
Dan seperti biasa, Danis mengabaikan teriakan itu. Karena pada akhirnya Renata akan lelah sendiri dan pergi setelahnya. Danis pun tidak lagi mau peduli meski Renata menungguinya di depan pintu sampai tengah malam atau sampai besok pagi. Yang Danis tahu bahwa hal itu tidak akan terjadi. Renata tidak sesabar itu untuk menunggunya membukakan pintu.
“AKU NGGAK MAU CERAI, DANIS! KAMU DENGAR ITU, KAN?! NGGAK AKAN PERNAH ADA PERCERAIAN!”
Kemudian terdengar bantingan piring yang ke sekian kali. Kalau dihitung dari jumlah piring yang mereka miliki, seharusnya sudah habis dari kemarin-kemarin karena dibanting semua oleh Renata. Jadi, kemungkinan piring-piring itu masih baru, yang sengaja dibeli Renata untuk menciptakan keributan.
“Mau sampai kapan kamu mengabaikan aku? Aku kangen kamu. Aku kangen ‘kita’. Please, talk to me, Danis. Kita selesaikan masalah kita baik-baik. Jangan hukum aku.” Kali ini Renata meratap.
Danis masih bergeming di tempat. Menyulut rokok yang kedua. Membiarkan Renata lelah sendiri dengan segala ocehannya tentang apa pun itu. Danis sudah tidak ingin lagi peduli.
“Aku sayang kamu. Aku selalu sayang dan cinta sama kamu, Danis. Nggak pernah sedetik pun aku melupakan perasaanku buat kamu. Selalu kamu yang ada di hati dan pikiranku. You have to believe me.”
Danis melirik ke arah tempat tidur saat ponselnya yang berada di dalam tas kerjanya yang teronggok menyedihkan di atas tumpukan pakaian kotor di ujung tempat tidurnya itu berdering keras. Ia lupa mematikan nada deringnya saat keluar dari kantor.
“Danis, kamu mau aku bersujud di kaki kamu? Fine, akan aku lakukan! Aku akan melakukan semua yang kamu inginkan selain perceraian, kalau itu bisa membuat perasaan kamu lebih baik.”
Dering panjang itu berhenti setidaknya sepuluh detik sebelum kemudian berbunyi kembali. Meningkahi suara Renata yang masih meratap putus asa dan memohon dalam sesal−Danis tidak benar-benar tahu dan tidak peduli apakah Renata benar-benar menyesal atas perbuatannya.
Panggilan kedua itu masih Danis biarkan tak terjawab hingga panggilan ketiga yang membuat telinga Danis mulai terganggu.
Dengan langkah tersaruk, Danis mendekat ke sumber suara. Menarik ponselnya dari dalam tas, membuat sebagian dari tumpukan baju kotornya jatuh ke lantai.
Martin.
Nama itu berkedip-kedip di layar ponselnya. Ia adalah teman dekat Danis yang tinggal di Indonesia.
“Halo,” sapa Danis dengan malas.
“Lo pasti nggak percaya kalau Ema, temennya Juju, mantan terindah lo itu barusan ngehubungin gue. Katanya dia butuh nomer hape lo buat kirim undangan kawinan.”
Pundak Danis menegang sesaat. Ia langsung memusatkan seluruh perhatiannya.
“Juju mau nikah?”
“Ema yang mau nikah!” koreksi Martin dengan sebal. “Bisa-bisanya lo salah fokus.”
Kernyitan dalam hadir di kening Danis.
“Gue nggak deket sama Ema. Ngapain dia ngundang gue?”
“Mana gue tahu. Kasih nomer lo atau nggak nih?”
“Jangan kasih.”
“Oke, deh.” Martin tidak menanyakan alasan apa pun.
“Dua minggu lagi gue balik ke Indonesia,” kata Danis kemudian.
“Lo serius mau pisah sama Renata?” Martin kembali bertanya dengan snagat hati-hati.
Bersamaan dengan pertanyaan itu, terdengar sumpah serapah Renata yang mulai kehabisan cara membujuk Danis. Kemudian suaranya menghilang. Dan yang terakhir terdengar adalah suara bantingan pintu. Lalu hening.
“Gue serius mau pisah sama Renata,” ujar Danis sambil menatap lurus pintu kamarnya yang masih terkunci rapat dari dalam.
.
.
to be continued
Hari itu, sekitar lima minggu yang lalu, Danis baru saja kembali ke Amsterdam setelah melakukan perjalanan dinas selama satu minggu ke Paris. Ia tidak langsung pulang ke apartemen karena harus mengunjungi pemakaman rekan kerjanya yang meninggal karena kecelakaan. Dari pemakaman, Danis diajak mampir untuk minum-minum—Danis tidak ikut minum minuman keras, namun tetap ikut berkumpul sebagai bentuk solidaritas—bersama rekan-rekan kerjanya untuk mengenang teman mereka. Hari sudah mulai gelap saat Danis pamit untuk pulang.Danis membuka pintu apartemennya yang tidak terkunci dengan perasaan ringan. Ingin cepat-cepat memeluk dan mencium istrinya untuk menyalurkan kerinduan yang membuncah memenuhi dadanya. Namun, segera setelah pintu apartemennya terbuka lebar, ia disuguhi pemandangan paling buruk yang tidak pernah ia bayangkan akan ia lihat. Istrinya sedang bercumbu mesra dengan Samuel, sahabat dekat Danis, di sofa ruang tamu. Saling meraba tubuh satu sama lain dengan gairah yang menggebu-ge
Setelah gagal mendapatkan kontak Danis yang bisa dihubungi, Juda mulai berpikir bahwa kemungkinan memang bukan karena unfinished business-nya dengan Danis yang membuat hubungan percintaannya selama beberapa tahun terakhir ini menjadi kacau. Seperti kata Ema, masalah Juda kemungkinan hanya ada pada dirinya. Namun, ia malah seperti sengaja mengkambinghitamkan orang lain—dalam hal ini Danis—agar tidak dipandang terlalu buruk karena bermasalah dalam berhubungan dengan laki-laki hingga Mami harus turun tangan berkali-kali untuk ‘mencarikan’ dirinya jodoh. Yang sampai saat ini masih belum nampak juga hilalnya.“Saran gue, lo harus berusaha gimana pun caranya buat buka hati. Mami lo bener waktu bilang kalau jodoh nggak akan datang cuma karena lo tungguin, tapi harus ada usaha juga buat ‘nemuin’ jodoh lo. Jangan nunggu ada orang lain yang bisa mendobrak benteng pertahanan hati lo. Lo udah ngalamin berkali-kali kalau kebanyakan orang nyerah duluan karena tahu kalau lo nggak bener-bener mau men
Renata tidak terima diceraikan begitu saja 'hanya' karena ia kepergok berciuman dengan Samuel. Itulah kenapa setelah Danis mengikrarkan perpisahan, Renata tidak terima.Awalnya Renata memohon sambil menangis-nangis, meminta maaf atas segala kesalahannya, tetapi setelah dua minggu tidak ada progres dan malah membuat Danis semakin menjauh, Renata kehilangan kesabaran. Ia berang dan meluapkan kemarahan dengan membanting piring. Awalnya, hanya karena satu buah piring yang baru saja ia pakai untuk makan yang tidak sengaja meluncur dari tangannya dan kemudian jatuh ke lantai hingga pecah berkeping-keping. Ada perasaan puas yang terasa ganjal yang terlintas di kepalanya, merasa bahwa dengan memecahkan piring ia bisa merasa lega.Maka, setiap kali Renata pulang ke apartemen dan lagi-lagi harus mendapati kenyataan kalau Danis masih tidak mau bicara dengannya, wanita itu akan melampiaskan rasa frustrasinya dengan membanting piring. Semakin banyak piring yang ia banting, seraya meluapkan amarahn
Danis membuka dompetnya dengan perasaan campur aduk. Ia benar-benar telah melupakan keberadaan foto Juda yang ada di dompetnya. Dulu, Juda sendiri yang memasukkan fotonya ke sana saat memberikan dompet itu sebagai hadiah ulang tahun untuknya. Meski sudah tidak terlalu mengingat momen itu, Danis samar ingat bahwa Juda sempat berkata, "Biar kamu semangat belajarnya, aku taroh foto aku di dompet kamu. Kamu bisa pandangin foto aku kalau kamu kangen aku.” Saat itu, Juda mengatakannya dengan senyum yang menghiasi wajah tirusnya. Juda yang lebih sering menampilkan wajah judes dan galaknya, hari itu menyuguhkan senyum manis yang membuat hati Danis berbunga-bunga. Sudut hati Danis seolah berdenyut nyeri saat foto Juda ia keluarkan dari dompetnya. Juda tampak sangat belia di foto yang sudah termakan usia itu. Bagaimana penampilan Juda versi dewasa? Apakah semakin cantik? Apakah bertambah galak dan judes seperti saat masih menjadi kekasihnya? Bagaimana kehidupan Juda saat ini? Apakah Juda be
Ketika pertama kali membuka laman dating app yang diunduh Ema di ponselnya, Juda langsung disuguhi dengan ratusan foto laki-laki. Tidak hanya memperlihatkan foto saja, pengguna juga bisa mengatur lokasi sedemikian rupa, sehingga bisa memperlihatkan seberapa jauh jarak antara pengguna dengan pengguna lain, yang tentu saja semakin memudahkan pengguna dating app tersebut. Swipe ke kanan jika merasa tertarik dengan orang tersebut atau swipe ke kiri apabila tidak tertarik atau tidak suka. Dan kini, terhitung dua minggu sudah terlewati sejak Juda pertama kali bermain Tinder. Namun, ia belum menemukan 'match' yang benar-benar sesuai dengan kriterianya. Ada sekitar lima puluh orang yang ia swipe kanan, ada sekitar dua puluhan orang yang 'match'—atau bisa dibilang kedua belah pihak sama-sama saling men-swipe kanan—dan hanya sembilan di antaranya yang sampai ke tahap chatting-an. Yang mana merupakan tahap paling sulit bagi Juda, karena ia harus membangun percakapan yang menyenangkan. Dan mes
Setelah mulai kuliah di Belanda, Danis hanya beberapa kali pulang ke Indonesia. Kepulangannya dalam sepuluh tahun terakhir bisa dihitung jari. Dan selalu hanya orang-orang terdekatnya yang tahu. Salah satunya Martin. Bukan karena ingin menjadi sok misterius seperti kata Martin. Namun, karena ia sedang berusaha untuk melupakan banyak hal menyesakkan yang terjadi di tanah kelahirannya itu. Yang pertama adalah karena perceraian orang tuanya yang membuat hidupnya menjadi tak sama lagi. Dan alasan yang kedua karena Juda, mantan kekasihnya yang membuat hatinya patah. Orang tuanya mengikrarkan perceraian saat Danis pulang membawa berita kelulusan bersamkaan dengan saat Danis mengais-ngais sisa-sisa keping hatinya yang patah karena Juda. Hari itu menjadi hari terburuk yang terjadi dalam hidupnya. Danis diputuskan oleh Juda, yang sangat ia sayangi meski hanya tiga bulan berpacaran. Dan saat Danis ingin mengadu kesedihannya ketika kembali ke rumah, ia malah mendapati banyak koper dan tump
Setengah tahun kemudian Danis lulus kuliah. Meski masih ada setitik rasa kecewa terhadap kedua orang tuanya, ia tetap meminta Ibu dan Ayah datang ke upacara wisudanya. Sekaligus memperkenalkan Renata—yang sudah ia pacari selama enam bulan—kepada mereka. Teman seperjuangan Danis selain Samuel selama tinggal di negeri orang untuk meraih mimpi. Danis tidak pulang ke Indonesia setelah lulus karena mendapat tawaran untuk melanjutkan kuliah S2, yang langsung ia terima dengan penuh rasa syukur. Hubungan dengan Ibu dan Ayah berangsur membaik. Seperti yang Ibu pernah katakan, ayahnya memang tidak lagi berulah. Dan mereka hampir kembali menjadi keluarga yang harmonis. Seperti tidak pernah ada kehancuran yang meluluhlantakkan keluarga mereka. Setelah lulus S2, Danis langsung mendapatkan pekerjaan. Tidak ada alasan untuk menolak. Di tahun kedua bekerja, saat keuangannya mulai cukup stabil untuk menghidupi dirinya dan ia tabung untuk masa depan, Danis memutuskan untuk melamar kekasihnya, Ren
Mengenal Guntur selama satu minggu membuat Juda serasa kembali ke masa-masa SMA, saat ia baru pertama mengenal rasa suka terhadap lawan jenis. Ia begitu bersemangat setiap memulai hari—bahkan di hari Senin yang sangat ia dan sebagian besar orang benci—menunggu-nunggu pesan ucapan selamat pagi dari Guntur, mengobrol sebentar sebelum berangkat ke kantor. Awalnya, Juda tidak terlalu yakin. Namun, mengingat ia tidak punya banyak waktu menjelang acara reuni yang tinggal seminggu lagi dan juga berkat Ema yang gigih mendorong dan menyemangati, Juda mau tidak mau meyakinkan diri bahwa tidak ada salahnya untuk bertemu dengan Guntur setelah beberapa kali laki-laki itu mengajaknya bertemu. Hari ini, sepulang ia dari tempat kerja, Juda datang ke tempat yang ia dan Guntur sepakati untuk bertemu. Juda tiba lima belas menit lebih awal dari janji yang mereka sepakati. Di sebuah kedai kopi—yang tidak hanya menyuguhkan kopi, tetapi juga makanan yang menggugah selera—yang cukup terkenal. Sore itu tida