Share

Bab 40

last update Last Updated: 2023-06-12 20:42:38

"Sudah, nggak usah terlalu difikirkan omongan Umi tadi. Umi memang begitu orangnya, nanti lama-lama juga bakal luluh setelah kita beri cucu. Apalagi setelah melihat betapa lucu cucunya nanti," seloroh Mas Rahman mencoba menghibur hatiku.

"Auw! Sakit, Yang!" Dia menjerit kesakitan, karena tanganku muncubit pinggangnya.

"Gimana mau kasih cucu Umi, Mas? Bikin aja nggak boleh!" Sergahku, tak lupa ku hadiahi suamiku itu pelototan. Tapi dasar Mas Rahman, dia malah nyengir lebar.

"Nggak boleh itu kalau Umi lihat, Sayang. Kalau nggak, kan, nggak pa-pa. Iya, kan? Masa iya kita mau ihik-ihik di depan Umi." Mas Rahman menangkap tanganku yang hendak menggebuk nya, lalu menarik tubuh ini ke dalam pelukannya.

"Mas! Aku sudah wudlu, batal kan jadinya!" Protes ku tak terima.

"Terlanjur batal sayang, bagaimana kalau kita lanjut babak selanjutnya." Mata yang biasa menatapku teduh itu, kini berubah genit.

"Ogah! Nanti digrebek Umi!" Usai berkata aku masuk ke kamar mandi. Ada-ada saja suamiku itu,
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Wanita Penjaja Cinta   BAB 41

    "Mau kemana kamu, Mey?" Aku yang sudah siap pergi terpaksa menghentikan langkah.'Duh, kenapa Umi pakai acara ke garasi segala. Kenapa nggak anteng di kamar saja, sih.' Gerutuku dalam hati. "Keluar sebentar, Mi. Ada yang mau dibeli," jawabku beralasan, padahal aslinya mau pergi ke toko menyusul Mas Rahman. Mencegah lelaki itu berduaan dengan Audrey. Iya kali, aku diam saja suamiku disamperin cewek. Mana ceweknya cantik banget lagi, jelas aku harus waspada. "Nggak boleh! Kamu nggak boleh pergi sendiri tanpa Rahman," tegas Umi. "Tapi, Mi ---""Nggak ada tapi-tapian! Apa kata tetangga kalau melihat kamu keluar masuk rumah ini? Nanti timbul gosip yang tidak-tidak. Sudah, kamu diam saja di rumah! Kalau butuh apa-apa minta saja sama suamimu, biar dibawakan nanti kalau pulang." Selalu itu yang jadi alasan Umi, takut jadi bahan gunjingan tetangga. Kenapa harus takut, sih? Pernikahan kami sudah sah secara agama dan negara, kalau mereka ngomong macem-macem tinggal klarifikasi aja, beres kan

    Last Updated : 2023-06-13
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 42

    Hampir sebulan aku menjadi istri Mas Rahman, tapi hubunganku dengan Umi tidak kunjung membaik. Wanita itu masih sinis dan ketus padaku, apalagi kalau Mas Rahman pergi. Sikap Umi makin menjadi. Tapi aku berusaha bersikap sabar, dengan selalu mengalah dan menghindari konflik dengan Umi. "Batu saja bisa terkikis kalau ditetesi air setiap hari, apalagi hati manusia. Kamu nggak usah terpancing emosi, ngalah saja. Lama-lama Umi bakal capek sendiri, dan tak lagi mengusik kamu. Yang penting kita bahagia, anggap saja kebencian Umi sebagai ujian pernikahan kita." Begitu nasehat Mas Rahman saat aku adukan kelakuan umi nya. Sebenarnya aku ingin bekerja agar tidak banyak berinteraksi dengan Umi, tapi Mas Rahman melarang. Sebaiknya punya usaha sendiri, daripada bekerja pada orang lain. "Nanti lah. Aku pikir-pikir dulu usaha apa yang cocok buat kamu," ucap Mas Rahman kala itu, tapi sampai sekarang belum ketemu idenya. Sementara ini untuk menghilangkan kejenuhan, aku suka membantu Mbok Nah memasa

    Last Updated : 2023-06-14
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 43

    Bukan hanya Abah, aku pun merasa bersalah. Merasa bersalah pada diri sendiri, kenapa aku terima permintaan Umi untuk menikah dengan Mas Rahman. Harusnya aku tak ambil peduli dengan rengekan Umi waktu itu, sampai nangis darah sekalipun harusnya aku tak perlu menuruti permintaannya. Kalau akhirnya seperti ini, aku diperlakukan seperti manusia yang nggak punya harga diri. Bahkan di depanku Umi tega ngomong seperti itu, seolah perasaanku tak perlu dijaga. Akhirnya kami duduk bertiga di ruang tamu, harusnya berempat, tapi Mas Rahman ke luar kota, katanya ada mobil bekas yang dijual murah, dia mau cek barangnya langsung. Abah sengaja mengumpulkan kami untuk membahas gosip miring yang beredar di luar sana, efek pertemuanku dengan Bu Indri tadi pagi. Umi menyalahkanku, menganggap aku ini biang masalah yang harusnya dibuang. "Istighfar, Mi. Nyebut! Mereka sudah menikah secara resmi, berdosa kita kalau merusak ikatan suci mereka. Rahman begitu mencintai, Mey, begitu pula sebaliknya. Kenapa ha

    Last Updated : 2023-06-15
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 44

    Entah bagaimana cara Abah membujuk Umi, wanita itu akhirnya menyetujui rencana kami untuk menggelar resepsi, meski setengah hati. Tapi setengah hatinya Umi tetap saja all out. Dia mana mau menggelar acara spesial anaknya asal-asalan? Harus mewah meriah dan berkesan. "Rahman itu anak tunggal, orang tuanya terpandang, secara ekonomi juga mapan. Apa kata orang nanti, kalau ngunduh mantunya hanya sederhana. Kita bikin acara besar, atau tidak sama sekali!" Ultimatum Umi ketika kami membahas acara resepsi. "Buat apa, sih, Mi? Buang-buang uang saja, lebih baik uangnya disimpan untuk kebutuhan yang lain," kata Mas Rahman mencoba memberi pengertian Umi, karena Mas Rahman berencana membiayai sendiri resepsi pernikahan kami. Mas Rahman rela menggunakan semua tabungannya demi resepsi kami, dia ingin semua orang tahu kalau kami sudah menikah, dan tak lagi kesalah pahaman apalagi fitnah. "Nggak! Pokoknya kita harus menggelar pesta besar-besaran, titik! Kalau kalian nggak ribet, biar Umi yang uru

    Last Updated : 2023-06-16
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 45

    "Mey, kamu makannya jangan banyak-banyak! Nanti badanmu melar!" Umi berkata sambil mengurangi nasi yang sudah ku tuang ke piringku. Aku hanya bisa menghela nafas, sambil melirik suamiku yang tengah asik menikmati sarapannya. Berharap mendapat pembelaan dari anak semata wayang mertuaku itu, tapi sayangnya lelaki itu hanya mengangkat bahu. Kode bahwa aku harus menghadapi Umi sendiri. Padahal aku sudah mengurangi porsi makanku, tapi menurut Umi masih kebanyakan. Kalau sebelumnya aku cuek saja Umi mengatur porsi makanku, karena saat di show room nanti aku bisa makan sepuasnya. Tinggal pesen grab food, beres deh. Tapi sekarang aku sudah dipingit, nggak boleh keluar rumah lagi, karena harus menjalani serangkaian perawatan, agar aku terlihat cantik dan mangklingi saat resepsi nanti. Jadi nggak bisa nambah makan lagi, dong. Aku bisa lemes kalau begini. Padahal menurut banyak orang, badanku sudah proporsional. Nggak gemuk, nggak kurus. Pas-pasan, body goals istilah kerennya. Tapi Umi masih

    Last Updated : 2023-06-17
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 46

    Meski harus melewati banyak drama, akhirnya resepsi digelar juga. Semua rangkaian acara yang sudah direncanakan, berjalan semestinya. Seluruh keluarga besar Abah dan Umi hadir, banyak diantara mereka tak menyangka kalau kami sudah lebih dulu menikah sebelum resepsi. "Lho, kok, hanya resepsi? Akad nikahnya kapan? Kenapa kami tak diundang?" Begitu lah pertanyaan mereka. "Akad nikahnya pas Rahman masuk rumah sakit, karena mendadak jadi nggak ngundang. Yang penting semuanya berjalan lancar, mohon doanya agar Rahman dan istrinya bahagia, langgeng hingga mau memisahkan," jawab Abah diplomatis. Sementara aku hanya bisa pasang senyum manis, tatkala banyak yang menanyakan latar belakangku. Tak ingin merasa terpojok, Mas Rahman dan Abah yang menjawab pertanyaan keluarga besarnya itu. Jangan tanya bagaimana dengan Umi, beliau sibuk sendiri. Untung saja aku sekarang sudah bekerja, meski hanya bantu suami di show roomnya. Tapi setidaknya aku tidak nganggur. Apakah keluarga besarku hadir? Tent

    Last Updated : 2023-06-18
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 47

    Dan di sinilah aku sekarang, di ruang rawat inap. Menunggu Umi yang tengah tertidur pulas. Rupanya Umi terjatuh di kamar mandi tadi pagi, sementara di rumah hanya ada Mbok Nah dan Mbak Susi yang panik luar biasa, tanpa tahu apa yang harus dilakukan. Bukannya menelpon dokter keluarga, malah menelpon Mas Rahman yang akhirnya ikut panik juga. Mas Rahman membawa Umi ke rumah sakit untuk mendapat tindakan, dengan mobilnya sendiri. Dia menyetir seperti orang kesetanan, ugal-ugalan. Untung tidak ada razia lalu lintas, hingga tidak kena tilang, karena mobil melebihi batas kecepatan.Menurut dokter yang memeriksa Umi, tensi tinggi hingga merasa pusing dan kesulitan mengendalikan tubuh, lalu akhirnya terjatuh. Tak ada luka fisik yang berarti, hanya sedikit lebam tak. Tapi kemungkinan besar Umi akan lumpuh setengah badan, beliau mengalami paraplegia. Akibat benturan keras menyebabkan otak Umi kehilangan kemampuan sensorik dan motorik. Mas Rahman sempat syok mendengar penjelasan dokter, tapi ak

    Last Updated : 2023-06-19
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 48

    l"Ceritanya bagaimana, Mey? Kok, sampai Umi dibawa ke rumah sakit?" Abah bertanya padaku, karena Umi hanya menangis tanpa bicara sejak kedatangan beliau. Mas Rahman hanya mengabari Abah, kalau Umi dilarikan ke rumah sakit, tanpa menjelaskan kronologinya. Kini aku harus menceritakan kejadian sebenarnya, termasuk diagnosa dokter. "Padahal waktu Abah tinggal, Umimu baik-baik saja. Memang dia sedikit murung gara-gara masalah dengan Anita, tapi kupikir tidak akan berpengaruh pada kesehatannya." Ada nada sesal dalam suara beliau. "Umi lagi banyak pikiran, Bah. Umi butuh teman bicara, butuh tempat bersandar, tapi Abah justru tidak ada saat Umi butuhkan," ucapku berusaha memancing reaksi mertuaku itu. "Hhhh!" Abah mengembuskan nafas kasar, lalu meraup wajahnya kemudian menatap Umi dalam-dalam. "Abah kan, harus kerja, Mi. Harus ceramah sana-sini, nggak mungkin menemani Umi dua puluh empat jam. Umi kalau butu teman bicara, ngomong sama Mey saja. Kalian sama-sama perempuan, pasti bisa sali

    Last Updated : 2023-06-20

Latest chapter

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 99

    "Gantengnya cucu Eyang ...." Umi berkata sambil menimang putraku, yang baru kulahirkan beberapa jam yang lalu itu. Cucu pertamanya, cucu yang sudah dia nanti bertahun-tahun lamanya. "Wes, diborong Rahman semua ini, Mey. Kamu nggak kebagian apa-apa. Plek ketiplek bapaknya waktu masih bayi," lanjut Umi, tanpa mengalihkan pandangannya pada bayiku. Meski ada iri menelusup di hati, karena wajah anakku yang ternyata sangat mirip bapaknya. Tapi juga bahagia sekaligus bangga, bisa memberi anak pada suami, dan cucu untuk mertuaku, dengan wajah yang identik dengan wajah mereka. "Kalian sudah siap nama, kan?""Sudah, Mi," jawabku singkat. Aku belum berani banyak bicara, luka bekas operasi masih begitu nyeri, kalau aku bergerak sedikit saja. Bahkan aku belum berani bicara banyak, karena takut. "Siapa?""Alfarisqi Rahman, Mi. Panggilannya Alfa." Umi baru datang setelah operasi selesai. Karena tak mau ambil resiko, karena kesehatan Umi sering bermasalah. Kami berangkat ke rumah sakit sendiri.

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 98

    Mas Rahman menautkan jemari kami dan sesekali meremasnya lembut, seolah berkata, "Jangan takut, ada aku disini." Namun begitu aku tetap tak bisa mengendalikan perasaanku, gugup dan takut menguasai. Apalagi saat melihat wajah-wajah kaku majelis hakim, membuatku gentar dan ingin mundur saja. Masih ditambah tatapan dingin dan membunuh dari Adi Guntoro, yang duduk di samping pengacaranyaIni pertama kalinya aku menghadiri persidangan, dan jadi saksi. Jadi wajar, kalau perasaanku tak karu-karuan. Apalagi saat tak sengaja mata ini sekali lagi berserobok dengan mata Adi Guntoro yang duduk di samping pengacaranya. tatapannya begitu dingin seolah ingin menghabisiku saat itu juga. Membuatku ingin balik arah, dan berlari meninggalkan ruang sidang. Seolah tak ihlas suamiku melepas genggaman tangannya, ketika namaku dipanggil untuk duduk di kursi saksi. "Jangan takut, Mey. Ada aku," bisik Mas Rahman di telingaku. Bibirku tak henti merapal doa agar diberi kelancaran saat bersaksi nanti. Ternyata

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 97

    Mas Rahman menautkan jemari kami dan sesekali meremasnya lembut, seolah berkata, "Jangan takut, ada aku disini." Namun begitu aku tetap tak bisa mengendalikan perasaanku, gugup dan takut menguasai. Apalagi saat melihat wajah-wajah kaku majelis hakim, membuatku gentar dan ingin mundur saja. Masih ditambah tatapan dingin dan membunuh dari Adi Guntoro, yang duduk di samping pengacaranyaIni pertama kalinya aku menghadiri persidangan, dan jadi saksi. Jadi wajar, kalau perasaanku tak karu-karuan. Apalagi saat tak sengaja mata ini sekali lagi berserobok dengan mata Adi Guntoro yang duduk di samping pengacaranya. tatapannya begitu dingin seolah ingin menghabisiku saat itu juga. Membuatku ingin balik arah, dan berlari meninggalkan ruang sidang. Seolah tak ihlas suamiku melepas genggaman tangannya, ketika namaku dipanggil untuk duduk di kursi saksi. "Jangan takut, Mey. Ada aku," bisik Mas Rahman di telingaku. Bibirku tak henti merapal doa agar diberi kelancaran saat bersaksi nanti. Ternyata

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 96

    Tiga bulan berlalu, perutku mulai terlihat membuncit. Meski tak separah di Tri semester pertama, aku masih merasakan mual di pagi hari. Sebenarnya aku ingin beraktivitas, biar kehamilan ini tidak terlalu manja ini kehamilan kedua, harusnya aku kuat dan lebih siap, kan. Lagi pula aku juga sudah bosan kalau harus bad rest terus. Tapi Mas Rahman melarang. Katanya, "aku tidak mau anakku kenapa-napa, jangan ambil resiko!" Kalau aku ngeyel. "Dengan beraktivitas janin akan lebih sehat, Mas. Aku juga nggak stress dikurung terus." Tapi apa jawabnya? "Dah, nurut aja! Nggak usah banyak protes! Ini semua demi anak kita. Berkorban sedikit apa susahnya, sih?" Ternyata, perlakuan manis Mas Rahman hamil bukan untukku, tapi untuk anaknya. Dasar laki-laki, mau enaknya sendiri! Untung sayang. "Mas, capek. Pijitin!" Kuletakkan kedua kakiku di atas pangkuan Mas Rahman, yang sedang sibuk dengan laptopnya, memeriksa laporan keuangan show room. Tanpa bicara, Mas Rahman menutup laptopnya dan meletakkan di

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 95

    "Dibilang males, ngeyel!" Mas Rahman terkekeh. "Mas Rahman menyembunyikan sesuatu, ya?" Todongku. Aku sudah nggak betah menahan rasa penasaran, dari tadi sikap Mas Rahman mencurigakan. "Mau tahu aja, apa mau tahu banget?" Selorohnya. Aku mencebik kesal, tawa Mas Rahman makin menjadi. "Sus, tadi sudah dikasih tahu belum?" Mas Rahman bertanya pada Suster Lusi. "Belum, Pak. Nggak berani saya." Sebenarnya rahasia apa yang mereka sembunyikan, sih? Aku benar-benar kepo! "Sekarang aja, Sus!" Usai Mas Rahman berkata, Suster Lusi berjalan ke arah pintu. Aku menatap bingung suamiku, tapi dia hanya senyum penuh arti, membuat rasa penasaran di hati makin menjadi. Kami masih saling tatap ketik dari terdengar suara riuh dari arah pintu. "Surprise....! Selamat ulang tahun ...." Sontak aku menoleh ke sumber suara. Di sana ada Umi dan Dinda, mereka datang membawa buket bunga. Sementara Suster Lusi membawa kue tart yang di atasnya terdapat lilin angka, yang sudah menyala. Speechless, itu ya

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 94

    Pertama kali membuka mata, ruangan serba putih menyapa indera penglihatanku. Tanpa perlu dijelaskan, aku tahu sedang berada di ruang perawatan. Bau obat dan selang infus yang menancap di punggung tanganku, jawabannya. Apa ada masalah dengan lukaku? Infeksi? Atau kenapa? Pertanyaan itu memenuhi kepalaku, tapi aku tidak merasakan apa-apa di area itu. Pertanyaan-pertanyaan itu masih berputar-putar di kepalaku, hingga pintu terbuka dan menampilkan sosok wanita berseragam serba hijau menghampiriku. "Alhamdulillah .... Bu Rahman sudah siuman. Apa yang dirasakan, Bu? Masih pusing?" Tanya wanita bertag name Lusi itu, ramah. "Sedikit, Sus. Suami saya mana, ya? Kok nggak keliahatan?" Aku tak menemukan Mas Rahman ketika sadar tadi, dan sampai sekarang pun laki-laki itu kunjung muncul. Tak biasanya dia meninggalkan aku sendiri kalau sedang sakit, apalagi ini di rumah sakit. "Pak Rahman ijin pulang sebentar, Bu. Mengambil baju ganti katanya, dan beliau menitipkan Ibu pada saya," jelas wanita

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 93

    Umi menyambut antusias kedatangan kami, tapi Dinda justru bersikap sebaliknya Dia menampakkan wajah cemberut, tak bersemangat dan malas-malasan membantu membawa barang-barangku. "Yang punya hajat itu suadaramu yang mana sih, Mey? Kok kamu nggak pernah cerita? Pakai ngelarang aku nyusul pula, kan nggak enak sebagai besan nggak ikut hadir di acara mereka," cerca Umi begitu aku masuk rumah. Saat aku mengabari tak bisa pulang, dengan alasan ada suadara umiku yang punya hajat, Umi memaksa datang. Katanya demi menjaga tali silaturahim, tapi aku melarangnya. Alasannya rumahnya jauh dan pelosok, nanti Umi nyasar. Padahal nggak ada saudaraku yang punya hajat, itu semua hanya kebohongan demi menutupi fakta yang sebenarnya terjadi. Mana ada saudara Umi yang ingat aku? Di mata mereka aku ini hanya aib. "Sepupu jauh Umi saya, Mi. Mereka tinggal di pelosok, Mi. Aku sudah memberi amplop mereka, dan mengatakan itu dari Umi, " bohongku. Pepatah yang mengatakan sekali orang berbohong, maka akan ter

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 92

    Setelah tiga hari di rawat di rumah sakit Solo, akhirnya kami diijinkan pulang. Meski melalui drama pulang paksa, karena menurut dokter lukaku belum pulih benar. Tapi kami memaksa pulang, toh ini hanya luka luar bukan luka dalam yang mengkhawatirkan. Aku tak mungkin berlama-lama di Solo, sementara di rumah Umi cemas menanti kami. Ada Dinda yang butuh kami. Juga kasihan Mas Rahman yang harus bolak-balik Solo-Semarang, Semarang- Solo. Mas Rahman tak mungkin meninggalkan pekerjaannya. Oh ya, kami terpaksa menyembunyikan keadaan yang sebenarnya dari Umi, karena tak mau wanita jelang enam puluh tahun itu khawatir dan kepikiran. Mas Rahman terpaksa berbohong, mengatakan ada keluargaku yang punya hajat dan memaksaku nginep di sana. Padahal keluargaku yang di Solo sudah lama tak menganggapku ada. Sementara pada Dinda, aku mengatakan kalau masih ada urusan di Solo. Selama dirawat di Solo, ibunya Bu Naya dua kali menjengukku. Beliau berkali-kali minta maaf atas kesalahan anaknya, tapi anehnya

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 91

    Rupanya kesabarannya sudah habis untuk menghadapiku, kini dia mulai main kasar. Tak ada lagi sikap anggun dan kemayu yang selama ini melekat dalam dirinya. Bu Naya sama sekali berubah. "Uang apa? Bu Naya bilang butuh uang untuk melunasi biaya pengobatan, kenapa sekarang malah menolak? Bahkan melarang saya ketemu Reza. Sekarang saya jadi curiga, jangan-jangan Bu Naya .... " Ucapanku terhenti, karena aku merasa ada benda runcing yang dingin menempel di pinggangku. Tubuhku kaku seketika, otakku memberi sinyal bahaya. Aku ingin teriak dan minta tolong, tapi sayangnya rasa perih dan nyeri luar biasa tiba-tiba menyergap, membuat otakku buntu seketika. "Mey!" Samar kudengar namaku diteriakkan, setelah itu semua menjadi gelap. * * * * * * * * *Bau obat menyengat menyapa indera penciuman, memaksaku membuka mata demi mengetahui dimana aku berada sekarang. Ruangan serba putih menjadi pemandangan pertamaku, hingga akhirnya mataku terbuka sempurna. Lamat-lamat kuingat kejadian sebelum akhirn

DMCA.com Protection Status