"Pondok Pesantren Daruttauhid" Begitu yang tertulis di papan berukuran besar, di depan pintu gerbang sebuah bangunan tiga tingkat di depanku. Bangunan ini tak banyak berubah, dari terakhir aku berkunjung ke tempat ini bersama Umi dan Abah, menyambangi Abizar dua belas tahun yang lalu. Hanya ada sedikit perubahan di pintu gerbangnya, dan catnya yang terlihat baru saja diperbarui. Ya, aku sengaja datang ke tempat ini, tempat di mana Abizar dulu menuntut ilmu. Aku berharap bisa bertemu dengan adik kandungku itu, setelah delapan tahun terpisah. Semoga dia masih di sini, kalau pun tidak. Semoga aku bisa mendapat informasi tentang Abizar, semoga. Alasanku menjadikan Jombang sebagai tempat tinggal baru, selain bertemu Abizar, alku ingin mendalami ilmu agama. Aku ingin kembali ke jalan yang benar, aku ingin bertaubat. Dinda sudah semakin besar, aku tak mau dia menanggung malu, apalagi sampai membenciku karena profesiku. Jombang kota yang tepat, karena suasana religius terasa begitu kental d
"Tidak merepotkan, tapi mungkin tak senyaman kamar kalian. Mbak Mey bawa koper sebesar ini kayak mau pindahan, aja." Abizar pasti bingung melihat koper besar, dan tas yang tak kalah besar yang kubawa. "Ceritanya panjang, Bi. Nanti aku akan cerita."Belum sempat Abizar menjawab, tiba-tiba ponselku berbunyi. Buru-buru aku merogoh tas, dan mengambil benda pintar itu dari sana. Nampak nama Rahman terpampang di layarnya. Mau apa dia? "Angkat aja, Mbak. Nggak usah sungkan sama aku." Abizar berkata setelah melihatku mengabaikan ponsel yang terus meraung minta diangkat. "Telfon nggak penting, Bi. Abaikan saja!" Abizar mengangguk. "Jadi bagaimana? Jadi nginep sini, kan? Mbak Mey hutang banyak penjelasan padaku. Kamu mau nginep di sini, kan, Din?" Abizar beralih menatap Dinda yang nampak anting di sampingnya. Dinda mengangguk yakin sambil menatap Om yang lama tidak dia temui itu. "Tuh, kan, Dinda mau nginep sini. Kalau begitu tunggu apalagi? Ayo kita ke belakang!" Abizar menarik koperku
Belum sempat Abizar menjawab, ponselku kembali meraung-raung minta diangkat. Lagi-lagi nomor Rahman yang melakukan panggilan. Apa laki-laki ingin mengobral janji lagi? Memperjuangkan aku di depan orang tuanya, yang nyatanya gagal total itu. Atau Rahman sudah mendapat restu dari orang tuanya, atau bagaimana? Hingga berani menghubungiku? Kalau pun iya, agaknya dia sudah terlambat. Aku sudah terlanjur memutuskan pergi. Kalau pun dia berhasil mendapat restu, aku sudah males hidup di lingkungan itu. Mulut tetangga di sana julid semua. "Dari siapa sih, Mbak? Kok nggak diangkat?" Tanya Abizar penasaran. "Bukan siapa-siapa, Bi." Kami masih di lorong pesantren, jadi aku tidak berani cerita tentang Rahman pada Abizar. Butuh tempat khusus, nggak enak kalau ada yang dengar. "Bukannya mau ikut campur, Mbak. Tapi aku lihat dari tadi ada telfon masuk, dan Mbak Mey abaikan terus. Mungkin orang yang nelfon itu memang benar-benar ada hal penting yang mau disampaikan." Aku menghela nafas panjang. "
Meski malas akhir kuambil benda pintar itu, dan membukanya. Ternyata ada beberapa pesan WA masuk dari nomor Rahman. Ternyata laki-laki itu tak menyerah begitu saja, meski berkali-kali ku abaikan. "Mey, ini Umi Farida.""Tolong angkat telfon, Mey.""Ini penting, Mey." Jantungku tiba-tiba berdetak tak menentu. Umi Farida menelfon ku, ada alamat apa ini?Mataku tak lepas dari ponsel dalam genggaman, menatap tak percaya pesan yang tertulis dalam benda pipih itu. Rahman kenapa? Kenapa Umi yang menelfon ku? Pertanyaan itu kini memenuhi kepalaku. "Dari siapa, Mbak?" "Eh, dari tetangga Mbak di sana," jawabku tergagap. "Kayaknya penting banget, Mbak. Dari tadi nelfon terus, lho." Aku terdiam mendengar ucapan Abizar, kalau tidak penting tentu Umi Farida tidak akan menelfon ku. "Nggak ditelfon balik aja, Mbak?" Aku menggeleng ragu. Dalam hatiku sebenarnya penasaran, kenapa Umi Farida menelpon? Tapi rasa takut menguasai hati, hingga aku mengabaikan rasa penasaran itu. Masih teringat jelas
"Tadi pagi Rahman ditemukan pingsan di kamarnya, Mey. Kondisinya kritis sekarang, aku takut waktunya tidak panjang."Ucapan Umi Farida membuat lututku lemas seketika. Kenapa Rahman sampai pingsan? Pertanyaan itu kini memenuhi kepalaku. Apa yang terjadi dengan pemuda itu? Apa dia nekat ingin mengakhiri hidupnya, karena frustasi orang tuanya menentang hubungan kami? Tapi pemuda sekelas Rahman tidak akan melakukan hal sebodoh itu. Rahman itu tipe orang yang mengedepankan logika. Tapi cinta mana kenal dengan logika? "Rahman sakit apa, Umi?" tanyaku setelah berhasil menguasai diri. "Setelah pulang dari rumahmu waktu itu, kami bertengkar hebat, Mey. Sejak itu Rahman berubah jadi pendiam, banyak melamun dan lebih suka mengurung diri di kamar. Dia seperti kehilangan semangat hidup nya, bahkan makanan yang kami antar ke kamarnya jarang disentuh, makin hari badannya makin kurus. Kami tahu, itu karena dia kecewa kami menentang hubungan kalian, tapi kami sebagai orang tua ingin memberikan yang
"Kok kamu semangat nyuruh aku kembali ke Semarang, Bi? Kamu ngusir aku? Keberatan kalau aku repotin?" Seketika wajah Abizar memucat. "Bu---bukan begitu, Mbak. Aku hanya ---"Aku dan Abizar memang kurang dekat sejak kecil, bukan hanya karena gender kami berbeda, tapi sejak lulus SD Abizar sudah masuk pesantren, jarang pulang otomatis jarang pula berinteraksi denganku. Jadi, wajar kalau misalnya dia agak keberatan aku tinggal di kota ini. Sedikit banyak aku pasti merepotkannya, menambah tanggung jawabnya. Karena kami hanya tinggal berdua, tak ada saudara kandung lainnya. "Ya nggak pa-pa, Bi. Kalau kamu merasa keberatan aku tinggal di sini," ucapku sendu. "Eh, bukan begitu, Mbak. Aku nggak keberatan Mbak Mey tinggal di kota ini, kok, seneng malah. Aku hanya ikut senang, kalau Mbak Mey akhirnya ada yang meminang, apalagi Mbak Mey bilang dia laki-laki yang baik, berasal dari keluarga baik-baik pula." Abizar menjeda ucapannya, diraihnya tanganku dalam genggamannya. "Mbak, tak mungkin se
"Man." Umi Farida menepuk pelan lengan putranya, tapi laki-laki tak bereaksi. Padahal matanya terbuka, aku yakin dia tidak sedang tidur. "Ada Mey di sini, dia pengen ketemu kamu." Mendengar namaku disebut spontan Rahman menoleh. Diluar dugaanku, Rahman menatapku seperti tak pernah melihatku sebelumnya. "Me--- Mey?" Tanya Rahman dengan wajah ragu.Apakah sebulan tidak bertemu membuat Rahman melupakanku? Atau banyak yang berubah pada diriku, hingga dia tidak mengenaliku lagi? Berat badanku memang turun beberapa kilo, tapi tak berpengaruh banyak pada wajahku. "Iya, Man. Ini aku, Mey," jawabku berusaha meyakinkannya, bahwa ini benar-benar aku. Bukan hanya hanya hanya khayalan nya saja. Rahman menatapku lekat-lekat, seolah masih tak percaya kalau yang ada di depannya ini aku. Wanita yang katanya begitu dia cintai. "Nggak mungkin, ah. Umi pasti melarangmu datang ke sini." Rahman tertawa sumbang, membuatku hatiku mencelos seketika. Seputus asa itu kah, dia? "Umi yang meminta Mey datan
Mendengar perdebatan pasangan suami istri itu, aku bisa melihat. Sebenarnya Umi Farida belum benar-benar merestui hubunganku dengan anaknya. Umi hanya memanfaatkanku demi kesembuhan Rahman. Jujur hatiku terluka, ternyata kebaikan Umi hanya di bibir saja. Hatinya masih membenciku. "Mey!" Spontan aku menoleh, menatap Rahman yang kini juga tengah menatapku. "Jangan dipikirkan! Umi memang masih ragu, tapi aku yakin beliau akan menerimamu sepenuh hati. Kita yakin kan Umi berdua ya, Mey?" Meski terpaksa aku mengangguk juga. Meyakinkan yang bagaimana? Sepertinya aku sudah terlanjur dicap jelek sama Umi Farida, tak peduli aku anak siapa, sekarang penampilanku seperti apa. Pokoknya jelek ya jelek aja! Mungkin itu yang ada dipikiran Uminya Rahman. "Iya, nggak pa-pa. Aku sudah biasa pandang rendah orang," sindirku.Rahman menghela nafas, kemudian memaksa tersenyum padaku. Meski tak diucapkan, aku tahu Rahman pun sama terlukanya sepertiku, mendengar omongan Umi. Umi juga keterlaluan, ngomo