Share

Bab 27

last update Terakhir Diperbarui: 2023-06-01 18:55:25

Meski malas akhir kuambil benda pintar itu, dan membukanya. Ternyata ada beberapa pesan WA masuk dari nomor Rahman. Ternyata laki-laki itu tak menyerah begitu saja, meski berkali-kali ku abaikan.

"Mey, ini Umi Farida."

"Tolong angkat telfon, Mey."

"Ini penting, Mey."

Jantungku tiba-tiba berdetak tak menentu. Umi Farida menelfon ku, ada alamat apa ini?

Mataku tak lepas dari ponsel dalam genggaman, menatap tak percaya pesan yang tertulis dalam benda pipih itu. Rahman kenapa? Kenapa Umi yang menelfon ku? Pertanyaan itu kini memenuhi kepalaku.

"Dari siapa, Mbak?"

"Eh, dari tetangga Mbak di sana," jawabku tergagap.

"Kayaknya penting banget, Mbak. Dari tadi nelfon terus, lho." Aku terdiam mendengar ucapan Abizar, kalau tidak penting tentu Umi Farida tidak akan menelfon ku.

"Nggak ditelfon balik aja, Mbak?" Aku menggeleng ragu.

Dalam hatiku sebenarnya penasaran, kenapa Umi Farida menelpon? Tapi rasa takut menguasai hati, hingga aku mengabaikan rasa penasaran itu. Masih teringat jelas
Bab Terkunci
Membaca bab selanjutnya di APP

Bab terkait

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 28

    "Tadi pagi Rahman ditemukan pingsan di kamarnya, Mey. Kondisinya kritis sekarang, aku takut waktunya tidak panjang."Ucapan Umi Farida membuat lututku lemas seketika. Kenapa Rahman sampai pingsan? Pertanyaan itu kini memenuhi kepalaku. Apa yang terjadi dengan pemuda itu? Apa dia nekat ingin mengakhiri hidupnya, karena frustasi orang tuanya menentang hubungan kami? Tapi pemuda sekelas Rahman tidak akan melakukan hal sebodoh itu. Rahman itu tipe orang yang mengedepankan logika. Tapi cinta mana kenal dengan logika? "Rahman sakit apa, Umi?" tanyaku setelah berhasil menguasai diri. "Setelah pulang dari rumahmu waktu itu, kami bertengkar hebat, Mey. Sejak itu Rahman berubah jadi pendiam, banyak melamun dan lebih suka mengurung diri di kamar. Dia seperti kehilangan semangat hidup nya, bahkan makanan yang kami antar ke kamarnya jarang disentuh, makin hari badannya makin kurus. Kami tahu, itu karena dia kecewa kami menentang hubungan kalian, tapi kami sebagai orang tua ingin memberikan yang

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-01
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 29

    "Kok kamu semangat nyuruh aku kembali ke Semarang, Bi? Kamu ngusir aku? Keberatan kalau aku repotin?" Seketika wajah Abizar memucat. "Bu---bukan begitu, Mbak. Aku hanya ---"Aku dan Abizar memang kurang dekat sejak kecil, bukan hanya karena gender kami berbeda, tapi sejak lulus SD Abizar sudah masuk pesantren, jarang pulang otomatis jarang pula berinteraksi denganku. Jadi, wajar kalau misalnya dia agak keberatan aku tinggal di kota ini. Sedikit banyak aku pasti merepotkannya, menambah tanggung jawabnya. Karena kami hanya tinggal berdua, tak ada saudara kandung lainnya. "Ya nggak pa-pa, Bi. Kalau kamu merasa keberatan aku tinggal di sini," ucapku sendu. "Eh, bukan begitu, Mbak. Aku nggak keberatan Mbak Mey tinggal di kota ini, kok, seneng malah. Aku hanya ikut senang, kalau Mbak Mey akhirnya ada yang meminang, apalagi Mbak Mey bilang dia laki-laki yang baik, berasal dari keluarga baik-baik pula." Abizar menjeda ucapannya, diraihnya tanganku dalam genggamannya. "Mbak, tak mungkin se

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-02
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 30

    "Man." Umi Farida menepuk pelan lengan putranya, tapi laki-laki tak bereaksi. Padahal matanya terbuka, aku yakin dia tidak sedang tidur. "Ada Mey di sini, dia pengen ketemu kamu." Mendengar namaku disebut spontan Rahman menoleh. Diluar dugaanku, Rahman menatapku seperti tak pernah melihatku sebelumnya. "Me--- Mey?" Tanya Rahman dengan wajah ragu.Apakah sebulan tidak bertemu membuat Rahman melupakanku? Atau banyak yang berubah pada diriku, hingga dia tidak mengenaliku lagi? Berat badanku memang turun beberapa kilo, tapi tak berpengaruh banyak pada wajahku. "Iya, Man. Ini aku, Mey," jawabku berusaha meyakinkannya, bahwa ini benar-benar aku. Bukan hanya hanya hanya khayalan nya saja. Rahman menatapku lekat-lekat, seolah masih tak percaya kalau yang ada di depannya ini aku. Wanita yang katanya begitu dia cintai. "Nggak mungkin, ah. Umi pasti melarangmu datang ke sini." Rahman tertawa sumbang, membuatku hatiku mencelos seketika. Seputus asa itu kah, dia? "Umi yang meminta Mey datan

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-02
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 31

    Mendengar perdebatan pasangan suami istri itu, aku bisa melihat. Sebenarnya Umi Farida belum benar-benar merestui hubunganku dengan anaknya. Umi hanya memanfaatkanku demi kesembuhan Rahman. Jujur hatiku terluka, ternyata kebaikan Umi hanya di bibir saja. Hatinya masih membenciku. "Mey!" Spontan aku menoleh, menatap Rahman yang kini juga tengah menatapku. "Jangan dipikirkan! Umi memang masih ragu, tapi aku yakin beliau akan menerimamu sepenuh hati. Kita yakin kan Umi berdua ya, Mey?" Meski terpaksa aku mengangguk juga. Meyakinkan yang bagaimana? Sepertinya aku sudah terlanjur dicap jelek sama Umi Farida, tak peduli aku anak siapa, sekarang penampilanku seperti apa. Pokoknya jelek ya jelek aja! Mungkin itu yang ada dipikiran Uminya Rahman. "Iya, nggak pa-pa. Aku sudah biasa pandang rendah orang," sindirku.Rahman menghela nafas, kemudian memaksa tersenyum padaku. Meski tak diucapkan, aku tahu Rahman pun sama terlukanya sepertiku, mendengar omongan Umi. Umi juga keterlaluan, ngomo

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-03
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 32

    Aku memakai gamis putih panjang berbahan brokat premium, dengan hiasan mutiara kecil dibagian leher dan ujung lengannya. Meski simpel tapi terkesan elegan. Baju ini menempel pas tubuhku, terasa nyaman nggak gerah. Walau tak tahu harga pastinya, aku yakin gamis ini harganya mahal. Aku nyaris tak mengenali diri sendiri ketika menatap bayanganku di cermin. Cantik dan begitu anggun. MUA yang disewa Umi memang nggak kaleng-kaleng. Kuakui selera fashion Umi memang berkelas, terbukti dari pakaian harian yang beliau pakai. Nggak pasaran dan enak dipandang, tetap modis tanpa meninggalkan unsur syar'i-nya. Apalagi ini untuk momen penting putranya, Umi pasti tidak mau pengantinnya terlihat asal-asalan meski hanya melaksanakan akad tanpa resepsi. Ya, akhirnya aku bersedia menikah dengan Rahman. Setelah Abizar meyakinkanku, bahwa Rahman adalah calon suami yang terbaik. "Memang Rahman itu paket komplit, tapi apa sepadan dengan aku yang mantan PSK?" Sergahku berusaha membuka fikiran Abizar yang

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-04
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 33

    Pernikahan yang terjadi secara mendadak tanpa rencana, membuat banyak hal yang harus diurus. Termasuk sekolah Dinda, yang sudah terlanjur kucabut dari sekolah lamanya. Padahal rencana awalku Dinda akan ku sekolahkan di Jombang, karena aku punya keinginan menetap di sana. Tak mungkin Dinda ku sekolahkan kembali di sekolah lama, selain banyak temannya yang resek, kami sudah terlanjur pamit. "Dinda sekolah MI di yayasan yang dipimpin Abah saja, Mey. Biar sekalian berangkat dan pulangnya bareng. Kan, nggak ngeropotin jadinya," ujar Umi setelah ku utarakan niat mencari sekolah untuk Dinda. "Kalau menurut Umi itu yang terbaik, saya manut saja, Umi." Usai berkata aku menoleh ka arah Mas Rahman, nampak suamiku itu sedang pulas.Mau bagaimana lagi memang, aku masih harus fokus merawat suamiku. Jadi tidak mungkin kalau harus bolak-balik antara jemput Dinda sekolah. Lagipula aku tak punya pandangan, sekolah mana yang cocok untuk Dinda. Sekarang aku full IRT, otomatis tak punya penghasilan. Su

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-05
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 34

    Sedang asik-asiknya menyuapi suamiku, tiba-tiba pintu kamar di ketuk dari luar. Kalau dilihat dari jamnya, ini bukan waktunya dokter atau perawat visit. Umi baru saja datang, Abah acara ke luar kota. Lalu siapa yang datang? Dua wanita cantik berdiri di depanku, ketika pintu kubuka. Salah satu wanita itu membawa hampers berisi buah. "Ini kamar perawatan, Rahman?" Salah satu wanita itu bertanya ramah."Iya, Bu," jawabku singkat. "Bener Drey, Rahman dirawat di sini," ucap Wanita yang usianya lebih dewasa itu kepada wanita muda di sampingnya. Wajah gadis muda itu pun langsung berbinar. "Ini ada bingkisan untuk Rahman. Kamu simpan, ya!" Hampers itu dijejalkannya ke tanganku. "Permisi ya, Mbak ...." Dua wanita beda generasi itu menerobos masuk, dan langsung mendekat ke arah ranjang tanpa menunggu persetujuanku.Sebenarnya aku sedikit jengkel pada sikap mereka berdua, aku ini dianggapnya apa? Tapi sudah lah, mungkin karena mereka belum mengenalku saja. "Tante Anita, Audrey?" Mas Rahman

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-06
  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 35

    "Lho! Mey, kamu!" Umi menatapku tajam, jari telunjuknya mengarah padaku, saat melihatku keluar dari mandi. Entah apa yang salah, kenapa Umi terlihat murka seperti itu. Dia melangkah tergopoh lalu menarik tanganku, saat jarak kami sudah dekat. Kepalanya menengok ke kanan kiri, seperti memastikan keadaan aman atau tidak. "Sudah Umi bilang, jangan kalian jangan nyampur dulu! Kenapa nekat!" Meski berbisik, nada suara Umi terdengar mengintimidasi. Sekarang aku baru tahu, kenapa Umi marah padaku. Rupanya dia pikir aku melanggar larangannya untuk tidak melayani kebutuhan biologis Mas Rahman. Aku memegang kepalaku yang terbungkus handuk, sambil terkekeh melihat Umi. "Kenapa tertawa? Apanya yang lucu!" Hardiknya. "Umi itu aneh, masa saya nggak boleh keramas? Selama di rumah sakit saya jarang cuci rambut, Mi, karena nggak bawa hair dryer. Dari kemarin kepala saya sudah getel, nggak sabar pengen kramas," jawabku sambil nyengir lebar. Sepuluh hari menemani dan merawat Mas Rahman di rumah s

    Terakhir Diperbarui : 2023-06-07

Bab terbaru

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 99

    "Gantengnya cucu Eyang ...." Umi berkata sambil menimang putraku, yang baru kulahirkan beberapa jam yang lalu itu. Cucu pertamanya, cucu yang sudah dia nanti bertahun-tahun lamanya. "Wes, diborong Rahman semua ini, Mey. Kamu nggak kebagian apa-apa. Plek ketiplek bapaknya waktu masih bayi," lanjut Umi, tanpa mengalihkan pandangannya pada bayiku. Meski ada iri menelusup di hati, karena wajah anakku yang ternyata sangat mirip bapaknya. Tapi juga bahagia sekaligus bangga, bisa memberi anak pada suami, dan cucu untuk mertuaku, dengan wajah yang identik dengan wajah mereka. "Kalian sudah siap nama, kan?""Sudah, Mi," jawabku singkat. Aku belum berani banyak bicara, luka bekas operasi masih begitu nyeri, kalau aku bergerak sedikit saja. Bahkan aku belum berani bicara banyak, karena takut. "Siapa?""Alfarisqi Rahman, Mi. Panggilannya Alfa." Umi baru datang setelah operasi selesai. Karena tak mau ambil resiko, karena kesehatan Umi sering bermasalah. Kami berangkat ke rumah sakit sendiri.

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 98

    Mas Rahman menautkan jemari kami dan sesekali meremasnya lembut, seolah berkata, "Jangan takut, ada aku disini." Namun begitu aku tetap tak bisa mengendalikan perasaanku, gugup dan takut menguasai. Apalagi saat melihat wajah-wajah kaku majelis hakim, membuatku gentar dan ingin mundur saja. Masih ditambah tatapan dingin dan membunuh dari Adi Guntoro, yang duduk di samping pengacaranyaIni pertama kalinya aku menghadiri persidangan, dan jadi saksi. Jadi wajar, kalau perasaanku tak karu-karuan. Apalagi saat tak sengaja mata ini sekali lagi berserobok dengan mata Adi Guntoro yang duduk di samping pengacaranya. tatapannya begitu dingin seolah ingin menghabisiku saat itu juga. Membuatku ingin balik arah, dan berlari meninggalkan ruang sidang. Seolah tak ihlas suamiku melepas genggaman tangannya, ketika namaku dipanggil untuk duduk di kursi saksi. "Jangan takut, Mey. Ada aku," bisik Mas Rahman di telingaku. Bibirku tak henti merapal doa agar diberi kelancaran saat bersaksi nanti. Ternyata

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 97

    Mas Rahman menautkan jemari kami dan sesekali meremasnya lembut, seolah berkata, "Jangan takut, ada aku disini." Namun begitu aku tetap tak bisa mengendalikan perasaanku, gugup dan takut menguasai. Apalagi saat melihat wajah-wajah kaku majelis hakim, membuatku gentar dan ingin mundur saja. Masih ditambah tatapan dingin dan membunuh dari Adi Guntoro, yang duduk di samping pengacaranyaIni pertama kalinya aku menghadiri persidangan, dan jadi saksi. Jadi wajar, kalau perasaanku tak karu-karuan. Apalagi saat tak sengaja mata ini sekali lagi berserobok dengan mata Adi Guntoro yang duduk di samping pengacaranya. tatapannya begitu dingin seolah ingin menghabisiku saat itu juga. Membuatku ingin balik arah, dan berlari meninggalkan ruang sidang. Seolah tak ihlas suamiku melepas genggaman tangannya, ketika namaku dipanggil untuk duduk di kursi saksi. "Jangan takut, Mey. Ada aku," bisik Mas Rahman di telingaku. Bibirku tak henti merapal doa agar diberi kelancaran saat bersaksi nanti. Ternyata

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 96

    Tiga bulan berlalu, perutku mulai terlihat membuncit. Meski tak separah di Tri semester pertama, aku masih merasakan mual di pagi hari. Sebenarnya aku ingin beraktivitas, biar kehamilan ini tidak terlalu manja ini kehamilan kedua, harusnya aku kuat dan lebih siap, kan. Lagi pula aku juga sudah bosan kalau harus bad rest terus. Tapi Mas Rahman melarang. Katanya, "aku tidak mau anakku kenapa-napa, jangan ambil resiko!" Kalau aku ngeyel. "Dengan beraktivitas janin akan lebih sehat, Mas. Aku juga nggak stress dikurung terus." Tapi apa jawabnya? "Dah, nurut aja! Nggak usah banyak protes! Ini semua demi anak kita. Berkorban sedikit apa susahnya, sih?" Ternyata, perlakuan manis Mas Rahman hamil bukan untukku, tapi untuk anaknya. Dasar laki-laki, mau enaknya sendiri! Untung sayang. "Mas, capek. Pijitin!" Kuletakkan kedua kakiku di atas pangkuan Mas Rahman, yang sedang sibuk dengan laptopnya, memeriksa laporan keuangan show room. Tanpa bicara, Mas Rahman menutup laptopnya dan meletakkan di

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 95

    "Dibilang males, ngeyel!" Mas Rahman terkekeh. "Mas Rahman menyembunyikan sesuatu, ya?" Todongku. Aku sudah nggak betah menahan rasa penasaran, dari tadi sikap Mas Rahman mencurigakan. "Mau tahu aja, apa mau tahu banget?" Selorohnya. Aku mencebik kesal, tawa Mas Rahman makin menjadi. "Sus, tadi sudah dikasih tahu belum?" Mas Rahman bertanya pada Suster Lusi. "Belum, Pak. Nggak berani saya." Sebenarnya rahasia apa yang mereka sembunyikan, sih? Aku benar-benar kepo! "Sekarang aja, Sus!" Usai Mas Rahman berkata, Suster Lusi berjalan ke arah pintu. Aku menatap bingung suamiku, tapi dia hanya senyum penuh arti, membuat rasa penasaran di hati makin menjadi. Kami masih saling tatap ketik dari terdengar suara riuh dari arah pintu. "Surprise....! Selamat ulang tahun ...." Sontak aku menoleh ke sumber suara. Di sana ada Umi dan Dinda, mereka datang membawa buket bunga. Sementara Suster Lusi membawa kue tart yang di atasnya terdapat lilin angka, yang sudah menyala. Speechless, itu ya

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 94

    Pertama kali membuka mata, ruangan serba putih menyapa indera penglihatanku. Tanpa perlu dijelaskan, aku tahu sedang berada di ruang perawatan. Bau obat dan selang infus yang menancap di punggung tanganku, jawabannya. Apa ada masalah dengan lukaku? Infeksi? Atau kenapa? Pertanyaan itu memenuhi kepalaku, tapi aku tidak merasakan apa-apa di area itu. Pertanyaan-pertanyaan itu masih berputar-putar di kepalaku, hingga pintu terbuka dan menampilkan sosok wanita berseragam serba hijau menghampiriku. "Alhamdulillah .... Bu Rahman sudah siuman. Apa yang dirasakan, Bu? Masih pusing?" Tanya wanita bertag name Lusi itu, ramah. "Sedikit, Sus. Suami saya mana, ya? Kok nggak keliahatan?" Aku tak menemukan Mas Rahman ketika sadar tadi, dan sampai sekarang pun laki-laki itu kunjung muncul. Tak biasanya dia meninggalkan aku sendiri kalau sedang sakit, apalagi ini di rumah sakit. "Pak Rahman ijin pulang sebentar, Bu. Mengambil baju ganti katanya, dan beliau menitipkan Ibu pada saya," jelas wanita

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 93

    Umi menyambut antusias kedatangan kami, tapi Dinda justru bersikap sebaliknya Dia menampakkan wajah cemberut, tak bersemangat dan malas-malasan membantu membawa barang-barangku. "Yang punya hajat itu suadaramu yang mana sih, Mey? Kok kamu nggak pernah cerita? Pakai ngelarang aku nyusul pula, kan nggak enak sebagai besan nggak ikut hadir di acara mereka," cerca Umi begitu aku masuk rumah. Saat aku mengabari tak bisa pulang, dengan alasan ada suadara umiku yang punya hajat, Umi memaksa datang. Katanya demi menjaga tali silaturahim, tapi aku melarangnya. Alasannya rumahnya jauh dan pelosok, nanti Umi nyasar. Padahal nggak ada saudaraku yang punya hajat, itu semua hanya kebohongan demi menutupi fakta yang sebenarnya terjadi. Mana ada saudara Umi yang ingat aku? Di mata mereka aku ini hanya aib. "Sepupu jauh Umi saya, Mi. Mereka tinggal di pelosok, Mi. Aku sudah memberi amplop mereka, dan mengatakan itu dari Umi, " bohongku. Pepatah yang mengatakan sekali orang berbohong, maka akan ter

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 92

    Setelah tiga hari di rawat di rumah sakit Solo, akhirnya kami diijinkan pulang. Meski melalui drama pulang paksa, karena menurut dokter lukaku belum pulih benar. Tapi kami memaksa pulang, toh ini hanya luka luar bukan luka dalam yang mengkhawatirkan. Aku tak mungkin berlama-lama di Solo, sementara di rumah Umi cemas menanti kami. Ada Dinda yang butuh kami. Juga kasihan Mas Rahman yang harus bolak-balik Solo-Semarang, Semarang- Solo. Mas Rahman tak mungkin meninggalkan pekerjaannya. Oh ya, kami terpaksa menyembunyikan keadaan yang sebenarnya dari Umi, karena tak mau wanita jelang enam puluh tahun itu khawatir dan kepikiran. Mas Rahman terpaksa berbohong, mengatakan ada keluargaku yang punya hajat dan memaksaku nginep di sana. Padahal keluargaku yang di Solo sudah lama tak menganggapku ada. Sementara pada Dinda, aku mengatakan kalau masih ada urusan di Solo. Selama dirawat di Solo, ibunya Bu Naya dua kali menjengukku. Beliau berkali-kali minta maaf atas kesalahan anaknya, tapi anehnya

  • Wanita Penjaja Cinta   Bab 91

    Rupanya kesabarannya sudah habis untuk menghadapiku, kini dia mulai main kasar. Tak ada lagi sikap anggun dan kemayu yang selama ini melekat dalam dirinya. Bu Naya sama sekali berubah. "Uang apa? Bu Naya bilang butuh uang untuk melunasi biaya pengobatan, kenapa sekarang malah menolak? Bahkan melarang saya ketemu Reza. Sekarang saya jadi curiga, jangan-jangan Bu Naya .... " Ucapanku terhenti, karena aku merasa ada benda runcing yang dingin menempel di pinggangku. Tubuhku kaku seketika, otakku memberi sinyal bahaya. Aku ingin teriak dan minta tolong, tapi sayangnya rasa perih dan nyeri luar biasa tiba-tiba menyergap, membuat otakku buntu seketika. "Mey!" Samar kudengar namaku diteriakkan, setelah itu semua menjadi gelap. * * * * * * * * *Bau obat menyengat menyapa indera penciuman, memaksaku membuka mata demi mengetahui dimana aku berada sekarang. Ruangan serba putih menjadi pemandangan pertamaku, hingga akhirnya mataku terbuka sempurna. Lamat-lamat kuingat kejadian sebelum akhirn

DMCA.com Protection Status