Mendengar perdebatan pasangan suami istri itu, aku bisa melihat. Sebenarnya Umi Farida belum benar-benar merestui hubunganku dengan anaknya. Umi hanya memanfaatkanku demi kesembuhan Rahman. Jujur hatiku terluka, ternyata kebaikan Umi hanya di bibir saja. Hatinya masih membenciku. "Mey!" Spontan aku menoleh, menatap Rahman yang kini juga tengah menatapku. "Jangan dipikirkan! Umi memang masih ragu, tapi aku yakin beliau akan menerimamu sepenuh hati. Kita yakin kan Umi berdua ya, Mey?" Meski terpaksa aku mengangguk juga. Meyakinkan yang bagaimana? Sepertinya aku sudah terlanjur dicap jelek sama Umi Farida, tak peduli aku anak siapa, sekarang penampilanku seperti apa. Pokoknya jelek ya jelek aja! Mungkin itu yang ada dipikiran Uminya Rahman. "Iya, nggak pa-pa. Aku sudah biasa pandang rendah orang," sindirku.Rahman menghela nafas, kemudian memaksa tersenyum padaku. Meski tak diucapkan, aku tahu Rahman pun sama terlukanya sepertiku, mendengar omongan Umi. Umi juga keterlaluan, ngomo
Aku memakai gamis putih panjang berbahan brokat premium, dengan hiasan mutiara kecil dibagian leher dan ujung lengannya. Meski simpel tapi terkesan elegan. Baju ini menempel pas tubuhku, terasa nyaman nggak gerah. Walau tak tahu harga pastinya, aku yakin gamis ini harganya mahal. Aku nyaris tak mengenali diri sendiri ketika menatap bayanganku di cermin. Cantik dan begitu anggun. MUA yang disewa Umi memang nggak kaleng-kaleng. Kuakui selera fashion Umi memang berkelas, terbukti dari pakaian harian yang beliau pakai. Nggak pasaran dan enak dipandang, tetap modis tanpa meninggalkan unsur syar'i-nya. Apalagi ini untuk momen penting putranya, Umi pasti tidak mau pengantinnya terlihat asal-asalan meski hanya melaksanakan akad tanpa resepsi. Ya, akhirnya aku bersedia menikah dengan Rahman. Setelah Abizar meyakinkanku, bahwa Rahman adalah calon suami yang terbaik. "Memang Rahman itu paket komplit, tapi apa sepadan dengan aku yang mantan PSK?" Sergahku berusaha membuka fikiran Abizar yang
Pernikahan yang terjadi secara mendadak tanpa rencana, membuat banyak hal yang harus diurus. Termasuk sekolah Dinda, yang sudah terlanjur kucabut dari sekolah lamanya. Padahal rencana awalku Dinda akan ku sekolahkan di Jombang, karena aku punya keinginan menetap di sana. Tak mungkin Dinda ku sekolahkan kembali di sekolah lama, selain banyak temannya yang resek, kami sudah terlanjur pamit. "Dinda sekolah MI di yayasan yang dipimpin Abah saja, Mey. Biar sekalian berangkat dan pulangnya bareng. Kan, nggak ngeropotin jadinya," ujar Umi setelah ku utarakan niat mencari sekolah untuk Dinda. "Kalau menurut Umi itu yang terbaik, saya manut saja, Umi." Usai berkata aku menoleh ka arah Mas Rahman, nampak suamiku itu sedang pulas.Mau bagaimana lagi memang, aku masih harus fokus merawat suamiku. Jadi tidak mungkin kalau harus bolak-balik antara jemput Dinda sekolah. Lagipula aku tak punya pandangan, sekolah mana yang cocok untuk Dinda. Sekarang aku full IRT, otomatis tak punya penghasilan. Su
Sedang asik-asiknya menyuapi suamiku, tiba-tiba pintu kamar di ketuk dari luar. Kalau dilihat dari jamnya, ini bukan waktunya dokter atau perawat visit. Umi baru saja datang, Abah acara ke luar kota. Lalu siapa yang datang? Dua wanita cantik berdiri di depanku, ketika pintu kubuka. Salah satu wanita itu membawa hampers berisi buah. "Ini kamar perawatan, Rahman?" Salah satu wanita itu bertanya ramah."Iya, Bu," jawabku singkat. "Bener Drey, Rahman dirawat di sini," ucap Wanita yang usianya lebih dewasa itu kepada wanita muda di sampingnya. Wajah gadis muda itu pun langsung berbinar. "Ini ada bingkisan untuk Rahman. Kamu simpan, ya!" Hampers itu dijejalkannya ke tanganku. "Permisi ya, Mbak ...." Dua wanita beda generasi itu menerobos masuk, dan langsung mendekat ke arah ranjang tanpa menunggu persetujuanku.Sebenarnya aku sedikit jengkel pada sikap mereka berdua, aku ini dianggapnya apa? Tapi sudah lah, mungkin karena mereka belum mengenalku saja. "Tante Anita, Audrey?" Mas Rahman
"Lho! Mey, kamu!" Umi menatapku tajam, jari telunjuknya mengarah padaku, saat melihatku keluar dari mandi. Entah apa yang salah, kenapa Umi terlihat murka seperti itu. Dia melangkah tergopoh lalu menarik tanganku, saat jarak kami sudah dekat. Kepalanya menengok ke kanan kiri, seperti memastikan keadaan aman atau tidak. "Sudah Umi bilang, jangan kalian jangan nyampur dulu! Kenapa nekat!" Meski berbisik, nada suara Umi terdengar mengintimidasi. Sekarang aku baru tahu, kenapa Umi marah padaku. Rupanya dia pikir aku melanggar larangannya untuk tidak melayani kebutuhan biologis Mas Rahman. Aku memegang kepalaku yang terbungkus handuk, sambil terkekeh melihat Umi. "Kenapa tertawa? Apanya yang lucu!" Hardiknya. "Umi itu aneh, masa saya nggak boleh keramas? Selama di rumah sakit saya jarang cuci rambut, Mi, karena nggak bawa hair dryer. Dari kemarin kepala saya sudah getel, nggak sabar pengen kramas," jawabku sambil nyengir lebar. Sepuluh hari menemani dan merawat Mas Rahman di rumah s
"Kamu bukan gadis ingusan lagi, Mey. Harusnya kamu yang ngajarin aku, bukannya menolakku seperti ini," ucapnya sambil duduk di tepi ranjang. "Katakan ada apa, Mey? Aku tahu ada yang kamu sembunyikan dariku."Aku harus jawab apa? Bingung juga aku, larangan Umi tak boleh ku langgar, sementara aku dituntut Mas Rahman untuk memenuhi kewajiban. Dosa kalau aku menolak. Aku harus bagaimana ini? Jawaban apa yang paling masuk akal dan tidak mengecewakan suamiku ini? "Eng .... ""Eng apa? Kenapa kamu kayak orang kebingungan begitu? Apa kamu menganggap aku tak mampu membahagiakanmu?" Kejar Mas Rahman membuatku semakin gelapan. "Bu---bukan begitu, Mas. Beneran, bukan itu alasannya.""Lalu apa?" Sahutnya tak sabar. "Kamu tahu sebelum kita menikah pekerjaanku, apa?" Mas Rahman mengangguk pelan, tapi tatapannya curiga. "Aku belum memeriksakan kesehatan alat reproduksiku, Mas. Takutnya aku mengidap penyakit seksual menular, atau malah mungkin HIV yang mungkin belum aku sadari. Aku minta waktu, s
"Lega, kan, sekarang? Kamu dinyatakan sehat, nggak menderita penyakit yang kamu takutkan. Kamu pasti seneng," ucap Rahman saat kami dalam perjalanan pulang. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya hasil tes anti bodi keluar. Aku dinyatakan negatif, tidak menderita HIV/AIDS seperti yang aku takutkan. Plong, rasanya mendapat kabar gembira ini. Padahal aku sempat merasa tertekan tadi, takut kalau hasilnya positif. Bagaimana nasib pernikahanku dengan Rahman yang baru berjalan beberapa hari? Mau nggak mau aku harus berpisah dengannya, karena tak bisa menjalani kewajiban sebagai istri. "Seneng banget, Mas.""Kalau begitu nanti malam siap belah duren, dong," selorohnya. Senyum yang dari tadi menghiasi wajah tampan itu, kini nampak makin lebar. Tawaku pecah seketika mendengar ucapan Rahman. Belah duren? Itu hanya berlaku untuk pasangan pengantin baru, yang wanitanya masih perawan thing-thing. Sedangkan aku? Meski status di KTP lajang, belum menikah. Tapi aku sudah pernah melahirkan, bahkan p
"Sudah lah, Mi. Nggak usah diungkit-ungkit lagi. Bagaimanapun juga Mey sudah menjadi istrinya Rahman, menantu kita. Aku lihat mereka saling mencintai, masa kamu tega memisahkan mereka. Apa kamu sudah lupa? Rahman sampai sakit begitu, sampai dirawat di rumah sakit berhari-hari, karena kamu menolak merestui hubungan mereka. Sekarang mereka sudah bersatu, biarkan saja. Lebih baik kita bimbing Mey, agar bisa menjadi istri yang baik. Jangan sampai dia mengulangi kesalahan yang sama. Bagi Abah yang penting Rahman bahagia, kalau ternyata kebahagiaan Rahman bersama Mey, kita bisa apa? Sudah lah, Mi. Lebih baik kita do'akan yang baik-baik saja untuk anak dan menantu kita, nggak usah mikir yang aneh-aneh. Apalagi sampai berniat memisahkan mereka, ingat dosa, Mi!"Abah memang the best. Dari awal bertemu Abah memang terlihat tulus padaku, apalagi saat tahu aku ini putri sahabatnya. Abah memperlakukan aku seperti anak kandungnya sendiri, begitu juga terhadap Andinda. Abah menyayanginya seperti cuc
"Gantengnya cucu Eyang ...." Umi berkata sambil menimang putraku, yang baru kulahirkan beberapa jam yang lalu itu. Cucu pertamanya, cucu yang sudah dia nanti bertahun-tahun lamanya. "Wes, diborong Rahman semua ini, Mey. Kamu nggak kebagian apa-apa. Plek ketiplek bapaknya waktu masih bayi," lanjut Umi, tanpa mengalihkan pandangannya pada bayiku. Meski ada iri menelusup di hati, karena wajah anakku yang ternyata sangat mirip bapaknya. Tapi juga bahagia sekaligus bangga, bisa memberi anak pada suami, dan cucu untuk mertuaku, dengan wajah yang identik dengan wajah mereka. "Kalian sudah siap nama, kan?""Sudah, Mi," jawabku singkat. Aku belum berani banyak bicara, luka bekas operasi masih begitu nyeri, kalau aku bergerak sedikit saja. Bahkan aku belum berani bicara banyak, karena takut. "Siapa?""Alfarisqi Rahman, Mi. Panggilannya Alfa." Umi baru datang setelah operasi selesai. Karena tak mau ambil resiko, karena kesehatan Umi sering bermasalah. Kami berangkat ke rumah sakit sendiri.
Mas Rahman menautkan jemari kami dan sesekali meremasnya lembut, seolah berkata, "Jangan takut, ada aku disini." Namun begitu aku tetap tak bisa mengendalikan perasaanku, gugup dan takut menguasai. Apalagi saat melihat wajah-wajah kaku majelis hakim, membuatku gentar dan ingin mundur saja. Masih ditambah tatapan dingin dan membunuh dari Adi Guntoro, yang duduk di samping pengacaranyaIni pertama kalinya aku menghadiri persidangan, dan jadi saksi. Jadi wajar, kalau perasaanku tak karu-karuan. Apalagi saat tak sengaja mata ini sekali lagi berserobok dengan mata Adi Guntoro yang duduk di samping pengacaranya. tatapannya begitu dingin seolah ingin menghabisiku saat itu juga. Membuatku ingin balik arah, dan berlari meninggalkan ruang sidang. Seolah tak ihlas suamiku melepas genggaman tangannya, ketika namaku dipanggil untuk duduk di kursi saksi. "Jangan takut, Mey. Ada aku," bisik Mas Rahman di telingaku. Bibirku tak henti merapal doa agar diberi kelancaran saat bersaksi nanti. Ternyata
Mas Rahman menautkan jemari kami dan sesekali meremasnya lembut, seolah berkata, "Jangan takut, ada aku disini." Namun begitu aku tetap tak bisa mengendalikan perasaanku, gugup dan takut menguasai. Apalagi saat melihat wajah-wajah kaku majelis hakim, membuatku gentar dan ingin mundur saja. Masih ditambah tatapan dingin dan membunuh dari Adi Guntoro, yang duduk di samping pengacaranyaIni pertama kalinya aku menghadiri persidangan, dan jadi saksi. Jadi wajar, kalau perasaanku tak karu-karuan. Apalagi saat tak sengaja mata ini sekali lagi berserobok dengan mata Adi Guntoro yang duduk di samping pengacaranya. tatapannya begitu dingin seolah ingin menghabisiku saat itu juga. Membuatku ingin balik arah, dan berlari meninggalkan ruang sidang. Seolah tak ihlas suamiku melepas genggaman tangannya, ketika namaku dipanggil untuk duduk di kursi saksi. "Jangan takut, Mey. Ada aku," bisik Mas Rahman di telingaku. Bibirku tak henti merapal doa agar diberi kelancaran saat bersaksi nanti. Ternyata
Tiga bulan berlalu, perutku mulai terlihat membuncit. Meski tak separah di Tri semester pertama, aku masih merasakan mual di pagi hari. Sebenarnya aku ingin beraktivitas, biar kehamilan ini tidak terlalu manja ini kehamilan kedua, harusnya aku kuat dan lebih siap, kan. Lagi pula aku juga sudah bosan kalau harus bad rest terus. Tapi Mas Rahman melarang. Katanya, "aku tidak mau anakku kenapa-napa, jangan ambil resiko!" Kalau aku ngeyel. "Dengan beraktivitas janin akan lebih sehat, Mas. Aku juga nggak stress dikurung terus." Tapi apa jawabnya? "Dah, nurut aja! Nggak usah banyak protes! Ini semua demi anak kita. Berkorban sedikit apa susahnya, sih?" Ternyata, perlakuan manis Mas Rahman hamil bukan untukku, tapi untuk anaknya. Dasar laki-laki, mau enaknya sendiri! Untung sayang. "Mas, capek. Pijitin!" Kuletakkan kedua kakiku di atas pangkuan Mas Rahman, yang sedang sibuk dengan laptopnya, memeriksa laporan keuangan show room. Tanpa bicara, Mas Rahman menutup laptopnya dan meletakkan di
"Dibilang males, ngeyel!" Mas Rahman terkekeh. "Mas Rahman menyembunyikan sesuatu, ya?" Todongku. Aku sudah nggak betah menahan rasa penasaran, dari tadi sikap Mas Rahman mencurigakan. "Mau tahu aja, apa mau tahu banget?" Selorohnya. Aku mencebik kesal, tawa Mas Rahman makin menjadi. "Sus, tadi sudah dikasih tahu belum?" Mas Rahman bertanya pada Suster Lusi. "Belum, Pak. Nggak berani saya." Sebenarnya rahasia apa yang mereka sembunyikan, sih? Aku benar-benar kepo! "Sekarang aja, Sus!" Usai Mas Rahman berkata, Suster Lusi berjalan ke arah pintu. Aku menatap bingung suamiku, tapi dia hanya senyum penuh arti, membuat rasa penasaran di hati makin menjadi. Kami masih saling tatap ketik dari terdengar suara riuh dari arah pintu. "Surprise....! Selamat ulang tahun ...." Sontak aku menoleh ke sumber suara. Di sana ada Umi dan Dinda, mereka datang membawa buket bunga. Sementara Suster Lusi membawa kue tart yang di atasnya terdapat lilin angka, yang sudah menyala. Speechless, itu ya
Pertama kali membuka mata, ruangan serba putih menyapa indera penglihatanku. Tanpa perlu dijelaskan, aku tahu sedang berada di ruang perawatan. Bau obat dan selang infus yang menancap di punggung tanganku, jawabannya. Apa ada masalah dengan lukaku? Infeksi? Atau kenapa? Pertanyaan itu memenuhi kepalaku, tapi aku tidak merasakan apa-apa di area itu. Pertanyaan-pertanyaan itu masih berputar-putar di kepalaku, hingga pintu terbuka dan menampilkan sosok wanita berseragam serba hijau menghampiriku. "Alhamdulillah .... Bu Rahman sudah siuman. Apa yang dirasakan, Bu? Masih pusing?" Tanya wanita bertag name Lusi itu, ramah. "Sedikit, Sus. Suami saya mana, ya? Kok nggak keliahatan?" Aku tak menemukan Mas Rahman ketika sadar tadi, dan sampai sekarang pun laki-laki itu kunjung muncul. Tak biasanya dia meninggalkan aku sendiri kalau sedang sakit, apalagi ini di rumah sakit. "Pak Rahman ijin pulang sebentar, Bu. Mengambil baju ganti katanya, dan beliau menitipkan Ibu pada saya," jelas wanita
Umi menyambut antusias kedatangan kami, tapi Dinda justru bersikap sebaliknya Dia menampakkan wajah cemberut, tak bersemangat dan malas-malasan membantu membawa barang-barangku. "Yang punya hajat itu suadaramu yang mana sih, Mey? Kok kamu nggak pernah cerita? Pakai ngelarang aku nyusul pula, kan nggak enak sebagai besan nggak ikut hadir di acara mereka," cerca Umi begitu aku masuk rumah. Saat aku mengabari tak bisa pulang, dengan alasan ada suadara umiku yang punya hajat, Umi memaksa datang. Katanya demi menjaga tali silaturahim, tapi aku melarangnya. Alasannya rumahnya jauh dan pelosok, nanti Umi nyasar. Padahal nggak ada saudaraku yang punya hajat, itu semua hanya kebohongan demi menutupi fakta yang sebenarnya terjadi. Mana ada saudara Umi yang ingat aku? Di mata mereka aku ini hanya aib. "Sepupu jauh Umi saya, Mi. Mereka tinggal di pelosok, Mi. Aku sudah memberi amplop mereka, dan mengatakan itu dari Umi, " bohongku. Pepatah yang mengatakan sekali orang berbohong, maka akan ter
Setelah tiga hari di rawat di rumah sakit Solo, akhirnya kami diijinkan pulang. Meski melalui drama pulang paksa, karena menurut dokter lukaku belum pulih benar. Tapi kami memaksa pulang, toh ini hanya luka luar bukan luka dalam yang mengkhawatirkan. Aku tak mungkin berlama-lama di Solo, sementara di rumah Umi cemas menanti kami. Ada Dinda yang butuh kami. Juga kasihan Mas Rahman yang harus bolak-balik Solo-Semarang, Semarang- Solo. Mas Rahman tak mungkin meninggalkan pekerjaannya. Oh ya, kami terpaksa menyembunyikan keadaan yang sebenarnya dari Umi, karena tak mau wanita jelang enam puluh tahun itu khawatir dan kepikiran. Mas Rahman terpaksa berbohong, mengatakan ada keluargaku yang punya hajat dan memaksaku nginep di sana. Padahal keluargaku yang di Solo sudah lama tak menganggapku ada. Sementara pada Dinda, aku mengatakan kalau masih ada urusan di Solo. Selama dirawat di Solo, ibunya Bu Naya dua kali menjengukku. Beliau berkali-kali minta maaf atas kesalahan anaknya, tapi anehnya
Rupanya kesabarannya sudah habis untuk menghadapiku, kini dia mulai main kasar. Tak ada lagi sikap anggun dan kemayu yang selama ini melekat dalam dirinya. Bu Naya sama sekali berubah. "Uang apa? Bu Naya bilang butuh uang untuk melunasi biaya pengobatan, kenapa sekarang malah menolak? Bahkan melarang saya ketemu Reza. Sekarang saya jadi curiga, jangan-jangan Bu Naya .... " Ucapanku terhenti, karena aku merasa ada benda runcing yang dingin menempel di pinggangku. Tubuhku kaku seketika, otakku memberi sinyal bahaya. Aku ingin teriak dan minta tolong, tapi sayangnya rasa perih dan nyeri luar biasa tiba-tiba menyergap, membuat otakku buntu seketika. "Mey!" Samar kudengar namaku diteriakkan, setelah itu semua menjadi gelap. * * * * * * * * *Bau obat menyengat menyapa indera penciuman, memaksaku membuka mata demi mengetahui dimana aku berada sekarang. Ruangan serba putih menjadi pemandangan pertamaku, hingga akhirnya mataku terbuka sempurna. Lamat-lamat kuingat kejadian sebelum akhirn