"Sudah lah, Mi. Nggak usah diungkit-ungkit lagi. Bagaimanapun juga Mey sudah menjadi istrinya Rahman, menantu kita. Aku lihat mereka saling mencintai, masa kamu tega memisahkan mereka. Apa kamu sudah lupa? Rahman sampai sakit begitu, sampai dirawat di rumah sakit berhari-hari, karena kamu menolak merestui hubungan mereka. Sekarang mereka sudah bersatu, biarkan saja. Lebih baik kita bimbing Mey, agar bisa menjadi istri yang baik. Jangan sampai dia mengulangi kesalahan yang sama. Bagi Abah yang penting Rahman bahagia, kalau ternyata kebahagiaan Rahman bersama Mey, kita bisa apa? Sudah lah, Mi. Lebih baik kita do'akan yang baik-baik saja untuk anak dan menantu kita, nggak usah mikir yang aneh-aneh. Apalagi sampai berniat memisahkan mereka, ingat dosa, Mi!"Abah memang the best. Dari awal bertemu Abah memang terlihat tulus padaku, apalagi saat tahu aku ini putri sahabatnya. Abah memperlakukan aku seperti anak kandungnya sendiri, begitu juga terhadap Andinda. Abah menyayanginya seperti cuc
Tubuh kami hampir menyatu, ketika terdengar ketukan pintu dan suara memanggil nama suamiku. "Man! Rahman!" Seketika wajah penuh nafsu suamiku, berganti kecewa. "Umi ngapain, sih! Ganggu aja!" Gerutu Mas Rahman, seraya turun dari tubuhku. Dipungut nya handuk yang dia lempar sembarangan, untuk menutupi tubuh polosnya. Sejak dari kamar mandi pria itu sengaja tidak pakai baju, saking nafsunya ingin bercinta denganku. Aku hanya terkikik geli melihat wajah cemberut suamiku. Tak ingin terlibat adu mulut dengan mertua, aku memilih menutup tubuh sampai leher dan pura-pura tidur. "Man! Kamu belum tidur, kan?" Lagi, suara Umi memanggil disertai ketukan. Nafsu sekali Umi untuk menghalangi anaknya memberiku nafkah batin, hingga segala cara dia lakoni. Aku jadi mikir, kok Umi nggak takut dosa, ya? Padahal beliau orang yang paham agama. Kok, bisa-bisanya berbuat konyol seperti itu. Kalau memang tidak menyukaiku, kenapa tidak terus terang saja pada anaknya. Batalkan pernikahan kami, kalau mema
"Sudah, nggak usah terlalu difikirkan omongan Umi tadi. Umi memang begitu orangnya, nanti lama-lama juga bakal luluh setelah kita beri cucu. Apalagi setelah melihat betapa lucu cucunya nanti," seloroh Mas Rahman mencoba menghibur hatiku. "Auw! Sakit, Yang!" Dia menjerit kesakitan, karena tanganku muncubit pinggangnya. "Gimana mau kasih cucu Umi, Mas? Bikin aja nggak boleh!" Sergahku, tak lupa ku hadiahi suamiku itu pelototan. Tapi dasar Mas Rahman, dia malah nyengir lebar. "Nggak boleh itu kalau Umi lihat, Sayang. Kalau nggak, kan, nggak pa-pa. Iya, kan? Masa iya kita mau ihik-ihik di depan Umi." Mas Rahman menangkap tanganku yang hendak menggebuk nya, lalu menarik tubuh ini ke dalam pelukannya. "Mas! Aku sudah wudlu, batal kan jadinya!" Protes ku tak terima. "Terlanjur batal sayang, bagaimana kalau kita lanjut babak selanjutnya." Mata yang biasa menatapku teduh itu, kini berubah genit. "Ogah! Nanti digrebek Umi!" Usai berkata aku masuk ke kamar mandi. Ada-ada saja suamiku itu,
"Mau kemana kamu, Mey?" Aku yang sudah siap pergi terpaksa menghentikan langkah.'Duh, kenapa Umi pakai acara ke garasi segala. Kenapa nggak anteng di kamar saja, sih.' Gerutuku dalam hati. "Keluar sebentar, Mi. Ada yang mau dibeli," jawabku beralasan, padahal aslinya mau pergi ke toko menyusul Mas Rahman. Mencegah lelaki itu berduaan dengan Audrey. Iya kali, aku diam saja suamiku disamperin cewek. Mana ceweknya cantik banget lagi, jelas aku harus waspada. "Nggak boleh! Kamu nggak boleh pergi sendiri tanpa Rahman," tegas Umi. "Tapi, Mi ---""Nggak ada tapi-tapian! Apa kata tetangga kalau melihat kamu keluar masuk rumah ini? Nanti timbul gosip yang tidak-tidak. Sudah, kamu diam saja di rumah! Kalau butuh apa-apa minta saja sama suamimu, biar dibawakan nanti kalau pulang." Selalu itu yang jadi alasan Umi, takut jadi bahan gunjingan tetangga. Kenapa harus takut, sih? Pernikahan kami sudah sah secara agama dan negara, kalau mereka ngomong macem-macem tinggal klarifikasi aja, beres kan
Hampir sebulan aku menjadi istri Mas Rahman, tapi hubunganku dengan Umi tidak kunjung membaik. Wanita itu masih sinis dan ketus padaku, apalagi kalau Mas Rahman pergi. Sikap Umi makin menjadi. Tapi aku berusaha bersikap sabar, dengan selalu mengalah dan menghindari konflik dengan Umi. "Batu saja bisa terkikis kalau ditetesi air setiap hari, apalagi hati manusia. Kamu nggak usah terpancing emosi, ngalah saja. Lama-lama Umi bakal capek sendiri, dan tak lagi mengusik kamu. Yang penting kita bahagia, anggap saja kebencian Umi sebagai ujian pernikahan kita." Begitu nasehat Mas Rahman saat aku adukan kelakuan umi nya. Sebenarnya aku ingin bekerja agar tidak banyak berinteraksi dengan Umi, tapi Mas Rahman melarang. Sebaiknya punya usaha sendiri, daripada bekerja pada orang lain. "Nanti lah. Aku pikir-pikir dulu usaha apa yang cocok buat kamu," ucap Mas Rahman kala itu, tapi sampai sekarang belum ketemu idenya. Sementara ini untuk menghilangkan kejenuhan, aku suka membantu Mbok Nah memasa
Bukan hanya Abah, aku pun merasa bersalah. Merasa bersalah pada diri sendiri, kenapa aku terima permintaan Umi untuk menikah dengan Mas Rahman. Harusnya aku tak ambil peduli dengan rengekan Umi waktu itu, sampai nangis darah sekalipun harusnya aku tak perlu menuruti permintaannya. Kalau akhirnya seperti ini, aku diperlakukan seperti manusia yang nggak punya harga diri. Bahkan di depanku Umi tega ngomong seperti itu, seolah perasaanku tak perlu dijaga. Akhirnya kami duduk bertiga di ruang tamu, harusnya berempat, tapi Mas Rahman ke luar kota, katanya ada mobil bekas yang dijual murah, dia mau cek barangnya langsung. Abah sengaja mengumpulkan kami untuk membahas gosip miring yang beredar di luar sana, efek pertemuanku dengan Bu Indri tadi pagi. Umi menyalahkanku, menganggap aku ini biang masalah yang harusnya dibuang. "Istighfar, Mi. Nyebut! Mereka sudah menikah secara resmi, berdosa kita kalau merusak ikatan suci mereka. Rahman begitu mencintai, Mey, begitu pula sebaliknya. Kenapa ha
Entah bagaimana cara Abah membujuk Umi, wanita itu akhirnya menyetujui rencana kami untuk menggelar resepsi, meski setengah hati. Tapi setengah hatinya Umi tetap saja all out. Dia mana mau menggelar acara spesial anaknya asal-asalan? Harus mewah meriah dan berkesan. "Rahman itu anak tunggal, orang tuanya terpandang, secara ekonomi juga mapan. Apa kata orang nanti, kalau ngunduh mantunya hanya sederhana. Kita bikin acara besar, atau tidak sama sekali!" Ultimatum Umi ketika kami membahas acara resepsi. "Buat apa, sih, Mi? Buang-buang uang saja, lebih baik uangnya disimpan untuk kebutuhan yang lain," kata Mas Rahman mencoba memberi pengertian Umi, karena Mas Rahman berencana membiayai sendiri resepsi pernikahan kami. Mas Rahman rela menggunakan semua tabungannya demi resepsi kami, dia ingin semua orang tahu kalau kami sudah menikah, dan tak lagi kesalah pahaman apalagi fitnah. "Nggak! Pokoknya kita harus menggelar pesta besar-besaran, titik! Kalau kalian nggak ribet, biar Umi yang uru
"Mey, kamu makannya jangan banyak-banyak! Nanti badanmu melar!" Umi berkata sambil mengurangi nasi yang sudah ku tuang ke piringku. Aku hanya bisa menghela nafas, sambil melirik suamiku yang tengah asik menikmati sarapannya. Berharap mendapat pembelaan dari anak semata wayang mertuaku itu, tapi sayangnya lelaki itu hanya mengangkat bahu. Kode bahwa aku harus menghadapi Umi sendiri. Padahal aku sudah mengurangi porsi makanku, tapi menurut Umi masih kebanyakan. Kalau sebelumnya aku cuek saja Umi mengatur porsi makanku, karena saat di show room nanti aku bisa makan sepuasnya. Tinggal pesen grab food, beres deh. Tapi sekarang aku sudah dipingit, nggak boleh keluar rumah lagi, karena harus menjalani serangkaian perawatan, agar aku terlihat cantik dan mangklingi saat resepsi nanti. Jadi nggak bisa nambah makan lagi, dong. Aku bisa lemes kalau begini. Padahal menurut banyak orang, badanku sudah proporsional. Nggak gemuk, nggak kurus. Pas-pasan, body goals istilah kerennya. Tapi Umi masih