"Kamu bukan gadis ingusan lagi, Mey. Harusnya kamu yang ngajarin aku, bukannya menolakku seperti ini," ucapnya sambil duduk di tepi ranjang. "Katakan ada apa, Mey? Aku tahu ada yang kamu sembunyikan dariku."Aku harus jawab apa? Bingung juga aku, larangan Umi tak boleh ku langgar, sementara aku dituntut Mas Rahman untuk memenuhi kewajiban. Dosa kalau aku menolak. Aku harus bagaimana ini? Jawaban apa yang paling masuk akal dan tidak mengecewakan suamiku ini? "Eng .... ""Eng apa? Kenapa kamu kayak orang kebingungan begitu? Apa kamu menganggap aku tak mampu membahagiakanmu?" Kejar Mas Rahman membuatku semakin gelapan. "Bu---bukan begitu, Mas. Beneran, bukan itu alasannya.""Lalu apa?" Sahutnya tak sabar. "Kamu tahu sebelum kita menikah pekerjaanku, apa?" Mas Rahman mengangguk pelan, tapi tatapannya curiga. "Aku belum memeriksakan kesehatan alat reproduksiku, Mas. Takutnya aku mengidap penyakit seksual menular, atau malah mungkin HIV yang mungkin belum aku sadari. Aku minta waktu, s
"Lega, kan, sekarang? Kamu dinyatakan sehat, nggak menderita penyakit yang kamu takutkan. Kamu pasti seneng," ucap Rahman saat kami dalam perjalanan pulang. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya hasil tes anti bodi keluar. Aku dinyatakan negatif, tidak menderita HIV/AIDS seperti yang aku takutkan. Plong, rasanya mendapat kabar gembira ini. Padahal aku sempat merasa tertekan tadi, takut kalau hasilnya positif. Bagaimana nasib pernikahanku dengan Rahman yang baru berjalan beberapa hari? Mau nggak mau aku harus berpisah dengannya, karena tak bisa menjalani kewajiban sebagai istri. "Seneng banget, Mas.""Kalau begitu nanti malam siap belah duren, dong," selorohnya. Senyum yang dari tadi menghiasi wajah tampan itu, kini nampak makin lebar. Tawaku pecah seketika mendengar ucapan Rahman. Belah duren? Itu hanya berlaku untuk pasangan pengantin baru, yang wanitanya masih perawan thing-thing. Sedangkan aku? Meski status di KTP lajang, belum menikah. Tapi aku sudah pernah melahirkan, bahkan p
"Sudah lah, Mi. Nggak usah diungkit-ungkit lagi. Bagaimanapun juga Mey sudah menjadi istrinya Rahman, menantu kita. Aku lihat mereka saling mencintai, masa kamu tega memisahkan mereka. Apa kamu sudah lupa? Rahman sampai sakit begitu, sampai dirawat di rumah sakit berhari-hari, karena kamu menolak merestui hubungan mereka. Sekarang mereka sudah bersatu, biarkan saja. Lebih baik kita bimbing Mey, agar bisa menjadi istri yang baik. Jangan sampai dia mengulangi kesalahan yang sama. Bagi Abah yang penting Rahman bahagia, kalau ternyata kebahagiaan Rahman bersama Mey, kita bisa apa? Sudah lah, Mi. Lebih baik kita do'akan yang baik-baik saja untuk anak dan menantu kita, nggak usah mikir yang aneh-aneh. Apalagi sampai berniat memisahkan mereka, ingat dosa, Mi!"Abah memang the best. Dari awal bertemu Abah memang terlihat tulus padaku, apalagi saat tahu aku ini putri sahabatnya. Abah memperlakukan aku seperti anak kandungnya sendiri, begitu juga terhadap Andinda. Abah menyayanginya seperti cuc
Tubuh kami hampir menyatu, ketika terdengar ketukan pintu dan suara memanggil nama suamiku. "Man! Rahman!" Seketika wajah penuh nafsu suamiku, berganti kecewa. "Umi ngapain, sih! Ganggu aja!" Gerutu Mas Rahman, seraya turun dari tubuhku. Dipungut nya handuk yang dia lempar sembarangan, untuk menutupi tubuh polosnya. Sejak dari kamar mandi pria itu sengaja tidak pakai baju, saking nafsunya ingin bercinta denganku. Aku hanya terkikik geli melihat wajah cemberut suamiku. Tak ingin terlibat adu mulut dengan mertua, aku memilih menutup tubuh sampai leher dan pura-pura tidur. "Man! Kamu belum tidur, kan?" Lagi, suara Umi memanggil disertai ketukan. Nafsu sekali Umi untuk menghalangi anaknya memberiku nafkah batin, hingga segala cara dia lakoni. Aku jadi mikir, kok Umi nggak takut dosa, ya? Padahal beliau orang yang paham agama. Kok, bisa-bisanya berbuat konyol seperti itu. Kalau memang tidak menyukaiku, kenapa tidak terus terang saja pada anaknya. Batalkan pernikahan kami, kalau mema
"Sudah, nggak usah terlalu difikirkan omongan Umi tadi. Umi memang begitu orangnya, nanti lama-lama juga bakal luluh setelah kita beri cucu. Apalagi setelah melihat betapa lucu cucunya nanti," seloroh Mas Rahman mencoba menghibur hatiku. "Auw! Sakit, Yang!" Dia menjerit kesakitan, karena tanganku muncubit pinggangnya. "Gimana mau kasih cucu Umi, Mas? Bikin aja nggak boleh!" Sergahku, tak lupa ku hadiahi suamiku itu pelototan. Tapi dasar Mas Rahman, dia malah nyengir lebar. "Nggak boleh itu kalau Umi lihat, Sayang. Kalau nggak, kan, nggak pa-pa. Iya, kan? Masa iya kita mau ihik-ihik di depan Umi." Mas Rahman menangkap tanganku yang hendak menggebuk nya, lalu menarik tubuh ini ke dalam pelukannya. "Mas! Aku sudah wudlu, batal kan jadinya!" Protes ku tak terima. "Terlanjur batal sayang, bagaimana kalau kita lanjut babak selanjutnya." Mata yang biasa menatapku teduh itu, kini berubah genit. "Ogah! Nanti digrebek Umi!" Usai berkata aku masuk ke kamar mandi. Ada-ada saja suamiku itu,
"Mau kemana kamu, Mey?" Aku yang sudah siap pergi terpaksa menghentikan langkah.'Duh, kenapa Umi pakai acara ke garasi segala. Kenapa nggak anteng di kamar saja, sih.' Gerutuku dalam hati. "Keluar sebentar, Mi. Ada yang mau dibeli," jawabku beralasan, padahal aslinya mau pergi ke toko menyusul Mas Rahman. Mencegah lelaki itu berduaan dengan Audrey. Iya kali, aku diam saja suamiku disamperin cewek. Mana ceweknya cantik banget lagi, jelas aku harus waspada. "Nggak boleh! Kamu nggak boleh pergi sendiri tanpa Rahman," tegas Umi. "Tapi, Mi ---""Nggak ada tapi-tapian! Apa kata tetangga kalau melihat kamu keluar masuk rumah ini? Nanti timbul gosip yang tidak-tidak. Sudah, kamu diam saja di rumah! Kalau butuh apa-apa minta saja sama suamimu, biar dibawakan nanti kalau pulang." Selalu itu yang jadi alasan Umi, takut jadi bahan gunjingan tetangga. Kenapa harus takut, sih? Pernikahan kami sudah sah secara agama dan negara, kalau mereka ngomong macem-macem tinggal klarifikasi aja, beres kan
Hampir sebulan aku menjadi istri Mas Rahman, tapi hubunganku dengan Umi tidak kunjung membaik. Wanita itu masih sinis dan ketus padaku, apalagi kalau Mas Rahman pergi. Sikap Umi makin menjadi. Tapi aku berusaha bersikap sabar, dengan selalu mengalah dan menghindari konflik dengan Umi. "Batu saja bisa terkikis kalau ditetesi air setiap hari, apalagi hati manusia. Kamu nggak usah terpancing emosi, ngalah saja. Lama-lama Umi bakal capek sendiri, dan tak lagi mengusik kamu. Yang penting kita bahagia, anggap saja kebencian Umi sebagai ujian pernikahan kita." Begitu nasehat Mas Rahman saat aku adukan kelakuan umi nya. Sebenarnya aku ingin bekerja agar tidak banyak berinteraksi dengan Umi, tapi Mas Rahman melarang. Sebaiknya punya usaha sendiri, daripada bekerja pada orang lain. "Nanti lah. Aku pikir-pikir dulu usaha apa yang cocok buat kamu," ucap Mas Rahman kala itu, tapi sampai sekarang belum ketemu idenya. Sementara ini untuk menghilangkan kejenuhan, aku suka membantu Mbok Nah memasa
Bukan hanya Abah, aku pun merasa bersalah. Merasa bersalah pada diri sendiri, kenapa aku terima permintaan Umi untuk menikah dengan Mas Rahman. Harusnya aku tak ambil peduli dengan rengekan Umi waktu itu, sampai nangis darah sekalipun harusnya aku tak perlu menuruti permintaannya. Kalau akhirnya seperti ini, aku diperlakukan seperti manusia yang nggak punya harga diri. Bahkan di depanku Umi tega ngomong seperti itu, seolah perasaanku tak perlu dijaga. Akhirnya kami duduk bertiga di ruang tamu, harusnya berempat, tapi Mas Rahman ke luar kota, katanya ada mobil bekas yang dijual murah, dia mau cek barangnya langsung. Abah sengaja mengumpulkan kami untuk membahas gosip miring yang beredar di luar sana, efek pertemuanku dengan Bu Indri tadi pagi. Umi menyalahkanku, menganggap aku ini biang masalah yang harusnya dibuang. "Istighfar, Mi. Nyebut! Mereka sudah menikah secara resmi, berdosa kita kalau merusak ikatan suci mereka. Rahman begitu mencintai, Mey, begitu pula sebaliknya. Kenapa ha