Pernikahan yang terjadi secara mendadak tanpa rencana, membuat banyak hal yang harus diurus. Termasuk sekolah Dinda, yang sudah terlanjur kucabut dari sekolah lamanya. Padahal rencana awalku Dinda akan ku sekolahkan di Jombang, karena aku punya keinginan menetap di sana. Tak mungkin Dinda ku sekolahkan kembali di sekolah lama, selain banyak temannya yang resek, kami sudah terlanjur pamit. "Dinda sekolah MI di yayasan yang dipimpin Abah saja, Mey. Biar sekalian berangkat dan pulangnya bareng. Kan, nggak ngeropotin jadinya," ujar Umi setelah ku utarakan niat mencari sekolah untuk Dinda. "Kalau menurut Umi itu yang terbaik, saya manut saja, Umi." Usai berkata aku menoleh ka arah Mas Rahman, nampak suamiku itu sedang pulas.Mau bagaimana lagi memang, aku masih harus fokus merawat suamiku. Jadi tidak mungkin kalau harus bolak-balik antara jemput Dinda sekolah. Lagipula aku tak punya pandangan, sekolah mana yang cocok untuk Dinda. Sekarang aku full IRT, otomatis tak punya penghasilan. Su
Sedang asik-asiknya menyuapi suamiku, tiba-tiba pintu kamar di ketuk dari luar. Kalau dilihat dari jamnya, ini bukan waktunya dokter atau perawat visit. Umi baru saja datang, Abah acara ke luar kota. Lalu siapa yang datang? Dua wanita cantik berdiri di depanku, ketika pintu kubuka. Salah satu wanita itu membawa hampers berisi buah. "Ini kamar perawatan, Rahman?" Salah satu wanita itu bertanya ramah."Iya, Bu," jawabku singkat. "Bener Drey, Rahman dirawat di sini," ucap Wanita yang usianya lebih dewasa itu kepada wanita muda di sampingnya. Wajah gadis muda itu pun langsung berbinar. "Ini ada bingkisan untuk Rahman. Kamu simpan, ya!" Hampers itu dijejalkannya ke tanganku. "Permisi ya, Mbak ...." Dua wanita beda generasi itu menerobos masuk, dan langsung mendekat ke arah ranjang tanpa menunggu persetujuanku.Sebenarnya aku sedikit jengkel pada sikap mereka berdua, aku ini dianggapnya apa? Tapi sudah lah, mungkin karena mereka belum mengenalku saja. "Tante Anita, Audrey?" Mas Rahman
"Lho! Mey, kamu!" Umi menatapku tajam, jari telunjuknya mengarah padaku, saat melihatku keluar dari mandi. Entah apa yang salah, kenapa Umi terlihat murka seperti itu. Dia melangkah tergopoh lalu menarik tanganku, saat jarak kami sudah dekat. Kepalanya menengok ke kanan kiri, seperti memastikan keadaan aman atau tidak. "Sudah Umi bilang, jangan kalian jangan nyampur dulu! Kenapa nekat!" Meski berbisik, nada suara Umi terdengar mengintimidasi. Sekarang aku baru tahu, kenapa Umi marah padaku. Rupanya dia pikir aku melanggar larangannya untuk tidak melayani kebutuhan biologis Mas Rahman. Aku memegang kepalaku yang terbungkus handuk, sambil terkekeh melihat Umi. "Kenapa tertawa? Apanya yang lucu!" Hardiknya. "Umi itu aneh, masa saya nggak boleh keramas? Selama di rumah sakit saya jarang cuci rambut, Mi, karena nggak bawa hair dryer. Dari kemarin kepala saya sudah getel, nggak sabar pengen kramas," jawabku sambil nyengir lebar. Sepuluh hari menemani dan merawat Mas Rahman di rumah s
"Kamu bukan gadis ingusan lagi, Mey. Harusnya kamu yang ngajarin aku, bukannya menolakku seperti ini," ucapnya sambil duduk di tepi ranjang. "Katakan ada apa, Mey? Aku tahu ada yang kamu sembunyikan dariku."Aku harus jawab apa? Bingung juga aku, larangan Umi tak boleh ku langgar, sementara aku dituntut Mas Rahman untuk memenuhi kewajiban. Dosa kalau aku menolak. Aku harus bagaimana ini? Jawaban apa yang paling masuk akal dan tidak mengecewakan suamiku ini? "Eng .... ""Eng apa? Kenapa kamu kayak orang kebingungan begitu? Apa kamu menganggap aku tak mampu membahagiakanmu?" Kejar Mas Rahman membuatku semakin gelapan. "Bu---bukan begitu, Mas. Beneran, bukan itu alasannya.""Lalu apa?" Sahutnya tak sabar. "Kamu tahu sebelum kita menikah pekerjaanku, apa?" Mas Rahman mengangguk pelan, tapi tatapannya curiga. "Aku belum memeriksakan kesehatan alat reproduksiku, Mas. Takutnya aku mengidap penyakit seksual menular, atau malah mungkin HIV yang mungkin belum aku sadari. Aku minta waktu, s
"Lega, kan, sekarang? Kamu dinyatakan sehat, nggak menderita penyakit yang kamu takutkan. Kamu pasti seneng," ucap Rahman saat kami dalam perjalanan pulang. Setelah cukup lama menunggu, akhirnya hasil tes anti bodi keluar. Aku dinyatakan negatif, tidak menderita HIV/AIDS seperti yang aku takutkan. Plong, rasanya mendapat kabar gembira ini. Padahal aku sempat merasa tertekan tadi, takut kalau hasilnya positif. Bagaimana nasib pernikahanku dengan Rahman yang baru berjalan beberapa hari? Mau nggak mau aku harus berpisah dengannya, karena tak bisa menjalani kewajiban sebagai istri. "Seneng banget, Mas.""Kalau begitu nanti malam siap belah duren, dong," selorohnya. Senyum yang dari tadi menghiasi wajah tampan itu, kini nampak makin lebar. Tawaku pecah seketika mendengar ucapan Rahman. Belah duren? Itu hanya berlaku untuk pasangan pengantin baru, yang wanitanya masih perawan thing-thing. Sedangkan aku? Meski status di KTP lajang, belum menikah. Tapi aku sudah pernah melahirkan, bahkan p
"Sudah lah, Mi. Nggak usah diungkit-ungkit lagi. Bagaimanapun juga Mey sudah menjadi istrinya Rahman, menantu kita. Aku lihat mereka saling mencintai, masa kamu tega memisahkan mereka. Apa kamu sudah lupa? Rahman sampai sakit begitu, sampai dirawat di rumah sakit berhari-hari, karena kamu menolak merestui hubungan mereka. Sekarang mereka sudah bersatu, biarkan saja. Lebih baik kita bimbing Mey, agar bisa menjadi istri yang baik. Jangan sampai dia mengulangi kesalahan yang sama. Bagi Abah yang penting Rahman bahagia, kalau ternyata kebahagiaan Rahman bersama Mey, kita bisa apa? Sudah lah, Mi. Lebih baik kita do'akan yang baik-baik saja untuk anak dan menantu kita, nggak usah mikir yang aneh-aneh. Apalagi sampai berniat memisahkan mereka, ingat dosa, Mi!"Abah memang the best. Dari awal bertemu Abah memang terlihat tulus padaku, apalagi saat tahu aku ini putri sahabatnya. Abah memperlakukan aku seperti anak kandungnya sendiri, begitu juga terhadap Andinda. Abah menyayanginya seperti cuc
Tubuh kami hampir menyatu, ketika terdengar ketukan pintu dan suara memanggil nama suamiku. "Man! Rahman!" Seketika wajah penuh nafsu suamiku, berganti kecewa. "Umi ngapain, sih! Ganggu aja!" Gerutu Mas Rahman, seraya turun dari tubuhku. Dipungut nya handuk yang dia lempar sembarangan, untuk menutupi tubuh polosnya. Sejak dari kamar mandi pria itu sengaja tidak pakai baju, saking nafsunya ingin bercinta denganku. Aku hanya terkikik geli melihat wajah cemberut suamiku. Tak ingin terlibat adu mulut dengan mertua, aku memilih menutup tubuh sampai leher dan pura-pura tidur. "Man! Kamu belum tidur, kan?" Lagi, suara Umi memanggil disertai ketukan. Nafsu sekali Umi untuk menghalangi anaknya memberiku nafkah batin, hingga segala cara dia lakoni. Aku jadi mikir, kok Umi nggak takut dosa, ya? Padahal beliau orang yang paham agama. Kok, bisa-bisanya berbuat konyol seperti itu. Kalau memang tidak menyukaiku, kenapa tidak terus terang saja pada anaknya. Batalkan pernikahan kami, kalau mema
"Sudah, nggak usah terlalu difikirkan omongan Umi tadi. Umi memang begitu orangnya, nanti lama-lama juga bakal luluh setelah kita beri cucu. Apalagi setelah melihat betapa lucu cucunya nanti," seloroh Mas Rahman mencoba menghibur hatiku. "Auw! Sakit, Yang!" Dia menjerit kesakitan, karena tanganku muncubit pinggangnya. "Gimana mau kasih cucu Umi, Mas? Bikin aja nggak boleh!" Sergahku, tak lupa ku hadiahi suamiku itu pelototan. Tapi dasar Mas Rahman, dia malah nyengir lebar. "Nggak boleh itu kalau Umi lihat, Sayang. Kalau nggak, kan, nggak pa-pa. Iya, kan? Masa iya kita mau ihik-ihik di depan Umi." Mas Rahman menangkap tanganku yang hendak menggebuk nya, lalu menarik tubuh ini ke dalam pelukannya. "Mas! Aku sudah wudlu, batal kan jadinya!" Protes ku tak terima. "Terlanjur batal sayang, bagaimana kalau kita lanjut babak selanjutnya." Mata yang biasa menatapku teduh itu, kini berubah genit. "Ogah! Nanti digrebek Umi!" Usai berkata aku masuk ke kamar mandi. Ada-ada saja suamiku itu,