"Kok kamu semangat nyuruh aku kembali ke Semarang, Bi? Kamu ngusir aku? Keberatan kalau aku repotin?" Seketika wajah Abizar memucat. "Bu---bukan begitu, Mbak. Aku hanya ---"Aku dan Abizar memang kurang dekat sejak kecil, bukan hanya karena gender kami berbeda, tapi sejak lulus SD Abizar sudah masuk pesantren, jarang pulang otomatis jarang pula berinteraksi denganku. Jadi, wajar kalau misalnya dia agak keberatan aku tinggal di kota ini. Sedikit banyak aku pasti merepotkannya, menambah tanggung jawabnya. Karena kami hanya tinggal berdua, tak ada saudara kandung lainnya. "Ya nggak pa-pa, Bi. Kalau kamu merasa keberatan aku tinggal di sini," ucapku sendu. "Eh, bukan begitu, Mbak. Aku nggak keberatan Mbak Mey tinggal di kota ini, kok, seneng malah. Aku hanya ikut senang, kalau Mbak Mey akhirnya ada yang meminang, apalagi Mbak Mey bilang dia laki-laki yang baik, berasal dari keluarga baik-baik pula." Abizar menjeda ucapannya, diraihnya tanganku dalam genggamannya. "Mbak, tak mungkin se
"Man." Umi Farida menepuk pelan lengan putranya, tapi laki-laki tak bereaksi. Padahal matanya terbuka, aku yakin dia tidak sedang tidur. "Ada Mey di sini, dia pengen ketemu kamu." Mendengar namaku disebut spontan Rahman menoleh. Diluar dugaanku, Rahman menatapku seperti tak pernah melihatku sebelumnya. "Me--- Mey?" Tanya Rahman dengan wajah ragu.Apakah sebulan tidak bertemu membuat Rahman melupakanku? Atau banyak yang berubah pada diriku, hingga dia tidak mengenaliku lagi? Berat badanku memang turun beberapa kilo, tapi tak berpengaruh banyak pada wajahku. "Iya, Man. Ini aku, Mey," jawabku berusaha meyakinkannya, bahwa ini benar-benar aku. Bukan hanya hanya hanya khayalan nya saja. Rahman menatapku lekat-lekat, seolah masih tak percaya kalau yang ada di depannya ini aku. Wanita yang katanya begitu dia cintai. "Nggak mungkin, ah. Umi pasti melarangmu datang ke sini." Rahman tertawa sumbang, membuatku hatiku mencelos seketika. Seputus asa itu kah, dia? "Umi yang meminta Mey datan
Mendengar perdebatan pasangan suami istri itu, aku bisa melihat. Sebenarnya Umi Farida belum benar-benar merestui hubunganku dengan anaknya. Umi hanya memanfaatkanku demi kesembuhan Rahman. Jujur hatiku terluka, ternyata kebaikan Umi hanya di bibir saja. Hatinya masih membenciku. "Mey!" Spontan aku menoleh, menatap Rahman yang kini juga tengah menatapku. "Jangan dipikirkan! Umi memang masih ragu, tapi aku yakin beliau akan menerimamu sepenuh hati. Kita yakin kan Umi berdua ya, Mey?" Meski terpaksa aku mengangguk juga. Meyakinkan yang bagaimana? Sepertinya aku sudah terlanjur dicap jelek sama Umi Farida, tak peduli aku anak siapa, sekarang penampilanku seperti apa. Pokoknya jelek ya jelek aja! Mungkin itu yang ada dipikiran Uminya Rahman. "Iya, nggak pa-pa. Aku sudah biasa pandang rendah orang," sindirku.Rahman menghela nafas, kemudian memaksa tersenyum padaku. Meski tak diucapkan, aku tahu Rahman pun sama terlukanya sepertiku, mendengar omongan Umi. Umi juga keterlaluan, ngomo
Aku memakai gamis putih panjang berbahan brokat premium, dengan hiasan mutiara kecil dibagian leher dan ujung lengannya. Meski simpel tapi terkesan elegan. Baju ini menempel pas tubuhku, terasa nyaman nggak gerah. Walau tak tahu harga pastinya, aku yakin gamis ini harganya mahal. Aku nyaris tak mengenali diri sendiri ketika menatap bayanganku di cermin. Cantik dan begitu anggun. MUA yang disewa Umi memang nggak kaleng-kaleng. Kuakui selera fashion Umi memang berkelas, terbukti dari pakaian harian yang beliau pakai. Nggak pasaran dan enak dipandang, tetap modis tanpa meninggalkan unsur syar'i-nya. Apalagi ini untuk momen penting putranya, Umi pasti tidak mau pengantinnya terlihat asal-asalan meski hanya melaksanakan akad tanpa resepsi. Ya, akhirnya aku bersedia menikah dengan Rahman. Setelah Abizar meyakinkanku, bahwa Rahman adalah calon suami yang terbaik. "Memang Rahman itu paket komplit, tapi apa sepadan dengan aku yang mantan PSK?" Sergahku berusaha membuka fikiran Abizar yang
Pernikahan yang terjadi secara mendadak tanpa rencana, membuat banyak hal yang harus diurus. Termasuk sekolah Dinda, yang sudah terlanjur kucabut dari sekolah lamanya. Padahal rencana awalku Dinda akan ku sekolahkan di Jombang, karena aku punya keinginan menetap di sana. Tak mungkin Dinda ku sekolahkan kembali di sekolah lama, selain banyak temannya yang resek, kami sudah terlanjur pamit. "Dinda sekolah MI di yayasan yang dipimpin Abah saja, Mey. Biar sekalian berangkat dan pulangnya bareng. Kan, nggak ngeropotin jadinya," ujar Umi setelah ku utarakan niat mencari sekolah untuk Dinda. "Kalau menurut Umi itu yang terbaik, saya manut saja, Umi." Usai berkata aku menoleh ka arah Mas Rahman, nampak suamiku itu sedang pulas.Mau bagaimana lagi memang, aku masih harus fokus merawat suamiku. Jadi tidak mungkin kalau harus bolak-balik antara jemput Dinda sekolah. Lagipula aku tak punya pandangan, sekolah mana yang cocok untuk Dinda. Sekarang aku full IRT, otomatis tak punya penghasilan. Su
Sedang asik-asiknya menyuapi suamiku, tiba-tiba pintu kamar di ketuk dari luar. Kalau dilihat dari jamnya, ini bukan waktunya dokter atau perawat visit. Umi baru saja datang, Abah acara ke luar kota. Lalu siapa yang datang? Dua wanita cantik berdiri di depanku, ketika pintu kubuka. Salah satu wanita itu membawa hampers berisi buah. "Ini kamar perawatan, Rahman?" Salah satu wanita itu bertanya ramah."Iya, Bu," jawabku singkat. "Bener Drey, Rahman dirawat di sini," ucap Wanita yang usianya lebih dewasa itu kepada wanita muda di sampingnya. Wajah gadis muda itu pun langsung berbinar. "Ini ada bingkisan untuk Rahman. Kamu simpan, ya!" Hampers itu dijejalkannya ke tanganku. "Permisi ya, Mbak ...." Dua wanita beda generasi itu menerobos masuk, dan langsung mendekat ke arah ranjang tanpa menunggu persetujuanku.Sebenarnya aku sedikit jengkel pada sikap mereka berdua, aku ini dianggapnya apa? Tapi sudah lah, mungkin karena mereka belum mengenalku saja. "Tante Anita, Audrey?" Mas Rahman
"Lho! Mey, kamu!" Umi menatapku tajam, jari telunjuknya mengarah padaku, saat melihatku keluar dari mandi. Entah apa yang salah, kenapa Umi terlihat murka seperti itu. Dia melangkah tergopoh lalu menarik tanganku, saat jarak kami sudah dekat. Kepalanya menengok ke kanan kiri, seperti memastikan keadaan aman atau tidak. "Sudah Umi bilang, jangan kalian jangan nyampur dulu! Kenapa nekat!" Meski berbisik, nada suara Umi terdengar mengintimidasi. Sekarang aku baru tahu, kenapa Umi marah padaku. Rupanya dia pikir aku melanggar larangannya untuk tidak melayani kebutuhan biologis Mas Rahman. Aku memegang kepalaku yang terbungkus handuk, sambil terkekeh melihat Umi. "Kenapa tertawa? Apanya yang lucu!" Hardiknya. "Umi itu aneh, masa saya nggak boleh keramas? Selama di rumah sakit saya jarang cuci rambut, Mi, karena nggak bawa hair dryer. Dari kemarin kepala saya sudah getel, nggak sabar pengen kramas," jawabku sambil nyengir lebar. Sepuluh hari menemani dan merawat Mas Rahman di rumah s
"Kamu bukan gadis ingusan lagi, Mey. Harusnya kamu yang ngajarin aku, bukannya menolakku seperti ini," ucapnya sambil duduk di tepi ranjang. "Katakan ada apa, Mey? Aku tahu ada yang kamu sembunyikan dariku."Aku harus jawab apa? Bingung juga aku, larangan Umi tak boleh ku langgar, sementara aku dituntut Mas Rahman untuk memenuhi kewajiban. Dosa kalau aku menolak. Aku harus bagaimana ini? Jawaban apa yang paling masuk akal dan tidak mengecewakan suamiku ini? "Eng .... ""Eng apa? Kenapa kamu kayak orang kebingungan begitu? Apa kamu menganggap aku tak mampu membahagiakanmu?" Kejar Mas Rahman membuatku semakin gelapan. "Bu---bukan begitu, Mas. Beneran, bukan itu alasannya.""Lalu apa?" Sahutnya tak sabar. "Kamu tahu sebelum kita menikah pekerjaanku, apa?" Mas Rahman mengangguk pelan, tapi tatapannya curiga. "Aku belum memeriksakan kesehatan alat reproduksiku, Mas. Takutnya aku mengidap penyakit seksual menular, atau malah mungkin HIV yang mungkin belum aku sadari. Aku minta waktu, s